Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi...

201
PSEUDO-HIERARKI ILMU Studi atas Pemikiran Klasifikasi Ilmu Ibn Sab‘i>n Tesis Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister pada Program Pengkajian Islam dalam Bidang Pemikiran Islam Oleh: Puad Hasan NIM: 11.2.00.0.02.01.0124 Pembimbing: Prof. Dr. Zainun Kamal, MA SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M. / 1436 H.

Transcript of Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi...

Page 1: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

PSEUDO-HIERARKI ILMU

Studi atas Pemikiran Klasifikasi Ilmu Ibn Sab‘i>n

Tesis

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,

sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister pada Program Pengkajian Islam dalam Bidang Pemikiran Islam

Oleh:

Puad Hasan NIM: 11.2.00.0.02.01.0124

Pembimbing: Prof. Dr. Zainun Kamal, MA

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2014 M. / 1436 H.

Page 2: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of
Page 3: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

v

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT., yang telah menganugerahkan nikmat berupa kasih sayang dan kemurahan-Nya sehingga dapat diselesaikan sebuah karya tulis dengan judul: “Pseudo-Hierarki Ilmu: Studi atas Pemikiran Klasifikasi Ilmu Ibn Sab‘i>n”. Shalawat dan salam semoga terus tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., keluarga, sahabat dan seluruh umatnya.

Karya ini merupakan hasil penelitian sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister pada Program Pengkajian Islam dalam bidang Pemikiran Islam di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan sebagai sebuah karya ilmiah, terlebih tanpa ada bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan rasa hormat penulis berterima kasih kepada: 1. Direktur Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, deputi, dan seluruh staf SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kemudahan dalam penyelenggaraan akademis dan administratif.

2. Prof. Dr. Zainun Kamal, MA, sebagai pembimbing tesis, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan nasihat dengan sangat sabar dalam penyusunan tesis ini sampai dengan selesai.

3. Para dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuannya pada waktu mengikuti perkuliahan di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Kedua orang tua dan kakak-kakak yang sangat dibanggakan dan dicintai, yang telah memberikan dukungan yang sangat besar, mudah-mudahan selalu dalam lindungan Allah SWT.

5. Seluruh teman seperjuangan di UIN Syarif Hidayatullah, yang telah menyisihkan waktu untuk senantiasa melakukan diskusi dan tukar pikiran.

6. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan, yang telah secara langsung maupun tidak langsung membantu penyelesaian karya ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga segala bantuan yang diberikan semua pihak diterima dan diridhai oleh Allah sebagai amal baik.

Bogor, Desember 2014

Puad Hasan

Page 4: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of
Page 5: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

xiii

ABSTRAK

Dengan mengkaji gagasan filosofis dari klasifikasi ilmu yang disusun Ibn Sab‘i>n, tesis ini membuktikan bahwa semakin inklusif konsepsi wujud (ontologis), maka semakin integral berbagai ilmu pengetahuan (epistemologis).

Penelitian ini memperkuat pendapat: (1) Osman Bakar dalam karyanya, Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science (1998), bahwa setiap pengetahuan berasal dari sumber yang sama, serta membentuk gagasan konseptual tentang kesatuan pengetahuan. (2) Fazlur Rahman dalam karyanya Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1984), bahwa sejatinya, dalam tradisi intelektual Islam tidak ada klasifikasi, atau dikotomi dalam ilmu pengetahuan. Adanya klasifikasi tersebut bukan dimaksudkan untuk memisahkan satu bidang ilmu dengan lainnya, atau malah mempertentangkannya, tetapi lebih merupakan sebuah keniscayaan filosofis dan tanggung jawab intelektual umat Islam dalam mengawal tradisi ilmiah. (3) Sayyed Hossein Nasr, dalam karyanya Islamic Science: An Illustrated Study (1976), bahwa konsepsi pengetahuan dalam Islam didasarkan atas dua prinsip, kesatuan dan hierarki. Artinya, klasifikasi ilmu dalam Islam sejatinya didasarkan pada visi hierarkis dan kesalingterkaitan antar disiplin ilmu yang memungkinkan terealisasinya ketunggalan dalam kemajemukan.

Sebaliknya, penelitian ini berbeda dengan pendapat: (1) Paul L. Heck dalam tulisannya The Hierarchy of Knowledge in Islamic Civilization (2002), bahwa klasifikasi ilmu dalam Islam bukan lahir dari kerangka berbasis intelektual (intellect-based), tetapi lahir dari kerangka epistemologis yang bertumpu pada bahasa sebagai nilai sosial kenegaraan (state-based). (2) Godefroid De Callataÿ dalam tulisannya The Classification of the Sciences According to Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ (2003), bahwa wacana klasifikasi ilmu dalam Islam selalu mengarah secara dikotomik kepada ilmu keagamaan dan ilmu rasional (Greek sciences).

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode library research dan pendekatan filosofis (philosophical approach), oleh karenanya, penelitian ini bersifat filosofis-hermeneutis. Objeknya adalah pemikiran filosofis tokoh Ibn Sab‘i>n, dengan fokus kajian pada konstruk dan paradigma klasifikasi ilmu yang digagasnya. Sumber primer penelitian ini adalah karya Ibn Sab‘i>n, yakni Budd al-‘A<rif yang terdapat pembahasan tentang klasifikasi ilmu, juga Rasa>’il-nya yang memuat pemikiran-pemikiran filosofisnya. Sedangkan data sekunder mencakup rujukan lain yang berkaitan dengan klasifikasi ilmu dalam Islam dan pemikiran Ibn Sab‘i>n.

Tesis ini bertujuan mengeksplorasi konstruk dan paradigma klasifikasi ilmu yang digagas oleh Ibn Sab‘i>n, dengan melihat basis ontologisnya yang berakar pada doktrin al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak). Penelitian ini membuktikan bahwa konsep Kesatuan Mutlak yang menjadi basis ontologis klasifikasi ilmu, merupakan pijakan filosofis yang sah bagi gagasan integrasi keilmuan. Secara konseptual, pandangan tersebut akan melahirkan klasifikasi atau hierarki ilmu yang sejatinya bersifat “metaforis”, namun memiliki konstruk yang holistik (pseudo-hierarki ilmu).

Page 6: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

xiv

ملخص البحث

أنه هذه الدراسة، تنتج ىف أقسام العلوم الّىت صنفها ابن سبعني األفكار الفلسفيةوالبحث عن بإلستعراضالعلوم ال يتجزأ وأحق إتحادا جمموعة متنوعة من ، ف )أنتولوجي(أكثر مشوال للموجودات فهوم الوجوديامل كلّما كان

) .إبستمولوجي( Classification of Knowledge in“ يف كتابه ، بكر عثمان) ١( :األرآء يعزز هذه الدراسة

Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science” )من مستمدةالعلوم كلّها أنّ ، )١٩٩٨ Islam and“يف كتابه ، فضل الرمحن ) ٢( . العلوم لوحدة، وتصري ا الفكرة املفهومية مصدر واحد متساو

Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition” )يف تراث ، يف احلقيقة ، أنّ )١٩٨٤ Islamic"ىف كتابه ،سيد حسني نصر )٣( . يف جمال العلوم االنفصامي التنويعالتراتب و الفكر اإلسالمي ال يوجد

Science: An Illustrated Study" )ة ىف اإلسالم تقوم على مبدأين ،) ١٩٧٦الوحدة ،أنّ املفهوم املعرفيتصنيف العلوم ىف اإلسالم يستند على الرؤية التراتبية والعالقات املتبادلة بني ،أنّ ىف احلقيقة , هذا هو . والتراتب

.العلوم الّيت متكن حتقيق الوحدة ىف التوع The Hierarchy of“كتابته يف هيك ، .فول ل )١( :أرآء من هذه الدراسة خيتلف بل ،املقا يف

Knowledge in Islamic Civilization” )ة العلوم أن حبث أقسام ، )٢٠٠٢مل يولد من يف احلضارة اإلسالمي القيمة اإلجتماعية حسبمااملستند باللّغة املعريف اإلطار ولد منلكن ، )intellect-based(إطار مستند بالفكرة

Classification of the Sciences“يف كتابته ،كلّتاي دي غودفريد) ٢( . )state-based(الدولية

According to Rasa>’il Ikhwa>n al-Safa>’” )ة يف العلوم أن حبث أقسام، )٢٠٠٣يؤدي احلضارة اإلسالمي .من وجه أخر (Greek sciences)العلوم الدينية من وجه ، والعلوم العقلية دائما قسما ثنائيا إىل

، ولذالك ، باستعمال منهج الدراسة املكتبتية وبواسطة اإلتجاه الفلسفي دراسة نوعية هذه الدراسة هيمع تركيز ،سبعني البن الفلسفي الفكرموضوع هذه الدراسة هو .التأويلي -الفلسفي هوفإن نوع هذه الدراسة

سبعني بنال هو كتب هلذه الدراسة املصدر األساسي. ا ومنوذج الّىت صنفها ابن سبعني بناًءالعلوم على أقسام البحث أفكاره حتتوي على الّيت) رسائل ابن سبعني(رسائله أيضاو أقسام العلوم ،عن مناقشة الّذي فيه بد العارف، وهي وفكر ابن يف عامل اإلسالمحملادثة تصنيف العلوم املراجع األخرى املتصلة شتمل علىصدر الثّانوي يأما امل .الفلسفية

. سبعني

النظر إىل ب ،منوذجا و بناًء الستطالع الفكر عن أقسام العلوم الّيت صنفها ابن سبعني هذه األطروحة دف يالّذ الوحدة املطلقة أن مفهوم هذه الدراسة يثبت .املطلقة الوحدة يف عقيدته متجذر ساسيه الوجوديةاأل قاعدامن حيث .العلمي التكامل فكرة لالفلسفي نافذ، هو األساس الساسيه الوجودية ألقسام العلوم األ قاعدة أصبح

كلي بناء لديهاولكن ، "جمازي " يف أصله هوالّذي أو التراتب للعلوم تصنيفال سينتجاملفهوم املفهوم ، ذالك ) .زائف تراتب العلوم( مشويلّ

Page 7: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

xv

ABSTRACT

By reviewing the philosophical ideas of Ibn Sab‘i>n’s classification of science, this thesis proves that the more ontology conception is inclusive, the epistemology is more integrated.

This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science (1998), that any knowledge derived from the same source, as well as forming a conceptual idea of the unity of knowledge. (2) Fazlur Rahman, in his work, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1984), that essentially, in the Islamic intellectual tradition, there is no classification, hierarchy or dichotomy in science. (3) Sayyed Hossein Nasr, in his work Islamic Science: An Illustrated Study (1976), that the conception of knowledge in Islam is based on two principles, unity and hierarchy. That is, the classification of knowledge in Islam is actually based on hierarchical vision and interrelation between desciplines of science, that enable the realization of the onenes in diversity

In contrast, this study differs from the opinions: (1) Paul L. Heck in his writing, Hierarchy of Knowledge in Islamic Civilization (2002), that the classification of science in Islam is not born from an intellectual-based framework (intellect-based), but born from epistemological framework, which is based on language as a social state value (state-based). (2) Godefroid de Callataÿ in his writing, The Classification of the Sciences According to Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ (2003), that the discourse about classification of science in Islamic intellectual tradition, always leads dichotomically to religious sciences and rational sciences (Greek sciences).

This research is a qualitative study, using the library research methods and philosophical approaches, therefore, this research is a philosophical-hermeneutical study. The object is philosophical thought of Ibn Sab‘i>n, with a focus study on the construct and paradigm of his classification of science. The primary source of this research is the work of Ibn Sab‘i>n, namely Budd al-‘A<rif contained a discussion of the classification of knowledge, also his Rasa>’il containing his philosophical thoughts. Secondary source include other references related to the classification of knowledge in Islam and Ibn Sab‘i>n’s thought.

This thesis aims to explore the construct and paradigm of Ibn Sab‘i>n’s classification of sciences, by looking at the ontological base that is rooted in the doctrine of al-Wah}dah al-Mut}laqah (absolute unity). This study proves that the concept of the Absolute Unity which became the ontological base of classifications of science is a valid philosophical foundation for the idea of integration of science. Conceptually, this concept will give birth to a classification or hierarchy of knowledge, which in essence is "metaphorical", but have a holistic construct (pseudo-hierarchy of science).

Page 8: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

xvi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

b = ب z = ز f = ف

t = ت s = س q = ق

th = ث sh = ش k = ك

j = ج s} = ص l = ل

h} = ح d} = ض m = م

kh = خ t} = ط n = ن

d = د z} = ظ w = و

dh = ع = ‘ ذ h = ه

r = ر gh = غ y = ي

Vokal Pendek : a = َ ; i = ِ ; u = ُVokal Panjang : a> = ا ; i> = ي ; u> = و Diftong : ay = اي ; aw = او

Page 9: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

xvii

DAFTAR ISI Halaman Judul ___ i Pernyataan Perbaikan Setelah Verifikasi ___ iii Kata Pengantar ___ v Surat Pernyataan Bebas Plagiasi ___ vii Lembar Persetujuan Penguji ___ ix Lembar Persetujuan Pembimbing ___ xi Abstrak ___ xiii Pedoman Transliterasi Arab-Latin ___ xvi Daftar Isi ___ xvii Daftar Gambar ___ xix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ___ 1 B. Permasalahan ___ 11

1. Identifikasi Masalah ___ 11 2. Pembatasan Masalah ___ 12 3. Perumusan Masalah ___ 12

C. Penelitian/Gagasan Terdahulu yang Relevan ___ 12 1. Tentang Klasifikasi Ilmu ___ 12 2. Tentang Ibn Sab‘i>n ___ 15

D. Tujuan Penelitian ___ 18 E. Signifikansi Penelitian ___ 18 F. Metodologi Penelitian ___ 19 G. Sistematika Pembahasan ___ 25 BAB II DISKURSUS KLASIFIKASI ILMU DALAM ISLAM A. Hakikat Klasifikasi Ilmu ___ 27

1. Prinsip dan Karakteristik Klasifikasi Ilmu ___ 28 2. Arti Penting Klasifikasi Ilmu ___ 31

B. Pandangan Sarjana Muslim ___ 35 1. Pandangan Filosof ___ 37

a. Al-Fa>ra>bi> ___ 37 b. Al-‘A<miri> ___ 40 c. Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi> ___ 42

2. Pandangan Ilmuwan ___ 45 a. Ibn Khaldu>n ___ 45 b. Al-Amuli> ___ 49

3. Pandangan Teolog-Sufi; Klasifikasi Al-Ghaza>li>’___ 51

Page 10: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

xviii

BAB III POTRET PEMIKIRAN FILOSOFIS IBN SAB‘I<N A. Kehidupan, Karya dan Posisi Ibn Sab‘i>n ___ 61

1. Biografi Intelektual ___ 61 2. Karya-karya Ibn Sab‘i>n ___ 68 3. Posisi Penting Ibn Sab‘i>n ___ 71

B. Al-Wah}dah al-Mut}laqah: Sebuah Doktrin “Penentu Arah” ___ 76 C. Al-Muh}aqqiq: Konsepsi Manusia Ideal ___ 84 D. Mant}iq al-Muh}aqqiq: Kritik Logika Formal ___ 90 E. Etika ___ 93

1. Etika Metafisik ___ 94 2. Etika Praksis ___ 98

BAB IV PSEUDO-HIERARKI: GAGASAN IBN SAB‘I<N TENTANG KLASIFIKASI ILMU A. Pemikiran Epistemologi ___ 105 B. Basis Ontologis Klasifikasi Ilmu: Menelusuri Status Wujud Objek

Pengetahuan ___ 110 1. Tuhan di Puncak Hierarki ___ 112 2. Wujud Imateriil ___ 115

a. Akal Universal (al-‘Aql al-Kulli>) ___ 115 b. Jiwa (al-Nafs) ___ 123

3. Wujud Materiil ___ 133 C. Deskripsi Klasifikasi Ilmu ___ 139 D. Hierarki Ilmu dalam Bingkai Kesatuan Mutlak: Sebuah Refleksi atas

Integrasi Keilmuan ___ 146 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ___ 151 B. Saran dan Rekomendasi ___ 152 Daftar Pustaka ___ 155 Glosarium ___ 179 Indeks ___ 183 Lampiran Biodata Penulis

Page 11: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

xix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Klasifikasi al-Fa>ra>bi> ___ 39

Gambar 2: Klasifikasi al-‘A<miri> ___ 41

Gambar 3: Klasifikasi Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi> ___ 44

Gambar 4: Klasifikasi Ibn Khaldu>n ___ 48

Gambar 5: Klasifikasi I al-Amuli> ___ 50

Gambar 6: Klasifikasi II al-Amuli> ___ 51

Gambar 7: Klasifikasi I al-Ghaza>li> ___ 56

Gambar 8: Da>’irat al-Wuju>d (Lingkaran Wujud) ___ 79

Gambar 9: Pemikiran Emanasi Ibn Sab‘i>n ___ 83

Gambar 10: Posisi al-Muh}aqqiq dalam Kosmik ___ 88

Gambar 11: Klasifikasi Ibn Sab‘i>n ___ 145

Page 12: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of
Page 13: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Hingga detik ini, pertentangan epistemologi Islam dan epistemologi

Barat1 tampak semakin jelas, dan dalam batas-batas tertentu -pada tataran teoritik akademik -, kedua sistem epistemologi tersebut dengan “mudah” dapat diidentifikasi. Diferensiasi itu semakin terlihat jelas ketika dua epistemologi ini “berhadap-hadapan” secara paradoks dan kontradiktif. Meski demikian, harus diakui, bahwa dewasa ini epistemologi Barat telah menjadi cara pemikiran dan penyelidikan (mode of thought and inquiry) yang mendominasi, bahkan cenderung mengesampingkan cara-cara mengetahui alternatif lainnya.2

Epistemologi Barat yang dapat dilihat dalam peradabannya, memiliki dua ciri utama yaitu rasionalitas dan materialistis.3 Rasionalitas, yang selanjutnya menjadi paham rasionalisme dengan salah satu tokohnya, René Descartes (1596-1650),4 mengindikasikan penekanan yang kuat terhadap rasio,

1 Di sini, “Barat” tidak lagi dimaknai dengan perspektif geografis yang

menunjukkan sebuah entitas wilayah, daerah atau kawasan yang berada di belahan bumi bagian Barat. Saat ini, “Barat” dimaknai alam pikiran dan pandangan hidup dari suatu kebudayaan dan peradaban yang sudah barang tentu memiliki struktur konseptual.

2 Ehsan Masood, “Introduction: The Ambiguous Intellectual,” dalam Ziauddin Sardar, How Do You Know? Reading Ziauddin Sardar on Islam, Science and Cultural Relations, ed. Ehsan Masood (London: Pluto Press, 2006), 2.

3 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu Dalam Perspektif Filsafat Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), xvi. Lihat juga Roberts Graham, “Western Epistemology: A Stronger in A Stranger Land?,” Fiji School of Medicine 1885-2010 Celebrating 125 Years and PHD Vol. 16, no. 2 (2011), 112-118, http://www. pacifichealthdialog.org.fj/volume16_no2/Western%20epistemology.pdf (diakses pada 11 Juni 2013). Lebih lanjut, hal-hal yang berkaitan dengan rasionalisme dan perkembangan konsepnya, serta perdebatannya dengan kaum empirisme, lihat Bernard Williams, “Rationalism” dalam Encyclopedia of Philosophy 2nd Edition, vol. 8, ed. Donal M. Borchert (New York: Thomson Gale, 2006), 239-247.

4 René Descartes disebut-sebut sebagai penggagas epistemologi modern (the founding figures of modern epistemology), dengan metodenya yang terkenal “systematic doubt” (keraguan sistematis). Lihat Martin Blaauw and Duncant Pritchard, Epistemology A-Z (New York: Palgrave Macmillan, 2005), 42. Untuk keterangan lebih lanjut tentang kehidupan dan pemikiran filsafat Descartes, lihat Edwin Curley, “Descartes” dalam Encyclopedia of Philosophy 2nd Edition, vol. 2, ed. Donal M. Borchert, 720-756. Bandingkan dengan misalnya, Bernard A. O. Williams, “Descartes” dalam The Concise Encyclopedia of Western Philosophy 3rd Edition, ed. Jonathan Rée & J. O. Urmson (New York: Routledge, 2005), 89-95. Lihat juga, John Cottingham, “Descartes” dalam The Cambridge Dictionary of Philosophy Second Edition, ed. Robert Audi (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 223-227. Dalam sistem epistemologinya, Descartes menawarkan struktur berpikir yang cukup rapi, dengan mengajukan empat langkah berpikir yang rasionalistis: (1) tidak boleh menerima begitu

Page 14: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

2

sekaligus menolak berbagai hal yang irasional. Pada gilirannya, unsur-unsur yang irasional seperti yang banyak ditemukan dalam agama dan mistisme, cenderung ditolak dan hanya dipandang tidak lebih dari sebuah ilusi dan halusinasi.5 Sementara, materialistis yang kemudian menjelma menjadi paham materialisme -dengan berbagai perkembangan konsepnya-, mengindikasikan bahwa yang dianggap riil adalah fakta, bukan makna. Fakta empirik menjadi ukuran kebenaran, sementara hal-hal yang non empirik, metafisik dan abstrak hanyalah sebuah ilusi.6

Terlepas dari karakteristik epistemologi Barat di atas, epistemologi Islam datang dengan menawarkan pandangan dunia (world view) yang berbeda. Ziauddin Sardar menyatakan, epistemologi Islam datang dengan menekankan totalitas pengalaman dan kenyataan serta menganjurkan banyak cara untuk mempelajari alam, sehingga ilmu bisa diperoleh dari wahyu maupun akal, dari observasi maupun intuisi, tradisi maupun spekulasi teoritis. Maka dengan hal ini, epistemologi Islam menekankan pencarian semua bentuk ilmu pengetahuan

saja hal-hal yang belum diyakini kebenarannya, namun harus secara hati-hati mengkaji hal-hal tersebut, (2) menganalis dan mengklasifikasikan setiap permasalahan melalui pengujian yang teliti ke dalam sebanyak mungkin bagian yang diperlukan bagi pemecahan masalah tersebut (adequat), (3) menggunakan pikiran dengan cara demikian, diawali dengan menganalisis saran-saran, atau teori-teori yang paling sederhana, maka, sedikit demi sedikit akan meningkat ke arah mengetahui saran-saran atau teori-teori yang lebih kompleks, (4) dalam setiap permasalahan dibuat uraian yang sempurna dan dilakukan peninjauan kembali secara general, untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun permasalahan yang tertinggal. Descartes, Discourse on Method and Meditations, trans. Elizabeth S. Haldane and G.R.T. Ross (New York: Dover Publication Inc., 2003), 14.

5 Pada umumnya kalangan rasionalis meyakini teori bahwa pengalaman indrawi tidak dapat menemukan pengetahuan dalam arti mutlak, melainkan harus dicari dalam alam pikiran (in the realm of the mind). Richard H. Pophin and Avrum Stroll, Philosophy Made Simple (New York: American Book-Stratford, 1958), 128-9 dan 147. Lebih lanjut bahkan, kebenaran wahyu yang pada dasarnya diterima oleh intuisi atau hati ditolak otoritasnya oleh masyarakat Barat modern karena dianggap menggunakan metode non-rasional. Lihat Kartanegara, Integrasi Ilmu Dalam Perspektif Filsafat Islam, xvii.

6 Brain Hines menyatakan, bagi kaum materialis, kebenaran spritual sebagaimana yang dialami dalam pengalaman mistik tidak lebih dari sekedar halusinasi. Brain Hines, Gods Whisper, Creation’s Thunder (Bratleboro, Vermont: Threshold Books, 1996), 135. Bahkan, Sigmund Freud (1856-1939), dalam karyanya, The Future of an Illusion, trans. and ed. James Strachey (New York: W.W. Norton & Company, 1961), 65-67, menyatakan, bahwa cepat atau lambat, ajaran-ajaran agama akan segera ditinggalkan oleh masyarakat modern karena ketidakrasionalannya. Freud mengungkapkan, “Religion is an illusion and it derives its strength from the fact that it fals in with our instinctual desires”. Sigmund Freud, BrainyQuote.com, http://www.brainyqoute.com/quotes/ quotes/s/sigmundfre139170.html (diakses pada 23 Juli 2013).

Page 15: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

3

dalam kerangka nilai abadi, yang menjadi landasan utama peradaban Muslim.7 Senada dengan Sardar, Anees menyatakan, sudah menjadi fakta historis yang kuat bahwa epistemologi Islam yang terpadu telah mencapai sintesis dari dunia yang beragam menjadi sebuah konsep dan struktur terpadu dalam ilmu.8

Hal ini berarti, epistemologi Islam merupakan alat yang fleksibel dalam memperoleh banyak pengetahuan, baik pengetahuan yang berdasarkan data-data empirik, pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan spekulatif terhadap persoalan-persoalan metafisika, intuisi, maupun pengetahuan yang berasal dari wahyu.9 Keluwesan epistemologi Islam ini tentu karena Islam mengakui berbagai dimensi yang turut mempengaruhi pengetahuan.10

Secara epistemologis, Islam dengan keuniversalannya, tidak pernah mempertentangkan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya. Begitu juga Islam tidak mempertentangkan satu macam pendekatan epistemologis dengan pendekatan lainnya. Sebaliknya, epistemologi Islam justru berusaha untuk mensejajarkan dengan mengakomodasi berbagai macam

7 Sardar, How Do You Know?, 137-138. Dalam perspektif filsafat Islam,

epistemologi merupakan perkembangan dari konsep ‘Ilm, Ma’rifah dan H{ikmah -dengan berbagai derivasinya- yang terdapat dalam al-Qur’an. Lihat Peter S. Groff, Islamic Philosophy A-Z (Edinburg: Edinburg University Press, 2007), 33.

8 Munawar Ahmad Anees, “Menghidupkan Kembali Ilmu,”Al-Hikmah Jurnal Studi-studi Islam, no. 3 (1991), 82. Lihat juga Alparsalan Acikgenc, “The Emergence of Scientific Tradition in Islam,” Foundation for Science Technology and Civilization Publication ID: 627 (Desember 2006), 20-22. http://www.utm.my/casis/wp-content/ uploads/2013/07/Emergence_Scientific_Tradition_in_Islam.pdf (diakses pada 17 Januari 2014).

9 Lihat Patricia Horvatich, “Ways of Knowing Islam,” American Ethnologist Vol. 21, No. 4 (November, 1994), 811-826. http://www.jstor.org/stable/646841 (diakses pada 08 Mei 2014). Juga Louay M. Safi, “Toward an Islamic Theory of Knowledge,” Islamic Studies Vol. 36 No. 1 (Spring 1997), 39-56. http://www.jstor.org/stable/ 23076081 (diakses pada 30 Juni 2014).

10 Sekurang-kurangnya ada sembilan ciri dasar epistemologi Islam, (1) didasarkan atas suatu kerangka mutlak, (2) dalam kerangka ini, epistemologi Islam bersifat aktif, bukan pasif, (3) epistemologi Islam memandang bahwa objektifitas adalah masalah umum, bukan masalah pribadi, (4) sebagian besar bersifat deduktif, (5) memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam, (6) epistemologi Islam memandang pengetahuan bersifat inklusif dan tidak eksklusif. Artinya, epistemologi Islam memandang pengalaman manusia yang subjektif sama dalam keabsahannya dengan evaluasi yang objektif, (7) berusaha menyususn pengalaman subjektif dan mendorong pencarian pengalaman-pengalaman ini, yang selanjutnya didapatkan komitmen-komitmen dasarnya, (8) epistemologi Islam memadukan berbagai konsep dari tingkat kesadaran, atau tingkat pengalaman subjektif sedemikian rupa, sehingga konsep-konsep yang sesuai dengan satu tingkat tidak harus sesuai dengan tingkat lainnya, seperti terjadi pengalaman mistis dan spritual, (9) tidak bertentangan dengan pandangan holistik, menyatu dan integral dari pemahaman dan pengalaman manusia. Lihat Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1993), 44-45. Bandingkan dengan Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 74-75.

Page 16: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

4

pendekatan keilmuan berikut aneka ragam pengetahuan yang dihasilkannya.11 Hal ini karena Islam memandang bahwa semua pengetahuan berasal dari Allah SWT. yang terformulasikan dalam konsep Tauhid.12

Dari pandangan ini, pendapat al-Faruqi menemukan momentumnya. Bagi al-Faruqi, mengakui ke-Esa-an Tuhan berarti mengakui kebenaran dan kesatupaduan. Doktrin ke-Esa-an Tuhan bukan semata-mata sebuah kategori etika belaka, lebih dari itu, ia adalah sebuah kategori kognitif yang berhubungan dengan pengetahuan dan kebenaran proposisi-proposisinya.13 Dengan kata lain, kata kunci integrasi keilmuan dalam Islam berangkat dari sebuah premis, bahwa semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah, atau, meminjam bahasa Usman Hassan, “knowledge is the light that comes from Allah”.14

Salah satu pembahasan penting -bahkan dapat dikatakan telah “membudaya”- dalam kajian epistemologi Islam adalah wacana klasifikasi ilmu.15 Diasumsikan bahwa, selain sebagai bentuk tanggung jawab intelektual para cendikiwan Muslim, pembahasan tentang klasifikasi ilmu ini dikatakan penting dengan beberapa alasan, pertama, dengan memahami klasifikasi ilmu,

11 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional

hingga Metode Kriitk (Jakarta: Erlangga, 2005), 171. 12 Lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik

(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005) 32-43. Bandingkan dengan Nur Lailatul Musyafa’ah, “Nalar Teosofis Sebagai Basis Epistemologi Kajian Agama dan Pengetahuan,” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam vol. 3 No.1 (Juni, 2013). 20-38. http://teosofi. uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/download/113/103 (diakses 06 November 2014)

13 Isma’il Raji al-Faruqi, Al-Tauhid: Its Implication for Thought and Life (Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1992), 42-43.

14 Usman Hassan, The Concept of ‘Ilm and Knowledge in Islam (New Delhi: The Association of Muslim Scientists and Engineers, 2003), 3.

15 Hal ini tentu didasarkan pada beberapa pengertian epistemologi, antara lain, Runes menyatakan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode, dan validitas pngetahuan. Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Little Field Adams & CO. 1963), 49. Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya. D.W. Hamlyn, “History of Epistemology,” dalamThe Encyclopedia of Philosophy vol. 3, ed. Paul Edwards (New York: Macmillan, 1967), 8-9. Sementara Azyumardi Azra mendefinisikan, bahwa secara sederhana, epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas pengetahuan. Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 114. Ini berarti, epistemologi mempunyai cakupan yang sangat luas, dalam arti, segala hal yang berkaitan dengan pengetahuan menjadi cakupan epistemologi, mulai dari hakikat, keaslian, sumber, struktur, metode, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, skope, hingga pengandaian pengetahuan. Hal serupa juga dikatakan oleh Mulyadhi Kartanegara, bahwa klasifikasi ilmu merupakan salah satu dari tiga pilar utama epistemologi, yakni, ontologis epistemologi, klasifikasi ilmu, dan metode ilmiah. Lihat Mulyadhi Kartanegara, “Pendahuluan,” dalam Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), xxxiv.

Page 17: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

5

tentu saja seseorang akan mengetahui bidang ilmu apa saja yang telah dikembangkan dalam sebuah tradisi keilmuan.

Kedua, klasifikasi ilmu dalam epistemologi Islam yang bersifat hierarkis merupakan basis yang kuat bagi pandangan ilmu yang holistik dan integral, baik dalam segi materi, metodologi maupun sumber. Dalam hal ini, Sayyed Hossein Nasr menyatakan:16

“The disorder which rules over the modern educational curriculum in most Islamic countries today is to a large extent due to the loss of the hierarchie vision of knowledge as one finds in the traditional education system. In the Islamic intellectual tradition, there existed a hierarchy and inter-relation between various disciplines which made possible the realization of unity in multiplicity not only in the domain of religious faith and experience, but also in the realm of knowedge.”

Karena itu, pembahasan tentang klasifikasi ilmu dalam Islam ini seolah akan menyadarkan umat Islam betapa luasnya “Ilmu Allah”, dan bahwa semua macam pengetahuan menyatu, berintegrasi satu sama lainnya dalam naungan ke-Maha Pintar-an-Nya.17

Selanjutnya, Nasr juga menyatakan,18 yang juga diamini oleh Saeeda Shah,19 dalam Islam tidak dikenal pemisahan esensial antara ilmu agama dan ilmu profan. Memang betul adanya, berbagai ilmu dalam tradisi ilmiah Islam memiliki suatu hierarki, tetapi, hierarki ini pada akhirnya akan bermuara pada pengetahuan tunggal tentang “Yang Maha Tunggal”. Oleh karenanya, dalam hal klasifikasi ilmu, lebih tepatnya bukan “pemisahan”, tetapi “pemilahan”, karena objek masing-masing bidang ilmu ini berintegrasi dalam sebuah sistem epistemologi yang holistik.

