PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS ...

15
59 PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS SANGKURIANG: TELAAH STRUKTURAL ANTROPOLOGI LノVI-STRAUSS Sosial Stratification and Ideal Marriage in Sangkuriang Myth: Lévi-Strauss Structural Anthropology Study Asep Yudha Wirajaya Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami, Kentingan, Solo, Telepon 0271-632480 Pos-el: [email protected] (Makalah diterima tanggal 7 Maret 2010—Revisi tanggal 2 Mei 2010) Abstrak: Mitos Sangkuriang merupakan mitos yang pesan kearifan tradisinya “gagal” dicerna oleh masyarakat pemiliknya. Mitos ini pada akhirnya hanya mampu menceritakan asal mula ”kelahiran” sebuah gunung dan cekungan Bandung, dan tidak ada hubungannya dengan kehi- dupan manusia kecuali tentang perjalanan kehidupan seorang anak manusia yang durhaka pada orang tuanya. Tampak bahwa, pesan-pesan mitos ini sedemikian naifnya jika dibandingkan dengan dinamika perjalanan kehidupan yang dijalani oleh manusia Sangkuriang. Karena itulah perlu cara pandang, pemahaman dan penafsiran yang tidak hanya menangkap berbagai feno- mena atas peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari – tetapi juga untuk melihat ‘batin sosial’ suatu masyarakat – bahkan melihat ke dalam ‘struktur dalam’ (deep structure) suatu ma- syarakat. Dengan demikian mitos sebagai sebuah ”proses komunikasi” lintas generasi dalam ta- taran simbolis mampu hadir dan bermakna dalam tatanan yang apik dan rapih sebagai alternatif solusi mengatasi atau memecahkan berbagai kontradiksi empiris yang selama ini tidak ter- pahami oleh nalar manusia. Kata-Kata Kunci: inses, pelapisan sosial, dan Sangkuriang Abstract: Sangkuriang myth represents myth whose message of its tradition wisdom is "fail" to be digested by its owner society. This myth in the end only can narrate provenance "birth" a Bandung hollow and mount, and there no relation with human life except about life journey a disaffected human being child at its old fellow. See that, messages of this myth is naive in such a way in comparison with life journey dynamics experienced by Sangkuriang human being. Therefore, it needs a way of approach, interpretation and understanding which do not only catch various phenomenon to the event that happened in everyday life, but also to see 'social mind' society, even see into 'structure in' (structure deep) society. Thereby myth as a "communications process" passed by quickly generation in symbolic devices can attend and have a meaning of in nice structure and good alternatively solution overcome or solve various empirical contradiction is not comprehended by human being natural existence Key Words: incest, social veneering, and Sangkuriang PENGANTAR Secara etimologis kata mitos berasal dari kata ‘myth’, yang berasal dari kata Yunani ‘mythos, yang secara harfiah merujuk kepada pengertian cerita atau sejarah yang dibentuk dan diriwayatkan sejak dan tentang masa lampau. Kata ter- sebut kemudian mengalami perkembang- an menjadi kata mite, yakni cerita atau sejarah yang berisi dongeng, legenda mengenai asal-usul kejadian alam se- mesta dan hubungannya dengan

Transcript of PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS ...

Page 1: PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS ...

59

PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEALDALAM MITOS SANGKURIANG:

TELAAH STRUKTURAL ANTROPOLOGI LÉVI-STRAUSSSosial Stratification and Ideal Marriage in Sangkuriang Myth:

Lévi-Strauss Structural Anthropology Study

Asep Yudha Wirajaya

Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Seni Rupa,Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami, Kentingan, Solo, Telepon 0271-632480

Pos-el: [email protected]

(Makalah diterima tanggal 7 Maret 2010—Revisi tanggal 2 Mei 2010)

Abstrak: Mitos Sangkuriang merupakan mitos yang pesan kearifan tradisinya “gagal” dicernaoleh masyarakat pemiliknya. Mitos ini pada akhirnya hanya mampu menceritakan asal mula”kelahiran” sebuah gunung dan cekungan Bandung, dan tidak ada hubungannya dengan kehi-dupan manusia kecuali tentang perjalanan kehidupan seorang anak manusia yang durhaka padaorang tuanya. Tampak bahwa, pesan-pesan mitos ini sedemikian naifnya jika dibandingkandengan dinamika perjalanan kehidupan yang dijalani oleh manusia Sangkuriang. Karena itulahperlu cara pandang, pemahaman dan penafsiran yang tidak hanya menangkap berbagai feno-mena atas peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari – tetapi juga untuk melihat ‘batinsosial’ suatu masyarakat – bahkan melihat ke dalam ‘struktur dalam’ (deep structure) suatu ma-syarakat. Dengan demikian mitos sebagai sebuah ”proses komunikasi” lintas generasi dalam ta-taran simbolis mampu hadir dan bermakna dalam tatanan yang apik dan rapih sebagai alternatifsolusi mengatasi atau memecahkan berbagai kontradiksi empiris yang selama ini tidak ter-pahami oleh nalar manusia.

Kata-Kata Kunci: inses, pelapisan sosial, dan Sangkuriang

Abstract: Sangkuriang myth represents myth whose message of its tradition wisdom is "fail" tobe digested by its owner society. This myth in the end only can narrate provenance "birth" aBandung hollow and mount, and there no relation with human life except about life journey adisaffected human being child at its old fellow. See that, messages of this myth is naive in sucha way in comparison with life journey dynamics experienced by Sangkuriang human being.Therefore, it needs a way of approach, interpretation and understanding which do not only catchvarious phenomenon to the event that happened in everyday life, but also to see 'social mind'society, even see into 'structure in' (structure deep) society. Thereby myth as a "communicationsprocess" passed by quickly generation in symbolic devices can attend and have a meaning of innice structure and good alternatively solution overcome or solve various empirical contradictionis not comprehended by human being natural existence

Key Words: incest, social veneering, and Sangkuriang

PENGANTARSecara etimologis kata mitos berasal darikata ‘myth’, yang berasal dari kataYunani ‘mythos’, yang secara harfiahmerujuk kepada pengertian cerita atausejarah yang dibentuk dan diriwayatkan

sejak dan tentang masa lampau. Kata ter-sebut kemudian mengalami perkembang-an menjadi kata mite, yakni cerita atausejarah yang berisi dongeng, legendamengenai asal-usul kejadian alam se-mesta dan hubungannya dengan

Page 2: PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS ...

60

keberadaan manusia (Sykes, 1952:ix;Campbell, 1988:5; Eliade, 1987; Graves,1986:4—6, Danandjaja, 1994:50,Hutomo, 1991:63, dan Zeffry, 1998:1—2). Oleh sebab itu, pengertian mitos se-ringkali ditafsirkan sebagai cerita ataulegenda kuno mengenai dewa-dewi danketinggalan zaman. Kecenderungan pe-mahaman yang “keliru” ini perlu kiranya“diluruskan” sehingga mitos dapat diteri-ma dan ditempatkan sesuai dengan porsi-nya dengan baik.

Barangkali, memang belum banyakorang menyadari bahwa sebenarnya mi-tos juga merupakan bagian dari kehidup-an mereka karena aktivitas manusia se-jak mereka lahir hingga meninggal duniasecara tidak langsung dipengaruhi olehberbagai mitos. Dengan demikian, mitosdapat juga diartikan sebagai sebuah“proses komunikasi” lintas generasi da-lam tataran simbolis yang tertata apikdan rapi untuk mengatasi atau memecah-kan berbagai kontradiksi empiris yang ti-dak terpahami oleh nalar manusia(Ahimsa-Putra, 2006:256—260). Jadi,mitos menjadi semacam model jendelaatau tirai nalar yang (sadar atau tidak)‘menentukan cara memandang, mema-hami dan menafsirkan bukan hanya ber-bagai peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga untuk melihat ‘batin so-sial’ suatu masyarakat, bahkan melihatke dalam ‘struktur dalam’ (deep structu-re) suatu masyarakat (lih. Ahimsa Putra,2006:376—377). Karena itulah, mitosdapat juga dijadikan model untuk mem-bangun sebuah tatanan kehidupan sosialyang diidam-idamkan sekaligus pulamenjadi sumber inspirasi dan semangatuntuk mengatasi berbagai kesulitan yangdihadapi.