Ketiga, dengan mengetahui klasifikasi ilmu dalam epistemologi Islam, seorang Muslim akan melihat keharmonisan antara dua sumber utama, yaitu wahyu dan akal. Kedua sumber ini menjadi basis dari sistem klasifikasi ilmu, yang keduanya, secara integral berasal dari Yang Maha Esa. Artinya, perdebatan klasik tentang hubungan wahyu (revelation) dan akal (reason) dalam Islam yang hingga saat ini boleh dikatakan masih “ramai”, tampaknya dapat sedikit tercairkan.20 Pasalnya, dalam klasifikasi ilmu yang memiliki visi hierarkis dan

16Sayyed Hossein Nasr, “Foreword,” dalam Osman Bakar, Classification of

Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1998), xi.

17Lihat Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), 63.

18 Sayyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World of Islam Festival Publishing Company ltd., 1976), 13-4.

19 Saeeda Shah, “Educational Leadership: An Islamic Perspective,” British Educational Research Journal Vol. 32 No. 3 (Juni, 2006), 363-385. http://www.jstor.org/ stable/30032674 (diakses pada 30 Mei 2014).

20 Mengenai perdebatan antara wahyu dan akal lihat misalnya Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 2011). Bandingkan dengan misalnya,

Page 18: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

6

integral ini, sama sekali tidak mempertentangkan berbagai sumber pengetahuan, khususnya akal dan wahyu sebagai sumber utama.

Keempat, secara konseptual, perbedaan perspektif atau pendekatan dalam memahami realitas, sering kali menjadi latar belakang yang menyebabkan terjadinya berbagai “gesekan” teoritis maupun praksis antar individu atau bahkan kelompok, yang memiliki kecenderungan pada bidang ilmu/pendekatan tertentu serta mengabaikan pendekatan lainnya. Dalam hal ini, dengan mengkaji dan memahami klasifikasi ilmu, secara metodologis akan terlihat “saluran” utama, lewat mana ilmu pengetahuan diperoleh. Artinya, sebagaimana dikatakan Fadaie,21 klasifikasi ilmu akan sangat membantu dalam mengorganisir pemikiran ilmiah. Selain itu, klaim-klaim yang tinggi dalam keilmuan -yang dalam batas tertentu bersifat subjektif-, dapat terhindarkan. Dalam arti, ketika seseorang memahami klasifikasi ilmu, maka ia akan memahami bahwa apa yang ia tahu hanya setitik dari luasnya ilmu pengetahuan, sekaligus ia akan terhindar dari berbagai klaim keilmuan yang terlalu tinggi, baik klaim terhadap dirinya sendiri, maupun terhadap orang lain.

Kelima, dalam konteks pendidikan Islam kontemporer, jika dikatakan bahwa kurikulum pendidikan saat ini dalam batas tertentu meniru sistem kurikulum model Barat,22 tentu tidak sepenuhnya pernyataan itu keliru. Pasalnya, pandangan dikotomik terhadap ilmu memang saat ini sangat kuat lantaran didorong oleh hegemoni globalisasi yang dinakhodai oleh Barat dalam berbagai bidang, ekonomi, politik, sains-teknologi, intelektual, gaya hidup, tidak terkecuali pendidikan.23 Dalam ranah ini, Nasr menyatakan,24 Klasifikasi ilmu

Muh}ammad al-Sayyid al-Julaynad, Al-Wah}y wa-al-Insa>n: Qira>’ah Ma’rafi>yah (Kairo: Da>r Quba>’, 2002).

21 Gholamreza Fadaie, Philosopher’s Worldview and Classification of Knowledge, http://psyedu.ut.ac.ir/acstaff/Fadaei/articale/Cosmology%20and%20catego rization.pdf (diakses pada 06 januari 2014). Lebih lanjut, dengan mengutip Challaye (1999), Fadaie menyatakan bahwa klasifikasi ilmu merupakan tujuan utama filsafat. Lihat Juga tulisannya yang lain, “The Influence of Classification on Worldview and Epistemology,” Proceedings of the Informing Science & IT Education Conference (2008). http://proceedings.informingscience.org/InSITE2008/InSITE08p001-013Fadaie 410.pdf (diakses pada 23 Agustus 2013). Bandingkan dengan Ilkka Toumi, “Data Is More than Knowledge: Implications of the Reversed Knowledge Hierarchy for Knowledge Management and Organizational Memory,” Journal of Management Information Systems, Vol. 16, No. 3 (Winter, 1999/2000), 103-17. http://www.jstor.org/ stable/40398446 (diakses pada 8 Mei 2014).

22 Lihat misalnya Nasr, Islamic Science, 13. Bandingkan dengan Khosrow Bagheri and Zohreh Khosravi, “The Islamic Concept of Education Reconsidered,” The American Journal of Islamic Social Sciences Vol. 23 No. 4 (2005) 88-103. http:// academia.edu/609872/The_Islamic_Concept_of_Education_Reconsidered (diakses pada 17 Januari 2014).

23 Azra, Pendidikan Islam, 44-45. Lihat juga Hasanuddin, “Dominasi Peradaban Barat dalam Pendidikan Islam,” Lentera Pendidikan vol. 11 nomor 2 (Desember, 2008), 258-269.

Page 19: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

7

dengan visi hierarkis-holistiknya merupakan kunci bagi sistem pendidikan Islam untuk mencegah para pendidik Muslim kontemporer, sekaligus melepaskan diri dari kekacauan yang ada dalam sistem kurikulum pendidikan saat ini. Di samping itu, baik secara institusional maupun praksis, memahami klasifikasi ilmu akan sangat berguna untuk penyusunan dan implementasi kurikulum, agar kemampuan murid dapat dipastikan, akan diarahkan kemana minat dan potensi mereka.25

Lepas dari alasan yang dikemukakan di atas, sejak awal, para sarjana Muslim menaruh perhatian yang besar terhadap pembahasan klasifikasi ilmu ini. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya karya para cendikiawan Muslim tentang klasifikasi ilmu. Sebut saja, al-Kindi> (185-252 H./796-866 M.), filosof Muslim pertama menulis karya yang khusus mengulas tentang klasifikasi ilmu yang berjudul Fi> Aqsa>m al-‘Ulu>m, al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.), menulis karya yang lebih terkenal, berjudul Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, Shams al-Di>n al-Amuli> (abad 9 H./15 M.), menulis karya serupa dengan judul Nafa>’is al-Funu>n.26

Selain karya yang khusus membahas tentang tentang klasifikasi ilmu, para sarjana Muslim pun tak jarang memasukkan pembahasan klasifikasi ilmu ini dalam karyanya sebagai salah satu sub pembahasan.27 Misalnya, al-Ghaza>li> (450-505 H./1058-1111 M.) dalam banyak karyanya antara lain Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, al-Munqidh min al-D{ala>l dan Jawa>hir al-Qur’a>n, Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi> (634-710 H./1236-1311 M.) dalam karyanya Durrat al-Ta>j, Ibn Khaldu>n (732-808 H./1332-1406 M.) dalam Muqaddimah-nya, Ibn But}la>n (w. 461 H./1068 M.), dan Ibn Sab‘i>n (614-669 H./1217-1270 M.) juga membahas konsep

24 Nasr, “Foreword”, xi. Bandingkan dengan Arshad Alam, “Science in

Madrasas,” Economic and Political Weekly Vol. 40, No. 18 (30 April - 06 Mei 2005), 1812-1815. http://www.jstor.org/stable/4416560 (diakses pada 08 Mei 2014).

25 Kartanegara, Reaktualisasi, 65. Lihat juga M. Zainuddin, “Paradigma Pendidikan Islam Holistik,” Jurnal Ulumuna vol. XV no. 1 (Juni, 2011), 73-94. AM. Saepudin menyatakan, sistem pendidikan untuk membentuk manusia seutuhnya harus diarahkan kepada dua dimensi, yakni, dimensi dialektikal horisontal dan dimensi ketundukan vertikal. Lihat AM. Saepudin “Pendidikan Untuk Masa Depan: Kebutuhan Kualitas Sumber Daya Insani,” dalam AM. Saepudin et.al. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi (Bandung: Mizan, 1991), 191. Hal ini mengindikasikan bahwa strategi pendidikan dan kurikulumnya harus berdasarkan landasan kependidikan Islam yang menyegarkan daya kreasi. Lihat M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 42. Dalam hal ini, menarik untuk didiskusikan, apa yang dinyatakan Starks dan Robinson bahwa “moral kosmologis” yang banyak ditemukan dalam agama, memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak. Brian Starks and Robert V. Robinson, “Moral Cosmology, Religion, and Adult Values for Children,” Journal for the Scientific Study of Religion Vol. 46, No. 1 (Mar., 2007), 17-35. http://www.jstor.org/stable/4621950 (diakses pada 15 Oktober 2014).

26 Kartanegara, Reaktualisasi, 64. Lihat juga, Sayyed Hossein Nasr, Science and Civilizaton in Islam (Chicago: ABC International Group Inc. 2001), 61-64. Bandingkan dengan George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and The West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 75-80.

27 Kartanegara, Reaktualisasi, 65.

Page 20: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

8

klasifikasi ilmu ini dalam karya monumentalnya, Budd al-‘A<rif. Apa arti semua klasifikasi ilmu ini? Jelas, ini menunjukkan betapa kompleks dan suburnya ilmu-ilmu yang berkembang dalam peradaban Islam, sebuah hal yang menakjubkan. Sejarah mencatat, bahwa kemajuan peradaban Islam sangat berkaitan dengan kemajuan seluruh bidang keilmuan, baik Rational Science maupun Natural Science.

Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba mendiskusikan wacana klasifikasi ilmu dalam pandangan Ibn Sab‘i>n yang secara khusus ia tuangkan dalam karyanya Budd al-‘A<rif. Ada beberapa alasan mengapa studi ini mengangkat pemikiran Klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n. Pertama, pembahasan yang terkait dengan pemikiran Ibn Sab‘i>n -sejauh yang penulis ketahui- tidak sebanyak pembahasan atau penelitian terhadap pemikiran filosof selain Ibn Sab‘i>n, terlebih kajian yang khusus mengelaborasi konsep klasifikasi ilmunya.

Kedua, Ibn Sab‘i>n merupakan salah seorang filosof-sufi (teosof) kenamaan Andalusia, yang di Barat terkenal dengan jawabannya atas pertanyaaan-pertanyaan filosofis mengenai Aristotelianisme, yang dilayangkan oleh Frederick II (1194-1250), penguasa Sicilia, seorang raja Romawi yang berkuasa pada masa itu.28 Pandangan filosofisnya yang memadukan intuisi dan logika, layak untuk didiskusikan. Dalam hal ini, Nasr mengatakan, di antara semua filosof besar Andalusia terakhir, Ibn Sab‘i>nlah yang telah menyusun salah satu sintesis besar antara doktrin Sufi dan filsafat dalam sejarah pemikiran Islam. Pada diri Ibn Sab‘i>n pula dapat teramati gambaran hubungan erat antara tasawuf dan filsafat yang paling jelas.29 Dalam hal ini pula, layak untuk didiskusikan bagaimana kritik-konstruktif Ibn Sab‘i>n terhadap golongan/kalangan cendikiawan Muslim lain, dan khususnya, konsep klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n yang menjadi konteks penelitian ini.

28 Jawaban Ibn Sab‘i>n atas pertanyaan-pertanyaan filososfis Frederick II ini

dapat dikaji dalam karyanya yang khusus, berjudul Al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, tah{qi>q Muh}ammad Sharaf al-Di>n Ya>ltaqa>ya> (Beirut: Al-Mat}ba’ah al-Ka>thu>li>ki>yah, 1941). Pertanyaan-pertanyaan filosofs Frederick II diajukan ketika Ibn Sab‘i>n berada di Ceuta (Sabatah), sebuah kota di Maroko, pada tahun 638 H./1240 M. Lihat lengkapnya, Anna Ayşe Akasoy, “Ibn Sab‘i>n’s Sicilian Questions: The Text, Its Sources and Their Historical Context,” Journal Al-Qant}ara XXIX, issue 1 (Januari-Juni 2008), 115-146. http://www.al-qantara.revistas.csic.es/index.php/al-qantara/article/ viewFile/51/45 (diakses pada 26 Februari 2013). Juga Luisa Maria Arvide Cambra, “Ibn Sab‘i>n and The Sicilian Questions,” International Review of Social Sciences and Humanities Vol. 5, No. 2 (2013), 225-228. http://irssh.com/yahoo_site_admin/assets/ docs/25_IRSSH-602-V5N2.243105504.pdf (diakses pada 29 April 2014). Sebelumnya, orang pertama yang secara akademik mengkaji jawaban Ibn Sab‘i>n terhadap pertanyaan filosofis Frederick II ini adalah Michele Amari, “Questions Philosophiques: Adressees Aux Savants Musulmans par L’Empereur Frederic II” Journal Asiatique Serie 1 (April-Mei 1853), 240-274. http://gallica.bnf.fr/ark:/12148/bpt6k931611/f240.pagination.r= Michele+Amari.langEN (diakses pada 30 April 2014).

29 Sayyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik: Sebuah Pengantar,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), 462.

Page 21: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

9

Ketiga, secara teoritis, kajian terhadap klasifikasi ilmu tidak akan dapat lepas dari pembahasan tentang status ontologis objek ilmu. Hal ini menjadi penting dalam wacana klasifikasi ilmu karena, jika ilmu itu sendiri dimaknai sebagai “mengetahui sesuatu sebagaimana adanya”, tentu “sesuatu” yang menjadi objek ilmu itu harus benar-benar diyakini keberadaannya. Tidak mungkin “sesuatu” tersebut akan diketahui secara filosofis, jika “sesuatu” itu tidak diyakini eksistensinya.30 Sebagaimana dinyatakan Osman Bakar, dapat dipastikan, setiap klasifikasi ilmu yang lahir dalam tradisi ilmiah Islam, didasarkan pada gagasan-gagasan filosofis umum yang terdapat dalam setiap madzhab intelektual Islam dan pada gagasan-gagasan khusus yang terdapat dalam pandangan dunia (world view) intelektual dan religius penciptanya.31

Dalam konteks ini, Ibn Sab‘i>n merupakan salah satu teosof yang memiliki pandangan ontologis tentang kesatuan wujud layakya Ibn ‘Arabi> (560-638 H./1164-1240 M.) dengan Wah}dat al-Wuju>d-nya, al-Ji>li> (767-827 H./1366-1424 M.) dengan Insa>n al-Ka>mil-nya, atau dengan yang lainnya.32 Namun sejatinya, konsep kesatuan wujud yang digagas oleh Ibn Sab‘i>n lebih “ekstrim” dari yang digagas oleh para teosof lain. Doktrinnya tentang kesatuan wujud tersebut dikenal dengan al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak/absolute unity).33

Dalam menjelaskan entitas wujud, sebenarnya landasan awal doktrin al-Wah}dah al-Mut}laqah ini cukup sederhana, yaitu bahwa, wujud adalah satu, hanya wujud Allah saja, sementara wujud segala sesuatu selain-Nya (mawju>da>t) adalah wujud dari entitas wujud yang satu itu, tidak ada tambahan apapun, dan wujud di sini, hakikatnya adalah premis yang satu dan tetap.34 Dengan kata lain, entitas wujud selain-Nya, merupakan wujud metaforis (i‘tiba>ri>), hanya ada dalam ranah terminologi/kesusasteraan saja.

30 Lihat Osman Bakar, “Sains,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam buku

kedua, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, 1243. Lihat juga Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, 30.

31 Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 3. 32 Lihat misalnya Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme

(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), 141-170. Mengenai, wah}dat al-wuju>d al-Ji>li>, lihat misalnya Muslih Fuadie, “Wah}dat al-Wuju>d ‘Abd al-Kari>m al-Ji>li>,” Teosofi: Jurnal dan Pemikiran Islam vol. 3 no. 1 (Juni, 2013), 1-18. http://teosofi.uinsby.ac.id/index.php/ teosofi/article/download/112/102 (diakses pada 06 November 2014). Tentang pemikiran metafisika Ibn ‘Arabi>, lihat Qaiser Shahzad, “Ibn ‘Arabi>’s Metaphysics of the Human Body,” Islamic Studies Vol. 46, No. 4 (Winter 2007), 499-525. http://www.jstor.org/ stable/20839092 (diakses pada 15 Oktober 2014).

33 Terminologi ini digunakan Ibn Sab‘i>n sendiri bagi alirannya dalam beberapa karyanya seperti Risa>lat al-Alwa>h}, al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah, Risa>lat al-Ih}a>t}ah,dan lain-lain. Lebih lanjut tentang al-Wah{dah a-Mut}laqah ini, lihat Muh{ammad Ya>sir Sharaf, Al-Wah{dah al-Mut}laqah ‘inda Ibn Sab‘i>n (Beirut: Al-Markaz al-‘Arabi> li-al-T{aba>‘ah wa-al-Nashr, 1981). Bandingkan dengan Abu> al-Wafa>’ al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu al-S{u>fi>yah (Beirut: Da>r al-Kutub al-Libna>ni>, 1973).

34 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu al-S{u>fi>yah, 198-199.

Page 22: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

10

Dari ketiga alasan tersebut, diasumsikan bahwa, doktrin Ibn Sab‘i>n ini, jika dihubungkan dengan pemikirannya tentang klasifikasi ilmu, mengindikasikan sebuah klasifikasi ilmu yang berakar pada status ontologis objek ilmu yang integral dan holistik dalam bingkai wujud yang satu, yakni wujud Tuhan. Artinya, tidak ada perbedaan dan pemisahan antara objek-objek pengetahuan, apalagi pertentangan. Studi ini ingin membuktikan bahwa konsep Kesatuan Mutlak yang menjadi basis ontologis klasifikasi ilmu, merupakan pijakan filosofis yang sah bagi gagasan integrasi keilmuan, dan diharapkan dapat menjadi alternatif bagi pijakan dan perspektif baru dalam membangun kajian filsafat pengetahuan Islam, terutama dalam rangka meretas kuat dan derasnya dominasi epistemologi Barat yang dikotomik,35 seperti yang terlihat jelas dalam sistem pendidikan di Dunia Islam pada khususnya.

Secara filosofis, pandangan tersebut akan melahirkan klasifikasi atau hierarki ilmu yang sejatinya bersifat “metaforis”, namun memiliki konstruk yang holistik. Karenanya, hierarki ilmu dengan sifatnya yang metaforis tersebut, penulis istilahkan sebagai “pseudo-hierarki ilmu”. Istilah ini dimaknai sebagai istilah yang menunjukkan bahwa, hierarki ilmu yang digagas Ibn Sab‘i>n dengan melihat pandangan ontologisnya hanyalah hierarki “semu”,36 yang pada

35 Kazuo Shimogaki mengemukakan, ada lima kecenderungan dalam

epistemologi Barat: (1) pemisahan antara yang sakral dengan yang bersifat duniawi (profan), (2) kecenderungan kearah reduksionisme, (3) pemisahan antara subjektifitas dan objektifitas, (4) antroposentrisme, dan (5) progresifisme. Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi, terj. M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula (Jogjakarta, LKiS, 2000), 25-26. Selain itu, sekurang-kurangnya ada lima pendekatan dalam epistemologi Barat: pertama, pendekatan Skeptis, yang dirintis oleh Rene Descartes (1596-1650), kedua, pendekatan rasional-empiris yang di antara tokohnya, selain Descartes adalah Leibniz (1646-1716) dan Christian Wolff (1679-1754), Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Barkeley (1685-1753) dan David Hume (1711-1776). Ketiga, pendekatan dikotomik, keempat, pendekatan positif-objektif yang digagas oleh Auguste Comte (1798-1857), dan kelima, pendekatan anti-metafisika. Lihat misalnya, Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, 58-90.

36 Istilah pseudo sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti semu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pseudo merupakan bentuk terikat untuk menunjukkan bahwa makna dari istilah setelah kata pseudo adalah semu, palsu dan bukan dalam makna yang sebenarnya. Karena itu, penulisan kata pseudo harus diikuti oleh tanda hubung, atau tanda strip/hipenasi (baca: pseudo-). Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), 1220. Istilah ini mulai dikenal ketika tahun 1843 muncul pertama kali istilah pseudo-science (ilmu semu) yang menunjukkan sebuah pengetahuan, metodologi, keyakinan, atau praktek yang diklaim sebagai ilmiah tapi tidak mengikuti metode ilmiah. Istilah pseudo-science sendiri menjadi populer lantaran diperkenalkan oleh Imre Lakatos (1922-1974), seorang filsuf asal Hungaria. Lihat Sahotra Sarkar and Jessica Pfeifer (ed.), The Philosophy of the Science: An Encyclopedia (New York and London: Routledge, 2006), 613 dan 433-6. Tentang sejarah pseudo-science, lihat Douglas Allchin, “Pseudohistory and Pseudoscience,” Journal Science & Education vol.

Page 23: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

11

hakikatnya justru ilmu-ilmu yang ada dalam hierarki tersebut berintegrasi secara eksistensial.

Penelitian ini akan memfokuskan kajian pada pembahasan klasifikasi dan atau hierarki ilmu yang Ibn Sab‘i>n tuangkan dalam karyanya, Budd al-‘A<rif, serta bagaimana Ibn Sab‘i>n memandang status ontologis objek-objek ilmu dengan “kacamata” doktrin al-Wah}dah al-Mut}laqah, yang tentunya menjadi pijakan awal bagi pemikirannya tentang klasifikasi ilmu.

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, muncul sejumlah masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut: a. Sebagaimana dikemukakan di atas, tidak seperti di Barat, dalam tradisi

ilmiah Islam, kajian terhadap wacana klasifikasi ilmu sangat giat dilakukan, khususnya oleh para filosof Muslim. Muncul sebuah permasalahan, bagaimana Barat dengan segenap paradigmanya yang berkembang memandang wacana klasifikasi ilmu ini?

b. Secara historis, keseriusan para cendikiawan Muslim dalam mengkaji klasifikasi ilmu, mengasumsikan sebuah pandangan, betapa beragam dan kompleksnya disiplin ilmu yang berkembang dalam peradaban Islam. Dari pandangan ini, bagaimana hubungan konseptual wacana klasifikasi ilmu dengan peradaban, khususnya dengan pendidikan sebagai basis peradaban?

c. Secara historis-filosofis, wacana klasifikasi ilmu merupakan salah satu pembahasan penting dalam epistemologi Islam, bahkan boleh dikatakan sudah “mentradisi”. Penggagas klasifikasi-klasifikasi ini adalah para cendikiawan yang mewakili hampir seluruh spektrum tradisi intelektual Islam, mulai dari filosof, ilmuwan, teolog, fuqaha>’, hingga Sufi. Kemudian, bagaimana pandangan atau rangka bangun klasifikasi ilmu yang digagas oleh para cendikiawan Muslim tersebut?

d. Sebagai seorang teosof (filosof-Sufi), bagaimana konstruk klasifikasi ilmu yang digagas oleh Ibn Sab‘i>n?

e. Dalam menjelaskan entitas wujud, Ibn Sab‘i>n merupakan salah seorang teosof yang memiliki pandangan ontologis tentang kesatuan wujud yang disebut al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak). Permasalahan yang muncul, bagaimana sebenarnya konstruk filosofis pandangan tersebut? Lalu, apa perbedaan, persamaan dan hubungannya dengan pandangan kesatuan wujud yang digagas oleh cendikiwan Muslim selainnya?

f. Pembahasan terhadap status ontologis objek ilmu, yang pada gilirannya akan menjadi basis ontologis klasifikasi ilmu, akan sangat ditentukan oleh pemikiran tentang entitas wujud. Dalam konteks ini, bagaimana dan sejauh apa pengaruh pandangan ontologis Ibn Sab‘i>n, al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak), terhadap pemikirannya tentang klasifikasi ilmu?

13 (Netherland: Kluwer Academic Publishers 2004), 179-195. http://depa.fquim.unam. mx/amyd/archivero/AllchinsobrePseudo_20824.pdf (diakses pada 16 Juli 2014).

Page 24: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

12

2. Pembatasan Masalah

Permasalahan-permasalahan yang diidentifikasi di atas, secara akademik tidak mungkin dijawab secara keseluruhan. Bukan saja cakupan masalahnya yang luas dan dalam, tetapi juga memerlukan tema penelitian tersendiri yang lebih spesifik. Penelitian ini akan difokuskan pada kajian terhadap pemikiran klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n yang ia tuangkan dalam karya monumentalnya, Budd al-A<rif.

Peneltian ini secara lebih khusus akan difokuskan pada kajian konstruk filosofis klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n, dengan melihat basis ontologisnya, yang berakar pada doktrinnya tentang entitas wujud, yakni al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak). Diasumsikan bahwa, secara konseptual, dengan melihat basis ontologisnya, klasifikasi ilmu yang digagasnya ini, memiliki pijakan yang integral dan holistik.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan ruang lingkup pembahasan di atas, permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana konstruk dan paradigma klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n dengan melihat basis ontologisnya dalam doktrin Kesatuan Mutlak (al-Wah}dah al-Mut}laqah)?”

C. Penelitian/Gagasan Terdahulu yang Relevan

Penelitian dan atau gagasan yang berkaitan dengan wacana klasifikasi ilmu dalam filsafat Islam merupakan penelitian yang cukup kaya, khususnya penelitian yang bertemakan epistemologi Islam. Sama halnya dengan wacana klasifikasi ilmu, penelitian tentang pemikiran Ibn Sab‘i>n pun telah cukup banyak dilakukan. Hal ini mengingat pengaruh pemikiran filosofis-sufistik Ibn Sab‘i>n baik di dunia Islam maupun Barat. Akan tetapi, penelitian tentang Ibn Sab‘i>n yang secara khusus memotret paradigma dan konstruk klasifikasi ilmu yang digagasnya, tidak sebanyak penelitian tentang Ibn Sab‘i>n yang mengkaji pemikiran filosofisnya.

Dalam penelitian ini, penulis mengklasifikasikan penelitian terdahulu yang relevan menjadi dua bagian, yakni tema “klasifikasi ilmu” dan kajian terhadap tokoh Ibn Sab‘i>n:

1. Tentang Klasifikasi Ilmu

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Paul L. Heck dalam tulisannya The Hierarchy of Knowledge in Islamic Civilization (2002).37 Dalam studi ini, Heck mengkaji wacana klasifikasi ilmu yang berkembang dalam peradaban Islam. Dalam penelitian tersebut juga diungkapkan pemikiran klasifikasi ilmu yang digagas oleh para sarjana Muslim, antara lain al-Ghaza>li> (450-505 H./1058-

37Paul L. Heck, “The Hierarchy of Knowledge in Islamic Civilization,” Journal

Arabica XLIX, Issue 1 (January 2002), 27-54, http://e-resources.pnri.go.id/index.php? option=com_library&itemid=53&key=7 (diakses pada 12 September 2013).

Page 25: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

13

1111 M.), al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.), Qudama>’ ibn Ja‘far (w. 337 H./958 M.), Ibn Nadi>m (w. 377 H./987 M.), dan lainnya.

Dalam studinya, Heck menyimpulkan, bahwa konsep klasifikasi ilmu dalam Islam bukan lahir dari kerangka berbasis intelektual (intellect-based), tetapi lahir sebuah kerangka berbasis kenegaraan/politik (state-based). Menurut Heck, hal ini karena unsur paling utama dalam konsepsi ilmu pengetahuan dalam masyarakat Arab-Islam adalah bahasa yang menjadi nilai sosial kenegaraan. Pandangan Heck tersebut diperkuat oleh pembuktiannya bahwa secara historis, adanya konsep klasifikasi ilmu merupakan indikasi dari kompleksnya peradaban yang masuk dalam kekuasaan Arab-Islam. Masing-masing peradaban tersebut membawa budaya dengan segenap tradisi ilmiahnya, kontan saja hal ini diserap secara akomodatif oleh kekuasaan Arab-Islam, sehingga lahirlah wacana klasifikasi ilmu.

Kedua, Fazlur Rahman dalam karyanya Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition.38 Dalam studinya, Rahman mencoba memberikan spirit dan nilai universal demi tercapainya transformasi tradisi ilmiah dan intelektual Islam. Dengan tujuan tersebut, ia mengangkat wacana pendidikan Islam abad pertengahan yang tentu saja masa di mana berbagai ilmu pengetahuan dapat dikuasai oleh Islam. Menurutnya, tradisi intelektual Islam mengakui adanya klasifikasi ilmu yang diterapkan dalam kurikulum pendidikan abad pertengahan, namun sejatinya, klasifikasi tersebut sama sekali bukan dimaksudkan untuk memisahkan satu bidang ilmu dengan lainnya, atau malah mempertentangkannya. Klasifikasi ilmu lebih merupakan sebuah keniscayaan filosofis dan tanggung jawab intelektual umat Islam dalam mengawal tradisi ilmiah.

Pada satu bagian dalam karyanya tersebut, Rahman sempat melakukan kritik “pedas” terhadap salah satu klasifikasi ilmu yang sangat berpengaruh di dunia Islam, yaitu klasifikasi al-Ghaza>li> (450-505 H./1058-1111 M.), yang mengklasifikasikan ilmu ke dalam kategori “hitam putih”; terpuji-tercela dan agama-non agama/sekuler. Menurutnya, klasifikasi tersebut merupakan klasifikasi ilmu “paling malang” yang pernah disusun dalam tradisi intelektual Islam.39 Pasalnya, segenap objek pengetahuan dalam tradisi intelektual Islam benar-benar disadari sebagai ayat (sign) Tuhan. Karenanya, tidak berlebihan jika

38 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual

Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982). 39 Rahman, Islam and Modernity, 33-34. Hal ini pula yang menjadi salah satu

pretensi Rahman melakukan kritik terhadap gagasan Islamisasi Ilmu yang diprakarsai oleh Isma’il Raji al-Faruqi, Naquib al-Attas, Abu al-A’la al-Mawdudi, dan lainnya. Lihat Fazlur Rahman, “Islamization of Knowledge: A Response,” Islamic Studies Vol. 50, No. 3/4 (Autumn-Winter 2011), 449-457. http://www.jstor.org/stable/41932607 (diakses pada 8 Mei 2014). Tentang islamisasi ilmu al-Mawdudi, lihat misalnya Abdul Rashid Moten, “Islamization of Knowledge in Theory and Practice: The Contribution of Sayyid Abul A’la al-Mawdu>di>,” Islamic Studies Vol. 43, No. 2 (Summer 2004), 247-272. http://www.jstor.org /stable/20837343 (diakses pada 8 Mei 2014).

Page 26: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

14

dikatakan bahwa sejatinya, dalam tradisi intelektual Islam tidak ada klasifikasi, hierarki atau dikotomi dalam ilmu pengetahuan.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Godefroid De Callataÿ dalam tulisannya The Classification of the Sciences According to Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’.40 Dalam studinya, dengan memfokuskan kajian terhadap deskripsi klasifikasi ilmu, Callataÿ menyatakan bahwa wacana klasifikasi ilmu dalam Islam selalu mengarah pada klasifikasi yang tetap dan tidak berubah secara esensial, meskipun digagas oleh tokoh yang berbeda. Artinya, perbedaan tersebut hanya pada tataran terminologi saja. Klasifikasi tersebut menurut Callataÿ selalu mengarah kepada dua bagian besar, ilmu agama/Islam, dan ilmu rasional/filsafat (Greek sciences). Meskipun demikian, Callataÿ menyatakan, Ikhwa>n al-S{afa>’lah yang menjadi perintis konsep klasifikasi ilmu yang tidak mengarah kepada dua bagian besar tersebut melalui Rasa>’il-nya, tidak seperti klasifikasi ilmu yang digagas oleh sarjana Muslim lain. Dengan kata lain, dari studinya ini, Callataÿ ingin mengatakan bahwa konsepsi ilmu pengetahuan dalam Islam secara geneologis selalu mengarah kepada kecenderungan dikotomik.

Keempat, penelitian Salisu Shehu, dalam karyanya Islamization of Knowledge: Conceptual Background, Vision and Tasks.41 Ia menyatakan, dalam tradisi intelektual Islam, dikenal bermacam-macam konsep dan deskripsi klasifikasi ilmu dari para sarjana Muslim. Kendati demikian, menurut Shehu, bagi Islam, ilmu pengetahuan bersifat universal dan integral. Ia adalah warisan kemanusiaan yang universal. Artinya, tidak ada satu pun komunitas yang berhak mengklaim bahwa komunitasnyalah yang dapat menguasai ilmu pengetahuan. Semua orang, ras, golongan, negara, dapat mendapatkan, menguasai, mengembangkan dan mengubah pengetahuan. Dengan pendekatan sosiologis, senada dengan pandangan Elshakry,42 Shehu kemudian mengatakan, dalam keuniversalannya, struktur ilmu pengetahuan harus memiliki “cap budaya (cultural stamp)” tertentu, tergantung nilai dan orientasi tempat di mana budaya itu berkembang.

Kelima, dalam karyanya, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam,43 secara apik, Mulyadhi Kartanegara menguraikan status dan basis ontologis klasifikasi ilmu dalam Islam. Menurutnya, dalam klasifikasi ilmu Islam, wujud-wujud yang menjadi objek ilmu disusun secara hierarkis sesuai dengan sifat-sifat dasar objek tersebut. Ia mengangkat teori

40Godefroid De Callataÿ, “The Classification of the Sciences According to

Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’,” The Institute of Ismaili Studies (2003), 8-9, http://www.iis.ac. uk/SiteAssets/pdf/rasail_ikhwan.pdf (diakses pada 23 Agustus 2013).

41Salisu Shehu, Islamization of Knowledge: Conceptual Background, Vision and Tasks (Kano, Nigeria Office: International Institute of Islamic Thought, 1998), 50-57.

42 Marwa Elshakry, “When Science Became Western: Historiographical Reflections,” ISIS vol. 101, No. 1 (Maret 2010), 98-109. http://www.jstor.org/stable/10. 1086/652691 (diakses pada 14 Juli 2014).

43Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan. 30-50.

Page 27: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

15

pengelompokan wujudnya Ibn Si>na> (370-428 H./980-1037 M.) yang terbagi kepada tiga kategori besar: pertama, wujud yang secara niscaya tidak berhubungan dengan materi dan gerak (kelompok ilmu-ilmu metafisika), kedua, wujud yang dirinya imateriil namun berhubungan dengan materi dan gerak (kelompok ilmu-ilmu matematika), dan ketiga, wujud yang secara niscaya terkait dengan materi dan gerak (kelompok ilmu-ilmu fisika).44 Ketiga kategori wujud di atas menjadi basis ontologis klasifikasi ilmu dalam Islam, sehingga, objek deskripsi klasifikasi ilmu tidak akan lepas dari tiga kategori wujud ini.

Kendati demikian, dalam karyanya yang lain, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik,45 ia menyatakan bahwa klasifikasi ilmu berintegrasi secara filosofis dalam satu prinsip utama, yakni Tauhid. Lebih dari itu, integrasi tersebut bukan hanya dalam klasifikasi ilmu, tapi juga dalam sumber, objek, metode ilmu, dan pengalaman manusia.

Keenam, penelitian yang dilakukan oleh Osman Bakar dalam karyanya, Classification of Knowledge in Islam; A Study in Islamic Philosophies of Science.46 Dalam studinya, ia berusaha mengkaji klasifikasi ilmu yang digagas oleh tiga sarjana Muslim, al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.) yang mewakili filosof-ilmuwan, al-Ghaza>li> (450-505 H./1058-1111 M.) sebagai seorang Sufi, faqi>h, wakil dari Mutakallimu>n (teolog), dan Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi> (634-710 H./1236-1311 M.) yang mewakili aliran filsafat Ishra>qi> (iluminasionis) yang juga seorang ilmuwan. Selain menguraikan konstruk klasifikasi ilmu ketiga sarjana Muslim tersebut, Bakar juga menjelaskan gagasan-gagasan filosofis umum dan gagasan spesifik dari pandangan dunia intelektual ketiganya, seperti basis ontologis, basis metodologis dan basis aksiologis klasifikasi ilmu mereka.

Bakar menyimpulkan bahwa dari ketiga klasifikasi ilmu tiga tokoh tersebut, pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang Tuhan. Demi pengetahuan tentang Tuhanlah setiap bentuk pengetahuan lainnya dicari, pengetahuan tentang segala sesuatu selain Tuhan harus dikaitkan secara konseptual-organik dengan pengetahuan tentang Tuhan. Gagasan ini berawal dari proposisi bahwa setiap pengetahuan berasal dari sumber yang sama, serta membentuk gagasan konseptual tentang kesatuan pengetahuan.

2. Tentang Ibn Sab‘i>n

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Anna Ayşe Akasoy dalam tulisannya Ibn Sab‘i>n’s Sicilian Questions: The Texts, Its Sources, and Their Historical Context.47 Dalam studinya, Akasoy memfokuskan kajiannya terhadap latar historis jawaban Ibn Sab‘i>n terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis

44Lihat Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, 43. 45Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. 46Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic

Philosophies of Science (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1998). 47Anna Ayşe Akasoy, “Ibn Sab‘i>n’s Sicilian Questions: The Text, Its Sources

and Their Historical Context,” Journal Al-Qant}ara XXIX, issue 1 (Januari-Juni 2008), 115-146. http://www.al-qantara.revistas.csic.es/index.php/al-qantara/article/viewFile/ 51/45 (diakses pada 26 Februari 2013).

Page 28: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

16

Frederick II (1194-1250) yang terangkum dalam karya Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah.

Akasoy menyatakan bahwa konteks historis yang melatari jawaban Ibn Sab‘i>n terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis Frederick II tidak begitu jelas. Artinya, jawaban Ibn Sab‘i>n tersebut tidak serta merta dikatakan hanya sebagai jawaban dari pertanyaan filosofis Frederick II an sich. Lebih dari itu, menurutnya, teks (jawaban) tersebut menggambarkan sebuah ideologi dari dinasti Muwahhidun kala itu. Bahkan Akasoy mengatakan bahwa teks tersebut kemungkinan besar ialah sebagai “pengantar” filsafat Aristoteles (384-322 SM.). Terlepas dari ketidakpastian ini, teks tersebut memberikan wawasan yang luas dan pengaruh signifikan terhadap sosio-intelektual kala itu.

Kedua, Vincent J. Cornell, dalam studinya tentang konstruk epistemologi Ibn Sab‘i>n yang diterbitkan dalam jurnal Ibn ‘Arabi Society dengan judul The Way of Axial Intellect: The Islamic Hermetism of Ibn Sab‘i>n.48 Setelah mengkaji karya-karyanya, Cornell menemukan sebuah sistem pikir khas dalam epistemologi Ibn Sab‘i>n yang ia istilahkan dengan Axial Intellect. Yaitu sebuah metode berpikir yang diawali dengan mengakomodasi pandangan cendikiawan lain yang dalam hal ini adalah Fuqaha>’, sufi, teolog dan filosof, kemudian menganalisis dan mengkritiknya. Dari akomodasi dan kritik itu, Ibn Sab‘i>n kemudian melakukan sintesis terhadap pandangan komunitas intelektual tersebut dan memberikan tawaran konsep-sintetik baru.

Ketiga, Patrizia Spallino, dalam tulisannya yang dimuat dalam ensiklopedi berjudul Encyclopedia of Medieval Philosophy; Philosophy Between 500 and 1500 (ed. Henrik Lagerlund).49 Dalam tulisannya, Spallino menguraikan latar sosio-kultur dan sosio-politik ketika Ibn Sab‘i>n hidup. Di akhir, Spallino mengungkapkan dua hal yang menyebabkan karya-karya Ibn Sab‘i>n yang cukup banyak, tidak begitu populer dikalangan para sarjana. Pertama, karya-karya Ibn Sab‘i>n kebanyakan ditulis dengan menggunakan simbol dan kiasan untuk memperkenalkan makna esoteris dibalik argumen/doktrinnya. Kedua, tuduhan sesat terhadap Ibn Sab‘i>n yang ditujukan oleh para cendikiawan di zamannya (khususnya para teolog, sejarawan dan fuqaha>’) ikut mempengaruhi terhadap ketidak populeran karya-karyanya.

Keempat, riset yang dilakukan oleh Abu> al-Wafa> al-Tafta>za>ni>, dalam karyanya yang khusus memotret peta pemikiran filosofis Ibn Sab‘i>n, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu al-S{u>fi>yah.50 Dalam studinya ini, al-Tafta>za>ni mengkaji beberapa doktrin Ibn Sab‘i>n, antara lain tentang: (1) al-Wah}dah al-Mut}laqah, (2)

48 Vincent J. Cornell, “The Way of the Axial Intellect: The Islamic Hermetism

of Ibn Sab‘i>n” Journal of the Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society Vol XXII (1997), 41-79. https://www.academia.edu/7630212/The_Way_of_the_Axial_Intellect_The_Islamic_Hermetism_of_Ibn_Sabin (diakses pada 22 Agustus 2014).

49 Patrizia Spallino, “Ibn Sab‘i>n, ‘Abd al-H{aqq” dalam Encyclopedia of Medieval Philosophy: Philosophy Between 500 and 1500, ed. Henrik Lagerlund (New York: Springer, 2011), 507-513.

50Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu al-S{u>fi>yah (Beirut: Da>r al-Kutub al-Libna>ni>, 1973).

Page 29: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

17

al-Tah}qi>q wa-al-Muh}aqqiq, (3) Mant}iq al-Muh}aqqiq, (4) al-Nafs wa-al-‘Aql, (5) al-Akhla>q al-Naz}ari>yah dan (6) al-Akhla>q al-‘Amali>yah.

Dari kajiannya tersebut, al-Tafta>za>ni menyimpulkan bahwa Ibn Sab‘i>n bukanlah seorang filosof Peripatetik an sich, bukan pula seorang Sufi an sich seperti yang dinyatakan oleh para peneliti lain, tetapi ia adalah seorang filosof-Sufi (teosof) yang mampu mensintesiskan akal (al-‘aql) dan rasa (al-dhawq). Hal ini menurut al-Tafta>za>ni dibuktikan dengan kritik Ibn Sab‘i>n terhadap filosof dan Sufi, serta dengan doktrin Mant}iq al-Muh}aqqiq yang digagasnya, yakni “logika” yang secara epistemologis bersifat gnostik, berakar pada al-dhawq (rasa/intuisi).

Kelima, penelitian Muh{ammad Ya>sir Sharaf, dalam karyanya yang berjudul Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>.51 Dalam kajiannya, Sharaf memfokuskan studinya terhadap doktrin al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak), dengan mendeskripsikan gagasan-gagasan filosofis Ibn Sab‘i>n antara lain tentang kosmologi, epistemologi, metafisika dan etika. Selain itu, Sharaf juga melakukan eksplorasi terhadap pemikiran Ibn Sab‘i>n dalam bidang Fiqh, Kalam dan Tasawuf.

Keenam, penelitian Mah{mu>d al-Mura>kibi> dan ‘A<t}if al-Zayn, yang keduanya menjadikan pembahasan tentang pemikiran Ibn Sab‘i>n sebagai salah satu bab dalam karyanya. Al-Mura>kibi> dalam karyanya ‘Aqa>‘id al-S{u>fi>yah fi> D{aw’ al-Kita>b wa-al-Sunnah,52 sebagaimana peneliti biografis asal Timur Tengah lainnya, mengungkapkan beberapa hal yang menurutnya merupakan doktrin Ibn Sab‘i>n antara lain: (1) doktrin al-Wah{dah al-Mut}laqah merupakan modifikasi dari doktrin Wah}dat al-Wuju>d (kesatuan wujud), (2) bagi Ibn Sab‘i>n, kenabian dapat diusahakan (muktasabah), (3) T{ari>qat al-Sab‘i>ni>yah, yang dibangun oleh Ibn Sab‘i>n memiliki silsilah (ketersambungan konseptual) kepada para filosof/Sufi awal seperti Hermes, Socrates, Plato, Aristoteles, Iskandar Yang Agung, al-H{alla>j, Ibn Rushd dan Ibn Si>na>. Sedangkan ‘A<t}if al-Zayn, dalam karyanya al-S{u>fi>yah fi> Naz}r al-Isla>m: Dira>sah wa-Tah{li>l,53 selain mengungkapkan doktrin al-Wah{dah al-Mut}laqah, ia juga menyatakan bahwa dalam batas tertentu, Ibn Sab‘i>n telah melepaskan Syari’at dalam doktrin sufistiknya.

Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, penelitian ini akan difokuskan pada kajian terhadap pemikiran klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n yang ia tuangkan dalam karya monumentalnya, Budd al-A<rif. Secara lebih khusus, akan difokuskan pada kajian rangka bangun klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n, dengan melihat basis ontologisnya, yang berakar pada pandangan ontologisnya tentang entitas wujud, yakni al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak). Diasumsikan

51Muh{ammad Ya>sir Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni> (Damaskus:

Wiza>rat al-Thaqa>fah, 1990). Dalam versi lain karya ini berjudul al-Wah}dah al-Mut}laqah ‘inda Ibn Sab‘i>n (Beirut: al-Markaz al-‘Arabi> li-al-T{aba>’ah wa-al-Nashr, 1981).

52 Mah{mu>d al-Mura>kibi>, ‘Aqa>‘id al-S{u>fi>yah fi> D{aw’ al-Kita>b wa-al-Sunnah (Kairo: Da>r al-T{aba>‘ah wa-al-Nashr, 1996). 85-98.

53‘A<t}if al-Zayn, Al-S{u>fi>yah fi> Naz}r al-Isla>m; Dira>sah wa-Tah{li>l (Beirut: Da>r al-Kita>b al-Libna>ni>, 1985).

Page 30: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

18

bahwa, secara konseptual, dengan melihat basis ontologisnya, klasifikasi ilmu yang digagasnya ini, memiliki pijakan yang valid, integral dan holistik. D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini secara khusus bertujuan untuk: 1. Melakukan eksplorasi terhadap rangka bangun klasifikasi ilmu yang digagas

Ibn Sab‘i>n 2. Mengelaborasi secara mendalam terhadap paradigma klasifikasi ilmu Ibn

Sab‘i>n dengan melihat basis ontologisnya yang berakar pada doktrinnya tentang entitas wujud, yakni al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak).

E. Signifikansi Penelitian

Dunia ini dipenuhi oleh berbagai aliran dan ideologi, setiap ideologi berlandaskan pada sebuah “pandangan dunia (world view)”, dan “pandangan dunia” ini berpijak pada epistemologi. Di sinilah letak urgensi dan pentingnya epistemologi.54 Dalam kenyataannya, krisis epistemologi yang terlihat jelas pada konsep ilmu pengetahuan yang dikotomik dalam keilmuan modern saat ini, telah menumbuhkan berbagai upaya untuk melakukan revitalisasi peran agama dalam ilmu.

Banyaknya konsep integrasi ilmu dan agama tidak lain lahir sebagai bentuk keprihatinan atas hilangnya aspek spritualitas dalam ilmu pengetahuan, yang pada gilirannya, termarginalkannya wahyu, dianggap berada diluar wilayah ilmiah dan hanya diletakkan sebagai ekspresi psikologis yang bersifat subjektif saja. Aspek epistemologi dalam Islam yang terefresentasikan dalam wacana klasifikasi ilmu berparadigma hierarkis-integral, seolah telah memberikan kesadaran bahwa hari ini umat manusia dengan segenap peradabannya ada dalam kungkungan sistem epistemologi dikotomik yang empirik-posivistik, dan budaya Barat yang materialistik-sekularistik, serta menafikan peran Tuhan yang menguasai dunia ini.

Kekhasan cara berpikir filsafat dalam Islam adalah pandangannya yang utuh terhadap kajian epistemologi, kosmologi, etika, metafisika, psikologi dan lainnya, yang merupakan perwujudan dari nilai Tauhid. Dari sifatnya yang seperti ini, diharapkan manusia dapat memperoleh kembali pegangan hidup dan pijakan ilmiah yang integral, universal dan tidak parsial. Jika tradisi pemikiran ilmiah ini mampu dipertahankan dan terus dikembangkan secara kontekstual dan proporsional, tentu akan sangat berpotensi untuk mampu menjawab persoalan-persoalan filosofis kontemporer yang muncul akibat krisis epistemologi kontemporer.

Dengan pandangan pandangan tersebut, penelitian ini diharapkan dapat:

54 Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemataan dan

Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia (Jakarta: Shadra Press, 2001), 5-6.

Page 31: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

19

1. Mengenal lebih baik lagi mengenai rangka bangun klasifikasi ilmu seorang filosof-Sufi (teosof), Ibn Sab‘i>n, khususnya paradigma pemikiran klasifikasi ilmunya sebagai sebuah sistem pengetahuannya yang utuh.

2. Memperkaya khazanah penelitian terhadap diskursus klasifikasi ilmu dalam Islam, khususnya dalam rangka mengkomparasikan secara konseptual berbagai pemikiran tentang klasifikasi ilmu, baik yang digagas oleh para sarjana Muslim klasik maupun oleh para cendikiawan Muslim kontemporer. Bahkan lebih jauh, penelitian ini dapat mengkomparasikan sistem pengetahuan Islam dengan pandangan sekularistik epistemologi Barat.

3. Menyumbangkan pemikiran kepada lembaga-lembaga pendidikan, terutama dalam rangka mengintegrasikan berbagai bidang ilmu pengetahuan yang hingga detik ini masih berkutat pada paradigma dikotomik-paradoksal, khususnya dalam konteks kurikulum pendidikan sebagai titik tekan.

4. Memberikan kontribusi pemikiran yang signifikan kepada gerakan keagamaan, pemuka-pemuka agama dan pemegang kebijakan, khusususnya dalam rangka meningkatkan wawasan ke-Tauhid-an, serta mencegah masyarakat dari keterjebakan dalam pemahaman parsial terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan filsafat pengetahuan dalam Islam.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yang termasuk dalam lingkup penelitian kepustakaan/studi pustaka (library research), yang memprioritaskan datanya dari buku, jurnal, dokumen dan berbagai literartur lain yang berkaitan dengan objek penelitian (pemikiran klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n),55 dengan lebih menitikberatkan pada olahan filosofis-teoritik56 dan

55 Mestika Zed mengungkapkan, riset pustaka/studi pustaka tidak dimaknai

sekedar membaca dan mencatat literatur atau buku-buku sebagaimana yang sering dipahami banyak orang. Tetapi, studi pustaka merupakan serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 3. Selanjutnya Zed mengatakan, setidaknya ada tiga alasan mengapa peneliti membatasi penelitiannya pada studi pustaka/teks: pertama, persoalan penelitian tersebut hanya bisa dijawab lewat penelitian teks/pustaka dan tidak mungkin mengaharapkan datanya dari riset lapangan, kedua, studi pustaka/teks diperlukan sebagai salah satu tahap tersendiri, yaitu studi pendahuluan (preliminary research) untuk memahami lebih dalam gejala baru yang tengah berkembang di lapangan atau dalam masyarakat, dan ketiga, data pustaka tetap handal untuk menjawab persoalan penelitiannya.

56 Studi teks dalam makna studi pustaka, menurut Noeng Moehadjir, setidaknya dapat dibedakan menjadi: pertama, studi pustaka yang memerlukan olahan uji kebermaknaan di lapangan, dan kedua, studi pustaka yang lebih memerlukan olahan filosofis-teoritik, -dalam makna yang terakhir ini, studi pustaka menjadi titik tekan penulis-. Noeng Moehadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif edisi VI (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), 296. Dalam karyanya yang lain, Moehadjir mengutip Derrida, bahwa logo atau tanda digunakan sebagai dasar telaah semiotik. Dalam pandangan logosentrisme, tanda tidak dapat lepas dari konteksnya. Lebih jauh Derrida mengatakan,

Page 32: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

20

sistematis-reflektif.57 Setidaknya ada empat ciri utama penelitian pustaka ini yang harus diperhatikan oleh peneliti (researcher), pertama, peneliti berhadapan langsung dengan teks atau data angka, bukan dengan pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata (eyewitness) berupa kejadian, orang atau benda-benda lainnya. Kedua, data pustaka bersifat “siap pakai” (ready made). Artinya, peneliti hanya berhadapan langsung dengan sumber yang sudah tersedia di perpustakaan. Ketiga, data pustaka umumnya adalah sumber sekunder, dalam arti bahwa peneliti memperoleh bahan dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari tangan pertama di lapangan. Keempat, kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.58

Objek formal dalam penelitian ini adalah pemikiran Ibn Sab‘i>n, sedangkan objek materialnya adalah pemikiran Ibn Sab‘i>n yang berhubungan dengan klasifikasi ilmu. Karena kajiannya menyangkut seorang tokoh, maka penelitian ini termasuk studi tokoh, yaitu studi terhadap seorang tokoh untuk mengetahui pemikiran filosofisnya dalam masalah tertentu.59 Karena itu, studi ini akan menggunakan beberapa unsur metodis dalam rangka mengeksplorasi pemikiran Ibn Sab‘i>n tentang klasifikasi ilmu, yaitu: (1) Interpretasi, karya tokoh diselami guna menangkap arti dan nuansa yang

dimaksudkan tokoh secara khas; (2) Induksi dan Deduksi, karya tokoh dipelajari sebagai sebuah case-study,

dengan membuat analisis mengenai konsep-konsep pokok dan mendasar; (3) Koherensi intern, berbagai konsep dan aspek dilihat menurut

keselarasannya satu sama lain; (4) Holistika, yakni melihat secara keseluruhan visi tokoh -yang dalam hal ini

adalah Ibn Sab‘i>n- mengenai manusia, alam semesta dan Tuhan; (5) Kesinambungan historis, melihat benang merah perkembangan pemikiran

tokoh, baik wilayah eksternal (sisio-kultur, sosio-ekonomi, sosio-politik, filsafat dan lainnya), maupun wilayah internal tokoh (riwayat hidup,

bahwa tanda satu merajut dengan tanda lain, maka muncullah teks/naskah. Oleh karenanya, teks itu tidak pernah terisolasi dalam arti selalu berkait-kelindan dengan teks lain. Studi teks tidak lebih dari pemikiran tentang teks itu sendiri, pemahamannya terajut dalam teks dan dapat diuji pada pemahaman dalam intertekstualitas. Lihat Noeng Moehadjir, Metodologi Keilmuan: Paradigma Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed edisi V (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2007), 411.

57 Penelitian sistematis-reflektif seperti ini membahas salah satu masalah pokok dalam kehidupan manusia, yang merupakan fenomena cukup sentral, seperti bahasa, validitas pengetahuan, kebebasan, komunikasi, kebaikan, keadilan, cinta, simbol, persepsi tentang Tuhan, dan sebagainya. Signifikansi penelitian ini adalah untuk mencapai pemahaman mendasar tentang pokok-pokok sentral dimaksud, sehingga sintesis yang dibuat tidak menambah pemahaman serba baru, tapi menyeimbangkan semua yang telah ditemukan. Selanjutnya, dari semua bahan dan telaahan tersebut terjadi suatu pendobrakan pemikiran, yang bertitik tolak dari asumsi yang baru. Lihat Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: RajaGrapindoPersada,1997), I25.

58 Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, 4-5. 59Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat

(Yogyakarta: Kanisius, 1990), 61.

Page 33: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

21

pendidikan, karya tulis, pengaruh dan segala pengalaman yang membentuk pandangannya);

(6) Idealisasi, yakni filsafat yang diutarakan oleh tokoh siapa saja selalu dimaksudkan sebagai konsep universal dan ideal;

(7) Komparasi, pemikiran tokoh yang bersangkutan dibandingkan secara konseptual dengan pemikiran filosof lainnya;

(8) Heuristika, dengan bahan dan pendekatan baru, peneliti mengusahakan pemahaman dan interpretasi baru pada pemikiran tokoh tersebut;

(9) Bahasa inklusif dan analogal, peneliti mengikuti penggunaan bahasa tokoh terkait;

(10) Deskripsi, menguraikan secara teratur seluruh konsepsi tokoh yang relevan dengan objek;

(11) Metode khusus, di samping langkah-langkah metodis di atas, juga dapat dibuat analisis teks-teks sentral yang penting bagi pemahaman filsafatnya, dan

(12) Refleksi peneliti.60 Sumber dalam peneltian ini dibagi menjadi dua kategori: sumber primer

(primary sources) dan sumber sekunder (secondary sources). Sumber primer penelitian ini adalah karya Ibn Sab‘i>n yang dalam karya tersebut pemikiran tentang klasifikasi ilmu dan tentang entitas wujud ia tuangkan, yakni Budd al-‘A<rif, di samping karya-karyanya dalam bentuk risa>lah (p. rasa>’il) yang terkait langsung dengan tema penelitian ini. Kedua sumber tersebut lebih diprioritaskan dalam penelitian ini, terutama dalam melacak dan mengeksplorasi konstruk dan paradigma klasifikasi ilmu menurut Ibn Sab‘i>n. Sedangkan sumber sekundernya adalah literatur-literatur dan karya-karya tulis para pemikir dan peneliti yang berkaitan dengan klasifikasi ilmu dalam Islam dan pemikiran Ibn Sab‘i>n.

Penelitian ini bersifat filosofis terhadap konstruk paradigmatik klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n. Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan pendekatan filosofis-hermeneutis. Di antara karakteristik pendekatan filosofis adalah pengkajian terhadap ide-ide dasar dan pemikiran-pemikiran yang fundamental (fundamental ideas) yang dirumuskan oleh seorang pemikir.61 Selain itu sebagai sebuah proses metodis, dilihat dari segi karakteristik prinsipilnya, pendekatan filosofis memiliki empat cabang, yaitu logika, metafisika, epistemologi dan etika.62 Sedangkan sebagai sebuah aktivitas, pendekatan filosofis menuntut peneliti untuk membaca dengan teliti, berpikir dengan cermat, gradual dan sistematis, mengemukakan pikiran dengan jelas serta melihat ide-ide sendiri dengan rasional dan kritis.63

60 Lihat Bakker dan Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, 63-65. 61Amin Abdullah, “Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat

Multikultural dan Multireligius,” dalam Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, eds. Amin Abdullah et.al. (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), 8-9.

62 Lihat Rob Fisher, “Pendekatan Filosofis,” dalam Aneka Pendekatan Studi Agama, ed. Peter Connolly, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LkiS, 2002), 170-176.

63 Rob Fisher, “Pendekatan Filosofis”, 158. Lihat juga Muhammad Abdallah al-Sharqawi, “The Methodology of Religious Studies in Islamic Thought (Mana>hij Dira>sat

Page 34: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

22

Untuk melakukan kontekstualisasi, dalam menganalisis teks, peneliti juga menggunakan pendekatan hermeneutika filosofis yang secara konseptual diprakarsai oleh Hans-Georg Gadamer (1900-2002), filsuf abad ke-20 berkebangsaan Jerman, penulis karya monumental dalam kajian hermeneutika,Wahrheit und Methode (eng. Truth and Method). Pendekatan hermeneutika menganggap objek kajian sebagai gejala teks. Hermeneutika, sejatinya adalah suatu pemahaman terhadap pemahaman seseorang (teks/objek yang ditafsirkan) dengan mengkaji proses asumsi-asumsi yang berlaku dalam pemahaman tersebut, termasuk di antaranya konteks pembuat teks yang melingkupi dan mempengaruhi proses tersebut.64

Bagi Gadamer, human sciences selalu berusaha “mendekati” teks-teks itu sendiri (alienation), dan berusaha membangun ikatan-ikatan yang sebelumnya telah dimiliki oleh interpreter dengan objek yang diinterpretasikan. Jarak tersebut dapat diatasi dan ikatan-ikatan tersebut dapat dibangun kembali (re-fusion) melalui mediasi kesadaran akan efek historis (consciousness of the effects of history). Asumsi dasar yang diartikan Gadamer adalah bahwa pendekatan terhadap sebuah fenomena historis (karya seni, karya sastra, teks, dan lainnya), terlebih dahulu telah ditentukan oleh pemahaman awal (pre-understandings) dari interpreter-interpreter sebelumnya.65 Artinya, dengan melepaskan “ikatan-ikatan” si interpreter sendiri terhadap objek, dan menggantinya dengan hasil interpretasi dari para interpreter sebelumnya, maka

al-Adya>n fi> al-Fikr al-Isla>mi>),” Journal of Qur'anic Studies Vol. 2, No. 2 (2000), 128-145. http://www.jstor.org/stable/25728010 (diakses pada 15 Oktober 2014).

64 Prinsip-prinsip hermeneutika antara lain: (1) Bila kaum strukturalis berkonsentrasi pada struktur, kaum hermeneutika berkonsentrasi pada makna. (2) Bahasa adalah pusat kekuatan manusia. (3) Hermeneutika menekankan pemahaman dan komunikasi. (4) Dalam tradisi hermeneutika, subjek dan objek tidak dipisahkan tetapi malah terlibat dalam hubungan komunikatif. (5) Interpretasi yang baik mensyaratkan adanya keterkaitan (interplay) antar dua konteks, “teks” dan penafsir, atau yang disebut Gadamer sebagai fusion of horizons. (6) Tujuan akhir dari hermeneutika adalah pemahaman yang lebih baik atau pemaknaan (sense making) dari interaksi berbagai konstruksi yang sudah ada, lalu dianalisis agar lebih mudah dipahami pihak lain, sehingga akhirnya dicapailah sebuah konsensus. (7) Pemahaman antar budaya dan antar zaman seperti halnya pemahaman teks, tidak mungkin ada titik temu pemahaman yang pasti, sebab masing-masing dibentuk oleh dunia bahasa dan budayanya sendiri. Kendati demikian masing-masing dapat berupaya untuk mendapat pemahaman semaksimal mungkin. Lihat A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung: Rosdakarya, 2010), hlm. 125-126

65 Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald D. Marshall (New York: Sheed and Ward and The Continuum Publishing Group, 2004), 309-10 dan 278. Lihat juga E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2003) 63-64. Mengenai telaah historis kemunculan hermeneutika Gadamer, lihat misalnya Dmitri N. Shalin, “Hermeneutics and Prejudice: Heidegger and Gadamer in their Historical Setting,” Russian Journal of Communication, vol. 3 No. 1/2 (Winter/Spring, 2010), 7-24. http://cdclv.unlv.edu/pragmatism/shalin_heidegger_ gadamer.pdf (diakses pada 27 Oktober 2014).

Page 35: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

23

interpreter tersebut telah berada pada suatu jaringan interpretasi (interpretational lineage).

Melalui kesadaran akan efek historis ini, dua titik yang semula terpisah, yaitu subjek dan objek, menjadi tersatukan menyeluruh. Proses ini oleh Gadamer dinamakan fusi horizon (fusion of horizons).66 Baginya, memahami “teks” sejatinya adalah peleburan horizon-horizon. Hal ini berarti, tidak ada satu pun interpretasi yang dapat diklaim sebagai “yang benar”, tetapi semua interpretasi, dalam maksud tertentu adalah “benar”. Proses penafsiran adalah fusi horizon dari penafsir dan teks yang akan ditafsirkan. Keduanya saling “menginterogasi”. Gadamer melihat ini sebagai sebuah proses tanpa akhir, untuk menghasilkan pemahaman-pemahaman baru.67

Dalam hermeneutikanya, Gadamer menolak pandangan hermeneutika tradisional yang menganggap bahwa tradisi sang penafsir bisa mengaburkan penafsiran. Seorang penafsir tidak bisa lolos dari itu, karena ia (penafsir), sebagaimana juga teks yang akan ia tafsirkan, tersituasikan oleh sejarah. Ia menolak asumsi “kembali ke teks dan pengarang asli” seperti yang dikemukakan Friedrich Schleiermacher (1768-1834), ia pun menolak pandangan Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey (1833-1911) tentang objektivitas penafsiran. Berpijak pada konsep in-der-welt-sein (eng. Being-in-the-World) yang digagas Martin Heidegger (1889-1976), Gadamer memandang bahwa pembuat teks dan penafsir berada dalam kondisi dan sosio-historis yang berbeda. Perbedaan ini dengan sendirinya akan membuat pembuat teks dan penafsir memiliki prejudice yang berbeda pula, serta berada dalam horizon dan tradisinya masing-masing.68 Dengan demikian, hermeneutika sejatinya tidak bertujuan “mereproduksi” makna pembuat “teks”/penulis seperti yang dikemukakan Schleiermacher dan Dilthey, tetapi lebih kepada bagaimana “memproduksi” makna baru dengan upaya dialog antara dua horizon (“teks”dan penafsir).69

66 Gadamer, Truth and Method, 336-7. Juga karyanya yang lain, Gadamer,

Philosophical Hermeneutics, trans. and edit. by David E. Linge (California: University of California Press., 1976), khususnya bagian pertama. Bandingkan dengan Frederick G. Lawrence, “Ontology of and as Horizon: Gadamer's Rehabilitation of the Metaphysics of Light” Revista Portuguesa de Filosofia, T. 56, Fasc. 3/4, A Idade Hermenêutica da Filosofia (The Age of Hermeneutics): Hans-Georg Gadamer (Jul.-Dec., 2000), 389-420. http://www.jstor.org/stable/40337583 (diakses pada 27 Oktober 2014). Juga dengan Kathleen J. Ryan and Elizabeth J. Natalle, “Fusing Horizons: Standpoint Hermeneutics and Invitational Rhetoric,” Rhetoric Society Quarterly, Vol. 31, No. 2 (Spring, 2001), 69-90. http://www.jstor.org/stable/3886076 (diakses pada 26 Oktober 2014). Lihat juga Ahyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis (Bogor: Akademia, 2004), 129.