Sepintas mitos Sangkuriang tidakmemperlihatkan kaitan yang jelasdengan sistem pelapisan sosial. Akan te-tapi, pembacaan pada tataran yang lebihdalam telah memberikan pemahamanbahwa mitos tersebut secara implisit me-nyampaikan pesan-pesan tentang

pelapisan sosial. Hal ini terlihat jelas ter-utama pada miteme Raja SunggingPerbangkara yang membawa DayangSumbi ke keraton, tetapi tidak sekaligusBabi Wayungyang (ibu Dayang Sumbi).Untuk lebih memahami hal ini, diperlu-kan pengetahuan tentang sistem pelapis-an sosial yang berkembang dalam ma-syarakat Sunda. Seperti diketahui bahwasetiap tatanan kehidupan organisasi so-sial, termasuk negara, selalu ada dua ele-men manusiawi, yaitu pengorganisasidan yang diorganisasi, pemerintah danpengikut, raja dan rakyat, atau pengge-dhe dan wong cilik (Laksono, 1985:38).Berdasarkan konsep manunggaling ka-wula-Gusti, konsep yang menjadi tujuantertinggi dan paling benar bagi orangSunda (Laksono, 1985:37; Ali, 1986:29),raja dan rakyat dianggap mempunyai ke-dudukan yang sama. Perbedaan hanyaterletak pada fungsi atau keduniawian-nya, bukan nilai atau sifat transendenesensialnya. Jadi, dalam hal ini, yangmembedakan raja dan rakyat hanyalahikatan-ikatan tertentu dalam preten-si/tuntutan sosial, bukan dalam hal eksis-tensinya sebagai manusia yang sama-sa-ma dapat manunggal dengan Gusti atauYang Tak Dapat Diterangkan. Oleh ka-rena itu, adanya identifikasi raja-dewaatau rakyat-dewa yang ditempatkan da-lam posisi berlawanan sebagaimana ter-dapat dalam tradisi Hindu, oleh orangSunda dianggap sangat masuk akal danditempatkan dalam posisi identik(Laksono, 1985:7). Penempatan posisiidentik itu, dalam alam pikiran Sunda,dipergunakan sebagai sesuatu untukmencapai tujuan keselarasan yang dise-but tata tentrem. Hal ini, yang dalamkonteks tradisi Sunda, merupakan imple-mentasi dari keyakinan yang lebih me-ngedepankan aspek harmoni dalam lintaskosmos.

Pemilihan mitos Sangkuriang ini se-benarnya hanya karena faktor kebetulansaja. Pertama, saya merupakan salah satuputra daerah Jawa Barat. Kedua, mitos

Page 3: PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS ...

61

Sangkuriang memiliki tingkat kepopu-leran yang relatif cukup tinggi. Terbuktihampir semua orang yang berasal darisukubangsa Sunda mengenal keberadaanmitos ini. Ketiga, mitos Sangkuriangmerupakan salah satu contoh mitos yangpesan kearifan tradisinya “gagal” dicernaoleh masyarakat pemiliknya. Mitos inipada akhirnya hanya mampu mencerita-kan asal mula “kelahiran” sebuah gu-nung dan cekungan Bandung, dan tidakada hubungannya dengan kehidupan ma-nusia kecuali tentang perjalanan kehi-dupan seorang anak manusia yang dur-haka pada orang tuanya. Tampak bahwapesan-pesan mitos ini sedemikian naif-nya jika dibandingkan dengan dinamikaperjalanan kehidupan yang dijalani olehmanusia Sangkuriang.

Perlu juga disampaikan bahwa sam-pai dengan artikel ini dibuat, kajian atasberbagai versi mitos Sangkuriang seba-gaimana terlihat dalam kajian GibsonAl-Bustomi (2005), Sahidin (2006), danFerbianty (2007) baru sebatas mentrans-kripsikan cerita lisannya. Selain itu, tela-ah-telaah tersebut tidak begitu kuat ke-rangka teorinya sehingga tafsir-tafsiryang lebih dalam dan komprehensif ma-sih belum dapat ditemukan. Tulisan inidimaksudkan untuk mengatasi kelemah-an-kelemahan tersebut.

TEORILévi-Strauss adalah salah satu tokohyang paling tekun dalam menerapkandan mengembangkan cara analisis struk-tural. Penerapan analisis strukturalnyaterhadap fenomena kekerabatan dan per-kawinan, mitos, totemisme dan topengmerupakan bukti yang sulit dibantahbahwa Lévi-Strauss adalah tokoh struk-turalisme yang paling maju, paling kon-sisten, serta paling yakin dengan para-digma strukturalnya.

Lévi-Strauss mengawali penjelajah-an strukturalnya atas mitos-mitos denganmenganalisis kisah Oedipus. Dalam ana-lisisnya, Lévi-Strauss beranggapan bah-

wa setiap mitos dapat dipenggal menjadisegmen atau peristiwa-peristiwa, dan se-tiap orang yang mengetahui mitos terse-but sependapat mengenai segmen-seg-men atau peristiwa-peristiwa ini. Setiapsegmen harus memperlihatkan relasi-relasi antarindividu yang merupakantokoh-tokoh dalam peristiwa tersebut,atau menunjuk pada status-status dari in-dividu-individu di situ. Segmen inilahyang disebut mytheme (miteme). Jadi se-waktu menganalisis, perhatian harusdiarahkan pada miteme, pada relasi-relasi dan status-status tersebut. Semen-tara itu, tokoh-tokohnya bisa saja meng-alami pergantian (Ahimsa-Putra,2006:102).

Mytheme (miteme) inilah yang me-rupakan konsep Lévi-Strauss yangsangat operasional dan sangat banyakmembantu para peneliti dalam mengung-kapkan relasi-relasi penting antartokohdalam sebuah mitos. Konsep ini merupa-kan implikasi dari strategi Lévi-Straussmenggunakan linguistik struktural, khu-susnya fonologi dari Roman Jakobsonsebagai model analisis mitos. Denganmenganalisis miteme-miteme dan cerite-me-ceriteme pada sebuah mitos dan ke-mudian menghubungkannya dengan mi-tos lain–dengan tema yang berbeda–dandari masyarakat yang berbeda akan di-dapat sebuah pemahaman yang kom-prehensif atas keberadaan mitos tersebut.

Cara seperti ini didasarkan padapandangan bahwa sebuah mitos sebenar-nya tidak mempunyai makna tertentu,kecuali ketika dia ditempatkan dalamhubungannya dengan mitos-mitos yanglain, yang tidak harus berasal dari kebu-dayaan yang sama. Dengan kata lain, da-lam membahas mitos-mitos Lévi-Strausssebenarnya berbicara tentang mitos de-ngan M besar. Logika mitos yang ingindiungkapkannya adalah logika Mitos,yang mencerminkan cara kerja NalarManusia (Ahimsa-Putra, 2006:106).

Hal ini sejalan dengan pendapatLévi-Strauss bahwa kehadiran mitos da-

Page 4: PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS ...

62

lam kehidupan manusia adalah untukmengatasi atau memecahkan berbagaikontradiksi empiris yang tidak terpahamioleh nalar manusia (Ahimsa-Putra,2006:106). Untuk dapat memahami kon-tradiksi tersebut nalar manusia kemudianmemindahkan kontradiksi-kontradiksiini ke tataran simbolis dengan cara sede-mikian rupa sehingga elemen-elemenyang kontradiktif tadi kemudian dapatdiolah (dikemas), menjadi sebuah sistemsimbol yang tertata apik dan rapih.