67 Gadamer, Truth and Method, 154. Juga Lubis, Filsafat Ilmu, 128. Bandingkan dengan misalnya David Weberman, “A New Defense of Gadamer's Hermeneutics” Philosophy and Phenomenological Research Vol. 60, No. 1 (Jan., 2000), 45-65. http://www.jstor.org/stable/2653427 (diakses pada 27 Oktober 2014).

68 Gadamer, Truth and Method, 272-3. 69 Gadamer, Truth and Method, 465-8. Lihat juga Lubis, Filsafat Ilmu, 130.

Page 36: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

24

Bagi Gadamer, hermeneutika lebih merupakan usaha memahami dan menginterprestasi sebuah “teks”. Hermeneutik merupakan bagian dari keseluruhan pengalaman mengenai dunia. Hermeneutik berhubungan dengan suatu teknis tertentu, dan berusaha kembali ke susunan tata bahasa, karena itu, hermeneutika menjadi sebuah “filsafat praktis”.70 Menurutnya, bahasa tidak pernah bermakna tunggal. Bahasa selalu memiliki beragam makna. keragaman makna di dalam bahasa menandakan adanya sesuatu yang bersifat esensial, tetap, dan universal di dalam bahasa itu sendiri. Artinya, bahasa itu memiliki sesuatu yang sifatnya khas pada dirinya sendiri, dan lepas dari pikiran manusia. Di dalam bahasa terdapat pengertian, dan tugas hermeneutika adalah memahami pengertian tersebut, serta membuka kemungkinan bagi pemahaman-pemahaman baru.71

Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah sebuah logika klasik, bahwa seseorang tidak bisa memahami keseluruhan tanpa terlebih dahulu memahami bagian-bagiannya. Hal yang sama dapat diterapkan untuk memahami suatu teks. Maksud utama dari keseluruhan teks dapat dipahami dengan berpusat pada bagian-bagian teks tersebut, dan sebaliknya bagian-bagian teks itu dapat dipahami dengan memahami keseluruhan teks. Tujuan utama Gadamer adalah untuk memahami teks di dalam kerangka berpikir yang lebih menyeluruh, dan bukan hanya terjebak pada apa yang tertulis atau terkatakan saja. Teks harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yang tentunya melibatkan teks-teks lainnya. Ini adalah salah satu kriteria untuk mendapatkan pemahaman yang tepat menurut Gadamer.72 Tiga hal penting dalam pemikiran hermeneutika Gadamer yaitu: (1) memahami realitas sejatinya adalah menafsirkan, (2) semua pemahaman pada intinya terikat dengan bahasa, karena bahasa merupakan

70 Duška Dobrosavljev, “Gadamer’s Hermeneutics as Practical Philosophy,”

Facta Universitatis; Series: Philosophy, Sociology and Psychology vol. 2 No. 9 (2002), 605-618. http://facta.junis.ni.ac.rs/pas/pas200201/pas200201-02.pdf (diakses pada 27 Oktober 2014). Juga Sumaryono, Hermeneutik, 78-79.

71 Gadamer, Truth and Method , 391. Lihat juga Jean Grondin, “Gadamer’s Basic Understanding of Understanding” dalam Cambridge Companion to Gadamer , ed. Robert J. Dostal (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 36. Juga Paul Regan, “Hans-Georg Gadamer’s Hermeneutics: Concept of Reading, Understanding and Interpretation” Research in Hermeneutics Phenomenology, and Practical Philosophy Vol. 4 No. 2 (December, 2012), 286-303. http://www.metajournal.org/articles_pdf/286-303-regan-meta8-tehno-r1.pdf (diakses pada 26 Oktober 2014).

72 Jean Grondin, “Gadamer’s Basic Understanding of Understanding”, 47. Grondin melanjutkan, Pengandaian hermeneutika Gadamer adalah, bahwa keseluruhan (whole) dan bagian (parts) selalu koheren. Supaya dapat memperoleh pemahaman yang tepat, si pembaca teks haruslah memahami koherensi antara makna keseluruhan dan makna bagian dari teks tersebut. Mengenai pandangan dan kritik Gadamer terhadap hermeneutika filsuf lain seperti Heidegger dan Schleiermacher, lihat misalnya Kristin Gjesdal, “Aesthetic and Political Humanism: Gadamer on Herder, Schleiermacher, and the Origins of Modern Hermeneutics” History of Philosophy Quarterly, Vol. 24 No. 3 (Jul., 2007), 275-296. http://www.jstor.org/stable/27745096 (diakses pada 27 Oktober 2014).

Page 37: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

25

medium universal di mana pemahaman itu sendiri dapat terwujud, (3) pemahaman terhadap makna teks tidak dapat dipisahkan dari aplikasinya.73

Dengan lingkup metodis di atas, ditinjau dari segi data, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif sehingga membutuhkan metode deskriptif-analitik dengan langkah-langkah: (1) mendeskripsikan gagasan primer yang menjadi objek penelitian, (2) membahas dan menafsirkan gagasan primer yang telah dideskripsikan tersebut, (3) melakukan kritik terhadap gagasan primer yang telah ditafsirkan, (4) melakukan “studi analitik” terhadap serangkaian gagasan primer dalam bentuk perbandingan, hubungan, pengembangan rasional dan penelaahan historis, dan (5) menyimpulkan hasil penelitian.74

G. Sistematika Pembahasan

Dalam pembahasannya, penelitian ini akan dituangkan dalam lima bab. Hal ini guna mendapatkan bentuk penelitian yang sistematis, gambaran yang jelas, terurai, logis, dan saling terkait antara satu bab dengan bab lainnya. Lima bab tersebut akan diuraikan ke dalam satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan, termasuk kerangka teori, serta satu kesimpulan dan rekomendasi.

Bab pertama merupakan landasan umum dalam penelitian ini atau yang sering disebut proposal penelitian. Bagian ini berisi pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah; permasalahan, yang diuraikan ke dalam tiga poin, yakni identifikasi, pembatasan serta perumusan masalah yang akan menjadi fokus kajian; peneltian/gagasan terdahulu yang relevan; tujuan; signifikansi penelitian; dan terakhir, metodologi penelitian.

Bab kedua merupakan uraian tentang starting point permasalahan dan kerangka teoritik yang mendasari penelitian ini. Pada bagian ini, peneliti akan menelusuri dan mengkaji diskursus klasifikasi ilmu dalam tradisi intelektual Islam, mulai dari makna, arti penting serta perspektif historis hubungan antara wacana klasifikasi ilmu dan tradisi intelektual Islam. Selain itu, diangkat pula pandangan para sarjana Muslim tentang klasifikasi ilmu yang mewakili berbagai spektrum pemikiran Islam, yang secara spesifik dapat diringkas kepada filosof, ilmuwan, dan teolog-Sufi.

Bab ketiga merupakan kajian akademik mengenai potret pemikiran filsafat dan intelektualisme Ibn Sab‘i>n sebagai tokoh sentral dalam penelitian ini. Di samping membahas kehidupan, karya dan posisi Ibn Sab‘i>n sebagai lokus pemikiran, pada bagian ini pula penulis akan menyoroti karakter pemikiran dan konsep-konsep filsafat yang digagas Ibn Sab‘i>n, yang tentunya akan sangat terkait dengan secara konseptual dengan gagasannya tentang klasifikasi ilmu. Ada empat poin konsep filosofis yang menjadi perhatian penulis di sini, di mana

73 Lubis, Filsafat Ilmu, 132. Tentang konsep-konsep yang digunakan Gadamer dalam hermeneutikanya. Lihat Chris Lawn and Niall Keane, The Gadamer Dictionary (New York: Continuum, 2011).

74 Jujun S. Suriasumantri, “Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan,” dalam Tradisi Baru Penelitian Agama: Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, ed. M. Deden Ridwan (Bandung, Nuansa, 2001), 2005.

Page 38: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

26

keempatnya merupakan satu gambaran pemikirannya yang utuh. Pertama, al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak); kedua, gagasannya manusia ideal, yaitu al-Muh}aqqiq; ketiga, Mant}iq al-Muh}aqqiq sebagai sebuah tawaran epistemik dan kritik Ibn Sab‘i>n terhadap logika Aristotelian; keempat, pemikiran Ibn Sab‘i>n tentang etika yang dirumuskan menjadi dua pembahasan, etika secara metafisik (mi>ta>fi>zi>qa> al-akhla>q atau al-akhla>q al-naz}ari>) dan etika praksis (al-akhla>q al-‘amali>).

Bab keempat, gagasan pseudo-hierarki, yaitu kajian terhadap klasifikasi ilmu dalam pandangan Ibn Sab‘i>n, merupakan upaya teorisasi atas pandangan Ibn Sab‘i>n terhadap ilmu pengetahuan. Analisis pada bab ini menekankan pada pandangan dunia (world view) Ibn Sab‘i>n tentang status ontologis objek ilmu. Penulis akan mengeksplorasi paradigma pemikiran klasifikasi ilmunya dengan mengkaji pemikiran epistemologi dan basis ontologis pemikiran klasifikasi ilmunya sebagai lokus pemikiran. Selain itu, pada bab ini pula, deskripsi klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n yang ia bagi dalam tiga bagian besar, al-‘Ulu>m al-Shar‘i>yah, al-‘Ulu>m al-Adabi>yah dan al-‘Ulu>m al-Falsafi>yah. Terakhir, diuraikan pula analisis-reflektif penulis terhadap gagasan Ibn Sab‘i>n tentang hierarki ilmu dengan segenap pandangan filosofis yang melingkupinya.

Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan penelitian sebagai jawaban dari masalah penelitian yang telah dirumuskan, juga rekomendasi rasional dari kesimpulan penelitian.

Page 39: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

27

BAB II DISKURSUS KLASIFIKASI ILMU DALAM ISLAM

Bab ini merupakan uraian tentang starting point permasalahan yang mendasari penelitian. Pada bagian ini, penulis akan menelusuri dan mengkaji diskursus klasifikasi ilmu yang berkembang dalam tradisi intelektual Islam, mulai dari makna, arti penting serta perspektif historis hubungan antara wacana klasifikasi ilmu dan tradisi intelektual Islam. Selain itu, untuk “mendudukkan” dinamika dan perkembangan wacana ini, diangkat pula pandangan para sarjana Muslim tentang klasifikasi ilmu yang mewakili berbagai spektrum pemikiran Islam, yang secara spesifik dirangkum kepada wakil dari kalangan filosof, ilmuwan, dan teolog-Sufi, sebagai komunitas intelektual yang paling intens dan refresentatif dalam mengkaji wacana klasifikasi ilmu.

A. Hakikat Klasifikasi Ilmu

Tidak seperti di Barat, di mana berbagai disiplin ilmu dengan segenap metodologinya diposisikan secara random dan independen seperti dalam pandangan Nubiola,1 Tondl,2 Powell,3 Cogswell4 dan Fleming,5 dalam tradisi

1 Jaime Nubiola, “The Classification of the Sciences and Cross-Disciplinarity,” Transactions of the Charles S. Peirce Society vol. 41, No. 2 (Spring, 2005), 271-282. http://www.jstor.org/stable/40321071 (diakses pada 14 Juli 2014). Bandingkan dengan Richard Kenneth Atkins, “Restructuring the Sciences: Peirce's Categories and His Classifications of the Sciences,” Transactions of the Charles S. Peirce Society, vol. 42, No. 4 (Fall, 2006), 483-500. http://www.jstor.org/stable/40321346 (diakses pada 14 Juli 2014).

2 Ladislav Tondl, “What Is the Thematic Structure of Science?” Journal for General Philosophy of Science / Zeitschrift für allgemeine Wissenschaftstheorie, vol. 29, No. 2 (1998), 245-264. http://www.jstor.org/stable/25171121 (diakses pada 14 Juli 2014).

3 Lihat pandangan Powell tentang klasifikasi ilmu yang diterbitkan di jurnal American Anthropologist tahun 1901. J.W. Powell, “Classification of the Sciences,” American Anthropologist New Series, vol. 3, No. 4 (Oct. - Dec., 1901), 601-605. http:// www.jstor.org/stable/659084 (diakses pada 14 Juli 2014).

4 Diterbitkan pada tahun 1899. G.A. Cogswell, “The Classification of the Sciences,” The Philosophical Review, vol. 8, No. 5 (Sept., 1899), 494-512. http://www. jstor.org/stable/2176887 (diakses pada 14 Juli 2014).

5 Samuel Fleming, “The Classification of Science. II. Principles Classification,” Science, vol. 2, No. 32 (Feb. 5, 1881), 51-53. http://www.jstor.org/stable/2900371 (diakses pada 14 Juli 2014). Dalam konteks epistemologi, mulai abad ke-20, di Barat terjadi semacam penolakan terhadap paradigma lama (fundasionalis empiris dan fundasionalis rasionalis) yang mengusung kesatuan metode dan kebenaran. Para penggagas penolakan epistemik tersebut antara lain Kuhn (1922-1996), Gadamer (1900-2002), Feyerabend (1924-1994), Foucault (1926-1984), Derrida (1930-2004) dan lainnya dari kalangan post-positivisme atau antifundasonal. Kalangan ini mengusung pluralisme paradigma, pluralisme metode dan kebenaran ilmiah. Sehingga, bagi kalangan ini, setiap

Page 40: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

28

intelektual Islam dikenal klasifikasi hierarkis dalam berbagai disiplin ilmu.6 Pengelompokan berbagai disiplin ilmu tersebut diawali dari asumsi bahwa setiap objek ilmu mempunyai karakteristik dan tabiatnya masing-masing. Oleh karenanya, pengelompokan ini selalu berdasarkan objek ilmu tersebut.7

Pada bagian ini akan diuraikan arti dari wacana klasifikasi ilmu yang berkembang dalam tradisi intelektual Islam, baik menyangkut prinsip maupun karakteristik klasifikasi ilmu. Untuk mengetahui signifikansinya, pada bagian ini juga dijelaskan arti penting wacana klasifikasi ilmu dalam tradisi intelektual Islam. 1. Prinsip dan Karakteristik Klasifikasi Ilmu

Seperti yang telah disinggung di bab sebelumnya bahwa, secara historis, sejak dari awal, hampir semua spektrum pemikiran Islam klasik yang diwakili oleh para sarjananya, mencurahkan perhatian besar terhadap wacana klasifikasi ilmu ini, mulai dari filosof, ilmuwan, teolog, fuqaha>’, sejarawan, hingga Sufi.

bidang ilmu punya paradigma dan ukuran kebenarannya sendiri yang independen. Lihat misalnya Ahyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis (Bogor: Akademia, 2004), khususnya bab 2. Di Barat, dalam konteks hierarki ilmu, hal ini justru menjadi “penyulut” perdebatan panjang terkait superioritas social science dan natural science. Stephen Cole, “The Hierarchy of the Sciences?” American Journal of Sociology Vol. 89, No. 1 (Juli 1983), 111-139. http://www.jstor.org/stable/2779049 (diakses pada 08 Mei 2014). Meski Descartes sendiri sebenarnya menggagas konsep “pohon ilmu”, namun pada abad ke-18, seorang matematikawan Perancis, Jean d’Alembert menyatakan bahwa semua bentuk klasifikasi ilmu telah gagal, dan ia mengusung kesatuan ilmu pengetahuan. Lorraine Daston, “The Academies and the Unity of Knowledge: The Disciplining and of the Disciplines,” Journal of Feminist Cultural Studies Vol. 10 No. 2 (1998), 67-85. http://e-resources.pnri.go.id:2122/search/document?cs=0&s.q=academies +unity+knowledge (diakses pada 08 Februari 2014). Tentang “pohon ilmu” Descartes, lihat Roger Ariew, “Descartes and the Tree of Knowledge,” Synthese Vol. 92 No. 1, The Thought of Marjorie Grene (July, 1992), 101-116. http://www.jstor.org/stable/20117041 (diakses pada 9 Mei 2014).

6 Sayyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World of Islam Festival Publishing Company ltd., 1976), 13-14. Terminologi tradisi intelektual Islam tentu saja dimaknai sebagai sebuah tradisi di mana umat Muslim sangat menghargai ilmu pengetahuan, sehingga berbagai ilmu pengetahuan berkembang subur. Tentang perbedaan antara term tradisi Islam dan tradisi Muslim, lihat Yedullah Kazmi, “Islamic Education: Traditional Education or Education of Tradition?,” Islamic Studies Vol. 42, No. 2 (Summer 2003), 259-288. http://www.jstor.org/stable/20837271 (diakses pada 30 Mei 2014).

7 Lihat misalnya, Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Dalam Perspektif Filsafat Islam (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003), 37-48. Menurut Kartanegara, meskipun terdapat klasifikasi, objek-objek ilmu tersebut berintegrasi dalam sebuah sistem terpadu secara berkesinambungan. Mulai dari objek yang bersifat metafisik, imajinal, dan fisik, disajikan secara utuh dan tidak parsial. Bandingkan dengan Alparsalan Acikgenc, “Holisitic Approach to Scientific Traditions,” Jurnal Islam & Science Vol. 1 No. 1 (Juni 2003), 11-26. http://www.academia.edu/5355293/HOLISTIC _APPROACH_TO_SCIENTIFIC_TRADITIONS (diakses pada 08 Januari 2014).

Page 41: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

29

Menurut Sayyed Hossein Nasr, pemahaman tentang klasifikasi ilmu merupakan kunci utama untuk memahami tradisi intelektual Islam.8

Kendati deskripsi dari konsep klasifikasi ilmu yang disusun para sarjana Muslim tersebut sangat beragam, pada dasarnya, ada satu prinsip utama yang menyatukan keragaman konsep klasifikasi ilmu itu, yakni prinsip Tauhid. Dengan prinsip tersebut, bisa dipastikan, hampir semua konsep klasifikasi ilmu yang disusun oleh para sarjana Muslim ini bersifat hierarkis dan integral. Dalam arti, meskipun ilmu itu sendiri punya klasifikasi, pada akhirnya bagian-bagian ilmu itu bersatu dalam “satu akar” filosofis, yakni prinsip Tauhid, menyatu dalam ke-Maha Tunggal-an Tuhan.

Klasifikasi ilmu dalam Islam sejatinya didasarkan pada visi hierarkis dan kesalingterkaitan antar disiplin ilmu yang memungkinkan terealisasinya ketunggalan dalam kemajemukan.9 Kesalingterkaitan berbagai disiplin ilmu itu layaknya sebuah pohon, al-Qur’an dan Hadits ibarat akar dan batang dari pohon tradisi intelektual Islam, sementara ilmu-ilmu budaya, humaniora, filsafat, sains dengan berbagai derivasinya seperti cabang-cabang pohon. Memang, di antaranya ada yang lebih dekat kepada batang dan lainnya lebih jauh. Namun, semuanya merupakan bagian yang integral dari sebuah organisme pohon tradisi intelektual Islam yang subur. Lebih lanjut, Makdisi misalnya, menggunakan simbol piramida/segitiga untuk menggambarkan kesatuan integral bidang-bidang ilmu yang disusun oleh Ibn But}la>n (w. 461 H./1068 M.) yang secara umum, klasifikasi ilmu yang disusun Ibn But}la>n terbagi kepada tiga bagian besar, ilmu-ilmu keagamaan, ilmu-ilmu klasik/Awa>’il (filsafat dan ilmu alam), dan Ilmu-ilmu Sastra. Oleh Makdisi, ilmu-ilmu keagamaan digambarkan ada di sisi kanan, ilmu-ilmu klasik di sisi sebelah kiri dan ilmu-ilmu sastra di sisi bawah sebagai penopang bagi kedua ilmu di atasnya.10

Karena berakar pada prinsip Tauhid yang memandang realitas bersifat unipolar dan uniaksial, maka pengenalan dan pemahaman terhadap realitas melalui berbagai tradisi keilmuan dengan sendirinya akan mengacu kepada kebenaran realitas yang sama.11 Implikasinya, terdapat keterpaduan sistemik yang inheren di antara tradisi keilmuan tersebut. Artinya, dengan prinsip Tauhid, alam semesta ini tidak dipandang sebagai realitas terakhir -atau bahkan satu-satunya realitas- sebagaimana yang diyakini oleh para ilmuwan sekuler atau ateis, melainkan sebagai tanda-tanda (a>ya>t/sign) Tuhan. Mempelajari alam semesta beserta segenap dinamikanya berarti sebuah upaya terdalam manusia memaknai keagungan, pengetahuan, dan kebijaksanaan Tuhan. Upaya tersebut

8 Sayyed Hossein Nasr, “Foreword,” dalam Osman Bakar, Classification of

Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1998), xi.

9 Nasr, Islamic Science, 13. Lihat juga Nasr, “Foreword”, xi. 10 George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and

the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 75. 11 Lihat Muzaffar Iqbal, “Islam and Modern Science: Formulating the

Questions,” Islamic Studies Vol. 39, No. 4, Special Issue: Islam and Science (Winter 2000), 517-570. http://www.jstor.org/stable/23076112 (diakses pada 30 Mei 2014).

Page 42: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

30

menurut Muhammad Iqbal (w. 1938 M.), merupakan suatu upaya untuk mempelajari kebiasaan atau tingkah laku (sunnah) Tuhan karena alam semesta tak lain merupakan medan kreativitas-Nya.12 Atau dalam bahasa Nasr,13 upaya menelusuri jejak-jejak Tuhan.

Terintegrasinya berbagai disiplin ilmu dalam Islam pada dasarnya merupakan manifestasi dari pandangan Tauhid yang melihat seluruh objek ilmu itu sebagai “ayat-ayat Tuhan”.14 Ayat qawli>yah yang secara metodologis merupakan sumber utama ilmu-ilmu agama (al-‘ulu>m al-naqli>yah) di satu sisi, di sisi lain ayat kawni>yah sebagai sumber ilmu-ilmu umum (al-‘ulu>m al-adabi>yah wa-al-falsafi>yah). Jika diasosiasikan, ayat qawli>yah dan kawni>yah ini, ibarat dua sisi mata uang logam, keduanya tidak dapat dipisahkan dalam ke-Maha Tunggal-an-Nya. Dengan demikian, jika ditelusuri sampai ke akar-akarnya, tidak mungkin berbagai tradisi keilmuan Islam yang terefresentasikan dalam konsep klasifikasi ilmu saling bertentangan dan kontradiktif, lantaran semuanya merupakan “ayat Tuhan”. Jika pun ada kontradiksi di antara tradisi keilmuan tersebut, bisa dipastikan hal itu berasal dari penafsiran atau pemahaman penafsir.

Prinsip Tauhid inipun sekaligus menjadi “pemantik” lahirnya wacana klasifikasi ilmu. Tauhid, sebagai intisari peradaban Islam, di tangan para sarjana Muslim tidak hanya berhenti pada tataran teologis semata, lebih dari itu, Tauhid menemukan tempatnya dalam ranah epistemologis. Ismail Raji Al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi misalnya, menyatakan bahwa Tauhid mempunyai dua dimensi: metodologis dan konseptual, dalam dimensi konseptual yang menentukan isi peradaban Islam, Tauhid merupakan prinsip pertama dalam metafisika, etika, estetika dan kemasyarakatan. Sedangkan dalam dimensi metodologis yang menentukan bentuk peradaban Islam meliputi tiga prinsip, yaitu kesatuan, rasionalisme dan toleransi.15 Tampaknya, prinsip inilah yang menjadi “embrio” mengapa klasifikasi ilmu dalam tradisi intelektual Islam bersifat hierarkis.

Pandangan integral-holistik dalam ilmu yang lahir dari prinsip Tauhid ini pada gilirannya telah mendorong para sarjana Muslim untuk mengkaji berbagai tradisi keilmuan, yang dalam istilah Raj, tradisi keilmuan tersebut

12 Muhammad Iqbal, The Recontruction of Religious Thought in Islam

(London: Oxford University Press, 1934), 56 dan 65. 13 Sayyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian terj. Suharsono

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 223. 14 Kartanegara, Integrasi, 28. Lihat juga Husain Heryanto, Menggali Nalar

Saintifik Peradaban Islam (Bandung: Mizan, 2011), 52. 15 Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois L. Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Mohd.

Ridzuan Othman et.al. (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1992), 82-85. Senada dengan al-Faruqi, dengan mengelaborasi konsep Tauhid Mulla Shadra, Mulayadhi Kartanegara menyatakan bahwa Tauhid merupakan basis integrasi dalam objek, sumber, metode dan pengalaman manusia. Lihat lengkapnya Kartanegara, Integrasi Ilmu, 13-21.

Page 43: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

31

berasal dari berbagai “sirkulasi” peradaban dunia.16 Karenanya, seorang sarjana Muslim klasik dengan sangat apik dapat menguasai berbagai cabang ilmu. Ibn Si>na> (370-428 H./980-1037 M.) misalnya, selain seorang pakar ilmu kedokteran, ia juga merupakan filosof tersohor, Sufi, dan h{a>fiz{ al-qur’a>n.17 Ja>bir ibn H{ayya>n (102-199 H./721-815 M.) yang dikenal sebagai Bapak Kimia pertama di dunia karena mendirikan laboratorium kimia pertama adalah juga seorang astronom, matematikawan, kosmolog, juga Sufi.18 Tentunya, masih banyak yang lainnya.19

Selain merupakan manifestasi dari keutuhan pandangan integral-holistik para sarjana Muslim, klasifikasi ilmu juga merupakan bentuk tanggung jawab epistemologis dan etis untuk menjaga keharmonisan, proporsionalitas, dan keseimbangan berbagai disiplin ilmu.20 Klasifikasi ilmu sejatinya merupakan warisan berharga tradisi intelektual Islam yang harus dilestarikan dan diaktualisasikan, khususnya dalam sistem pendidikan kontemporer.

Uraian di atas kiranya cukup menggambarkan bahwa wacana klasifikasi ilmu dalam Islam hadir dan didorong kuat oleh spirit yang lahir dari prinsip utama, yakni prinsip Tauhid. Semua bidang ilmu dalam klasifikasi, bersatu dalam ke-Maha Tunggal-an-Nya. Selain itu, secara konseptual, klasifikasi ilmu yang disusun para sarjana Muslim sebagai manifestasi ilmiah dari prinsip Tauhid, dicirikan dengan karakter hierarkis. Artinya, bidang-bidang ilmu itu pada akhirnya akan bermuara pada Yang Maha Tunggal sebagai puncak realitas (the ultimate reality).

2. Arti Penting Klasifikasi Ilmu

Pernyataan Nasr bahwa pemahaman terhadap klasifikasi ilmu merupakan kunci utama dalam memahami tradisi intelektual Islam,21 mengasumsikan sebuah pandangan tentang urgensi memahami wacana klasifikasi ilmu, baik secara praksis, lebih-lebih secara teoritis. Dengan kata lain, klasifikasi ilmu yang disusun oleh para sarjana Muslim klasik

16 Kapil Raj, “Beyond Postcolonialism and Postpositivism: Circulation and the

Global History of Science,” ISIS vol. 104, No. 2 (Juni 2013), 337-347. http://www.jstor.org/stable/10.1086/670951 (diakses pada 14 Juli 2014).

17 Lihat Misalnya K. Ajram, The Miracle of Islamic Science (Lowa: Cedar Rapids). Juga Natsir Arsyad, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah (Bandung: Mizan, 1989). Bandingkan dengan Sayyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Chicago: ABC International Group Inc., 2001). 184.

18 Lihat Nasr, Science and Civilization, khususnya 158-168. Bandingkan dengan Ajram, The Miracle, 28. Lihat juga Nasim Butt, Science and Muslim Society (London: Grey Seal, 1991).

19 Lihat George Saliba, Islamic Science and the Making of European Renaissance (Massachusetts: The MIT Press, 2007), khususnya Chapter 1 dan 2. Lihat juga Jan P. Hogendijk and Abdelhamid I. Sabra (ed.), The Enterprise of Science in Islam (Massachusetts: The MIT Press, 2003). Bandingkan dengan George Sarton, Ancient Science and Modern Civilization (New York: Harper Torchbook, 1959), khususnya bagian pertama.

20 Heryanto, Menggali Nalar, 54. 21 Nasr, “Foreword”, xi.

Page 44: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

32

mencerminkan sebuah tradisi keilmuan yang berkembang subur kala itu. Sejarah mencatat bahwa tradisi keilmuan Islam adalah tradisi dengan etos keilmuan yang tinggi, tradisi yang sangat menghormati ilmu pengetahuan, tradisi yang memposisikan “pencari ilmu” lebih tinggi derajatnya dibanding lainnya. Menarik apa yang dikatakan Rosenthal bahwa, sepanjang sejarah peradaban Islam, ilmu telah terbukti menjadi “istilah kultural yang unik” sekaligus “daya pengubah” yang paling efektif.22 Tepat kiranya apa yang dinyatakan oleh Johannes Pedersen23 dan Turner,24 bahwa ketekunan para ilmuwan Muslim sangat mengagumkan, bahkan seringkali sulit dibayangkan.

Lepas dari romantisme sejarah itu, tak pelak lagi, memahami klasifikasi ilmu dalam Islam berarti mengkaji, menelaah, serta menelusuri bidang ilmu apa saja yang telah berkembang. Tidak mungkin suatu disiplin ilmu masuk dalam deskripsi klasifikasi, jika disiplin ilmu itu sendiri secara eksistensial belum berkembang. Inilah arti penting pertama memahami wacana klasifikasi ilmu.

Kedua, seperti yang telah diuraikan di atas, klasifikasi ilmu dalam tradisi intelektual Islam merupakan basis yang kuat bagi epistemologi atau pandangan keilmuan yang holistik dan integral, baik dalam segi materi, objek, maupun sumber. Karenanya, secara teologis, pemahaman terhadap klasifikasi ilmu ini seolah menyatakan betapa luasnya “Ilmu Tuhan”, dan bahwa semua macam pengetahuan menyatu, berintegrasi satu sama lainnya dalam naungan ke-Maha Pintar-an-Nya.25

Ketiga, dengan memahami diskursus klasifikasi ilmu dalam tradisi intelektual Islam, perdebatan klasik tentang hubungan wahyu (revelation) dan akal (reason) dalam Islam yang hingga saat ini boleh dikatakan masih “ramai”, tampaknya dapat sedikit tercairkan.26 Pasalnya, dalam klasifikasi ilmu yang memiliki visi hierarkis dan integral ini, sama sekali tidak mempertentangkan berbagai sumber pengetahuan, khususnya akal dan wahyu sebagai sumber utama. Berarti, dengan memahami klasifikasi ilmu dalam epistemologi Islam,

22 Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant (Leiden: E.J. Brill, 2007), 340-341.

Tentang relasi ilmu pengetahuan dan kekuasaan, lihat misalnya Maurice Kogan “Modes of Knowledge and Patterns of Power,” Higher Education, Vol. 49, No. ½ Universities and the Production of Knowledge (Januari-Maret 2005), 9-30. http://www.jstor.org/ stable/25068056 (diakses pada 08 Mei 2014).

23 Johannes Pedersen, The Arabic Book (Pricenton: Pricenton University Press, 1986), 20. Lihat juga Subhan M. A. Rachman, “Tradisi dan Inovasi Keilmuan Islam Masa Klasik,” Jurnal Innovatio vol. 5 no. 10 (Juli-Desember 2006), 249-273.

24 Howard R. Turner, Science in Medieval Islam: An Illustrated Introduction (Austin: University of Texas Press, 1995), 1-2.

25Lihat Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), 63.

26 Mengenai perdebatan antara wahyu dan akal lihat misalnya Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 2011). Bandingkan dengan misalnya, Muh}ammad al-Sayyid al-Julaynad, Al-Wah}y wa-al-Insa>n: Qira>’ah Ma’rafi>yah (Kairo: Da>r Quba>’, 2002). Tentang konstruk pemikiran rasional dalam tradisi Islam lihat John Walbridge, God and Logic in Islam: The Caliphate of Reason (New York: Cambridge University Press, 2011), khususnya bagian pertama.