Melalui sistem simbol semacam ini-lah manusia kemudian memandang, me-nafsirkan, dan memahami realitas empi-ris sehari-hari sehingga yang tampakkontradiktif, amburadul dan tidak terpa-hami kemudian tampak tertata apik danrapih, tidak mengandung kontradiksiataupun hal-hal yang tidak masuk akal.Jadi, melalui mitos manusia pada dasar-nya menciptakan ilusi-ilusi bagi dirinyabahwa segala sesuatu itu logis, masukakal. Pada tataran itulah mitos menjadisemacam model atau tirai nalar yang(sadar atau tidak) ‘menentukan cara me-mandang, memahami dan menafsirkanberbagai peristiwa dalam kehidupansehari-hari, sehingga tidak menimbulkankebingungan dan kecemasan. Namun de-mikian, mitos juga dapat dijadikan mo-del untuk membangun sebuah kehidup-an sosial yang diinginkan, diidam-idam-kan sehingga menjadi sumber inspirasidan semangat untuk mengatasi berbagaikesulitan yang dihadapi.

Jadi, tujuan Lévi-Strauss mengana-lisis berbagai mitos adalah untuk dapatmengungkapkan logika-logika yang adadi balik mitos-mitos tersebut, yang jugamerupakan wujud dari cara bekerjanyanalar manusia (1963). Untuk itu, dibu-tuhkan banyak data mengenai budayadan masyarakat yang diteliti, serta datamengenai lingkungan mereka. Oleh ka-rena itu, hasil akhir yang dicapai bukanhanya berupa ditemukannya logika-logi-ka yang dianggap ada di balik mitos,tetapi juga sebuah pemahaman yang cu-

kup mendalam dan luas atas mitos, buda-ya dan masyarakat yang dibicarakan(Ahimsa-Putra, 2006:380—381).

METODEPenelitian ini merupakan jenis penelitiandeskriptif dengan menggunakan pende-katan induktif-kualitatif. Hasil utama pe-nelitian ini berupa deskripsi tentang sub-jek penelitian yang kemudian akan digu-nakan sebagai dasar untuk membentukhipotesis-hipotesis baru. Penelitian inimenyajikan empat permasalahan gandayang terdapat di dalam satu fenomena,yakni tradisi Sedekah Gunung. Oleh ka-rena itu, desain penelitian disusun dalamrangka mencapai pemahaman kompre-hensif terhadap fenomena mitosSangkuriang seperti dalam bagan seba-gai berikut.

Aspek dokumentasi folklor, fungsifolklor, seleksi folklor potensial, danpola pengembangan pariwisata tersebutmerupakan konsep dasar desainpenelitian ini. Hal ini menjadi konstrukyang dimanifestasikan dalam penelitianempiris sebagai definisi operasional(Koentjaraningrat, 1983:23). Definisioperasional lebih jelas di dalam pembi-caraan tentang deskripsi subjek peneli-tian.

Subjek penelitian ini berupa sastralisan atau tradisi lisan yang saat ini eksisdi daerah dataran tinggi Tangkuban Pe-

Dokumentasifolklor

Gunung Gembel

TradisiSedekah

Fungsi folklor DeskripsiKomprehensif

Tradisi SedekahGunung

Seleksi folklorpotensial

Polapengembangan

pariwisata

Page 5: PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS ...

63

rahu, Jawa Barat. Subjek ini membentuksuatu jaringan institusional sebagai pen-jaga kelangsungan tradisi. Terdapat tigaunsur jaringan, yakni sastra lisan yangberbentuk legenda, kegiatan ritual, danartefak yang sampai saat ini masih dijagakesakralannya (situs-situs yang terkaitdengan mitos Sangkuriang).

Lokasi penelitian ini adalah daerahDataran Tinggi Tangkuban Perahu, JawaBarat. Lokasi ini merupakan lokasi kul-tural sehingga batas secara administratiftidak dapat dilakukan. Teknik samplingyang digunakan ialah purposive sam-pling atau sampling bertujuan. Penelitijuga menggunakan internal sampling,yakni peneliti menentukan informan ber-dasarkan kebutuhan.

Data penelitian ini berupa segala in-formasi, baik verbal maupun nonverbalmengenai tradisi Sedekah Gunung yangberkaitan dengan aspek dokumentasifolklor, fungsi folklor, seleksi folklorpotensial, dan pola pengembangan pari-wisata. Data-data nonverbal diusahakandijadikan data verbal dengan teknik des-kripsi. Sumber data penelitian ini terdiriatas hal-hal sebagai berikut: (a) Informan(lurah, panitia upacara tradisi, ma-syarakat sekitar, dan tokoh adat); (b) Pe-ristiwa dan Tingkah Laku (peristiwa atautingkah laku yang berhubungan dengantradisi Sedekah Gunung, seperti penyiap-an sesaji dan pelaksanaan upacara); (c)dokumen (catatan-catatan atau terbitantentang tradisi Sedekah Gunung, sepertiprosesi upacara, kaset rekaman, dan fo-to-foto); dan, (d) artefak (seperangkatperalatan acara ritual, tempat acara di-laksanakan, dan situs-situs yang terkaitdengan legenda Sangkuriang).

Sesuai dengan jenis dan sumber da-ta, teknik pengumpulan data dilakukandengan cara: (a) wawancara informal(indepth interview) disertai dengan mem-ber check (Nasution, 1992:117); (b) ob-servasi terlibat dan tidak terlibat terha-dap peristiwa dan tingkah laku infor-man/sumber data; (c) kajian dokumen

tertulis (content analysis) ditempuhdengan membaca dokumen dan mencatatdalam displai data hal-hal yang sesuaidengan tema penelitian; (d) kajian doku-men nontertulis (foto, rekaman, dan se-bagainya) dilakukan dengan cara obser-vasi simak; dan (e) observasi artefakdengan cara mengamati artefak yang adaserta memahami fungsinya dalam ritualruwatan.

Validitas data diuji dengan triang-gulasi data, yakni peneliti menggunakanbeberapa sumber data untuk mendapat-kan data sejenis (Sutopo, 1988:31) se-hingga dapat pemahaman lintas datayang komprehensif. Validitas juga diper-kuat dengan cara per de briefing(Nasution, 1992:117). Per de briefing di-tempuh dengan cara mengundang orang-orang yang tidak terlibat dalam peneliti-an untuk memberikan komentar tentanghasil penelitian dalam suatu seminar.Komentar-komentar tersebut kemudiandigunakan untuk menyempurnakan hasilpenelitian.

Model analisis dalam penelitian iniadalah model analisis interaktif (Milesdan Huberman, 1993:20), yakni reduksidata, penyajian data, dan penarikankesimpulan saling berinteraksi selamaproses penelitian; bahkan proses reduksidata sudah ber-langsung pada saatdilakukan pembatas-an dan pemilihansubjek kajian.

Jaringan kausal dalam penelitian inimenyangkut empat hal, yakni aspek do-kumentasi folklor, fungsi folklor, seleksifolklor potensial, dan pola pengembang-an pariwisata. Secara hipotesis, peristiwahistoris sedekahan pada puncak upacaratradisi sedekah gunung berhubungandengan kepercayaan primitif (tolak bala)yang disimbolkan dengan penyerahanseperangkat sesaji. Tradisi ini memilikihubungan kausal dengan keberadaanSangkuriang yang dianggap sebagai se-sepuh pendiri atau pepunden masyarakatTangkuban Perahu yang kemudian sudahdinaturalisasi dalam bentuk kepercayaan

Page 6: PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS ...

64

masyarakat setempat. Dalam fenomenatersebut berperan pula unsur imajinasidan simbolisasi. Sementara unsur fantasijuga dipengaruhi memori tradisi primitif.Jaringan kausal ini bersifat sementaradan akan disempurnakan lagi berda-sarkan temuan-temuan yang ada dilapangan.

HASIL DAN PEMBAHASANMitos SangkuriangMitos Sangkuriang yang disusun dalambentuk sastra lisan diperkirakan telah di-kenal sejak akhir abad ke-15. Hal ini di-dasarkan pada sebuah catatan perjalananPangeran Bujangga Manik, seorangpangeran muda kerajaan Sunda dari Ista-na Pakuan (Bogor sekarang), yang men-jelajahi Pulau Jawa dengan berjalan kakiseorang diri1. Catatan yang tertuang da-lam lembaran lontar ini, sekarang tersim-pan di Perpustakaan Bodleian, Oxford,Inggris2 sejak tahun 1627 M3. Mitos inimenginformasikan pengalaman manusiapurba tentang kebaikan-kejahatan, per-kawinan dan kesuburan, dosa, bencana,asal-muasal, nasib manusia, tingkah lakudan tujuan hidup manusia serta menjadialat pendidikan moral bagi masyarakatpendukung kebudayaan tersebut.

Hasil perbandingan tiga versi mitosSangkuriang dapat dilihat pada lampiran.Berdasarkan perbandingan ketiga mitosdalam lampiran tersebut, maka mitosyang dijadikan dasar dalam kajian iniadalah mitos Sangkuriang versi B. Halini didasarkan pada kelengkapan ceritadan nuansa mitologisnya saya anggapmasih cukup kuat. Kelengkapan ceritadalam mitos Sangkuriang versi B terlihatdengan adanya episode kelahiranDayang Sumbi (DS) dan Sangkuriang(S) sampai dengan akhir episode matinyaatau lenyapnya DS dan S. Adapun nuan-sa mitologis terlihat misalnya, pada ba-gian awal: seekor babi hutanWayungyang bertapa ingin menjadi ma-nusia, DS memohon pada Hyang MahaGaib untuk menggagalkan upaya S, dan

DS berubah menjadi bunga jaksi dan Spun menghilang dengan cara Ngahiyangdi Ujung Berung.

Pelapisan SosialSepintas mitos Sangkuriang tidak mem-perlihatkan kaitan yang jelas dengan sis-tem pelapisan sosial. Akan tetapi, pem-bacaan pada tataran yang lebih dalam te-lah memberikan pemahaman bahwa mi-tos tersebut secara implisit meyampaikanpesan-pesan tentang pelapisan sosial.Hal ini terlihat jelas terutama pada mite-me-miteme: (1) Raja SunggingPerbangkara menemukan bayi perempu-an dan diberi nama Dayang Sumbi atauRarasati; (2) Dayang Sumbi mengasing-kan diri di hutan ditemani anjing jantanbernama Tumang; (3) Dayang Sumbimenikah dengan Tumang dan lahirlahSangkuriang. Butir-butir inilah yang me-nurut hemat saya merupakan miteme-mi-teme penting pelapisan sosial dalamkisah Sangkuriang. Oleh karena itu, ana-lisis dan tafsir yang dibangun tidak lepasdari miteme-miteme tersebut.

Miteme pertama menunjukkan rela-si kekerabatan antara tokoh SunggingPerbangkara dan Dayang Sumbi atauRarasati. Mereka merupakan bapak dananak. Miteme ini sebenarnya sebuah sin-diran atau kritik sosial pujangga terhadapkebiasaan para keturunan raja (bangsa-wan) yang senang berpetualang cinta kedaerah-daerah pedalaman di wilayah ke-kuasaan kerajaan. Hal semacam inilahyang kemudian dimunculkan oleh pe-nyair pantun4 dengan metafora buang airkecil sembarangan. Rakyat kecil digam-barkan sebagai binatang, seperti babi hu-tan Wayungyang. Hal ini diperkuatdengan adanya data sejarah yang menya-takan bahwa Sunda merupakan daerahyang terpengaruhi agama Hindu. Olehkarena itu, keberadaan celengWayungyang dalam mitos tersebut dapatdiartikan sebagai simbol “kembang de-sa” yang hidup di kampung dekat hutan,yang derajatnya rendah (sudra)5. Adapun

Page 7: PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS ...

65

raja yang berburu dan kencing pada ba-tok kelapa itu merupakan simbol pejabatatau kesatria yang memanfaatkan statussosialnya untuk memetik dan menikmatiharumnya “kembang desa” – yang dalambahasa populer disebut gundik atau istrisimpanan. Oleh karena itu, dapat diketa-hui bahwa pada masa itu yang dianggap“manusia” hanyalah kaum brahmana, ke-satria dan waisya, sedangkan kaum sudraadalah simbol manusia yang tidak ber-harga dan dinilai sama dengan binatang,sehingga Sungging Perbangkara yangmewakili kaum kesatria melakukan tin-dakan yang dehumanis. Inilah bentuk ke-sewenang-wenangan manusia (denganstatus sosialnya) yang masih sering terja-di di masayarakat.

Hal ini diperkuat dengan miteme se-belumnya yang menyatakan bahwa babibetina bernama Wayungyang yang se-dang bertapa di hutan karena ingin men-jadi manusia kemudian meminum airseni Raja Sungging Perbangkara yangtertampung dalam tempurung kelapa.Akibatnya, Wayungyang hamil dan me-lahirkan anak perempuan. Anak itu ke-mudian ditemukan Raja SunggingPerbangkara berkat jasa dari si Tumang,anjing pengawalnya yang setia pada saatperburuan berikutnya. Anak perempuanitu kemudian dibawa ke karaton dan di-beri nama Dayang Sumbi atau Rarasati.

Pemaknaan atas kemunculan bebe-rapa tokoh, seperti SunggingPerbangkara, Wayungyang, DayangSumbi, dan Tumang dapat pula dilaku-kan dari aspek linguistik, terutama seca-ra etimologisnya. Berikut ulasannya,Sungging Perbangkara (Bhs. Sun-da)yang secara etimologis terdiri atas duakata, yakni Sungging yang berarti“ukiran” atau ornament, dan Perbang-kara (Prabhangkara) yang akar katanyaadalah Prabha yang artinya cahaya.Tambahan ‘ng digunakan sebagai pe-nanda hormat, “honorifik”. Adapun karaberarti “matahari”. Jadi, maknanya ada-lah “penanda dari kebaikan atau kebena-

ran sebagai cahaya pencerahan bagi yangmenyimaknya”.

Adapun Wayungyang (Bhs. Sunda:w(b)ayeungyang) berarti “perasaan yangtidak tenteram”, “gundah gulana”. Mak-nanya adalah seseorang yang masih ber-ada dalam sifat kehewanan tetapi telahmulai bimbang dan menginginkan men-jadi seorang manusia seutuhnya (berperi-kemanusiaan).

Dayang Sumbi secara etimologisterdiri atas kata, danghyang dan sumbi.Danghyang terdiri atas dua kata, yaknidang berarti penanda hormat, honorifik,dan Yang berasal dari akar kata hyangartinya "gaib". Sumbi berarti: 1) tendokyaitu alat untuk menusuk hidung kerbauagar menurut; 2) bagian ujung terdepandari perahu sebagai penunjuk arah dalamberlayar. Jadi, maknanya adalah petun-juk gaib sebagai kendali manusia dalammenentukan arah dalam melayari kehi-dupannya, atau dapat juga dimaknaisebagai kata hati, nurani yang mendapatpencerahan hidayah Allah Swt. Sementa-ra itu, Rarasati adalah nama lain dariDayang Sumbi. Rarasati secara etimo-logis terdiri atas dua kata, yakni Rarasartinya perasaan yang sangat halus, danati berarti hati, kalbu. Maknanya adalahHati atau kalbu yang penuh dengan ke-halusan budi karena mendapat pancaransinar Ilahi.

Si Tumang secara etimologis dapatberarti. 1) Peti yang tertutup (Bhs. Kawi:Tumang); 2) sumpah (Bhs.Kawi: mang-mang), tu-mang-mang berarti orang yangterkena sumpah karena waswas. Jadi,maknanya adalah karakter seseorangyang selalu asal bersumpah, waswas,akhirnya termakan sumpahnya sendiri,hatinya seperti peti yang tertutup rapattidak mendapat pencerahan.