Page 45: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

33

seorang Muslim akan melihat keharmonisan antara dua sumber utama, wahyu dan akal, yang keduanya, secara integral berasal dari Yang Maha Tunggal.27

Keempat, secara konseptual, perbedaan perspektif atau pendekatan dalam memahami realitas, sering kali menjadi latar belakang yang menyebabkan terjadinya berbagai “gesekan” teoritis maupun praksis antar individu atau bahkan kelompok, yang memiliki kecenderungan pada bidang ilmu/pendekatan tertentu serta mengabaikan pendekatan lainnya. Menariknya, perbedaan perspektif atau pendekatan itu sering kali tidak disadari. Dalam hal ini, dengan mengkaji dan memahami klasifikasi ilmu, secara metodologis akan terlihat “saluran” utama, lewat mana ilmu pengetahuan diperoleh. Artinya, sebagaimana dikatakan Fadaie,28 klasifikasi ilmu akan sangat membantu dalam mengorganisir pemikiran ilmiah. Selain itu, klaim-klaim yang tinggi dalam keilmuan -yang dalam batas tertentu bersifat subjektif-, dapat terhindarkan.29 Dalam arti, ketika seseorang memahami klasifikasi ilmu, maka ia akan memahami bahwa apa yang ia tahu hanya setitik dari luasnya ilmu pengetahuan, sekaligus ia akan terhindar dari berbagai klaim keilmuan yang terlalu tinggi, baik klaim terhadap dirinya sendiri, maupun terhadap orang lain.

Kelima, dalam “kacamata” pendidikan Islam kontemporer, secara praksis, jika dikatakan bahwa kurikulum pendidikan saat ini dalam batas tertentu meniru sistem kurikulum model Barat,30 tentu tidak sepenuhnya pernyataan itu keliru. Pasalnya, pandangan dikotomik terhadap ilmu memang saat ini sangat kuat lantaran didorong oleh hegemoni globalisasi yang dinakhodai oleh Barat dalam berbagai bidang, ekonomi, politik, sains-teknologi, intelektual, gaya hidup, tidak terkecuali pendidikan.31 Dalam ranah ini, Nasr

27 Tentang harmonisasi akal dan wahyu, lihat misalnya karya Ibn Rusyd, Fas}l

al-Maqa>l fi>-ma> bayna al-H{ikmah wa-al-Shari>’ah min al-Ittis}a>l, tah}qi>q Muh}ammad ‘Ima>rah (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1983). lihat juga Etienne Gilson, Reason and Revelation in Middle Age (New York: Charles Scribner’s Sons, 1939).

28 Gholamreza Fadaie, Philosopher’s Worldview and Classification of Knowledge, http://psyedu.ut.ac.ir/acstaff/Fadaei/articale/Cosmology%20and%20catego rization.pdf (diakses pada 06 januari 2014). Lebih lanjut, dengan mengutip Challaye (1999), Fadaie menyatakan bahwa klasifikasi ilmu merupakan tujuan utama filsafat.

29 Fenomena ini tentu dapat dengan mudah ditemukan dalam ranah sosio-intelektual umat Islam. Dalam hai ini, menurut Hatina disebabkan oleh hilangnya identitas pendidikan Islam yang sebenarnya (lost identity) dari umat Islam. Untuk itu perlu dilakukan reedukasi-restoratif yang berkesinambungan. Meir Hatina, “Restoring a Lost Identity: Models of Education in Modern Islamic Thought,” British Journal of Middle Eastern Studies Vol. 33, No. 2 (Nov., 2006), 179-197. http://www.jstor.org/ stable/20455454 (diakses pada 15 Oktober 2014).

30 Lihat misalnya Nasr, Islamic Science, 13. Bandingkan dengan Khosrow Bagheri and Zohreh Khosravi, “The Islamic Concept of Education Reconsidered,” The American Journal of Islamic Social Sciences Vol. 23 No. 4 (2005) 88-103. http:// academia.edu/609872/The_Islamic_Concept_of_Education_Reconsidered (diakses pada 17 Januari 2014).

31 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 44-45. Lihat juga Hasanuddin,

Page 46: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

34

menyatakan, Klasifikasi ilmu dengan visi hierarkis-holistiknya merupakan kunci bagi sistem pendidikan Islam untuk mencegah para pendidik Muslim kontemporer, sekaligus melepaskan diri dari kekacauan yang ada dalam sistem kurikulum pendidikan saat ini.32 Artinya, tradisi klasifikasi ilmu itulah yang “hilang” pada sarjana Muslim modern.33

Pada gilirannya, ketiadaan visi hierarkis-holistik ilmu itu menciptakan terjadinya fragmented knowledge dan ketidakseimbangan ilmu-ilmu. Sejumlah disiplin ilmu tertentu seperti sains alam dan fisika dikembangkan, sementara disiplin ilmu sosial humaniora diterlantarkan. Bahkan, sejalan dengan paham positivisme, disiplin ilmu sosial humaniora harus “tunduk” kepada paradigma positivistik di bawah metode empirisme sains alam.34 Akibatnya, muncullah aliran-aliran ilmu sosial dan humaniora yang “asing” dengan esensi kemanusiaan itu sendiri. Fenomena fragmented knowledge pun pada gilirannya akan melahirkan apa yang disebut oleh Laing dengan fragmented personality (kepribadian yang terbelah).35 Dalam arti, peradaban modern yang positivistik telah berhasil menekan seluruh bentuk transendensi kemanusiaan sehingga manusia merasa “asing” dengan dirinya sendiri.

Lepas dari persoalan kemanusiaan itu, dalam konteks pendidikan hari ini, memahami klasifikasi ilmu dalam Islam dengan visi hierarkis-holistiknya, selain mampu menyeimbangkan berbagai potensi yang dimiliki peserta didik, juga secara institusional, mempunyai andil yang cukup besar dalam penyusunan serta implementasi kurikulum secara seimbang, proporsional dan profesional. Walaupun visi hierarkis-integral ilmu pengetahuan ini pada tataran praksis sering terjadi disharmoni,36 namun sekurang-kurangnya, klasifikasi ilmu

“Dominasi Peradaban Barat dalam Pendidikan Islam,” Lentera Pendidikan vol. 11 nomor 2 (Desember, 2008), 258-269. Mengenai perspektif historis hal ini, lihat misalnya Shahrough Akhavi, “Islam and the West in World History,” Third World Quarterly Vol. 24, No. 3 (Jun., 2003), 545-562. http://www.jstor.org/stable/3993385 (diakses pada 30 Mei 2014).

32 Nasr, “Foreword”, xi. Bandingkan dengan J. Mark Halstead, “An Islamic Concept of Education,” Comparative Education Vol. 40 No. 4 Special Issues (29): Philosophy, Education and Comparative Education (November, 2004), 517-529. http://www.jstor.org/stable/4134624 (diakses pada 30 Mei 2014). Lihat juga Arshad Alam, “Science in Madrasas,” Economic and Political Weekly Vol. 40, No. 18 (30 April - 06 Mei 2005), 1812-1815. http://www.jstor.org/stable/4416560 (diakses pada 08 Mei 2014).

33 Lihat Joseph E. B. Lumbard, “The Decline of Knowledge and the Rise of Ideology in the Modern Islamic World,” dalam Islam, Fundamentalism and the Betrayal of Tradition: Essays by Western Muslim Scholars, ed. Joseph E. B. Lumbard, 39-77. www.worldwisdom.com/uploads/pdfs/293.pdf (diakses pada 18 Januari 2014).

34 Lihat Herbert Marcuse, One Dimensional Man (London: Routledge, 2002) 151-160.

35 R. D. Laing, The Divided Self (London: Penguin Books, 2010), 195. 36 Azra, Pendidikan Islam, xiii. Lihat juga Eric Hilgendorf, “Islamic Education:

History and Tendency,” Peabody Journal of Education, Vol. 78, No. 2 (2003), 63-75. http://www.jstor.org/stable/1492943 (diakses pada 30 Mei 2014).

Page 47: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

35

hierarkis secara konseptual dapat menjadi spirit dan pijakan kuat dalam sistem pendidikan Islam saat ini yang setiap saat dapat direalisasikan. B. Pandangan Sarjana Muslim

Hampir semua spektrum pemikiran Islam klasik yang diwakili oleh para sarjananya, mencurahkan perhatian besar terhadap wacana klasifikasi ilmu ini, mulai dari filosof, ilmuwan, teolog, fuqaha>’ sejarawan, hingga Sufi. Dalam rentang waktu sejak al-Kindi> (185-252 H./796-866 M.) hingga Shah} Waliyulla>h (1114-1176 H./1703-1762 M.), para sarjana Muslim telah banyak mencurahkan perhatiannya terhadap tema ini.37 Nasr menuturkan,38 motif utama dibalik semua usaha intelektual ini ialah berkaitan dengan niat untuk melestarikan hierarki dan posisi setiap ilmu dalam totalitas pengetahuan.

Pada bagian ini akan diulas pandangan dan atau gagasan para sarjana Muslim tentang klasifikasi ilmu yang mewakili berbagai spektrum pemikiran Islam. Dalam hal ini, akan diangkat beberapa spektrum pemikiran Islam yang gagasannya cukup merefresentasikan keseriusan para sarjana Muslim dalam usaha penyusunan klasifikasi ilmu, yaitu filosof, ilmuwan, dan teolog-Sufi>’. Nasr menyatakan bahwa dalam sejarah intelektual Islam, identifikasi suatu aliran dengan seorang tokoh adalah sah.39 Karena itu, pemilihan tokoh yang mewakili madzhabnya memungkinkan studi ini meliputi perspektif-perspektif utama intelektual Islam. Menurut berbagai sumber, dalam wacana klasifikasi ilmu, ketiga kalangan sarjana Muslim ini umumnya merupakan kalangan yang cukup intens. Karenanya, literatur kontemporer yang mengkaji klasifikasi ilmu selalu mengangkat gagasan klasifikasi ilmu dari tokoh yang mewakili ketiga kalangan sarjana Muslim ini.

Selain itu, dengan pertimbangan bahwa tokoh-tokoh yang pemikiran klasifikasi ilmunya akan diangkat merupakan wakil terkemuka aliran intelektual

37 Osman Bakar, Classification, 17. Bakar melanjutkan, selain sarjana Muslim,

banyak pula pemikir Yahudi dan Kristen abad pertengahan yang meyakini bahwa klasifikasi ilmu merupakan cara terbaik untuk melestarikan dan menentukan posisi ilmu. Lihat juga Lihat juga Syamsuddin Arif, “Ilmu dalam Perspektif Barat dan Islam: Takrifan dan Pemetaan,”Centre for Advanced Studies of Islam, Science and Civilization (CASIS) Kuala Lumpur. http://web.iaincirebon.ac.id/info/wp-content/uploads/2013/11/ Ilmu-Barat-Islam-Dr-SYAMS.pdf (diakses pada 14 Mei 2014). Tentang klasifikasi ilmu dari kalangan Yahudi lihat misalnya klasifikasi yang disusun oleh Ibn Muymu>n atau yang lebih dikenal dengan Maimonedes (529-601 H./1135-1204 M.) dalam Harry Austryn Wolfson, “Note on Maimonides' Classification of the Sciences,” The Jewish Quarterly Review New Series, vol. 26, No. 4 (Apr., 1936) 369-377. http://www.jstor.org/ stable/1452096 (diakses pada 14 Juli 2014). Juga tulisan Wolfson, “ADDITIONAL NOTES: To the Article on the Classification of Sciences in Medieval Jewish Philosophy Published in the Hebrew Union College Jubilee Volume, Pp. 263-315” Hebrew Union College Annual vol. 3 (1926), 371-375. http://www.jstor.org/stable/23502532 (diakses pada 14 Juli 2014).

38 Nasr, Science and Civilization in Islam, 59. 39 Sayyed Hossein Nasr, Introduction to Islamic Cosmological Doctrines

(London: Thames and Hudson, 1976), 22.

Page 48: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

36

dalam Islam, maka gagasan-gagasan yang mendominasi pemikiran mereka merupakan perspektif intelektual tertentu yang dimiliki dan dianut oleh banyak pemikir. Di pihak filosof, akan diangkat klasifikasi ilmu yang disusun al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.), yang merupakan wakil paling terkemuka aliran Peripatetik. Juga al-‘A<miri> (w. 381 H./992 M.) seorang filosof Nisyapur yang disebut-sebut sebagai pewaris utama al-Kindi>,40 filosof Peripatetik pertama di dunia Islam. Selain dari kalangan Peripatetik, juga akan diangkat klasifikasi ilmu yang disusun Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi> (634-710 H./1236–1311 M.), mewakili aliran Ishra>qi> (iluminasionis). Sedangkan di pihak ilmuwan, akan diulas klasifkasi ilmu yang disusun oleh Ibn Khaldu>n (732-808 H./1332-1406 M.), seorang sejarawan yang cukup berpengaruh di dunia Islam. Juga Shams al-Di>n al-Amuli> (abad 9 H./15 M.), seorang ensiklopedis asal Persia, yang juga seorang komentator atas karya In Si>na> dalam bidang kedokteran.41 Sementara, di pihak teolog-Sufi’, akan diangkat klasifikasi ilmu yang punya pengaruh besar hingga saat ini di dunia Islam, yakni klasifikasi ilmu yang disusun al-Ghaza>li> (450-505 H./1058-1111 M.).

Di samping itu, dalam konteks klasifikasi ilmu, pemilihan tokoh-tokoh di atas juga didasarkan pada pertimbangan signifikansi historis. Al-Fa>ra>bi> dan al-‘A<miri> umumnya dipandang sebagai wakil dari periode penting saat kegiatan intensif dalam studi ilmu-ilmu filosofis. Al-Ghaza>li> hidup kurang lebih dua abad kemudian dalam suatu periode yang ditandai oleh ketegangan intelektual antara falsafah dan kala>m, ketegangan politik dan religius antara Sunni dan Syi’ah, serta ketegangan spritual antara sufi esoterik dan Fuqaha>’ eksoterik. Dia memainkan peran yang penting dalam meredakan sebagian ketegangan-ketegangan ini.

Sedangkan Qut}b al-Di>n muncul dalam arena intelektual Islam dua abad setelah al-Ghaza>li>. Dia mewakili satu di antara periode-periode penuh tantangan dalam catatan sejarah Islam. Dia menjadi saksi kejatuhan Baghdad dan keruntuhan berbagai pusat intelektual di kawasan timur Islam ke tangan bangsa Mongol. Tidak lama setelah peristiwa tragis ini, muncul perkembangan baru ilmu-ilmu filosofis. Qut}b al-Di>n dan gurunya Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si> (597-672 H./1201-1274 M.), berada di barisan paling depan dalam gerakan intelektual ini.42 Sementara Ibn Khaldu>n dan al-Amuli>, dalam konteks klasifikasi ilmu berada dalam babak sejarah intelektual, di mana ilmu-ilmu kala itu mencapai tingkat kematangannya. Karenanya kedua sarjana ini mengabdikan dirinya untuk menjadi analis, ensiklopedis, sejarawan bahkan sosiolog dalam sosio-intelektual kala itu.43

40 Lihat Peter S. Groff, Islamic Philosophy A-Z (Edinburg: Edinburg University

Press, 2007), 13. 41 Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, vol. 2, trans. Liadain Sherrard

(London: Kegan Paul International, 1993), 277. 42 Bakar, Classification, 2. 43 Lihat Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study, 15. Juga Kartanegara,

Reaktualisasi, 65.

Page 49: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

37

1. Pandangan Filosof a. Al-Fa>ra>bi>

Dalam kajian klasifikasi ilmu, klasifikasi al-Fa>ra>bi> yang ia tuangkan dalam karyanya Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m disebut-sebut sebagai klasifikasi ilmu pertama yang berpengaruh di dunia Islam,44 sehingga ia digelari “Guru Kedua (al-mu‘allim al-tha>ni>)”. Bahkan menurut Bakar,45 klasifikasi al-Fa>ra>bi> ini menjadi model bagi setiap penggagas klasifikasi ilmu pasca al-Fa>ra>bi>. Hal ini terlihat jelas dalam klasifikasi yang disusun oleh kalangan filosof Peripatetik, misalnya dalam klasifikasi Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi> (634-710 H./1236–1311 M.) sebagaimana yang akan dibahas, Ikhwa>n al-S{afa>’ (Abad ke 4-5 H./10-11 M.),46 dan Na>s}ir al-Di>n al-T{u>si> (597 H-672 H./1201–1274 M.).47

Basis ontologis klasifikasi ilmu yang disusun al-Fa>ra>bi> adalah teorinya tentang hierarki wujud. Baginya, wujud-wujud itu mempunyai keutamaan yang beragam, semakin tinggi derajat kesempurnaan wujud sesuatu, maka semakin tinggi pula derajat ilmu yang mempelajari sesuatu itu. Berikut skema hierarki dengan urutan menurun:48

(1) Tuhan sebagai sebab awal dan sebab bagi wujud lainnya di puncak hierarki;

(2) Malaikat yang merupakan wujud imateriil an sich; (3) Benda-benda langit; (4) Benda-benda bumi. Dalam karyanya Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, Al-Fa>ra>bi> menyusun klasifikasi ilmu

dengan merincinya kepada enam bagian besar:49 Pertama Linguistik atau (‘ilm al-lisa>n). Menurut al-Fa>ra>bi>, dalam semua peradaban di dunia, ilmu ini mempunyai tujuh bagian, termasuk di dalamnya etimologi, gramatika dan sintaksis.50 Kedua Logika atau al-mant}iq. Sebagai seorang Aristotelian, bagian ini oleh al-Fa>ra>bi> klasifikasikan kepada delapan bagian sesuai dengan karya-

44 Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study, 14. 45 Bakar, Classification, 3. 46 Tentang klasifikasi ilmu yang disusun Ikhwa>n al-S{afa>’, lihat Godefroid De

Callataÿ, “The Classification of the Sciences According to Ikhwa>n al-S{afa>’”, The Institute of Ismaili Studies (2003), 8-9. http://www.iis.ac.uk/SiteAssets/pdf/rasail_ ikhwan.pdf (diakses pada 23 Agustus 2013).

47 J. Shephenson, “The Classification of the Sciences According to Nasiruddin Tusi” ISIS Vol. 5, No. 2 (1923), 329-338. http://www.jstor.org/stable/223732 (diakses pada 14 Juli 2014).

48 Lengkapnya Abu> Nas}r al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah al-Fa>d}ilah, ed. Albi>r Nas}ri> Na>dir (Beirut: Da>r al-Mashriq, 1968), 37-80. Lihat juga Nurisman, “Pemikiran Metafisika al-Fa>ra>bi>,” Jurnal DINIKA vol. 3 no. 1 (Januari 2004), 83-100.

49 Abu> Nas}r al-Fa>ra>bi>, Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, ed. ‘Ali> Bu> Mulh}im (Beirut: Da>r wa-Maktabat al-Hila>l, 1996), 17-87.

50 Lengkapnya lihat Al-Fa>ra>bi>, Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, 17-25. Lihat juga Bakar, Classification, 121.

Page 50: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

38

karya Aristoteles.51 Ketiga Matematika (‘ilm al-ta‘a>lim). Yang termasuk ke dalam bagian ini ada tujuh cabang ilmu dengan berbagai derivasinya, yaitu aritmetika, geometri, optik, astronomi, musik, ilmu tentang berat benda dan teknologi.52

Keempat fisika atau ilmu kealaman (‘ilm al-t}abi>‘i>) yang mempunyai delapan sub bagian utama, di antaranya biologi, botani dan minerologi.53 Kelima metafisika (‘ilm al-ila>hi>) yang memiliki tiga cabang besar, yaitu ontologi, epistemologi dan tentang wujud-wujud non-fisik.54 Keenam adalah gabungan dari ilmu politik (‘ilm al-mada>ni>), yurisprudensi (‘ilm al-fiqh) dan teologi dialektis (‘ilm al-kala>m).55 Berikut bagan lengkap klasifikasi ilmu yang disusun al-Fa>ra>bi>.

51 Al-Fa>ra>bi>, Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, 45-46. Delapan karya Aristoteles tersebut ialah

Categories, On Interpretation, Prior Analytic, Posterior Analytic, Topic, Sophistic, Rhetoric dan Poetic.

52 Al-Fa>ra>bi>, Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, 49-65. Menarik untuk didiskusikan, J.M. Long pada tahun 1886 juga menerbitkan sebuah tulisan tentang klasifikasi matematika. Berbeda dengan para ilmuwan di Barat pada umumnya, Long memandang bahwa matematika adalah disiplin ilmu terbaik di antara lainnya. Ia membagi matematika kepada dua bagian besar yaitu (1) matematika geometris (geometrical mathematics) yang terbagi ke dalam dua cabang, geometri konstruktif (constructive geometry) dan matematika demonstratif (demonstrative geometry) dengan berbagai derivasinya dan (2) matematika kompulatif yang ia klasifikasikan ke dalam dua cabang, yaitu cabang analisis dan aritmetika, juga dengan berbagai turunannya seperti kalkulus dan aljabar. Lihat lengkapnya J.M. Long, “Classification of the Mathematical Sciences,” The Journal of Speculative Philosophy, vol. 20, No. 4 (Oktober, 1886), 417-425. http://www.jstor.org/stable/25668119 (diakses pada 14 Juli 2014).

53 Al-Fa>ra>bi>, Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, 67-74. Lihat juga Bakar, Classification, 123. 54 Al-Fa>ra>bi>, Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, 75-77. Lihat juga misalnya Fadlou Shehadi,

Metaphysics in Islamic Philosophy (New York: Caravan Books, 1982), khususnya bagian al-Fa>ra>bi>.

55 Al-Fa>ra>bi>, Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, 79-90.

Page 51: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

39

Gambar 1: Klasifikasi al-Fa>ra>bi>

Page 52: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

40

Klasifikasi ilmu yang digagas al-Fa>ra>bi> terlihat banyak menonjolkan ilmu filosofis. Diasumsikan bahwa dengan hal ini al-Fa>ra>bi> bertujuan untuk menjadikan logika dan ilmu filosofis dikenal lebih baik dan lebih umum diterima di kalangan kaum Muslim dan dunia Islam. Klasifikasi tersebut juga merupakan upaya al-Fa>ra>bi> menggambarkan ilmu filosofis di atas ilmu religius. Selain itu, dengan klasifikasinya, al-Fa>ra>bi> juga tampaknya ingin mengajukan landasan metodologis bahwa ilmu filosofis lebih unggul dibanding ilmu religius seperti halnya dalam tradisi Peripatetik. Filsafat menggunakan metode penalaran demonstratif, sedangkan ilmu religius menggunakan metode dialektis.

Bagi al-Fa>ra>bi>, arti penting dari klasifikasi ilmu yang telah ia susun ialah,56 pertama, klasifikasi ilmu dimaksudkan sebagai petunjuk umum ke arah berbagai ilmu, kedua, klasifikasi itu memungkinkan seseorang memahami hierarki ilmu, ketiga, berbagai bagian dari klasifikasi ilmu tersebut dapat memberikan sarana bermanfaat dalam menentukan sejauh mana spesialisasi dapat ditentukan, dan keempat, klasifikasi tersebut menginformasikan bagi para pengkaji tentang apa yang seharusnya dipelajari sebelum seseorang mengklaim dirinya ahli dalam bidang ilmu tertentu. Lepas dari tujuannya tersebut, Majid Fakhry berpendapat bahwa pada sasarnya, klasifikasi ilmu yang disusun al-Fa>ra>bi> merupakan gambaran paling jelas dari segenap pandangan ontologisnya.57

b. Al-‘A<miri>

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa al-‘A<miri> (w. 381 H./992 M.) adalah filosof Muslim yang karya-karyanya terdokumentasi paling baik dalam rentang setengah abad antara al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.) dan Ibn Si>na> (370-428 H./980-1037 M.) selain Ibn Miskawayh (320-421 H./932-1030 M.). Ada sekitar 25 judul buah karya al-‘A<miri yang cukup dikenal, enam -atau tujuh menurut sumber lain- di antaranya telah dipublikasikan.58

Meskipun al-‘A<miri tidak belajar langsung kepada al-Kindi> (185-252 H./796-866 M.), namun “madzhab” al-Kindi> tersebut ia dapatkan dan kembangkan dengan baik dari murid utama al-Kindi>, yakni Abu> Zayd al-Balkhi> (w. 322 H./934 M.). Pemikiran filosofis al-‘A<miri yang tertuang dalam karya-karyanya seolah membuktikan bahwa pernyataannya tentang ia adalah penerus “madzhab” al-Kindi> (185-252 H./796-866 M.) bukan hanya pernyataan belaka.59

Salah satu karya utamanya, al-I‘la>m bi-Mana>qib al-Isla>m, merupakan karya yang memuat pandangan-pandangan filosofisnya yang mengesankan

56 Al-Fa>ra>bi>, Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, 16. 57 Majid Fakhri, “The Ontological Argument in the Arabic Tradition: The Case

of al-Fa>ra>bi>,” Studia Islamica No. 64 (1986), 5-17. http://www.jstor.org/stable/1596043 (diakses pada 15 Oktober 2014).

58 Lihat Everett K. Rowson, “Al-‘A<miri>,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam buku pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), 267-268.

59 Rowson, “Al-‘A<miri>”, 268.

Page 53: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

41

tentang hubungan harmonis antara akal dan wahyu.60 Dalam karyanya inilah gagasan al-‘A<miri> tentang klasifikasi ilmu dapat ditelusuri.61 Dalam karyanya tersebut, al-‘A<miri> mengklasifikasikan ilmu dengan membaginya kepada dua bagian besar.62 Pertama rumpun ilmu-ilmu keagamaan (al-‘ulu>m al-milli>yah/religious science) yang memiliki tiga cabang besar disesuaikan dengan sifat objeknya yaitu, empiris seperti tradisi para ahli Hadits, rasional seperti dalam tradisi para teolog, dan gabungan empiris-rasional seperti dalam tradisi Fuqaha>’. Kedua, rumpun ilmu-ilmu hikmah (al-‘ulu>m al-h}ikmi>yah/philosophical science). Seperti halnya ilmu agama, bagian ini pun mempunyai tiga cabang besar, yaitu: empiris seperti dalam tradisi para fisikawan, rasional seperti tradisi para ahli metafisika, dan gabungan empiris-rasional seperti dalam tradisi para matematikawan. Berikut bagan klasifikasi ilmu yang disusun al-‘A<miri>.

Gambar 2: Klasifikasi al-‘A<miri>

Bagi al-‘A<miri>, bidang ilmu linguistik atau tradisi para ahli bahasa (s}ana>‘ah al-lughah) dan logika (s}ana>‘ah al-mant}iq) tidak masuk dalam kategori di atas. Lingustik dan logika oleh al-‘A<miri> kategorikan sebagai ilmu penunjang bagi ilmu-ilmu di atas, linguistik merupakan penunjang (al-mu’ayyinah) untuk menghasilkan ilmu keagamaan (al-‘ulu>m al-milli>yah), sedangkan logika merupakan penunjang bagi ilmu-ilmu filosofis (al-‘ulu>m al-h}ikmi>yah).63

Yang menarik adalah penggunaan kata al-millah dalam bidang ilmu agama. Dibanding klasifikasi tokoh lain yang biasanya menggunakan istilah

60 Mengenai kritik terhadap konstruk epistemologi al-‘A<miri> lihat misalnya

Paul L. Heck, “The Crisis of Knowledge in Islam: The Case of al-‘A<miri>,” Philosophy East and West vol. 56, no. 1 (Januari 2006), 106-135. http://e-resources.pnri.go.id:2056/ docview/216882843/fulltextPDF?accountid=25704 (diakses pada 16 Januari 2014).

61 Abu> al-H{asan al-‘A<miri>, al-I‘la>m bi-Mana>qib al-Isla>m, ed. Ah}mad ‘Abd al-H{ami>d Ghura>b (Riya>d{: Da>r al-As}a>lah li-al-Thaqa>fah wa-al-Nashr wa-al-I‘la>m, 1988).

62 Al-‘A<miri>, al-I‘la>m bi-Mana>qib al-Isla>m, 80-81. 63 Al-‘A<miri>, al-I‘la>m bi-Mana>qib al-Isla>m, 80-81.

Page 54: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

42

di>ni>yah atau shar’i>yah, penggunaan kata al-milli>yah yang dipilih al-‘A<miri memiliki keluwesan tersendiri. Artinya, ia tidak mengasumsikan bahwa hanya Islam yang mempunyai segenap tradisi keilmuan dalam klasifikasi itu, tapi juga agama-agama berbasis kepercayaan pun memilikinya, dengan asumsi bahwa istilah millah lebih umum dibanding di>n.64 c. Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi>

Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi (634-710 H./1236–1311 M.) muncul dalam salah satu babak sejarah Islam yang penting, ia menjadi saksi keruntuhan Baghdad dengan segenap tradisi intelektualnya di tangan Mongol pada pertengahan abad 13 M.65 Tidak lama setelah peristiwa tragis ini, muncul perkembangan baru ilmu-ilmu filosofis di daratan Persia. Qut}b al-Di>n bersama gurunya, Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si> (597-672 H./1201-1274 M.) atau yang dikenal dengan sebutan Khwa>jah Nas}i>r, berada di barisan paling depan dalam gerakan intelektual ini.66

Berbagai sumber menyebutkan bahwa, selain seorang filosof iluminasionis (ishra>qi>),67 Qut}b al-Di>n juga merupakan seorang fisikawan handal, dokter, astronom, ahli fiqh, bahkan Sufi. Berbagai bidang ilmu dalam tradisi intelektual Islam dengan sangat apik ia kuasai, hingga ia digelari al-mutafannin (ahli dalam berbagai bidang ilmu).68 Tak kurang dari sekitar 50 risalah karyanya dalam berbagai bidang ilmu termasuk beberapa syair yang ia tulis dalam bahasa Arab maupun Persia,69 selain karya ensiklopedis-filosofisnya, yakni Durrat al-Ta>j. Dalam karya inilah gagasan klasifikasi ilmu ia susun.

Dalam Durrat al-Ta>j, sebagaimana yang dikutip Bakar, Qut}b al-Di>n mengklasifikasikan ilmu ke dalam dua bagian besar,70 yaitu ilmu-ilmu filosofis dan non-filosofis. Pertama, Ilmu-ilmu filosofis (‘ulu>m al-h}ikmi>) oleh Qut}b al-Di>n klasifkasikan menjadi dua subbagian, yakni (1) teoritis (naz}ari>) yang meliputi metafisika, matematika, fisika dan logika dengan berbagai cabang mayor dan minornya, dan (2) praktis (‘amali>), yang termasuk di dalamnya etika, politik dan ekonomi.71

64 Lihat misalnya Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), 218.

65 Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Bagian kesatu & dua, terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), 204. Lihat juga Harun Nasution, Islam Ditinjau dalam Berbagai Aspeknya Jilid I (Jakarta: UI-Press, 2010), 76.

66 Bakar, Classification, 2. 67 Sayyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present:

Philosophy in the Land of Prophecy (New York: SUNY Press, 2006), 160-163. Ishra>qi> merupakan salah satu aliran dalam filsafat Islam yang didirikan oleh al-Suhrawardi> al-Maqtu>l (549-587 H./1154-1191 M.). Lihat lengkapnya Hossein Ziai, “Syiha>b al-Di>n al-Suhrawardi>: Pendiri Mazhab Iluminasi,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Pertama, 544.

68 Groff, Islamic Philosophy A-Z, 192. Bandingkan dengan Corbin, History of Islamic Philosophy, 329.

69 Bakar, Classification, 264. 70 Bakar, Classification, 249-257. 71 Bakar, Classification, 252.

Page 55: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

43

Kedua, Ilmu-ilmu non-filosofis (‘ulu>m ghayr al-h}ikmi> ). Ilmu-ilmu ini dianggap sebagai istilah lain dari ilmu religius. Qut}b al-Di>n mengklasifikasikan bagian ini ke dalam dua bagian besar,72 yaitu ilmu tentang: (1) prinsip-prinsip dasar agama atau us}u>l al-di>n, di dalamnya termasuk ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Tuhan dan ke-Tuhan-an. (2) Cabang-cabang agama atau furu>‘ al-di>n, yang terbagi kepada dua subbagian besar, yaitu maqa>s}id atau ilmu yang dianggap sebagai tujuan yakni ilum-ilmu al-Qur’an, ilmu-ilmu Hadits, Fiqh dan Ushul Fiqh dengan berbagai ramifikasinya. Selanjutnya ‘ilm al-lughah atau linguistik seperti etimologi, idiomatologi, kritik sastra, semantik dan lain-lain. Berikut skema lengkap klasifikasi ilmu yang disusun Qut}b al-Di>n.