Miteme ini dimaksudkan sebagaicahaya pencerahan yang dilambangkandengan tokoh Sungging Perbangkara ba-gi manusia yang masih bimbang akankeberadaan dirinya dan berkeinginan un-tuk menemukan jati diri kemanusiaannya

Page 8: PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS ...

66

(Babi Wayungyang). Hasil yang diper-oleh dari pencariannya ini akan melahir-kan kata hati (nurani) sebagai kebenaransejati (Danghyang Sumbi atau Rarasati).Akan tetapi, bila tidak disertai dengankehati-hatian dan kesadaran penuh ataueling (= taropong), dirinya akan dikuasaidan digagahi oleh rasa kebimbanganyang terus-menerus (= digagahi siTumang) dan akan melahirkan ego-egoyang egoistis, yaitu jiwa yang belum ter-cerahkan (= Sangkuriang). Ketika SangNurani termakan lagi oleh kewaswasan(= Danghyang Sumbi memakan hati siTumang), maka hilanglah kesadaranyang hakiki.

Hal ini diperkuat dengan miteme-miteme berikutnya yang mengisahkanDayang Sumbi yang mengasingkan diridi hutan, menikah dengan Tumang danmelahirkan Sangkuriang, serta mitemepembunuhan si Tumang. Ketika DayangSumbi mengetahui bahwa hati yangdimakannya adalah hati si Tumang, ke-marahan dan penyesalannya pun me-muncak. Semua itu kemudian ia lam-piaskan dengan memukul kepalaSangkuriang dengan centhong dan me-ngusirnya. Bekas pukulan inilah yangkemudian menjadi tanda dan sekaligus“jalan hidup” yang menjadi awal dan se-kaligus akhir (paradoks ruang-waktu, ke-abadian).

Untuk lebih memahami tafsir mi-teme di atas, perlu diketahui hal-hal beri-kut. Pertama, istilah Jawa dan Sunda da-lam konteks ini sengaja disatukan selainkarena memang secara geografis wilayahitu tidak terpisahkan, juga karena faktorkesejarahannya. Berdasarkan data seja-rah yang terdapat dalam naskah kunaPustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantaradalam parwa yang kedua (Pustaka Raj-ryawarnana i Bhumi Nusantara) sargaketiga, terutama halaman 119—1276, di-ketahui bahwa dahulu antara Jawa-Sun-da terjalin hubungan yang erat, karenamemang kedua kerajaan besar tersebut

dipimpin oleh raja yang masih bersau-dara.

Naskah itu menyatakan bahwaRaden Wijaya, raja kerajaan Majapahityang pertama merupakan cucu dariPrabhu Guru Dharmasiksa atau PrabhuSanghyang Wisnu, yang juga terkenaldengan nama Sang ParamarthaMahapurusa, yang memerintah kerajaanSunda selama + 122 tahun (1175—1297M). Prabhu Sanghyang Wisnumempunyai beberapa anak, di antaranyaadalah Rakryan Jayagiri atau RakryanJayadharma dan Rakryan Saunggalahatau Sang Prabhu Ragasuci. Oleh RajaSinghasari yang berkuasa pada saat itu,Prabhu Wisnuwardhana RakryanJayadharma dikawinkan dengan kepona-kannya yang bernama Dewi Singhamurtiatau Dyah Lembu Tal, anak MahisaCampaka. Dari perkawinan itulah lahiranak laki-laki, Sang NararyaSanggramawijaya atau Raden Wijaya,yang kemudian dikenal sebagai pendirikerajaan Wilwatikta atau Majapahit,yang kemudian menurunkan raja-raja diDemak dan Mataram (Jawa).

Dalam naskah itu juga disebutkanbahwa Raden Wijaya dinasihati oleh ka-keknya, Sanghyang Wisnu agar jangansampai mempunyai niat untuk menye-rang—apalagi menaklukkan—kerajaanSunda karena sebenarnya kedua keluargaraja itu masih tunggal saudara. Selainitu, sang kakek juga sangat meng-harapkan agar kedua cucu ahli warisnyamenjalin persaudaraan yang lebih akrabdan erat. Majapahit dan Sunda sepantas-nya saling bantu dan saling tolong.

Nasihat ini senantiasa diingat olehRaden Wijaya, anak dan cucunya. Itulahsebabnya selama pemerintahan Wijaya,Jayanagara dan Tribhuwanatunggadewi(selama + 64 tahun) tidak pernah terjadiperselisihan di antara kedua negara itu.Kedua negara benar-benar hidup dalamsuasana persaudaraan, tidak pernah ber-sengketa. Suasana itu barulah kemudianrusak karena ulah Gajahmada yang ru-

Page 9: PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS ...

67

panya memang tidak menyukai suasanarukun dan damai di antara kedua negara.Puncak sengketa itu terjadi pada tahun1357, dalam peristiwa yang dikenal se-bagai Pasundabubat.

Bagian lain dari naskah itu juga me-jelaskan bahwa Raja Tarumanagarayang terakhir, Sri MaharajaLinggawarman AtmahariwangsaPanunggalan Tirthabumi (666—669),menikah dengan Dewi Ganggasari, anakraja daerah Indraprahasta dan mempu-nyai anak perempuan bernama DewiManasih. Dewi Manasih inilah yang ke-mudian diperistri oleh Tarusbawa, rajadaerah Sunda. Anak Tarusbawa yangbernama Rakryan Sundasambawa me-ninggal ketika Tarusbawa masih ber-kuasa, dan meninggalkan anakperempuan yang bernama NaySekarkancana atau DewiTejakancanahayu Purnawangi. Gadisinilah yang kemudian diperistri olehRahyang Sanjaya dari Galuh.

Rahyang Sanjaya yang bergelarKsatrabhimaparakrama YudhenipunaBratasenawaputra, mula-mula memerin-tah di Galuh (Sunda) selama sembilantahun (+ 723—732). Ia mempunyai duaorang istri, yaitu Dewi Sekarkancanayang bergelar Dewi TejakancanahayuPurnawangi, cucu Maharaja Tarusbawadari kerajaan Sunda, dan DewiSudhiwara dari keluarga raja Keling.Dari istri pertama, ia menurunkanRahyang Tamperan yang kemudianmenjadi penerus Sanjaya di kerajaanSunda (+ 732—739), kemudian ia men-jadi maharaja di Mataram (+ 732—754).Adapun dari istri kedua ia menurunkanDyah Sangkara atau Rakai PanangkaranSri Maharaja TejahpurnapanaPanangkara, yang memerintah Mataramselama sekitar 28 tahun (+ 754—782).Panangkaran pun memiliki dua istri,yaitu Dewi Taraprathama yang berasaldari keluarga Sailendra danSatyadarmika yang berasal dari keluargaKeling di Jawa Timur. Dari perkawinan

dengan istri pertama, mulailah terjadihubungan antara keluarga Sanjaya danSailendra yang “berbagi daerah kuasa”di Jawa Tengah. Pembagian ini terjadikarena Panangkaran mempunyai anakdari kedua istrinya itu7.

Berdasarkan faktor-faktor keseja-rahan tersebut, penulis berpendapat bah-wa hal itulah yang menjadi salah satu se-bab yang mendasari kesamaan-kesamaankonsepsi tentang penikahan ideal antaramasyarakat Jawa dan Sunda8. Oleh ka-rena itu, dalam pembicaraan pernikahanideal selanjutnya istilah Jawa dan Sundatidak lagi dipisahkan.

Kedua, dalam hal pernikahan ideal,masyarakat Jawa sangat menekankan pa-da jodoh yang harus dihindari. Akan te-tapi, tidak berarti bahwa masyarakatJawa tidak mengenal jodoh yang ideal.Berkenaan dengan hal ini, jodoh yangharus dihindari (disiriki) adalah perni-kahan antara ibu dan anak atau duaorang saudara kandung atau dua oranganggota dari sebuah keluarga inti. Per-nikahan semacam ini diyakini akan men-datangkan hukuman supernatural. Inimenunjukkan bahwa orang Jawa menge-nal larangan incest (perkawinan sum-bang)9.

Selain itu, pernikahan yang juga di-anggap akan mendatangkan hukumansupernatural adalah: (a) pernikahan an-tarkerabat, tetapi suami berasal dari ge-nerasi yang lebih muda daripada gene-rasi calon istrinya; pernikahan antarapancer wali10; (b) pernikahan denganadik istri yang meninggal, dan padaumumnya semua pernikahan dengan ke-rabat suami atau istri yang telah mening-gal; dan (c) pernikahan antara orang-orang yang tidak cocok wetonnya11.Meskipun demikian, tiga pernikahan ter-akhir ini masih bisa dimungkinkan terja-di atau diperbolehkan, asal sebelumnyadiadakan slametan terlebih dahulu untukmelindungi kedua pengantin dari huku-man supernatural. Dengan kata lain, lara-ngan incest yang tidak dapat dilanggar

Page 10: PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS ...

68

sama sekali adalah pernikahan dengankerabat dalam satu keluarga inti12.

Sebenarnya orang Jawa juga me-ngenal jodoh yang ideal atau orang yangsebaiknya dijadikan pasangan hidup.Akan tetapi, pandangan semacam inibiasanya lebih banyak dilakukan olehgolongan priyayi dan dikenakan ter-utama terhadap wanita. Pandangan me-ngenai hal ini misalnya terdapat dalamSerat Nitimani, yang menyatakan bahwadalam perjodohan perlu memperhatikanbobot, bebet dan bibit13. Bobot adalahderajat kebangsawanan atau keturunanbangsawan atau bukan; bebet adalah ke-kayaan calon pengantin; bibit adalah ke-cantikan dan kesehatan calon pengantin.Berdasarkan Serat Nitimani yang perlumemperhatikan kualitas calonpasangannya adalah pihak pria, karenadalam pandangan Jawa pihak prialahyang berhak memilih wanita.

Meskipun demikian bukan berartibahwa wanita Jawa pasrah begitu sajadengan jodoh yang menghampirinya.Karena itulah muncul istilah bahwa ”la-nang wenang milih, wadhon wenang no-lak” yang artinya ”laki-laki berhak me-milih, perempuan berhak menolak”.

Berkembangnya konsep 3B di atasmemunculkan sebuah paradigma barubahwa jodoh itu akan selalu ”seimbang”baik dari segi bibit, bebet maupun bobot-nya. Karena itulah, untuk mendapatkanjodoh yang ideal, biasanya para perem-puan Jawa klasik akan berupaya untuk“meningkatkan kualitas keperempuanan-nya” dengan bercermin pada tokoh-to-koh perempuan dalam wayang sepertiDewi Srikandi, Dewi Sembadra, DewiUlupi, Ratna Gandawati dan DewiManohara. Tokoh-tokoh tersebut diang-gap sebagai perempuan yang memilikikecantikan lahir batin, kecenderunganpembelaan kepada kebenaran dan ke-adilan, kesetiaan dalam mendampingisuami, dan lain-lain. Kisah-kisah sema-cam ini terdapat dalam Serat Candrarini.Selain itu, ada juga beberapa kitab yang

isinya tentang peningkatan kualitas ke-perempuanan Jawa, di antaranya adalahSerat Wulang Putri karya Paku BuwonoIX dan Serat Yadnyasusila yang menga-jarkan tiga sifat perempuan sebagai raturumah tangga yang baik, yakni merakati, gemati, lan luluh. Yang dimaksud-kan dengan merak ati adalah pandaimenjaga kecantikan lahir batin, bertutursapa dengan santun, pandai mengatur pa-kaian yang pantas, murah senyum, luwesgerak-geriknya, dan lumampah anut wi-rama ’bertindak sesuai irama’. Gematiartinya menyelenggarakan kewajiban se-bagai istri dengan sebaik-baiknya. Seba-gai istri, wanita harus menjadi perawatrumah tangga dengan mengatur keuang-an sebaik-baiknya. Ia bertugas mendidikanak dengan naluri keibuannya yang ter-asah. Luluh. 14

Mengenai pernikahan dalam masya-rakat Jawa, data dari beberapa penelitianantropologi menunjukkan adanya duapola yang berbeda yang berhubungandengan kelas sosial, yakni: priyayi danwong cilik15. Pada golongan priyayi ini-lah, biasanya banyak terjadi perkawinanantarindividu yang masih ada hubungankekerabatan dengan berbagai alasan. Fe-nomena ini terjadi karena suku Jawaagaknya merupakan salah satu suku yangmerasa perlu untuk membentu organisasisanak atau familiebonden (bahasa Belan-da). Mereka yang tergabung dalam orga-nisasi familiebonden atau sekarang dise-but dengan keluarga besar, menamakandiri mereka trah, keturunan seorang mo-yang tertentu. Pada saat acara sadranan,mereka berkumpul di makam moyang.Pertemuan keluarga besar setahun sekaliini dianggap penting oleh karena bisamemelihara kesadaran bahwa para ang-gota yang hadir ialah keturunan dari mo-yang yang sama, yang mereka hormati.Karena adanya trah tersebut, orang se-tidak-tidaknya menjadi tahu anggota sa-nak-sanaknya yang tersebar di seluruhIndonesia, bahkan mungkin juga di selu-ruh dunia.

Page 11: PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS ...

69

Tidak jarang terjadi dulu, bila dimakam moyang, seorang pemuda berte-mu dengan jodohnya. karena pada hariyang sama, seorang pemudi datang jugaberziarah. Terjadilah hubungan keke-luargaan baru. Sesuatu yang dulu sangatdiidamkan, tetapi kini tidak begitu dimi-nati lagi. Sebab perkawinan antaranggotakeluarga kini tidak seberapa tenar lagi.Dengan kata lain, orang Jawa lebih se-nang kalau mereka menikah denganorang-orang yang tidak ada hubungankekerabatan sama sekali, sebab denganbegitu pertalian kekerabatan, pertaliansosial, yang dimiliki akan dapat lebihbanyak. Sementara itu, kalau merekamenikah dengan kerabat dekat, tidakakan tercipta relasi-relasi kekerabatanbaru. Dilihat dari sudut pandang ini, ma-ka pernikahan tersebut menjadi tidakproduktif, tidak membuat orang menjadi“lebih kaya kerabat”, padahal “sugih sa-nak kadang”, kaya saudara atau kerabatlebih penting bagi orang Jawa daripadakaya harta16.

Selain itu, orang juga semakin sadarbahwa mengawini seorang saudara se-pupu misalnya, dapat berarti juga mewa-risi dan melestarikan penyakit yang di-idap oleh saudara sepupu itu dalam garisketurunan keluarga. Orang sekarang le-bih suka memilih orang yang sama seka-li tidak ada hubungannya dengan keluar-ga sebagai pasangan hidupnya. Selaincara berpikir yang sudah lebih rasional,ruang geraknya pun sudah tidak lagi di-batasi desa atau kota kelahirannya.Dengan kata lain, batasan sanak kini ti-dak lagi relevan bagi mereka. Merekaberkeyakinan bahwa kehidupan bahagiajuga dapat dibangun dengan seorang pa-sangan yang bukan berasal dari sanak17.Itulah sebabnya perkawinan dalam ke-luarga kini merupakan sesuatu yang didalam masyarakat Jawa sudah mulai di-tinggalkan. Gadis-gadis Jawa sudah be-rani kawin dengan seorang yang berasaldari luar suku bahkan juga di luar bang-sanya. Berdasarkan contoh-contoh per-

kawinan antaranggota keluarga, merekamenjadi tahu bahwa perkawinan demi-kian lebih banyak merepotkan daripadamenyenangkan. Soalnya, setiap perka-winan selalu berkemungkinan gagal. Se-lagi kegagalan dalam perkawinan antaradua orang yang tidak mempunyai hu-bungan kekeluargaan, hal tersebut tidakmembawa dampak apa-apa, karena ke-luarga sang suami dan keluarga sang istribesar kemungkinan hanya merenggangdalam hubungan satu sama lain. Sebalik-nya, kegagalan di dalam perkawinan an-taranggota keluarga akan membawadampak akibat yang panjang karena se-sudah terjadinya kegagalan, mantan sua-mi dan mantan istri masih tetap mem-punyai hubungan sanak satu samalainnya, meskipun hubungan antarke-luarga masing-masing tidak lagi dapatberjalan secara wajar. Masing-masingmau tidak mau harus bertenggang rasadan mungkin juga akan berusaha untuksaling menyingkiri dan mungkin hal inimerupakan sesuatu yang sukar bisa di-laksanakan. Mengingat kenyataan bahwabukan saja Indonesia, bahkan dunia puntelah menjadi terlalu kecil untuk me-mungkinkan saling menyingkiri, karenasuatu saat mereka akan saling berjumpajuga.