72 Kategorisasi ini menurut Qut}b al-Di>n didasarkan atas pembagiannya

terhadap ilmu religius/non-filosofis kepada: (1) Naqli>, yaitu ilmu-ilmu yang hanya dapat dibangun dengan bukti-bukti yang dinukilkan dari otoritas-otoritas relevan. Menurutnya, furu>‘ al-di>n masuk dalam bagian naqli>, karena ilmu-ilmu ini tidak dapat ditetapkan tanpa bukti naqli>. (2) ‘Aqli>, yaitu ilmu yang dapat dibangun dengan intelek manusia, meskipun tanpa bukti naqli>. Us}u>l al-di>n masuk dalam bagian ‘aqli>, karena dapat dibuktikan hanya dengan akal manusia, meskipun tanpa bukti naqli>. (3) Naqli> sekaligus ‘aqli>, bagian ini merujuk pada ilmu yang ditetapkan baik melalui akal manusia maupun dengan penukilan dari otoritas-otoritas keagamaan. Lihat Bakar, Classification, 257-8.

Page 56: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

44

Gambar 3: Klasifikasi Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi>

Page 57: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

45

Sebagaimana halnya al-Fa>ra>bi>, Qut}b al-Di>n pun memasukkan ilmu-ilmu al-Qur’an, Hadits dan kebahasaan sebagai ilmu yang ditransmisikan. Namun yang perlu dicermati, pembagian ilmu cabang agama (‘ulu>m ghayr al-h}ikmi>) Qut}b al-Di>n memperlihatkan kesan “tumpang tindih” antara ilmu-ilmu al-Qur’an dan kesusastraan. ‘Ilm al-I‘ra>b, semantik (‘ilm al-ma‘a>ni>) dan ‘ilm al-Baya>n, selain menjadi cabang dari ilmu al-Qur’an, juga cabang dari ilmu sastra. Penjelasan yang tampaknya menjadi alasan persoalan ini adalah bahwa bahasa Arab merupakan unsur sentral baik dalam ilmu al-Qur’an maupun sastra. Bahasa Arab berkenaan dengan struktur bahasa al-Qur’an, sekaligus merupakan media ungkapan sastra di kalangan kaum Muslimin pada masa Qut{b al-Di>n.

Melihat deskripsi klasifikasi Qut}b al-Di>n, tampak sekali bahwa ia dapat melakukan sintesis terhadap klasifikasi al-Fa>ra>bi> sebagai pendahulunya. Penggunaan istilah h}ikmah bagi ilmu filosofis dan ghayr h}ikmah bagi ilmu non-filosofis cukup signifikan dalam konteks historis, setelah sebelumnya filsafat dikritik al-Ghaza>li> sehingga filsafat seolah menjadi “terlarang” dalam sosio-intelektual dunia Islam. Di samping itu, dalam klasifikasinya, Qut}b al-Di>n juga menekankan ilmu-ilmu filosofis sebagai ilmu-ilmu yang sama di setiap masa dan peradaban, dan sebagai ilmu tentang sifat-sifat dasar dari hal-hal yang merupakan aspek kekal alam raya. Sementara ilmu non-filosofis adalah ilmu yang berkaitan dengan shari>‘ah. Ilmu-ilmu ini tentu tidak sama dalam setiap masa dan peradaban, karena Tuhan telah mewahyukan shari>‘ah-shari>‘ah yang berbeda untuk ras-ras manusia dalam rentang sejarah yang berbeda pula. Karena itu, Qut}b al-Di>n tidak melukiskan perbedaan antara agama dan filsafat dalam kerangka perbedaan antara wahyu dan akal. Pada titik ini, ia mewarisi pandangan khas al-Fa>ra>bi> bahwa filsafat adalah milik manusia, sedangkan agama adalah milik ras tertentu. 2. Pandangan Ilmuwan a. Ibn Khaldu>n

Seorang sejarawan genius ini bernama lengkap Abu> Zayd ‘Abd al-Rah{ma>n Ibn Khaldu>n al-H{ad{rami>, ia lahir di Tunis pada 732 H./1332 M., dan meninggal pada 808 H./1406 M. Masa hidupnya adalah masa di mana lima dinasti berkuasa di Barat Islam, Marini>yah di Maroko, Banu> ‘Abd al-Wa>did di Aljazair, H{afs}i>yah di Tunisia, Na>s}iri>yah di Granada dan Mamluk di Mesir.73 Masa ini (abad 14) juga disebut-sebut sebagai masa neo-hanbalism di Timur Islam, yang ditandai dengan kuatnya pengaruh pemikiran teologi Ibn Taymi>yah (661–728 H./1263–1328 H.).74

73 Lihat lengkapnya Abderrahmane Lakhsassi, “Ibn Khaldun,” dalam

Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Pertama, 440-456. Bandingkan dengan Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy Third Edition (New York: Columbia University Press, 2004), 334-343. Juga dengan A. al-Azmeh, Ibn Khaldun: An Essay on Interpretation (New York: Central European University Press, 2003). Juga Groff, Islamic Philosophy, 78-81.

74 Fakhry, A History, 334.

Page 58: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

46

Dalam Islam, sebagaimana yang dinyatakan Toynbee juga para peneliti lain,75 Ibn Khaldu>n dikenal sebagai peletak dasar sosiologi, karena, dengan karya monumentalnya, Muqaddimat Kita>b al-‘Ibar,76 ia secara apik dan komprehensif mampu mengeksplorasi apa yang ia sebut al-‘umra>n (organisasi manusia/cultural science), yang selanjutnya disebut sosiologi.77

Dalam Muqaddimah-nya, Ibn Khaldu>n membagi sosiologi (al-‘umra>n) kepada enam bagian besar: sosiologi umum (al-‘umra>n al-bashari>), sosiologi pedesaan (al-‘umra>n al-badawi>), sosiologi politik (al-‘umra>n al-dawli>), sosiologi perkotaan (al-‘umra>n al-bulda>ni>), sosiologi ekonomi (al-‘umra>n al-ma‘a>shi>), dan terakhir sosiologi ilmu dan pendidikan (al-‘umra>n al-‘ilmi> wa-al-ta’li>mi>).78 Dalam kelompok terakhir inilah (sosiologi ilmu dan pendidikan), gagasannya tentang klasifikasi ilmu dituangkan.

Dalam Muqaddimah-nya, tepatnya dalam pembahasan sosiologi ilmu dan pendidikan, Ibn Khaldu>n membagi ilmu kepada dua kelompok besar,79 yaitu pertama Ilmu-ilmu Naqli>yah (Transmitted Science) yang terdiri dari ilmu-ilmu yang membahas tentang: (1) Al-Qur’an (‘Ulu>m al-Qur’an) seperti‘Ulu>m al-Tafsi>r, baik penafsiran melalui transmisi (naqli>) maupun penafsiran kebahasaan (lughawi>),80 dan ‘Ilm al-Qira>’ah atau ilmu cara membaca al-Qur’an. (2) Al-Hadits (‘Ulu>m al-H{adi>th), termasuk di dalamnya ilmu Hadits riwa>yah dan dira>yah.81 (3) Yurisprudensi (al-Fiqh), (4) prinsip-prinsip yurisprudensi (Us}u>l al-Fiqh), (5) linguistik, (6) teologi (7) tasawuf, (8) tafsir ayat-ayat mutasha>biha>t, dan (9) tabir mimpi.82

Kedua, Ilmu-ilmu rasional/’Aqli>yah (Rational Science). Seperti halnya klasifikasi Qut}b al-Di>n misalnya, dalam klasifikasi Ibn Khaldu>n pun ilmu

75 Lakhsassi, “Ibn Khaldun”, 445-446. Bandingkan dengan Muhsin Mahdi, Ibn

Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the Philosophic Foundation of the Science of Culture (Chicago: University of Chicago Press, 1964).

76 Selain Muqaddimah, karya Ibn Khaldu>n lainnya antara lain adalah Luba>b al-Muh}as}s}al fi> Us}u>l al-Di>n, S}ifa>’ al-Sa>’il li-Tahdhi>b al-Masa>’il, dan Kita>b al-‘Ibar wa-di>wa>n al-Mubtada>’ wa-al-Akhba>r fi> Ayya>m al-‘Arab wa-al-‘Ajam wa-al-Barbar wa-Man ‘As}arahum min Dhawi> al-Sult}a>n al-Akhba>r. Dalam karya yang disebut terakhir inilah karyanya Muqaddimah menjadi pendahuluan yang panjang, meskipun pada gilirannya, Muqaddimah justru menjadi lebih populer. Lihat Lakhsassi, “Ibn Khaldun”, 444-445.

77 Syed Farid Alatas, “Ibn Khaldu>n and Contemporary Sociology,” International Sociology vol. 21:6 (November 2006), 782-795. http://www.arabphilosophers.com/English/discourse/east-west/Knwoledge/Ibn_Khaldun _and_Contemporary_%20Sociology.pdf (diakses pada 29 Maret 2014). Lihat juga Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), 66.

78 ‘Abd al-Rah{ma>n ibn Muh}ammad ibn Khaldu>n, Muqaddimat Ibn Khaldu>n, tah}qi>q ‘Abdullah Muh}ammad al-Darwi>sh (Damaskus: Da>r Ya’rib, 2004).

79 Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 171. Lihat juga Kartanegara, Reaktualisasi, 65. 80 Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 173. 81 Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 177. 82 Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 185-199.

Page 59: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

47

rasional terbagi kepada empat bagian besar yaitu:83 (1) logika (‘ilm al-mant}iq), yang sama halnya dengan klasifikasi-klasifikasi sebelumnya, Ibn Khaldu>n pun membagi logika kepada delapan bagian sesuai dengan karya Aristoteles.84 (2) Fisika (‘ilm al-t}abi>‘i>), termasuk di dalamnya ilmu kedokteran, biologi, zoologi, botani, minerologi dan ilmu pertanian.85 (3) Matematika (‘ilm al-ta‘a>li>m), bagian ini oleh Ibn Khaldu>n bagi kepada beberapa bagian, yaitu yang berhubungan dengan ilmu tentang bilangan dengan berbagai ramifikasinya, geometri, musikologi dan astronomi.86 (4) Metafisika (‘ilm al-ila>hi>ya>t), ia juga menyebut ilmu ini sebagai ‘ilm ma> wara>’ al-t}abi>‘ah. termasuk di dalamnya ontologi, kosmologi, eskatologi dan teologi.87

83 Rumpun ilmu ini menurutnya disebut juga ilmu-ilmu falsafah dan hikmah

(‘ulu>m al-falsafah wa al-h}ikmah). Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 248. 84 Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 262. 85 Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 267. 86 Lihat lengkapnya Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 253-271. 87 Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 271. Teologi (‘ilm al-kala>m), menurut Ibn

Khaldu>n awalnya masuk dalam rumpun ilmu naqli>yah, namun pada masanya, perdebatan dalam ilmu kalam ternyata merambah pada masalah metafisika, sehingga ilmu ini tercampur dengan masalah-masalah filosofis. Lihat Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 271. Karenanya, teologi dalam rumpun metafisika lebih diasumsikan sebagai teologi skolastik.

Page 60: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

48

Gambar 4: Klasifikasi Ibn Khaldu>n

Page 61: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

49

Secara historis, klasifikasi ilmu yang disusun oleh Ibn Khaldu>n merupakan klasifikasi yang ditulis setelah ilmu-ilmu mencapai tingkat kematangannya,88 karenanya, ia lebih komprehensif dan dapat mengakomodasi setiap bidang ilmu yang belum berkembang pada masa para pendahulu Ibn Khaldu>n. Hal ini terlihat misalnya dengan hadirnya fara>’id} (ilmu waris), ilmu t\abir mimpi serta beberapa cabang dalam ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadits.

b. Al-Amuli>

Shams al-Di>n Muh{ammad al-Amuli> adalah seorang pemikir dan ensiklopedis asal Amul, sebuah provinsi di Tabaristan, sebelah selatan laut Kaspia, Iran. Menurut beberapa sumber, tidak ada keterangan pasti pada tahun berapa ia lahir dan wafat, yang pasti ia hidup pada abad ke-8 H./ke-14 M.89 Namun menurut al-Zarkali> (w. 1396 H.) dalam karyanya al-A‘la>m, al-Amuli> wafat pada 753 H./1352 M.90 Ia hidup sezaman dengan ‘Ad}ud al-Di>n al-I<ji> (708-756 H./1308-1355 M.), seorang teolog sunni terkemuka asal Iran, penulis karya tentang teologi sunni, al-Mawa>qif fi ‘Ilm al-Kala>m.91

Pada akhir pemerintahan Uljaytu (Muh{ammad Khudabindah) yang merupakan saudara dari raja Muh{ammad Ghazan Khan, atau tepatnya pada tahun 716 H./1316 M., al-Amuli> menjabat guru besar di Madrasah Sult}a>ni>yah Azerbeijan. Ia menulis Sharh al-Qanu>n li Ibn Si>na>, sebuah karya yang khusus mengomentari karya Ibn Si>na> dalam bidang kedokteran, al-Qanu>n fi al-T{ibb. Selain itu, ia juga menulis Ibra>z al-Ma‘a>ni Kulli>ya>t al-Qanu>n li-Ibn Si>na>, sebuah komentar atas ensiklopedi dalam bidang kedokteran yang ditulis oleh murid Ibn Si>na, yakni al-I<la>qi> (w. 485 H./1092 M.), Sharh Kuli>ya>t al-Qanu>n li-Ibn Si>na>.92 Terlepas dari dua karya besarnya itu, al-Amuli> justru lebih dikenal melalui karya ensiklopedisnya yang berjudul Nafa>’is al-Funu>n (unsur-unsur berharga dalam sains) yang ditulis pada rentang waktu antara 1335-1342 M.93 Dalam karya ensiklopedis inilah al-Amuli> menuangkan gagasannya tentang klasifikasi ilmu.

Yang menarik dalam klasifikasi ilmu al-Amuli> adalah adanya dua bentuk klasifikasi. Klasifikasi pertama adalah klasifikasi ilmu dilihat dari materinya. Bagian ini, ilmu diklasifikasi menjadi filosofis dan non-filosofis.94 Pertama filosofis, yang terbagi kepada: (1) ilmu-ilmu teoritis (naz}ari>), cabang ini

88 Kartanegara, Reaktualisasi, 65. 89 Corbin, History of Islamic Philosophy, 277. 90 Khayr al-Di>n al-Zarkali>, al-A‘la>m jilid 7 (Beirut: Da>r al-‘Ilm li-al-Mala>yi>n,

2002), 87. 91 Selain al-Mawa>qif, karya al-I<ji> lainnya adalah al-‘Aqa>’id al-‘Ad}udi>yah, al-

Risa>lah al-‘Ad}udi>yah, al-Fawa>’id al-Ghayathi>yah, Ashraf al-Tawa>ri>kh dalam bidang linguistik, Jawa>hir al-Kala>m sebagai ringkasan al-Mawa>qif dalam bidang teologi, dan Sharh Mukhtas}ar Ibn al-H{a>jib dalam bidang Us}u>l al-Fiqh. Al-Zarkali>, al-A‘la>m, jilid 3, 295.

92 Corbin, History of Islamic Philosophy, 277. Lihat juga al-Zarkali>, al-A‘la>m jilid 7, 87. Tentang al-I<la>qi> lihat al-Zarkali>, al-A‘la>m jilid 7, 148.

93 Corbin, History of Islamic Philosophy, 277. 94 Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study, 16.

Page 62: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

50

mempunyai tiga bagian besar, yaitu metafisika, matematika dan fisika, dan (2) ilmu-ilmu praktis (‘amali>). yang mempunyai dua bagian besar, yakni ilmu praktis/perilaku manusia yang berhubungan dengan individu (etika), dan kolektif (politik dan ekonomi). Kedua, non-filosofis yang dibagi menjadi dua bagian besar yakni: (1) Religious science (ilmu agama) yang terdapat dua bentuk, ‘aqli> (rational) dan naqli> (transmitted), serta (2) Non-religious science (ilmu non-agama).

Gambar 5: Klasifikasi I al-Amuli>

Sedangkan klasifikasi yang kedua adalah klasifikasi ilmu dilihat dari asal ilmu tersebut. Bagian ini, al-Amuli> klasifikasikan menjadi dua bagian besar.95 Pertama, Ilmu-ilmu klasik/kuno (al-awa>’il/early science), yang termasuk di dalamnya antara lain filsafat teoritis, filsafat praktis, prinsip-prinsip matematika dengan berbagai cabangnya dan lain-lain. kedua, Ilmu-ilmu baharu (al-awa>khir/late science), bagian ini diklasifikasikan menjadi empat cabang besar yaitu linguistik, yurisprudensi, tasawuf dan humaniora.

95 Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study, 16.

Page 63: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

51

Gambar 6: Klasifikasi II al-Amuli>

Sama halnya seperti Ibn Khaldu>n, klasifikasi al-Amuli> pun digagas ketika ilmu pengetahuan mencapai tingkat kematangannya. Hal ini dinyatakan oleh Nasr,96 bahwa di antara semua klasifikasi ilmu yang digagas para sarjana Muslim, klasifikasi al-Amuli> lebih lengkap dibanding lainnya, termasuk Ibn Khaldu>n. Deskripsi klasifikasi di atas merupakan skema klasifikasi secara umum, artinya, semua bidang ilmu yang kala itu berkembang tidak akan lepas dari empat jenis ilmu di atas. 3. Pandangan Teolog-Sufi; Klasifikasi Ilmu Al-Ghaza>li>

Tidak berlebihan jika dalam banyak literatur dikatakan bahwa, dengan melihat karya-karyanya, empat posisi sekaligus, filosof, fuqaha>’, teolog dan Sufi, disandarkan kepada seorang intelektual muslim ini. Abu> H{a>mid Muh{ammad ibn Muh{ammad ibn Muh{ammad ibn Ah}mad al-T{u>si> al-Ghaza>li> lahir pada 450 H./1058 M. di T{u>s, kota terbesar kedua di Khurasan setelah Nisyapur, tempat di mana banyak dilahirkannya kalangan terpelajar dalam Islam, seperti penyair al-Firdawsi> (w. 416 H./1025 M.), al-Farmadhi> (w. 477 H./1084 M.), Sufi yang juga salah satu guru Tasawuf al-Ghaza>li>, dan negarawan Niz}a>m al-Mulk (w. 495 H./1092 M.).97

96 Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study, 15. 97 Lihat Ibn Khallika>n, Wafiya>t al-A‘ya>n, tah{qi>q Ih}sa>n ‘Abba>s juz 4 (Beirut:

Da>r S{a>dir, 1978), 216-219. Lihat juga Massimo Campanini, “Al-Ghaza>li>,” dalam Nasr dan Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis, Buku Pertama, 319-338. Lihat juga Groff, Islamic Philosophy, 45-47.

Page 64: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

52

Namun perlu dikatakan di sini, dalam konteks klasifikasi ilmu, posisi al-Ghaza>li> adalah sebagai seorang teolog-Sufi. Hal diasumsikan bahwa hampir semua karyanya yang memuat gagasan klasifikasi ilmu sebagaimana yang akan diurai di depan, adalah karya-karya dalam bidang kala>m dan tasawuf, atau sekurang-kurangnya adalah karya yang ditulis ketika posisi intelektualnya sangat mengapresiasi kala>m dan tasawuf.

Sebagai seorang teolog, keseriusan karier intelektual al-Ghaza>li> dimulai ketika di Nisyapur, berguru kepada seorang teolog Ash‘ari>yah paling tersohor di zamannya, Ima>m al-H{aramayn Abu> al-Ma‘a>li> al-Juwayni> (w. 478 H./1085 M.). Di bawah bimbingan al-Juwayni>lah ia secara komprehensif mengadopsi prinsip-prinsip utama teologi Ash‘ari>yah.98 Campanini menyatakan bahwa, al-Ghaza>li> telah berhasil mengubah kala>m Ash‘ari>yah menjadi basis dialektis dalam upayanya menghidupkan agama dan menjadikannya kerangka kuat bagi pemikiran filsafat dan tasawufnya.99 Artinya, apa yang dilakukan al-Ghaza>li> terhadap kala>m menandai babak baru dalam sejarah disiplin ilmu itu. Tak heran jika Ibn khaldu>n (732-808 H./1332-1406 M.) menyebutkan al-Ghaza>li> sebagai seorang sarjana religius yang memperkenalkan metode mutakallimu>n mutakhir (t}ari>qah al-muta’akhkhiri>n).100 Hal ini ditandai dengan karyanya Taha>fut al-Fala>sifah yang banyak memuat teori-teori filsafat Peripatetik, namun al-Ghaza>li> sendiri mengklaim bahwa karya itu adalah karya dalam bidang kala>m.101

Bidang studi lain yang menarik pikiran al-Ghaza>li> selama di Nisyapur adalah tasawuf. Ia mempelajari teori dan praktiknya di bawah bimbingan al-Farmadhi> (w. 477 H./1084 M.), al-Ghaza>li> pun mengikuti t}ari>qah-nya serta meniru setiap praktik yang diperlihatkan al-Farmadhi> di hadapannya.102 Di waktu lain, lama sebelum al-Ghaza>li> menulis Taha>fut al-Fala>sifah -yang selesai

98 Campanini, “Al-Ghaza>li>,”, 321. Al-Subki> mengatakan bahwa, sebelum usia

al-Ghaza>li> 15 tahun, ia pergi ke Jurja>n untuk studi dalam bidang fiqh kepada Abu> Nas}r al-Isma>‘i>li>, lalu pada usia 17 tahun, ia kembali ke T{u>s, kemudian sebelum usianya 20 tahun, ia pergi ke Nisyapur untuk melanjutkan studi dalam bidang kala>m kepada al-Juwayni>. Al-Juwayni>lah yang memperkenalkan al-Ghaza>li> pada studi filsafat, termasuk logika dan filsafat alam. Karena al-Juwayni> adalah seorang mutakallim \(teolog), maka ia menanamkan pengetahuan tentang filsafat melalaui kala>m. Ta>j al-Di>n al-Subki>, T{abaqa>t al-Shafi‘i>yah al-Kubrá juz 6, tah{qi>q Mah{mu>d Muh{ammad al-T{ana>h{i> (Beirut: Da>r al-Nashr, 1992), 202-210.

99 Campanini, “Al-Ghaza>li>,”, 321-2. 100 Ibn Khaldu>n, Muqaddimah juz 2, 213. Al-Ghaza>li> memuji para teolog

(mutakallimu>n) sebagai orang yang telah diberi ilham oleh Tuhan untuk memperjuangkan ortodoksi dengan cara diskusi sistematis (kala>m) agar tersingkap tipu muslihat yang diperkenalkan para ahli bid’ah (mubtadi‘ah). Lihat al-Ghaza>li>, Al-Munqidh min al-D{ala>l, tah}qi>q Ka>mil ‘Iya>d dan Jami>l S{ali>ban (Beirut: Da>r al-Andalus, 1967). 71-72.

101 al-Ghaza>li>, Jawa>hir al-Qur’a>n (Jimali>yah Mesir: Kurdista>n al-‘Ilmi>yah, 1329 H.), 25-26. Selain Taha>fut, karya lain yang juga diklaim oleh al-Ghaza>li> sebagai karya dalam bidang kala>m adalah al-Iqtis}a>d fi al-I‘tiqa>d, al-Mustaz}hiri>, H{ujjat al-H{aqq, Mih}akk al-Naz}ar dan Mi‘ya>r al-‘Ulu>m.

102 MacDonald sebagaimana dikutip Bakar, Classification, 158.

Page 65: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

53

pada awal 488 H.-, ia menganut doktrin Sufi bahwa kashf (cahaya intuisi) lebih unggul dibandingkan akal.103 Dalam karya autobiografinya, al-Munqidh min al-D{ala<l, Al-Ghaza>li> mengaku, bahwa pada bulan Rajab 488 H. atau enam bulan setelah selesai Taha>fut, ia mengalami krisis spritual yang hebat karena studi tasawufnya. Ia menyatakan diri telah menguasai ajaran tasawuf baik melalui tulisan para Sufi seperti al-Muh{a>sibi> (w. 243 H./837 M.), al-Junayd (w. 298 H./854 M.), al-Shibli> (w. 334 H./945 M.) dan al-Bust}a>mi> (w. 262 H./875 M.) maupun melalui pengajaran-pengajaran lisan.104

Dari krisis ini, pada Dzulqa’dah 488 H./1095 M., al-Ghaza>li> meninggalkan Baghdad tempat ia mengajar, dan memilih untuk mangasingkan dan mencurahkan diri pada jalan Sufi. Pilihan ini ia jalani selama sebelas tahun, seraya berpindah-pindah tempat demi mencari “penawar” krisisnya, hingga ia berhasil merampungkan karya tasawuf yang peling monumental, Ih{ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n pada 499 H./1106 M. di T{u>s.105

Namun setelah itu, al-Ghaza>li> diminta mengajar di madrasah niz}a>mi>yah Khurasan oleh wazir Seljuk, Fakhr al-Mulk, putera Niz}a>m al-Mulk. Ia mengajar di Khurasan selama kurang lebih tiga tahun. Kemudian pada 504 H./1110 M. ia kembali ke rumahnya di T{u>s serta mendirikan madrasah dan kha>nqa>h106 (semacam biara Sufi) bagi para Sufi. Di sini ia menghabiskan hidupnya sebagai pengajar dan guru Sufi hingga ia wafat pada 14 Juma>da> al-Tha>ni> 505 H./18 Desember 1111 M.107 Periode sebelas tahun pengasingan spiritual al-Ghaza>li> meyakinkan dirinya bahwa “kaum Sufi adalah orang-orang yang secara unik menempuh jalan Tuhan, cara hidup mereka adalah cara hidup yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang paling langsung dan etika mereka adalah yang termurni”.108

Karena al-Ghaza>li> sendiri adalah seorang Sufi termasyhur dan juga menemukan keyakinan pada jalan kaum Sufi, ia dapat memberikan uraian otentik mengenai metodologi Sufi, yang menurutnya merupakan metode paling sempurna menuju pada pengetahuan tentang realitas yang benar. Artinya, bagi al-Ghaza>li>, tasawuf bukan hanya sekedar jalan individu untuk mencapai

103 Al-Ghaza>li>, Al-Munqidh, 67-68. Lihat juga Sayyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (New York: SUNY Press, 1981), 71-72.

104 Al-Ghaza>li>, Al-Munqidh, 100-104. 105 Lengkapnya lihat al-Ghaza>li>, Al-Munqidh, 100-109. Lihat juga Bakar,

Classification, 164. Dalam Ih}ya>’ yang ditulis setelah krisis spiritual yang mengantarkan al-Ghaza>li> berpaling kepada tasawuf, ilmu-ilmu kealaman secara potensial berbahaya bagi agama, kecuali ilmu-ilmu praktis seperti kedokteran (al-t}ibb). Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n juz I, tah}qi>q Badawi> T{aba>nah (Semarang: T{a>ha> Pu>tra>, tt.), 23.

106 Tentang kha>nqa>h lihat Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Tasawuf jilid II (Bandung: Angkasa, 2008), 683-8.

107 Ibn Khallika>n, Wafiya>t al-A‘ya>n, IV, 218. 108 al-Ghaza>li>, Al-Munqidh, 106. Lihat juga Campanini, “Al-Ghaza>li>”, 327. Al-

Ghaza>li> dalam al-Munqidh-nya menyebut kaum Sufi sebagai arba>b al-ah}wa>l (para penguasa hal-hal) bukan as}h}a>b al-aqwa>l (pemasok kata-kata). Ia melukiskan kaum Sufi sebagai orang-orang yang mengklaim bahwa hanya merekalah yang dapat ikut dalam kehadiran Tuhan serta memiliki muka>shafah dan musha>hadah.

Page 66: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

54

kesempurnaan, tetapi konsepsi utuh dan bangunan rasional tentang kehidupan yang meliputi etika dan moralitas, perilaku dan keyakinan, juga kosmologi dan metafisika.109

Dalam konteks klasifikasi ilmu, sebagai pembela kala>m, ia meletakkan akal di bawah wahyu. Sedangkan sebagai seorang Sufi, ia mendudukkan akal di bawah intuisi mistis (kashf dan dhawq). Konsekuensi keduanya adalah superioritas ilmu-ilmu religius atas ilmu-ilmu intelektual/rasional. Dibanding dengan klasifikasi ilmu lain, jenis klasifikasi ilmu yang disusun al-Ghaza>li> memang lebih kompleks. Sekurang-kurangnya ada dua belas jenis klasifikasi ilmu yang terdapat dalam enam karya yang memuat gagasan klasifikasi ilmu, dilihat dari berbagai sudut pandang, dan tentu saja, kompleksitas ini juga sebagai konsekuensi logis dari perkembangan pemikiran al-Ghaza>li> secara historis. Yang perlu dicatat adalah, sebagian dari jenis klasifikasi hanya berbeda dalam penamaannya saja. Karenanya, meskipun jenis klasifikasi al-Ghaza>li> beragam, namun secara konseptual, antara klasifikasi satu dengan lainnya mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan.110

Dalam Ih}ya>’-nya, al-Ghaza>li> membagi ilmu kepada fard{ ‘ayn (wajib atas setiap individu) dan fard} kifa>yah (wajib atas umat). Pembagian ini didasarkan pada perbedaan dua tipe kewajiban yang berhubungan dengan pencarian ilmu tersebut. Ketika menjelaskan ilmu fard{ ‘ayn, al-Ghaza>li> mengatakan bahwa tidak ada kesepakatan antara sarjana Muslim ilmu apa saja yang masuk dalam rumpun ilmu ini. Akibatnya, mereka terpecah kepada sekitar dua puluh kelompok. Namun yang pasti, menurutnya, ilmu fard{ ‘ayn adalah ilmu yang kewajiban mempraktekannnya sudah dikenal oleh setiap kaum Muslimin.111

Namun ketika menjelaskan ilmu fard} kifa>yah, al-Ghaza>li> mengatakan, bagian ilmu ini tidak dapat diketahui kecuali diketahui terlebih dahulu klasifikasi ilmu yang lain. Menurutnya, ilmu tebagi kepada dua bagian besar, religius (shar’i>yah) dan non religius (ghayr shar’i>yah):112 Pertama, ilmu religius yang menurutnya, keseluruhan bagian ilmu ini adalah fard} kifa>yah dan terpuji (mah{mu>dah). Tetapi seringkali terjadi kekeliruan atas ilmu yang dianggap shar‘i>yah padahal ilmu itu tercela (madhmu>mah), karenanya, ia membagi ilmu

109 Campanini, “Al-Ghaza>li>”, 330. 110 Tentang bagian dari klasifikasi ilmu al-Ghaza>li> lihat Alexander Treiger, “Al-

Ghaza>li>’s Classification of the Sciences and Descriptions of the Highest Theoritical Science,” Dîvân DİSİPLİNLERARASI ÇALIŞMALAR DERGİSİ vol. 1 (2011), cilt 16 sayi 30, http://www.academia.edu/2344293/Al-Ghazalis_Classifications_of_the_ Sciences_and_Descriptions_of_the_Highest_Theoretical_Science (diakses pada 03 April 2014). Bandingkan dengan Bakar, Classification, 203-220.

111 “‘Ilm al-‘amal alladhi> huwa mashhu>r al-wuju>b ‘alá al-muslimi>n la>-ghayr”. Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n I, 14-16.

112 Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n I, 17. Ilmu shar‘i>yah adalah ilmu yang ditransmisikan dari para Nabi -dan pengikutnya- (ma> ustufida min al-anbiya>’), bukan dari penalaran akal, observasi (tajribah) dan mendengarkan (sima>‘).

Page 67: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

55

shar‘i>yah ini kepada ilmu mah{mu>dah dan madhmu>mah,113 dengan hanya merinci bagian mah{mu>dah saja.114 Al-Ghaza>li> membagi ilmu mah{mu>dah kepada empat cabang, yakni prinsip-prinsip agama (al-us}u>l), cabang-cabang (al-furu>‘), ilmu-ilmu pengantar (al-muqaddima>t) seperti ilmu bahasa, dan ilmu-ilmu penyempurna (al-mutammima>t) seperti ilmu tajwid dan semua cabang ilmu al-Qur’an.

Kedua, ilmu-ilmu Non religius (ghayr shar‘i>yah). Dengan basis etika-religius, bagian ini, al-Ghaza>li> klasifikasikan kepada tiga cabang: (1) yang terpuji (mah}mu>d) mencakup kepada ilmu-ilmu fard{ kifa>yah seperti aritmetika dan kedokteran, dan ilmu-ilmu penyempurna (al-fad}i>lah) seperti memperdalam ilmu kedokteran dan aritmetika.115 (2) Ilmu-ilmu tercela (madhmu>m) seperti sihir dan klenik,116 dan (3) Ilmu muba>h} (yang hanya diperbolehkan untuk mencarinya). Termasuk dalam kategori ini adalah ilmu puisi/sastra (al-‘ilm bi al-ash‘a>r) ilmu sejarah/geneologi (al-‘ilm bi al-tawa>rikh al-akhba>r).

113 Di bagian lain al-Ghaza>li> mengklasifikasikan parameter keterpujian sebuah

ilmu menjadi tiga bagian: (1) yang tercela keseluruhannya (madhmu>m qali>luhu wa-kathi>ruhu) seperti sihir, (2) yang terpuji keseluruhannya (mah}mu>d qali>luhu wa-kathi>ruhu) seperti ilmu tauhid, dan (3) yang terpuji bagi sebuah komunitas jika ada salah seorang yang mengkajinya (mah}mu>d bi-qadr al-kifa>yah), termasuk di dalamnya adalah seluruh cabang ilmu fard} kifa>yah. Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n I, 39.

114 Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n I, 17. 115 Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n I, 17 116 Menurut al-Ghaza>li>, sebuah ilmu dapat dikatakan tercela (madhmu>m) jika

mempunyai tiga kriteria: (1) dapat mendatangkan kemadharatan, baik bagi orang yang memilikinya maupun bagi orang lain, seperti ilmu sihir, (2) dapat mendatang kemadharatan bagi orang yang memilikinya dalam sebagian besar kehidupannya, seperti astrologi/ramal (‘ilm al-nuju>m), (3) tidak mempunyai manfaat bagi yang mendalaminya seperti memperdalam metafisika (ta‘allum asra>r al-ilahi>ya>t). Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n I, 29.

Page 68: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

56

Gambar 7: Klasifikasi I al-Ghaza>li>

Page 69: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

57

Di bagian lain Ih}ya>’-nya (jilid 3, bagian I), al-Ghaza>li> juga mengklasifikasikan ilmu kepada dua bagian dengan istilah yang kurang lebih sama,117 yaitu pertama ilmu Shar‘i>yah/di>ni>yah (religius), yaitu ilmu yang di transmisikan (bi-t}ari>q al-naqli>yah), dan kedua ilmu‘Aqli>yah (intelektual/rasional), baik pengetahuan tentang aksioma-aksioma yang langsung diperoleh tanpa melalui penalaran (D{aru>ri>yah) maupun ilmu-ilmu rasional yang diperoleh melaui penalaran akal (Muktasabah).

Klasifikasi dengan peristilahan yang sama juga al-Ghaza>li> nyatakan dalam al-Mustas}fa> min ‘ilm al-us}u>l.118 Ia megklasifikasikan ilmu kepada, pertama, rasional (‘aqli>yah) seperti ilmu kedokteran, aritmatika dan geometri. Kedua ilmu-ilmu religius (di>ni>yah), yang terbagi kepada dua cabang, (1) universal (kulli>yah), yaitu ilmu kalam, dan (2) partikular (juz’i>yah), yang di dalamnya termasuk yurisprudensi (al-fiqh), prinsip yurisprudensi (us}u>l al-fiqh), kelompok ilmu-ilmu Hadits, kelompok ilmu-ilmu al-Qur’an, dan mistisisme (‘ilm al-ba>t}in).

Begitu juga di bagian lain dalam al-Mustas}fa>, al-Ghaza>li> pun menyusun klasifikasi ilmu yang sedikit berbeda dengan klasifikasi di atas. Ia membagi ilmu kepada tiga bagian: (1) rasional murni (‘aqli> mah}d}ah) seperti aritmatika, geometri dan perbintangan (‘ilm al-nuju>m), yang menurutnya tidak dianjurkan untuk mencarinya, (2) ilmu-ilmu yang murni ditransmisikan (naqli> mah}d}ah) seperti ilmu Hadits dan tafsir, dan (3) ilmu rasional sekaligus ditransmisikan (‘aqli> wa-naqli>) seperti yurisprudensi (al-fiqh) dan prinsip-prinsip yurisprudensi (us}u>l al-fiqh).119

Dalam karyanya yang lain, maqa>s}id al-fala>sifah, al-Ghaza>li> membagi ilmu kepada dua bagian besar, pertama ilmu-ilmu praktis (al-‘amali>), yaitu kelompok ilmu yang berguna untuk mengatur kehidupan di dunia, sekaligus memiliki nilai ukhrawi. Bagian ini terbagi kepada tiga cabang berdasarkan kelompok manusia, individu, keluarga dan masyarakat.120 Kedua, ilmu teoritis (al-naz}ari>), yaitu ilmu untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya. Bagian ini al-Ghaza>li> klasifikasikan secara hierarkis kepada tiga bagian,121 metafisika, matematika dan fisika dengan berbagai ramifikasinya.122

Sementara, di bagian lain dalam ih}ya>’-nya, ketika menjelaskan basis etik pengetahuan, al-Ghaza>li> menyebut kelompok ilmu teoritis ini dengan falsafah, yang terbagi kepada empat bagian: matematika (al-hindasah wa-al-

117 Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n III, 15-16. 118 Al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l juz I, tah}qi>q Hamzah ibn Zahi>r

(Madi>nah: al-Ja>mi‘ah al-Isla>mi>yah - Kulli>yat al-Shari>‘ah al-Madi>nah al-Munawwarah, tt.), 12.

119 Al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> I, 3-4. 120 Al-Ghaza>li>, Maqa>s}id al-Falasifah, tah}qi>q Mah}mu>d Bayju> (Damaskus:

Mat}ba‘at al-D{iba>h}, 2000), 61-64. 121 Al-Ghaza>li>, Maqa>s}id al-Falasifah, 62-64. 122 Berbeda dengan Qut}b al-Di>n yang memasukkan sihir, klenik dan teurgy ke

dalam fisika minor, al-Ghaza>li> justru memasukan ilmu-ilmu tersebut ke dalam rumpun fisika. Lihat Bakar, Classification, 254.

Page 70: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

58

h}isa>b), logika (al-mant}iq), teologi metafisika (al-ilahi>ya>t) termasuk di dalamnya kala>m, dan fisika (al-t}abi>‘i>ya>t).123 Termasuk juga dalam karyanya yang lain, Mi>za>n al-‘Amal, al-Ghaza>li> pun membagi ilmu dengan peristilahan yang sama, amali> dan naz}ari>. Namun, orientasi klasifikasi ilmu ini bersifat religius (jins al-‘ilm al-muwas}s}ili>n ilá jannah al-ma’wá).124

Di bagian lain Ih}ya>’-nya, al-Ghaza>li> juga mengklasifikasikan ilmu yang ia sebut sebagai ilmu t}ari>q al-a>khirah (ilmu untuk menapaki jalan akhirat) kepada dua bagian, yang keduanya termasuk ilmu fard} ‘ayn:125 (1) cahaya intuisi (‘ilm al-muka>safah), ia menyebutnya sebagai ilmu batin (‘ilm al-ba>t}in) dan puncak ilmu (gha>yat al-‘ulu>m), yaitu sebuah istilah yang menunjuk pada “cahaya dalam hati yang dapat membersihkan diri dari sifat tercela, dan menghiasi diri dengan sifat terpuji”. (2) ‘ilm al-mu‘a>malah (pengamalan), yaitu sebuah pengetahuan tentang keadaan-keadaan jiwa dan hati (‘ilm ah{wa>l al-qalb), baik ketika dihinggapi keadaan terpuji atau tercela.

Dalam Jawa>hir al-Qur’an (mutiara-mutiara al-Qur’an), al-Ghaza>li> juga membuat klasifikasi ilmu yang sedikit berbeda dengan klasifikasi lainnya.126 Ia mengklasifikasikan ilmu kepada, pertama Ilmu-ilmu inti/isi (‘ilm al-luba>b) yang secara hierarkis ia bagi kepada: (1) ilmu-ilmu mayor (t}abaqa>t al-‘ulya>) yang berkaitan dengan Tuhan dan ke-Tuhan-an, dan (2) ilmu-ilmu Minor (t}abaqa>t al-suflá), seperti pengetahuan tentang kisah-kisah dalam al-Qur’an, fiqh, ushul fiqh, ilmu kalam (teologi skolastik). Kedua, ‘ilm al-s}adaf (ilmu-ilmu “kulit/cangkang”), seperti ilmu tata cara membaca (‘ilm al-qira>’a>t), gramatika, linguistik, tafsir, dan lainnya.

Tidak selesai sampai di situ, di bagian lain dalam mi>za>n-nya, al-Ghaza>li> juga mengklasifikasikan ilmu kepada tiga bagian,127 yaitu: pertama ilmu berhubungan dengan Kata yang menunjukkan makna (yata‘allaq bi-al-lafdh min h}aythu yadull ‘alá al-ma‘ná), di dalamnya termasuk seluruh cabang ilmu linguistik seperti gramatika, sintaksis, makha>rij al-hu}ru>f, etimologi, ilmu tentang sya’ir, dan lainnya. Kedua ilmu-ilmu berhubungan dengan Makna yang ditunjukkan oleh kata/kalimat (yata‘allaq bi-al-ma‘ná min h}aythu yadull al-lafdh ‘alayhi). Seperti dialektika, ilmu cara berdebat (al-muna>z{arah), retorika, dan ilmu tentang bukti-bukti demonstratif (al-burha>n). ketiga, ilmu yang berhubungan dengan Makna an sich (yata‘allaq bi-al-ma‘ná al-mujarrad), baik

123 Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n I, 23. 124 Al-Ghaza>li, Mi>za>n al-‘Amal, tah{qi>q Sulayma>n Dunya> (Kairo: Da>r al-

Ma’a>rif, 1964), 230. Dalam mi>za>n-nya, al-Ghaza>li> membagi ilmu praktis (al-‘amali>) kepada tiga bagian, yaitu tentang: (1) Kesalihan individu (‘ilm al-nafs bi-s}ifa>tiha> wa-akhla>qiha>), (2) mengatur kehidupan dengan keluarga, (3) politik (siya>sat al-balad). Sementara yang termasuk kepada ilmu teoritis (al-naz}ari>) adalah pengetahuan-pengetahuan yang menjadi pembahasan dalam ilmu kalam, seperti pengetahuan tentang Tuhan, Malaikat, Rasul, dan lainnya, termasuk juga teori-teori etika.

125 Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n I, 20-21. 126 Al-Ghaza>li>, Jawa>hir al-Qur’a>n, 21-28. 127 Al-Ghaza>li, Mi>za>n al-‘Amal, 352-355.

Page 71: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

59

yang berbentuk teoritis seperti pengetahuan-pengetahuan teologis dalam ‘ilm kala>m, maupun praksis seperti hukum-hukum syari’ah dan yurisprudensi.

Berbeda dengan klasifikasi cendikiawan lainnya seperti al-Fa>ra>bi>, klasifikasi al-Ghaza>li> justru lebih menonjolkan ilmu-ilmu religius. Ilmu religius, menurutnya, lebih unggul dari ilmu filosofis karena didasarkan pada wahyu, sedangkan ilmu filosofis didasarkan pada akal. Dalam kapasitasnya sebagai mutakallim atau sebagai Sufi, al-Ghaza>li> tampaknya menekan aspek negatif akal sebagai “tabir” dan pembatas serta menegaskan ketidakmampuan akal mencapai kebenaran transenden. Meski demikian, sebagai seorang Sufi, ia menyadari bahwa pembedaan itu (religius dan filsafat) hanya mempunyai keabsahan terbatas, artinya pada level gnosis atau ma‘rifah kaum Sufi, perbedaan tersebut tidak ada lagi.

Dalam sebagian besar gagasan klasifikasi ilmunya, al-Ghaza>li> menggunakan istilah yang terkesan “hitam putih” dan kontradiktif (shar‘i>yah-ghayr shar‘i>yah/’aqli>yah, mah}mu>dah-madhmu>mah), hal tersebut tentu sangat berpengaruh pada basis etik ilmu-ilmu. Dalam hal ini Fazlur Rahman menyatakan, pembedaan atau klasifikasi dengan dua istilah yang cenderung kontradiktif tersebut merupakan klasifikasi “paling malang” yang pernah dibuat dalam tradisi intelektual Islam.128 Meski demikian, al-Ghaza>li> sama sekali tidak berpendapat bahwa kelompok ilmu-ilmu rasional (‘aqli>yah/ghayr shar‘i>yah) tidak diakui secara eksistensial,129 dalam arti, melihat gagasan hierarki ilmunya, al-Ghaza>li> tetap mengusung integrasi ilmu secara konseptual.

Kompleksitas jenis klasifikasi ilmu yang disusun al-Ghaza>li> memang terkesan “tumpang tindih” antara satu klasifikasi dengan klasifikasi lainnya. Karenanya, gagasan klasifikasinya ini harus dikaji secara komprehensif, terutama perspektif historis ketika al-Ghaza>li> menyusun klasifikasi tersebut dalam karya-karyanya. Kendati demikian, kompleksitas jenis klasifikasi ini cukup menggambarkan keluwesan dan keluasan pemikiran al-Ghaza>li> dalam menyikapi sosio-intelektual di zamannya.

Kajian terhadap enam klasifikasi yang digagas oleh tokoh-tokohnya di atas, tentunya memperlihatkan bahwa semuanya didasarkan atas gagasan-gagasan filosofis yang umum bagi setiap spektrum pemikiran Islam dan gagasan khusus bagi penggagasnya. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa, meskipun selalu ada kesan dikotomik, keenam klasifikasi para cendikiawan di atas, masing-masing memperlihatkan dua gagasan dominan, yaitu gagasan hierarki dan kesatuan ilmu. Melihat keenam klasifikasi tersebut, mengindikasikan sebuah pandangan bahwa pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan mengenai

128 Fazlur Rahman, Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual

Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), 33-34. 129 Lihat misalnya Azmil Zainal Abidin, “Dimensi Sains dan Kebersebaban al-

Ghaza>li>: Model Pengintegrasian Ilmu Menurut Perspektif Islam,” Proceeding of the International Conference on Social Science Research (ICSSR) 2013 (4-5 Juni 2013). http://worldconferences.net/proceedings/icssr2013/toc/116%20-%20Azmil%20-%20 DIMENSI%20SAINS%20DAN%20KEBERSEBABAN%20AL-GHAZALI.pdf (diakses pada 31 Maret 2014).

Page 72: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

60

Tuhan. Demi pengetahuan tentang Tuhanlah setiap bidang pengetahuan lainnya dicari. Dalam arti, pengetahuan tentang segala sesuatu selain Tuhan harus dikaitkan secara konseptual-organik dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tentu saja, pandangan ini didasarkan atas prinsip bahwa setiap pengetahuan berpangkal pada sumber yang sama dan satu.

Uraian mengenai prinsip, karakteristik, arti penting, dan pandangan para sarjana Muslim di atas merupakan upaya teorisasi untuk “mendudukkan” wacana klasifikasi ilmu dalam tradisi intelektual Islam pada tempatnya yang khas. Upaya ini tentu saja mengindikasikan sebuah pandangan bahwa semua gagasan klasifikasi ilmu yang disusun oleh seorang intelektual Muslim akan masuk dalam frame prinsip dan karakteristik di atas. Dalam konteks ini, sebagai lokus pemikiran dan objek studi, pemikiran Ibn Sab‘i>n tentang klasifikasi ilmu tentu harus ditelusuri hingga ke kerangka filosofisnya. Langkah ini dilakukan agar dapat ditemukan “benang merah” serta koherensi pemikiran klasifikasi ilmunya dengan prinsip dan karakteristik wacana klasifikasi ilmu dalam tradisi intelektual Islam pada umumnya. Karena itu, bab selanjutnya merupakan kajian akademik tentang tokoh Ibn Sab‘i>n sebagai lokus pemikiran, dengan segenap pemikiran filosofisnya yang turut mengkonstruksi gagasannya tentang klasifikasi ilmu.

Page 73: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

61

BAB III POTRET PEMIKIRAN FILOSOFIS IBN SAB‘I<N

Bagian ini merupakan kajian akademik mengenai peta pemikiran filsafat

dan intelektualisme Ibn Sab‘i>n sebagai tokoh sentral dalam penelitian ini. Di samping membahas kehidupan, karya dan posisi Ibn Sab‘i>n sebagai lokus pemikiran, pada bagian ini pula penulis akan menyoroti karakter pemikiran dan konsep-konsep filsafat yang digagas Ibn Sab‘i>n, yang tentunya akan sangat terkait dengan secara konseptual dengan gagasannya tentang klasifikasi ilmu.

Ada empat poin konsepsi filosofis yang menjadi perhatian penulis di sini, di mana kelimanya merupakan satu gambaran pemikirannya yang utuh. Pertama, al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak) sebagai pandangan ontologis utama dan “penentu arah” bagi segenap pemikirannya, kedua, konsepsi manusia ideal, yang ia “kemas” dalam doktrin al-Muh}aqqiq-nya, ketiga, Mant}iq al-Muh}aqqiq sebagai sebuah kritik Ibn Sab‘i>n terhadap logika formal Aristotelian, keempat, pemikiran Ibn Sab‘i>n tentang etika yang dirumuskan menjadi dua pembahasan, etika secara metafisik (mi>ta>fi>zi>qa> al-akhla>q atau al-akhla>q al-naz}ari>) dan etika praksis (al-akhla>q al-‘amali>).

A. Kehidupan, Karya dan Posisi Ibn Sab‘i>n 1. Biografi Intelektual

Ibn Sab‘i>n, adalah ‘Abd al-H{aqq ibn Ibra>hi>m ibn Muh{ammad ibn Nas}r ibn Muh{ammad.1 Ia adalah filosof-sufi (teosof)2 kenamaan Andalusia. Di Barat, ia dikenal dengan jawabannya atas pertanyaan-pertanyaan filosofis mengenai Aristotelianisme yang dilayangkan oleh Frederick II (1194-1250), penguasa Sicilia,3 seorang raja Romawi yang berkuasa kala itu, dalam rentang waktu 1212-1250.4

1 Lisa>n al-Di>n Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah fi> Akhba>r Gharna>t}ah jilid IV (Kairo: Maktabat al-Kha>naji>, 1977), 31. Lihat juga Muh}ammad Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t jilid II, tah{qi>q Ih}sa>n ‘Abba>s (Beirut: Da>r S{a>dir, t.t), 253. Bandingkan dengan Ah}mad ibn Muh}ammad al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b min Ghus}n al-Andalus al-Rat}i>b jilid II, tah}qi>q Ih}sa>n ‘Abbas (Beirut: Da>r S{a>dir, 1968), 196.

2 Abu> al-Wafa> Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu al-S{u>fi>yah (Beirut: Da>r al-Kita>b al-Libna>ni>, 1973), 67.

3 Sicilia adalah sebuah pulau di laut Tengah yang terletak di sebelah selatan semenanjung Italia, dipisahkan oleh selat Messina. Sebelum ditaklukkan Islam, pulau ini milik kekuasaan Byzantium. Namun dengan perjuangan selama 827-902 M. Sicilia berhasil ditaklukkan secara keseluruhan oleh Dinasti Aghlab di bawah komando para panglimanya. J.J. Saunders, A History of Medieval Islam (London and New York: Routlege, 2002), 116. Pemerintahan Islam di Sicilia berada di bawah tiga dinasti, yaitu Aghlab dengan ibu kota Qayruwan, Fathimiyah dan disusul dinasti Kalbi. Raja-raja Sicilia yang terkenal antara lain Roger I dan II, William I dan II, Henry VI, dan terakhir Frederick II. Lihat lengkapnya Mahayudin Hj. Yahaya, Islam di Spanyol dan Sicily (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1990).

Page 74: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

62

Ibn Sab‘i>n memiliki banyak sekali julukan (laqab), antara lain “Abu> Muh{ammad”, di dunia Timur, ia dijuluki “Qut}b al-Di>n”.5 Selain itu, ia juga mendapat julukan yang disandarkan kepada tempat di mana ia lahir, baik nama negara maupun nama daerahnya seperti “al-Andalusi>”, “al-Mursi>”,6 “al-Riqawt}i>”,7 “al-Ishbili>” dan “al-Qast}ala>ni>”.8 Kemudian juga julukan yang disandarkan kepada leluhurnya, seperti “al-Gha>fiqi>” dan “al-‘Aki>”.9 Bahkan, Ibn Sab‘i>n juga mendapat julukan yang disandarkan kepada aliran tasawuf yang ia dirikan yaitu Sab‘i>ni>yah, karenanya, ia dijuluki “Shaykh al-Sab‘i>ni>yah”.10 Kendati ia memiliki segudang julukan dan nama lain, julukan yang paling masyhur adalah “Ibn Sab‘i>n”.

Nama “Ibn Sab‘i>n” jelas tidak diartikan secara literal, terlebih secara biologis (anak tujuh puluh), ia mendapat laqab ini karena setiap kali menuliskan namanya, selalu dengan “‘Abd al-H{aqq” sambil menuliskan sebuah lingkaran (jadi: O عبد احلق).11 Suatu ketika ia menuliskan namanya dengan “O إبن” (anak

lingkaran),12 yang dalam bahasa Arab, lingkaran disebut al-da>r, yakni sesuatu yang meliputi sesuatu lainnya seperti sebuah kawasan. Dalam ilmu huruf (‘ilm asra>r al-h}uru>f), lingkaran sebanding dengan huruf ‘ayn ( ع ) yang dalam

Dalam versi lain ringkasan karya Yahaya tersebut dimuat di jurnal, “Sejarah dan tamadun Islam di Sicily,” JEBAT no. 18 (1990), 297-315, http://journalarticle.ukm.my/ 477/1/1.pdf (diakses pada 16 Mei 2014). Lihat juga Masyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Kencana, 2007), 157-168.

4 Albrecht Classen (reviewer), “Frederick II: The Last Emperor,” Die Unterrichtspraxis vol. 36, no. 1 (2003), 112-113, http://www.jstor.org/stable/3531714? origin=JSTOR-pdf (diakses pada 08 Mei 2014). Lihat lengkapnya Walther Köhler, “Emperor Frederick II: The Hohenstaufe,” The American Journal of Theology Vol. 7, no. 2 (April 1903), 225-248, http://www.jstor.org/stable/3153729?origin=JSTOR-pdf (diakses pada 08 Mei 2014).

5 Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 253. Al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196. Juga Khayr al-Di>n al-Zarkali>, Al-A‘la>m jilid 3 (Beirut: Da>r al-‘Ilm li-al-Mala>yi>n, 2002), 280.

6 al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196. Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 253. 7 Ibn al-Khat}i>b, Al-Ih}a>t}ah, 31. Lihat juga Isma>‘i>l ibn ‘Umar ibn Kathi>r, Al-

Bida>yah wa-al-Niha>yah juz 17, tah}qi>q ‘Abdulla>h ibn ‘Abd al-Muh}sin al-Turki> (Ji>zah: Da>r Hijr, 1998), 497.

8 Ibn al-‘Ima>d, Sadhara>t al-Dhahab fi> Akhba>r man Dhahab jilid 7, tah}qi>q Mah}mu>d al-Arna>’u>t} (Beirut: Da>r Ibn Kathi>r, 1991), 573. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 27.

9 Al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196. Ibn al-Khat}i>b, Al-Ih}a>t}ah, 31. Lihat juga Patrizia Spallino, “Ibn Sab‘i>n, ‘Abd al-H{aqq” dalam Encyclopedia of Medieval Philosophy: Philosophy Between 500 and 1500, ed. Henrik Lagerlund (New York: Springer, 2011), 508.

10 Abu> al-Mah}a>sin Yu>suf ibn Tighri> Birdi>, Al-Nuju>m al-Za>hirah fi> Mulu>k Mis}r wa-al-Qa>hirah jilid 7 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1992), 202. Lihat juga Taqy al-Di>n Muh}ammad ibn Ah}mad al-H{asani> al-Fa>si>, Al-‘Iqd al-Thami>n fi> Ta>ri>kh al-Balad al-Ami>n jilid 5, tah}qi>q Fu’a>d Sayyid (Beirut: Mu’assasat al-Risa>lah, 1985), 326.

11 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 27. 12 Al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196.

Page 75: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

63

perhitungan huruf arab (h{isa>b al-jumal) bernilai 70 (arab: sab‘u>n/sab‘i>n). Jadi, “O إبن” sama dengan “إبن ع”, dan menjadi “13.”إبن سبعني

Ibn Sab‘i>n lahir di Valle de Ricote (Riqawt}ah), Murcia (Mursiyah), sebuah kota di Andalusia, pada 614 H./1217 M., pada paruh abad ke-7 Hijriah, tepat pada masa akhir dinasti Muwahhidun berkuasa di Andalus,14 sebuah masa yang secara sosio-intelektual ditandai dengan perkembangan kajian tasawuf-falsafi.15 Ia wafat di Makkah pada 669 H./1270 M.16 Perjalanan hidup Ibn Sab‘i>n bisa dibagi kepada tiga fase, fase pertama, pada 614 H. sampai sekitar 640 H.17 Pada fase ini, Ibn Sab‘i>n di Murcia telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan antara lain, bahasa dan sastra Arab kepada para gurunya,18 ia juga belajar ‘ulu>m al-naqli>yah seperti tafsir, Hadits, Fiqh madzhab Maliki, dan lain-lain.19 Selain itu, ia juga belajar ‘ulu>m al-‘aqli>yah seperti ilmu-ilmu para pendahulu (‘ulu>m al-awa>’il), filsafat, logika, teologi, fisika, matematika.20 Ia juga belajar teologi Ash‘ari>yah dari guru-gurunya yang beraliran Ash‘ari>yah,

13 Al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196. Juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 29.

14 Muh{ammad Ya>sir Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni> (Damaskus: Wiza>rat al-Thaqa>fah, 1990), 16.

15 Anna Akasoy, “Andalusi Exceptionalism: The example of “Philosophical Sufism” and the Significance of 1212,” Journal of Medieval Iberian Studies Vol. 4 No. 1 (Maret 2012), 113-117. http://e-resources.pnri.go.id:2072/doi/pdf/10.1080/17546559. 2012.677197 (diakses pada 15 Agustus 2014).

16 Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, vol. 2, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 263-264. Ibn Kathi>r, Al-Bida>yah wa-al-Niha>yah, 497. Peter S. Groff, Islamic Philosophy A-Z (Edinburg: Edinburg University Press, 2007), 92. Al-Fa>si>, Al-‘Iqd al-Thami>n, 333. Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 35. Para sejarawan penulis biografi berbeda pendapat mengenai tahun kelahirannya yang masing-masing mengacu pada tahun wafatnya. Sekurang-kurangnya ada empat pendapat tentang hal ini: (1) Ibn Sha>kir (Fawa>t al-Wa>fiya>t, 254) menyebutkan bahwa Ibn Sab‘i>n wafat pada 20 Syawal 668 H. pada usia 55 tahun, ini berarti diperkirakan Ibn Sab‘i>n lahir pada 613 H. Pendapat inilah yang menurut al-Tafta>za>ni> (Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 33-34) juga dipegang oleh para orientalis seperti Macdonald, Lator, Cabanellas dan Hernandez. (2) Ibn H{abi>b sebagaimana dikutip oleh al-Muqarri> (Nafh} al-T{i>b, 197) mengatakan bahwa Ibn Sab‘i>n wafat pada 669 H. dalam usia 50 tahun. Dengan ini diperkirakan Ibn Sab‘i>n lahir sekitar tahun 619 H. (3) Al-Sha‘ra>ni> mengatakan bahwa Ibn Sab‘i>n wafat pada 667 H. dalam usia 55 tahun, yang berarti ia lahir pada 614 H. Lihat al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 34. (4) Ibn Sab‘i>n lahir pada 614 H. dan wafat pada 669 H. pendapat yang terakhir inilah yang paling banyak diikuti.

17 al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 35. 18 Ibn al-Khat}i>b, Al-Ih}a>t}ah, 31-32. Juga Al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196. 19 Abu> al-‘Abba>s al-Ghabri>ni>, ‘Unwa>n al-Dira>yah: Fi>-man ‘Urifa min al-

‘Ulama>’ fi> al-Mi>’ah al-Sa>bi‘ah bi-Baja>yah, tah}qi>q ‘Adil Nuwayhid{ (Beirut: Da>r al-Afa>q al-Jadi>dah, 1979), 237.

20 Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Tasawuf jilid II (Bandung: Angkasa, 2008), 539-540. Lihat juga Ibn Kathi>r, Al-Bida>yah wa-al-Niha>yah, 497. Juga al-Fa>si>, Al-‘Iqd al-Thami>n, 327.

Page 76: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

64

dan tentu saja, ia juga mempelajari dan mendalami tasawuf.21 Menurut sebagian sejarawan, Ibn Sab‘i>n juga mempelajari ilmu kedokteran, kimia, ilmu nama-nama dan huruf.22

Pada fase pertama ini, para sejarawan agaknya mengalami kesulitan dalam menelusuri lebih jauh siapa guru-guru Ibn Sab‘i>n. Sebagian berpendapat ada tiga tokoh yang dianggap menjadi guru Ibn Sab‘i>n, pertama, Ibn Daha>q (w. 611 H./1214-15 M.),23 yaitu Ibra>hi>m ibn Yu>suf ibn Muh{ammad ibn al-Daha>q al-Awsi>. Seorang teolog, ahli Fiqh, penggiat tafsir dan Hadits asal Andalusia, ia telah mengajar teologi, tasawuf dan disiplin ilmu lainnya. Di antara karyanya adalah komentar (sharh}) atas al-Irsha>d karya Ima>m al-H{ara>mayn Abu> al-Ma’a>li> al-Juwayni> (w. 478 H./1085 M.), komentar atas kitab al-Asma>’ al-H{usná, komentar atas al-Mah}a>sin al-Maja>lis karya Abu> al-‘Abba>s Ah{mad ibn al-‘A<rif, dan karya lainnya.24 Kedua, al-Bu>ni> (w. 622 H./1225 M.),25 yaitu Abu> al-‘Abba>s Ah}mad ibn ‘Ali> Yu>suf al-Qurshi> Muh{yi> al-Di>n, seorang pakar ilmu nama-nama dan huruf (‘ilm al-asma>’ wa al-h}uru>f). Di antara karya terkenalnya dalam bidang yang digelutinya adalah Shams al-Ma’a>rif wa-Lat}a>’if al-‘Awa>rif.26 Ketiga, al-Hara>ni> (w. 538 H./1143 M.),27 yakni Abu> al-H{asan ibn ‘Ali> ibn Muh{ammad al-Hara>ni>. Seorang pakar di bidang ilmu nama-nama dan huruf, yang juga merupakan guru dari al-Bu>ni>.

Jika diperhatikan, agaknya tidak mungkin Ibn Sab‘i>n belajar secara langsung (talaqi>) dengan ketiga guru tersebut. Hal ini mengingat, Ibn Sab‘i>n lahir pada 614 H., sementara Ibn al-Daha>q wafat pada 611 H., al-Bu>ni> wafat pada 622 H. dan al-Hara>ni> pada 538 H. Karenanya, sebagaimana dikatakan al-Tafta>za>ni>, kemungkinan besar Ibn Sab‘i>n hanya mempelajari karya-karya mereka secara otodidak, belajar sendiri, tanpa bertemu langsung dengan mereka (muba>sharah) dan mengadopsi pemikiran-pemikiran mereka.28 Sementara guru Ibn Sab‘in yang mengajarinya secara langsung, tidak ada kesepakatan dari para peneliti.

Pada masa hidupnya di Andalus, Ibn Sab‘i>n hidup di tengah keluarga yang mulia. Ayahnya adalah seorang hakim di kota Murcia, sementara kakeknya

21 Al-Fa>si>, al-‘Iqd al-Thami>n, 327. 22 Khayr al-Di>n al-A<lu>si>, Jila>’ al-‘Aynayn fi> Muh{a>kamat al-Ah{madayn

(Madinah: Mat}ba‘ah al-Madani>, 1981), 99. Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 254. Lihat juga Ibn Kathi>r, Al-Bida>yah wa-al-Niha>yah, 497.

23 Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 33. Juga al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 202. 24 S{ala>h{ al-Di>n al-S{afadi>, al-Wa>fi> bi-al-Wa>fiya>t juz 6, tah{qi>q Ah{mad al-Arna>u>t}

dan Turki> Mus}t}afa> (Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, 2000), 110. Lihat juga Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah jilid 1, 180.

25 Zayn al-Di>n al-Muna>wi>, al-Kawa>kib al-Durri>yah fi> Tara>jim al-Sa>dah al-S}u>fi>yah juz 2, tah{qi>q Muh{ammad Adi>b al-Ja>dir (Beirut: Da>r al-S{a>dir, t.t), 442. Juga Ibn al-‘Ima>d, Sadhara>t al-Dhahab, 575.

26 al-Zarkali>, al-A‘la>m jilid 1, 174. 27 Ibn al-‘Ima>d, Sadhara>t al-Dhahab, 575. Lihat juga al-Muna>wi>, al-Kawa>kib al-

Durri>yah, 442. 28 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 39-40. Juga Tim Penulis UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Tasawuf, 540.