Fakta-fakta etnografis dan historisdi atas menunjukkan bahwa dalam ma-syarakat Jawa dikenal larangan incest.Pada sisi yang lain fakta-fakta tersebutjuga menunjukkan pola sosial-budayatertentu yang muncul karena adanya atu-ran pernikahan eksogami terbuka, yangtidak menentukan kategori sosial tertentusebagai jodoh yang sebaiknya diambil.Dalam hal pernikahan, orang Jawa lebihmenekankan pada orang-orang yang ti-dak boleh dinikahi. Hal ini sejajardengan miteme penolakan DayangSumbi atas lamaran Sangkuriang.

Miteme-miteme tersebut dapat jugaditafsirkan sebagai wujud larangan in-cest dan eksogami terbuka sekaligus. Di-tafsirkan sebagai larangan incest karena

Page 12: PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS ...

70

rencana pernikahan di antara keduanyadapat dibatalkan. Ditafsirkan sebagaiwujud eksogami terbuka karena denganpenolakan tersebut seolah-olah kemu-dian mereka diizinkan atau disarankanmencari jodoh yang lain. Di sini,Sangkuriang seakan menjadi bebas me-nikah dengan siapa saja.

SIMPULANBerdasarkan uraian di atas dapat disim-pulkan sebagai berikut. Pertama, mitosSangkuriang diturunkan secara lisan se-hingga sangat mungkin terjadi perbeda-an-perbedaan cerita. Kedua, mitosSangkuriang adalah mitos larangan in-cest, yakni perkawinan antara ibu dananak kandung. Ketiga, yang mendasarikesamaan-kesamaan konsepsi tentangpernikahan ideal antara masyarakat Jawadan Sunda adalah faktor-faktor keseja-rahannya. Keempat, mitos Sangkuriangsebenarnya sebuah sindiran atau kritiksosial pujangga terhadap kebiasaan paraketurunan raja (bangsawan) yang senangberpetualang cinta ke daerah-daerah pe-dalaman di sekitar wilayah kekuasaankerajaan.

1 lih. Ferbianty, Gunung Tangkuban Perahudan Prospeknya Sebagai Daerah TujuanWisata, (Bandung: 2007), 1.

2 lih. Chambert-Loir, Henri.& OmanFathurahman, World Guide To IndonesianManuscript Collection, (Jakarta: YayasanObor, 1999), 188

3 Berdasarkan keterangan Noorduyn 1985diketahui naskah lontar ini berbahasa SundaKuna yang dihadiahkan oleh Andrew Jamespada tahun 1627M. Naskah tersebutdiperikan dalam Ricklef & Voorhoeve 1977:181 dan Ekadjati (ed.) 1988: 425. Gallop &Arps 1991: 74 mengandung pemerianterperinci dan foto dari 1 naskah.

4 Penggunaan istilah pujangga atau penyairpantun karena mitos Sangkuriang awalnyamemang disajikan dalam bentuk lisan, yaknidisajikan dalam 125 cerita pantun yangmemikat. Selain itu, carita pantun ialah suatubentuk sastra lisan yang diakui sebagai milikasli orang Sunda (lih. H. Hasan Mustapa,1978: 249 dan Ayatrohaedi, 1980: 145).

5 Dalam kepercayaan Hindu dikenal adanyapembagian kasta yang terdiri atas brahmana,ksatria, waisya dan sudra.

6 lih. Ayatrohaedi, Sundakala: CuplikanSejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah“Panitia Wangsakerta” Cirebon, (Jakarta:Pustaka Jaya, 2005),124 –127.

7 lih. Ayatrohaedi, Op. Cit, 115 –123.8 Untuk selanjutnya istilah Jawa dan Sunda,

penulis ganti dengan istilah “Jawa” karenamerujuk pada kesamaan geografis,kesejarahan dan budayanya.

9 lih. Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa,(Jakarta: Balai Pustaka, 1994).

10 Pancer Wali (Bhs. Jawa) artinya saudarasepupu sejajar dari pihak ayah.

11 Weton (Bhs. Jawa) adalah hari lahirseseorang menurut perhitungan penanggalanJawa. Hari lahir ini merupakan kombinasihari-hari Islam yang berjumlah 7 (Ahadsampai dengan Sabtu), dengan hari-hari Jawayang berjumlah 5 (Kliwon, Legi, Pahing,Pon, Wage). Weton ini misalnya, Senin-Kliwon, Selasa-Legi, Rabu-Pahing, Kamis-Pon, Jumat-Wage, dan seterusnya.

12 lih. Koentjaraningrat, Op. Cit, 12513 lih. Kartodirdjo, Perkembangan Peradaban

Priyayi, (Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press, 1987), 83.

14 lih. Hariwijaya, Seks Jawa Klasik,(Yogyakarta: Niagara, 2004), 68.

15 lih. Palmier dalam Ahimsa-Putra, Op. Cit.410

16 lih. Ahimsa-Putra, Op. Cit., 41417 lih. Hardjowirogo, Manusia Jawa, (Jakarta:

Haji Masagung, 1989), 69—70

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Struk-turalisme Lévi-Strauss: Mitos danKarya Sastra. Yogyakarta: KepelPress.

Al-Bustomi, Ahmad Gibson. 2005.“Mengembara BersamaSangkuriang” dalam Pikiran Rak-yat. Bandung. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/.../lainnya01.htmdiunduh pada 12 Juli 2008 pukul21:00 WIB.

Ali, Fachri. 1986. Refleksi Paham Ke-kuasaan Jawa dalam IndonesiaModern. Jakarta: Gramedia.

Page 13: PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS ...

71

Ayatrohaedi. 1980. ”Tradisi SastraSunda Buhun” dalam Yang Tersiratdan Tersurat. Jakarta: FakultasSastra Universitas Indonesia.

______. 2005. Sundakala: Cuplikan Se-jarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cire-bon. Jakarta: Pustaka Jaya.

Campbell, Joseph. 1988. The Power ofMyth: with Bill Moyer. New York:Doubleday.

Chambert-Loir, Henri & OmanFathurahman. 1999. World GuideTo Indonesian ManuscriptCollections. Jakarta: Yayasan OborIndonesia.

Danandjaja, James. 1994. Folklor Indo-nesia: Ilmu Gosip, Dongeng, danlain-lain. Jakarta: Grafiti.

Elliade, Mircea. 1987. “Ritual, Ceremo-nial, Sacrifice, and Purification” inThe Encyclopedia of Religion. NewYork: MacMillan.

Ferbianty, Dieny. 2007. Gunung Tang-kuban Perahu dan Prospeknya Se-bagai Daerah Tujuan Wisata.Bandung: -.

Graves, Robert. (ed.). 1986. Encyclo-pedia of Mythology. London: Ham-lyn Publishing.

Hardjowirogo. Marbangun. 1989. Manu-sia Jawa. Jakarta: Hasi Masagung,

Hariwijaya. 2004. Seks Jawa Klasik.Yogyakarta: Niagara.

Hutomo. 1991. Mutiara Yang Terlupa-kan: Pengantar Studi Sastra Lisan.Surabaya: Komisariat HISKI JawaTimur.

Kartodirdjo, S., et al. 1987. Perkem-bangan Peradaban Priyayi. Yogya-karta: Gadjah Mada UniversityPress.

Koentjaraningrat. 1983. Pengantar IlmuAntropologi. Jakarta: Aksara Baru.

______.1994. Kebudayaan Jawa. Jakar-ta: Balai Pustaka.

Laksono, P.M.. 1985. Tradisi dalamStruktur Masyarakat Jawa: Keraja-an dan Pedesaan. Yogyakarta: Ga-djah Mada University Press.

Marbangun Hardjowirogo. 1989. Manu-sia Jawa. Jakarta: Haji Masagung.

Miles, Matthew B. dan Huberman, A.Michael. 1993. Qualitative DataAnalysis (Analisis Data Kualitatif)Terjemahan Tjetjep RohendiRohidi. Jakarta: UI-Press

Nasution. 1992. Metode Penelitian Natu-ralistik Kualitatif. Bandung: Tarsito

Sutopo, Heribertus. 1988. Pengantar Pe-nelitian Kualitatif: Dasar-dasarTeoretis dan Praktis. Surakarta: Pu-sat Penelitian Universitas SebelasMaret.

Sahidin, Ahmad. 2007. “Di Balik MitosSangkuriang” dalamhttp://hauzah.wordpress.com/2007/09/05/dibalik-mitos-sangkuriang/ diunduh pada tanggal12 Juli 2008 pukul 21:15 WIB.

Sykes, Egerton. 1952. Dictionary of NonClassical Mythology. London: JMDent & Son.

Zeffry. 1999. Manusia: Mitos dan Mito-logi. Jakarta: Fakultas Sastra UI –Depok.

Page 14: PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS ...

72

Lampiran:

A B CRaja gemar berburu ditemani anjingyang bernama Tumang

Raja Sungging Perbangkara (SP)berburu di tengah hutan

Raja berburu di hutan

Raja berburu rusa Raja SP kencing di tempurungkelapa

Raja kencing pada tempurungkelapa

Binatang seakan ’lenyap’ Babi hutan perempuan:Wayungyang (WY) bertapa inginjadi manusiaWY minum air kencing Raja SP Air kencing diminum celeng betina:

Wayungyang (WY)Tumang (T)menyalak →menemukan bayi perempuan

WY hamil dan melahirkan bayiperempuan cantik

Celeng hamil dan melahirkan bayiperempuan: Dayang Sumbi (DS)DS bertanya siapa Bapaknya

Prabu senang karena belumdikaruniai putra → bayi diberinama Dayang Sumbi (DS)

Bayi perempuan dibawa ke keratondiberi nama Dayang Sumbi (DS)atau Rarasati

WY membawa DS ke kerajaan danmenunjukkan bahwa raja itubapaknyaRaja mengakui DS sebagai anaknya

DS cantik sehingga banyak rajayang ingin melamar

DS dididik menjadi seorang puteri

Tidak ada satupun lamaran yangditerimaDS mengasingkan diri di hutanditemani anjing bernama Tumang(T)

DS rindu ibunya → pergi ke hutanWY tidak ditemukan

DS memilih tinggal di hutanDS asyik menenun → torak jatuh DS senang menenun → teropong /

torak jatuhDS berjanji bahwa siapa pun yangdapat menolongnya jika laki-lakidijadikan suami jika perempuandijadikan saudara

DS bernadzar bahwa siapa punyang dapat menolongnya jika laki-laki dijadikan suami jikaperempuan dijadikan saudaraAnjing bernama: Tumang (T)dengar nadzar DS

DS yang cantik dipersuntingseorang pria

T mengambil torak → jadi suamiDS

T mengambil torak →menyerahkan pada DS → T jadisuami DS

DS melahirkan Sangkuriang (S) DS melahirkan Sangkuriang (S) DS melahirkan Sangkuriang (S)S gemar berburuDS tidak berumur panjang

DS minta S membawa hatimenjangan

S berburu ditemani T → ’tidakberhasil’

S berburu di hutan ditemani T S berburu dengan T

S sudah berjanji pada ibu untukmembawa hati rusa

S tidak dapat menemukanmenjanganS melihat celeng dari arah Timur

S menyuruh T berburu babi hutanWayungyang (WY)

S menyuruh T mengejar celeng

S membunuh T → mengambilhatinya

T tidak mau → dibunuh → diambilhatinya

T tidak mau → dibunuh dengantombak→ diambil hatinya

Hati T diserahkan pada ibunya Hati T diserahkan pada DS Hati T diserahkan pada DSHati T dimasak dan dimakan Hati T dimasak dan dimakan

DS akhirnya tahu itu: hatinya T DS akhirnya tahu itu: hatinya T DS bertanya tentang T pada SS menjawab dengan jujur

DS murka → memukul kepala Sdengan centhong nasi hingga luka

DS marah → kepala S dipukulcenthong hingga luka

DS marah → kepala S dipukulgayung hingga luka

S pergi meninggalkan kerajaan S diusir dari rumah S pergi dari rumahDS menyesal → mohon pada SangHyang Tunggal agar dipertemukankembali

DS menyesal → mohon pada SangHyang Widi agar S dikembalikan

Permohonan dikabulkan dan DSdikaruniai awet muda

Page 15: PELAPISAN SOSIAL DAN PERNIKAHAN IDEAL DALAM MITOS ...

73

S mengembara → pemuda gagahdan sakti

S mengembara ke Timur

S mengalahkan Siluman GuriangTujuh (GT)Tanpa sadar S kembali ke kerajaanasalS bertemu DS → jatuh hati Tanpa sadar S sampai ke Barat lagi

→ di tempat DSS datang pada DS

S dan DS tidak tahu kalau merekaibu dan anak

S tidak kenali DS → saling jatuhcinta

S jatuh hati pada DS

DS benahi ikat kepala S dan tahuada bekas luka dikepalaDS akhirnya tahu S adalah anaknya DS akhirnya tahu S anaknya dari

bekas luka di kepalanyaDS lihat bekas luka di kepala S

DS berusaha menggagalkanpernikahan

S tetap memaksa menikahi DS DS menjelaskan bahwa S adalahanaknyaS membantahnya

DS mengajukan syarat: perahu dantelaga sampai sebelum fajar

DS minta S membuatkan perahudan telaga dalam satu malam

DS mengajukan syarat: perahu dandanau dalam satu malam

Syarat DS diterima SS dan GT dibantu para silumankerjakan perahu dan telaga

S membuat perahu dari pohon yangtumbuh di Timur

S dibantu jin dan siluman kerjakansyarat tersebut

Kayu untuk perahu dan tanggul dariGunung Bukit Tanggul

Pokok/tunggul pohon jadi GunungBukit Tunggul

Ranting dan daun ditumpuk diGunung Burangrang

Ranting ditumpuk di sebelah Baratmenjadi Gunung Burangrang

DS mohon pada Sang HyangTunggal untuk menggagalkan S

DS mohon pada Hyang Maha Gaibuntuk menggagalkan S

Permohonan dikabulkan DS menebar irisan Boeh Rarang DS menyuruh seluruh penduduktumbuk padi dan kibarkan BoehRarang

Ayam berkokok sebelum fajar Fajar pun terbit Ayam berkokok → pertanda pagiDS mendatangi S → mengatakanbahwa ia gagal menjadi suaminya

S tahu gagal → murka S marah S kesal → DS menggagalkanusahanya

Bendungan di Sanghyang TikorodijebolSumbatan dilempar ke Timur jadiGunung ManglayangAir telaga Surut

S menendang perahu → telungkup→ menjadi Gunung TangkubanPerahu

Perahu ditendang ke Utara menjadiGunung Tangkuban Perahu

S menendang perahu → telungkup→ menjadi Gunung TangkubanPerahu

Sungai Citarum dibendung menjadiDanau Bandung

S mengejar DS ke Gunung Putri

DS menjadi bunga jaksiS hilang (Ngahiyang) di UjungBerung