Page 77: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

65

adalah seorang ahli perhitungan dan kepemimpinan. Latar belakang keluarganya itu ia menfaatkan untuk menimba ilmu semasa hidupnya. Meski demikian, Ibn Sab‘i>n hidup dengan sederhana, jauh dari kehidupan mewah, meninggalkan ambisi duniawi, dan sejak kecil ia intens dalam dunia ilmiah-sufistik. Bahkan, karya monumentalnya, Budd al-‘A<rif, berhasil ia rampungkan pada usia 15 tahun.29

Fase kedua dalam kehidupan Ibn Sab‘i>n, mulai sekitar 640 H./1242 M., ia bersama murid-muridnya keluar dari kota Murcia, merantau ke bagian lain kota Andalus, dan meninggalkan Andalus, menjelajahi wilayah Islam bagian Barat, Afrika Utara dan Mesir, sampai akhirnya tibalah ia di Makkah pada sekitar 652 H./1254 M.30 Menurut beberapa sumber, alasan mengapa Ibn Sab‘i>n meninggalkan Andalus adalah karena faktor politik, antara lain semakin melemahnya dinasti Muwahhidun dan sudah tidak ada lagi kebebasan berpikir di Andalus. Faktor lainnya adalah karena serangan dan tuduhan kafir dari kalangan Fuqaha>’ (ahli Fiqh), yang tidak mungkin lagi bagi Ibn Sab‘i>n untuk menyebarkan pandangan-pandangan filosofisnya di Andalus.31

Pada waktu itu, masyarakat Andalus sangat menolak dan mempersempit ruang gerak semua pemikiran filosofis, bahkan sebelumnya mereka telah membakar karya al-Ghaza>li> ketika ada di Andalus.32 Sharaf mengatakan, para ahli Fiqh madzhab Maliki di Andalus pada saat itu sangat menentang semua bentuk gerakan yang melontarkan ide pembaharuan, bahkan mereka menganggap bahwa mengandalkan rasio dalam agama adalah zindiq.33

Suatu ketika, Ibn Sab‘i>n bersama murid-muridnya singgah di kota Ceuta (Sabatah),34 Maroko, yang pada saat itu Hakim di kota tersebut adalah Ibn Khala>s}, ia mengajak penduduk kota tersebut ke jalan sufistik, jalan madzhabnya. Seorang perempuan kaya raya, salah seorang penduduk Ceuta ternyata mengaguminya dan ingin menikahinya, Ibn Sab‘i>n pun menerimanya dan kemudian mereka menikah. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang anak, akan tetapi anaknya meninggal pada saat ayahnya, Ibn Sab‘i>n, masih hidup sekitar tahun 666 H./1267 M.35

29 Al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 199. Lihat juga Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa

Falsafatuhu, 41-42. 30 Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni> , 57. 31 Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 254. Menurut Ibn Sha>kir, tuduhan kafir dan

telah keluar dari Islam dikarenakan perkataannya yang ditafsirkan oleh para ulama andalus sebagai pengingkaran terhadap kenabian Muhammad SAW. Lihat juga Ibn Kathi>r, Al-Bida>yah wa-al-Niha>yah, 497.

32 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 44. 33Muh{ammad Ya>sir Sharaf, al-Wah{dah al-Mut}laqah ‘inda Ibn Sab‘i>n (Beirut:

Al-Markaz al-‘Arabi> li-al-T{aba>‘ah wa-al-Nashr, 1981), 55-56. 34 Ibn al-Khat}i>b, Al-Ih}a>t}ah, 32. 35 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 45. Lihat juga Sharaf, Falsafat al-

Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>. 16.

Page 78: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

66

Di Ceuta, Ibn Sab‘i>n dapat hidup tenang, dengan intens ia mempelajari buku-buku tasawuf dan mengajarkannya.36 Pada saat inilah ia mendapatkan surat dari Kaisar Frederick II, raja Sicilia/S{iqili>yah (Normania), yang berisi pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang Aristotelianisme, sebagaimana Frederick II telah mengirimkannya pula kepada cendikiawan lain yang ada di Timur, seperti Mesir, Irak, Syam dan Yaman, akan tetapi Frederick II tidak merasa terpuaskan dengan jawaban-jawaban mereka. Frederick II mengirimkan surat tersebut kepada khalifah dinasti Muwahhidun kala itu, Abu> Muh{ammad ‘Abd al-Wa>h{id al-Rashi>d dari Bani> ‘Abd al-Mu’min, yang telah memerintahkan Hakim di Ceuta, Ibn Khala>s}, agar menyampaikannya kepada Ibn Sab‘i>n.37

Ibn Sab‘i>n pun menerima surat tersebut dengan senang hati, serta memberikan jawaban-jawaban filosofis yang diajukan oleh penguasa Sicilia itu. Setelah jawaban yang ditulisnya selesai dikirimkan, Frederick II pun merasa puas dengan jawaban-jawaban itu.38 inilah salah satu kontribusi nyata Ibn Sab‘i>n bagi peradaban Barat. Namun, dengan jawaban yang dilontarkan Ibn Sab‘i>n itu, ternyata sang Hakim, Ibn Khala>s}, mulai mencium “bau tak sedap” dari jawaban tersebut, bahwa Ibn Sab‘i>n adalah seorang filosof. Karena itu, kontan Ibn Khala>s} memerintahkan Ibn Sab‘i>n agar segera meninggalkan Ceuta.39 Hal ini wajar adanya, karena dinasti Muwahhidun, khususnya Ibn Khala>s} sangat gencar memerangi pemikiran-pemikiran yang berbau filsafat dan menginginkan tegaknya Islam murni.

Dari sini, Ibn Sab‘i>n tidak lagi memiliki tempat bernaung, pindah dari kota Ceuta ke kota Adawah, dari Adawah ke kota Bajayah, bermukim sejenak.40 Selanjutnya ia memasuki kota Qabis, Tunis, akan tetapi di Qabis ia mendapatkan pertentangan yang keras dari seorang ahli Fiqh, yakni, Abu> Bakr ibn Khali>l al-Suku>ni> (w. 716 H./1316 M.), yang mengklaim bahwa Ibn Sab‘i>n adalah zindiq.41 Lalu ia beralih ke Mesir, tepatnya di Kairo,42 tetapi ternyata masyarakat di sana telah dihasut oleh utusan dari Fuqaha>’ Barat, bahwa Ibn

36 Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 32. Juga al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196. 37 Anna Ayşe Akasoy, “Ibn Sab‘i>n’s Sicilian Questions: The Text, Its Sources

and Their Historical Context,” Journal Al-Qant}ara XXIX, issue 1 (Januari-Juni 2008), 115-146. http://www.al-qantara.revistas.csic.es/index.php/al-qantara/article/viewFile/51/ 45 (diakses pada 26 Februari 2013). Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu. 46.

38 Lihat H{asan H{anafi>, Humu>m al-Fikr wa-al-Wat}an juz 1 (Kairo: Da>r Quba>’, 1998), 147-148.

39 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu. 46. Menurut S{afi> al-Di>n al-Hindi> yang dikutip ‘Abd al-Qa>dir Mah{mu>d, faktor lain yang menyebabkan Ibn Sab‘i>n diusir dari Maghrib adalah karena ia pernah melontarkan kata-kata kontroversi: “Perkataan anak laki-laki ibunda A<minah (Nabi Muhammad SAW.) bahwa tidak ada Nabi setelah aku, telah menyebabkan fanatisme buta”. Lihat ‘Abd al-Qa>dir Mah{mu>d, al-Falsafah al-S{u>fi>yah fi> al-Isla>m (Kairo: Da>r al-Fikr, 1967), 548.

40 |Al-Ghabri>ni>, ‘Unwa>n al-Dira>yah, 237. 41 Ibn Khaldu>n yang dikutip dari al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 47.

Lihat juga Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 40. 42 Al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 202.

Page 79: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

67

Sab‘i>n adalah mulh{id (kafir). Padahal, ketika itu banyak sufi-sufi terkemuka di Mesir seperti Abi> al-H{asan al-Sha>dhili> yang datang ke Mesir sekitar tahun 642 H., Abu> ‘Abdilla>h al-Mu‘a>firi> al-Sha>t{ibi> (w. 672 H.), ‘Abdulla>h ibn Abi> H{amrah al-Mursi> (w. 675 H.), Ibn Sara>qah al-Sha>t}ibi> (w. 663 H.) dan lain-lain. Namun, masyarakat Mesir tidak menerima Ibn Sab‘i>n lantaran tasawufnya berbeda dengan tasawuf para Sufi lain, tasawufnya tercampuri teori-teori filsafat.43 Bahkan ulama kenamaan Mesir waktu itu, Qut}b al-Di>n al-Qast}ala>ni> (614-686 H.) menulis sebuah karya yang menyerang akidah Ibn Sab‘i>n.44 Akhirnya, dengan hal ini, Ibn Sab‘i>n terpaksa meninggalkan Mesir dan hijrah ke Makkah.

Fase ketiga, pada sekitar 652 H./1254 M. Ibn Sab‘i>n hijrah dari Mesir ke Makkah. Pada waktu itu, Hakim Makkah adalah Abu> Nami> Muh{ammad al-Awwal yang berkuasa pada 652-702 H./1254-1301 M.45 Di Makkah, ia merasakan kenyamanan, dapat hidup tenang karena mendapatkan perlindungan dari sang Hakim. Ia juga dapat dengan leluasa melakukan tajribat al-ru>h}i>yah (eksperimen spritual), menyebarkan paham tasawufnya, melakukan ibadah Haji bersama para pengikutnya setiap tahun, hingga ia wafat pada hari kamis tanggal 9 Syawwal 669 H./1270 M.46

Di Makkah, Ibn Sab‘i>n juga dapat merampungkan beberapa karyanya antara lain, Risa>lat al-Nu>ri>yah yang ditulis pada 668 H., Bay‘at Ahl Makkah yang dipersembahkan untuk sultan Zakari>yya> ibn ‘Abd al-Wa>h{id ibn Abi> H{afs}, seorang raja Afrika, dan salah satu risalah yang berisi surat menyurat dengan teman sepemikirannya, Najm al-Di>n ibn Isra>’i>l, salah seorang murid Ibn ‘Arabi>.47 Ia juga memiliki hubungan dekat dengan raja Yaman, al-Muz}affar Shams al-Di>n Yu>nus al-Awwal (647-694 H.), akan tetapi menterinya (wa>zir) sangat membenci Ibn Sab‘i>n.48

Adapun berkaitan dengan proses kematiannya, para sejarawan tampaknya berbeda pendapat, sebagian berpendapat bahwa Ibn Sab‘i>n meninggal dengan bunuh diri,49 Esteban Lator menambahkan, sebagaimana dikutip al-Tafta>za>ni>, bahwa ia bunuh diri karena menginginkan kemanunggalan (al-ittih}a>di>yah) dengan Tuhan,50 sebagian lagi berpendapat bahwa ia meninggal

43 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 48-49. 44 Taqy al-Di>n Ibn Taymi>yah, Majmu>‘at al-Rasa>’il wa-al-Masa>’il juz 4 ed.

Rashi>d Rid{a> (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1992), 84. 45 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 51. 46 |Al-Ghabri>ni>, ‘Unwa>n al-Dira>yah, 238. Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-

Sab‘i>ni>, 20. Juga Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 34. Al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196. Pendapat bahwa Ibn Sab‘i>n wafat pada 669/1270 merupakan pendapat mayoritas para ahli sejarah penulis biografi dan peneliti Ibn Sab‘i>n.

47 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 53-54 dan 65. 48 Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 254. 49 Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m wa-Wafaya>t al-Masha>hir wa-al-

A‘la>m jilid 49, tah{qi>q ‘Umar ‘Abd al-Sala>m Tadmuri> (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1999), 285. Lihat juga Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 254.

50 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 64. Bahkan Bensalem Himmich menulis sebuah novel historis yang bercerita tentang Ibn Sab‘in, seorang Muslim yang

Page 80: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

68

karena diracun oleh wa>zir Yaman yang membenci dirinya. Ada pula pendapat mengatakan bahwa ia meninggal karena diracun, tapi entah siapa yang meracunnya.51 Namun, menurut al-Tafta>za>ni>,52 Ibn Sab‘i>n meninggal secara alami layaknya orang lain. Pendapat yang mengatakan bahwa ia meninggal diracun atau bunuh diri adalah pendapat dari orang-orang yang membencinya. Menurut penulis, pendapat al-Tafta>za>ni ini dapat dimengerti, karena mayoritas penggiat sejarah dan penulis biografi, tidak menjelaskan proses bagaimana Ibn Sab‘i>n wafat. 2. Karya-karya Ibn Sab‘i>n

Ibn Sab‘i>n, tergolong teosof yang cukup produktif dalam menghasilkan karya tulis.53 Tidak kurang dari 46 karya tulis, sebagian menyatakan 45 karya tulis yang dihasilkannya, baik berupa kita>b maupun risa>lah (p. rasa>’il), meskipun sebagian tidak dapat ditemukan manuskripnya.54 Gaya tulisannya terkenal syarat dengan simbolisme yang tidak mudah untuk “ditembus”.55

Ada beberapa literatur yang menguraikan karya-karya Ibn Sab‘i>n dengan bentuk klasifikasi dan penamaan karya yang berbeda. Di antara berbagai literatur tersebut, pendapat Ya>sir Sharaf dan al-Tafta>za>ni> nampaknya lebih sistematis dan lengkap dalam menguraikan karya-karya Ibn Sab‘i>n. Sharaf mengklasifikasikan karya Ibn Sab‘i>n tersebut berdasarkan pada jenis dan keadaannya,56 sementara al-Tafta>za>ni> mengklasifikasikannya berdasarkan bidang ilmu dari karya tersebut.57

Karya Ibn Sab‘i>n dapat dikelompokkan kepada tiga jenis, pertama, dalam bidang tasawuf falsafi, ada sekitar 21 karya yang termasuk ke dalam bagian ini, yaitu: Budd al-‘A<rif,58 Risa>lat al-Fath} al-Mushtarak,59 Jawa>b S{a>h}ib

melakukan bunuh diri. Bensalem Himmich, A Muslim Suicide, trans. Roger Allen (New York: Syracuse University Press., 2011).

51 Al-Fa>si>, al-‘Iqd al-Thami>n, 334. 52 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 65-66. 53 Al-Muna>wi>, al-Kawa>kib al-Durri>yah, 440. Juga Ibn Sha>kir, Fawa>t al-

Wa>fiya>t, 253. 54 Lihat al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 98-143. Bandingkan dengan

Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 40-50. 55 Patrizia Spallino, “Ibn Sab‘i>n, ‘Abd al-H{aqq”, 507-513. Lihat juga Al-

Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 90. 56 Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 40-50. 57 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 98-143. 58 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, tah{qi>q George Kitturah (Beirut: Dār al-Andalus

dan Dār al-Kindī, 1978). 59 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Fath} al-Mushtarak” dalam ‘Abd al-Rah}man Badawi>

(ed./muh}aqqiq), Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, > (Kairo: Da>r al-Mis}ri>yah li-al-Ta’li>f wa-al-Tara>jim, t.t), 247-258. Salinan karya ini juga ditulis oleh al-Mazi>di>, lihat Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Fath{ al-Mushtarak,” dalam Ah{mad Fari>d al-Mazi>di> (ed./muh}aqqiq), Rasa>’il Ibn Sab‘i>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007), 329-338. Dalam kedua salinan ini, Risa>lat al-Fath} al-Mushtarak bernama Mula>h}az}a>t ‘alá Budd al-‘A<rif. Di sini, akan digunakan salinan yang di tah}qi>q oleh al-Mazi>di>.

Page 81: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

69

al-S{iqili>yah atau al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah,60 Risa>lat al-Ih}a>t}ah,61 Risa>lat al-Alwa>h} atau Khit}a>bulla>h bi-Lisa>n Nu>rihi,62 al-Risa>lah al-Qawsi>yah,63, Risa>lah yang dimulai dengan kalimat: istami‘ li-ma> yuh}á,64 Risa>lah yang dimulai dengan kalimat: i‘lam ‘allamakalla>h h}ikmatahu,65 Risa>lat al-Anwa>r atau Risa>lah fi> Anwa>r al-Nabi>,66 Risa>lah fi> ‘Arfah,67, Risa>lat al-Alwa>h} al-Muba>rakah,68 Mujalladah S{aghi>rah fi> al-Jawhar,69 Kita>b al-Kadd,70 Risa>lat al-Tawajjuh atau Risa>lah fi> al-Ni‘mah al-Ilahi>yah,71 dan Di>wa>n Shi’r.72 Kita>b al-Qist}, Nati>jat al-H{ikam,73 al-Risa>lah al-Us}bu‘i>yah, al-Risa>lah al-H{ukmi>yah atau Risa>lah fi> al-H{ikmah, Kita>b al-Buhat, dan al-Kita>b al-Kabi>r.74

Kedua, dalam bidang moralitas tasawuf dan ritual aplikatif (a>dab al-tas}awwuf wa-riya>d{a>tuhu al-‘amali>yah). Kurang lebih ada 18 karya Ibn Sab‘i>n dalam bidang ini: Risa>lat al-‘Ahd,75 al-Risa>lah al-Nu>ri>yah atau Kita>b al-

60 Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, tah{qi>q Muh}ammad Sharaf

al-Di>n Ya>ltaqa>ya> (Beirut: Al-Mat}ba’ah al-Ka>thu>li>ki>yah, 1941). 61 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Ih}a>t}ah” dalam al-Mazi>di>, 193-211. Juga dalam salinan

Badawi>, 120-150. 62 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“ dalam al-Mazi>di>, 248-252. Juga dalam salinan

Badawi> 190-200. 63 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lah fi> Madlu>l Kalima>t“ dalam al-Mazi>di>, 92-98. Setelah

diidentifikasi, karya tersebut adalah nama lain dari al-Risa>lah al-Qawsi>yah. Juga dalam salinan Badawi>, 39-42.

64 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lah“ dalam al-Mazi>di>, 73-91. Dalam salinan Badawi>, karya ini berjudul Kita>b fi>hi H{ukm wa-Mawa>‘i>z}, 23-28.

65 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lah“ dalam al-Mazi>di>, 389-391. Dalam salinan Badawi>, karya ini berjudul wa-lahu Rad{iyalla>h ‘anhu, 308-311.

66 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Anwa>r“ dalam al-Mazi>di>, 263-293. Dalam salinan Badawi>, karya ini berjudul Risa>lah fi> Anwa>r al-Nabi>, 201-211.

67 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lah fi> ‘Arfah” dalam al-Mazi>di>, 445-459. Dalam salinan Badawi>, 362-374.

68 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h} al-Muba>rakah” dalam al-Mazi>di>, 357-364. Dalam salinan Badawi>, 276-282.

69 Lihat Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 255. 70 Lihat al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 202. Juga Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 35. 71 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lah fi> al-Ni‘mah al-Ilahi>yah” dalam al-Mazi>di>, 339-342.

Dalam salinan Badawi> hanya diberi judul Risa>lah, 259-262. 72 Lihat al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 206 dan 204. Hal ini juga disebutkan oleh Ibn

al-Khat}i>b bahwa Ibn Sab‘i>n menulis syair tentang al-tah}qi>q. Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 33. 73 Karya ini disebutkan dalam komentar (sharh{) atas Risa>lat al-‘Ahd dalam al-

Mazi>di>, 108. 74 Lihat al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 122-127. Lihat juga Sharaf,

Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 42-49. 75 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-‘Ahd” dalam al-Mazi>di>, 98-99. Dalam salinan Badawi>

diberi judul ‘Ahd Ibn Sab‘i>n li-Tala>midhihi, 43-44. Di kedua salinan tersebut, Risa>lat al-‘Ahd disandingkan dengan komentar (sharh{) atas karya ini, yang ditulis oleh salah seorang muridnya yang namanya tidak diketahui.

Page 82: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

70

Nas}i>h}ah,76 al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah,77 al-Risa>lah al-Rid{wa>ni>yah,78 Risa>lah fi> Was}a>ya> li-As}h}a>bihi (wasiat untuk para sahabat Ibn Sab‘i>n) yang dimulai dengan kalimat: sala>m ‘alaykum h}afaz}akumulla>h,79 Was}i>yah yang dimulai dengan kalimat: man istaqa>ma fi> bida>yatihi,80 Was}i>yah yang dimulai dengan kalimat: man t}alaba z}afar,81 Risa>lah yang dimulai dengan kalimat: Alla>h! Alla>h! Alla>h!,82 Risa>lah yang dimulai dengan kalimat: i‘lam hada>kakalla>h wa-as‘adak,83 Risa>lah yang dimulai dengan kalimat: sala>m ‘alayk wa-rahmatulla>h,84 Risa>lah yang dimulai dengan kalimat: i’lam ‘allamakalla>h h}ikamahu,85 Kita>b al-Safar,86 H{izb al-Fath} wa-al-Nu>r, H{izb al-Faraj wa-al-Istikhla>s}, Da‘wat H{arf al-Qa>f,87 Kita>b Bay‘at Ahl Makkah, H{izb al-H{ifz} wa-al-S{awt, al-Bah}th fi> Sha’n al-‘Azi>z, dan Kita>b al-Lahw.88

Ketiga, dalam bidang ilmu nama-nama dan huruf (‘ilm al-asma>’ wa-al-h}uru>f), ada tujuh karyanya yang dapat dikategorikan ke dalam bagian ini: Kita>b al-Daraj,89 al-Durrah al-Mad{i>yah wa-al-Khafi>yah wa-al-Shamsi>yah, Lisa>n al-Falak al-Na>t}iq ‘an Wajh al-H{aqa>’iq, Risa>lah fi> Asra>r al-Kawa>kib wa-al-Daraj wa-al-Buru>j wa-Khawa>s}iha>,90 Sharh} Kita>b Idri>s,91 Kanz al-Mughrami>n fi> al-H{uru>f wa-al-Awfa>q, dan Lamh}at al-H{uru>f. 92

Di antara semua karya Ibn Sab‘i>n, dua di antaranya berbentuk kita>b, yaitu Budd al-A<rif dan al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah. Sementara selain

76 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Nas}i>h}ah aw-al-Nu>ri>yah,” dalam al-Mazi>di>, 212-231. Dalam salinan Badawi>, 151-189.

77 Ibn Sab‘i>n, “al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah,” dalam al-Mazi>di>, 53-72. Dalam salinan Badawi>, 1-22.

78 Ibn Sab‘i>n, “Al-Risa>lah al-Rid{wa>ni>yah,” dalam al-Mazi>di, 397-444. Dalam salinan Badawi>, 316-355.

79 Ibn Sab‘i>n, “Was}i>yat Ibn Sab‘i>n li-As}h}a>bihi,” dalam al-Mazi>di>, 392-394. Dalam salinan Badawi>, 312-313.

80 Ibn Sab‘i>n, “Was}i>yat Ibn Sab‘i>n li-As}h}a>bihi,” dalam al-Mazi>di>, 394. Dalam salinan Badawi>, 313.

81 Ibn Sab‘i>n, “Was}i>yat Ibn Sab‘i>n li-As}h}a>bihi,” dalam al-Mazi>di>, 394. Dalam salinan Badawi>, 313-314.

82 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lah,” dalam al-Mazi>di>, 364-389. Dalam salinan Badawi>, 283-297.

83 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lah,” dalam Badawi>, 298-307. 84 Lihat al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 202. Juga Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 35. 85 Karya ini disebutkan dalam komentar (sharh{) atas Risa>lat al-‘Ahd dalam al-

Mazi>di>, 170. 86 al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 202. 87 Lihat al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 139-140. 88 Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 48-49. 89 Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 35. Juga al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 202. Lihat juga al-

Zarkali>, al-A‘la>m, 280. 90 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 142. 91 Ibn al-‘Ima>d, Sadhara>t al-Dhahab, 574. Juga al-Muna>wi>, al-Kawa>kib al-

Durri>yah, 441. 92 Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 49. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn

Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 143.

Page 83: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

71

itu berbentuk risa>lah yang 27 di antaranya masih dapat ditemukan, sedangkan sebagiannya lagi sudah tidak dapat ditemukan.93 Di samping itu, menurut Sharaf,94 ada empat karya yang dianggap oleh sebagian kalangan sebagai karya Ibn Sab‘i>n (al-mu’allafa>t al-manh}u>lah), yaitu: Asra>r al-H{ikmah al-Mashriqi>yah yang merupakan nama lain dari Risa>lat Hayy ibn Yaqz}a>n karya Ibn T{ufayl (w. 581 H./1185 M.), Kita>b al-Adwa>r karya S{afi> al-Di>n ‘Abd al-Mu’min, Kala>m fi al-‘Irfa>n, dan Jawa>hir al-Sirr al-Muni>r fi> Us}u>l al-Bast} wa-al-Taksi>r dalam bidang ilmu huruf. Al-Tafta>za>ni> menambahkan dua karya lainnya yang termasuk kategori manh}u>lah,95 yaitu, Risa>lat al-Was}a>ya> wa-al-‘Aqa>’id dan Risa>lat Tarti>b al-Sulu>k.

3. Posisi Penting Ibn Sab‘i>n

Paparan tentang biografi intelektual serta karya-karya Ibn Sab‘i>n di atas kiranya cukup menggambarkan bagaimana keluasan pengetahuan dan pemikirannya. Pengetahuan Ibn Sab‘i>n tentang tasawuf, filsafat, teologi dan fiqh sangat luas. Dia mengenal berbagai aliran filsafat Yunani, Persia dan India, di samping juga mendalami pemikiran para filosof Muslim.96 Pemikiran Ibn Sab‘i>n yang ia tuangkan ke dalam karya-karyanya mengantarkan Ibn Sab‘i>n kepada popularitas yang tinggi di masanya. tidak hanya di dunia Islam, bahkan Barat pun mengakuinya, baik ketika ia masih hidup maupun setelah wafat.

Dalam konteks filsafat, Ibn Sab‘i>n dikenal sebagai filosof-sufi yang mempunyai pandangan filosofis pemaduan antara intuisi dan logika. Dalam hal ini, Nasr mengatakan,97 di antara semua filosof besar Andalusia terakhir, Ibn Sab‘i>nlah yang telah menyusun salah satu sintesis besar antara doktrin Sufi dan filsafat dalam sejarah pemikiran Islam. Pada diri Ibn Sab‘i>n pula dapat terlihat gambaran hubungan erat antara tasawuf dan filsafat yang paling jelas.

Di dunia Islam sendiri, tidak selamanya pemikiran Ibn Sab‘i>n diterima. Tidak sedikit cendikiawan Muslim yang menentangnya, mengklaim bahwa ia sesat dan keluar dari Islam, bahkan mengkafirkannya. Menurut al-Tafta>za>ni>,98 kalangan yang kontra terhadap Ibn Sab‘i>n mayoritas adalah dari kalangan Fuqaha>’ dan sejarawan. Selain yang menentangnya, banyak pula cendikiawan yang mengagumi pemikirannya, memujinya dengan berbagai titel keilmuan dan membelanya. Dari pandangan ini, Ibn Sab‘i>n dengan pemikirannya seolah menjadi teks yang selalu menarik untuk ditafsirkan oleh banyak cendikiawan. Pada bagian ini akan dibahas posisi Ibn Sab‘i>n di dunia Islam, baik mata para penentang yang “memusuhinya” maupun para pendukung yang mengagumi atau

93 Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 43. 94 Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 50-51. 95 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 146-147. 96 Lihat Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Tasawuf,

541-2. 97 Sayyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik: Sebuah Pengantar,” dalam

Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), 462.

98 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 149.

Page 84: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

72

bahkan mengikutinya ajarannya, juga posisinya dalam kancah sosio-intelektual di Barat.

Di antara cendikiawan dari kalangan Fuqaha>’ yang memusuhi Ibn Sab‘i>n adalah Abu> Bakr ibn Khali>l al-Suku>ni> (w. 716 H./1316 M.). Menurut beberapa literatur, ketika Ibn Sab‘i>n berada di Qabis, Tunis, al-Suku>ni>lah yang memberikan pertentangan sangat keras kepadanya, hingga ia terusir dari Tunis dan berhijrah ke Mesir. Bahkan al-Suku>ni> pun disebut-sebut telah menghasut ulama di Mesir, bahwa ia adalah seorang mulh}id, yang akhirnya membuat para ulama Mesir membenci Ibn Sab‘i>n. Al-Suku>ni> mengklaim nahwa Ibn Sab‘i>n dengan doktrin al-Wah{dah al-Mut}laqah-nya adalah seorang zindiq, karena telah menyamakan Sang Pencipta dengan makhluk-Nya.99

Selain al-Suku>ni>, Qut}b al-Di>n al-Qast}ala>ni> (614-686 H.),100 seorang ulama ahli fiqh kenamaan asal Mesir, juga keras menentang pemikiran Ibn Sab‘i>n. Al-Qast}ala>ni> bahkan menulis sebuah karya yang khusus “menyerang” akidah Ibn Sab‘i>n dan tokoh Sufi-falsafi lainnya.101 Dengan tekanan ini, Ibn Sab‘i>n tidak lagi mempunyai tempat berlindung, dan akhirnya hijrah ke Makkah.102 Selain itu, pertentangan juga datang dari para tokoh Muslim modern, antara lain Muh{ammad ibn ‘Ali> al-Shawka>ni> (w. 1250 H.) yang mengkritik Ibn Sab‘i>n dalam karyanya al-S{awa>rim al-H{ida>d al-Qa>t}i‘ah,103 juga al-H{ikami> (w. 1377 H.) dalam karyanya Ma‘a>rij al-Qabu>l.104

Tetapi di antara tokoh-tokoh di atas, Ibn Taymi>yah (661–728 H./1263–1328 H.) adalah orang yang paling gencar memerangi pemikiran Ibn Sab‘i>n. Serangan Ibn Taymi>yah terhadap pemikiran Ibn Sab‘i>n tercatat dalam banyak karyanya, sebut saja, dalam Risa>lat al-Furqa>n bayna al-H{aqq wa-al-Ba>t}il,105 Majmu>‘at al-Rasa>’il wa-al-Masa’il, 106 Bughyat al-Murta>d ‘ala> al-Mutafalsifah wa-al-Qara>mit}ah wa-al-Ba>t}inah yang hampir keseluruhannya menyerang akidah Ibn Sab‘i>n,107 Minha<j al-Sunnah al-Nabawi>yah yang banyak menolak akidah Ibn

99 Ibn Khaldu>n yang dikutip dari al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 47

dan 150. Lihat juga Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 40. 100 Tentang Qut}b al-Di>n al-Qast}ala>ni>, lihat Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t jilid 3,

310-312. 101 Lihat Ibn Taymi>yah, Majmu>‘at al-Rasa>’il, 84. 102 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 151. 103 Muh{ammad ibn ‘Ali> al-Shawka>ni>, al-S{awa>rim al-H{adda>d al-Qa>t}i‘ah li-

‘Ala>’iq Arba>b al-Ittih}a>d, tah}qi>q Muh}ammad S{ubh}i> H{asan al-H{alla>q (San‘a: Da>r al-Hijrah, 1990), 55-6.

104 H{a>fiz} ibn Ah}mad al-H{ikami>, Ma‘a>rij al-Qabu>l bi-Sharh} Sulam al-Wus}u>l ila> ‘Ilm al-Us}u>l jilid 1, tah}qi>q ‘Umar ibn Mah}mu>d Abu> ‘Umar (Makkah: Da>r Ibn al-Qayyim, 1995), 370-371.

105 Ibn Taymi>yah, al-Furqa>n bayna al-H{aqq wa-al-Ba>t}il tah}qi>q H{usayn Yu>suf Ghaza>l (Beirut: Da>r Ih}ya>’al-‘Ulu>m, 1987), 96.

106 Ibn Taymi>yah, Majmu>‘at al-Rasa>’il jilid 1, 91-92. Bagian dalam karya ini disebut Risa>lat al-‘Ubu>di>yah. Juga pada juz 4 bagian madzhab Ittiha<di>yah.

107 Ibn Taymi>yah, Bughyat al-Murta>d ‘ala> al-Mutafalsifah wa-al-Qara>mit}ah wa-al-Ba>t}inah tah}qi>q Mu>sa> ibn Sulayma>n al-Duways (Madinah: Maktabat al-‘Ulu>m wa-al-H{ikam, 2001).

Page 85: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

73

Sab ‘i>n dalam banyak bagiannya,108 dan lainnya. Hal ini dapat dikatakan wajar, pasalnya, dalam kancah pemikiran Islam, Ibn Taymi>yah disebut-sebut sebagai perintis neo-hanbalism, yaitu sebuah gerakan pemikiran yang menentang segala bentuk pembaruan yang menurutnya bid‘ah, dan menginginkan Islam murni. Karena itu, Ibn Sab‘i>n sebenarnya hanya satu dari sekian banyak cendikiawan yang pemikirannya ditentang Ibn Taymi>yah. Salah satu komunitas yang gencar ia kritik ialah kalangan filosof Peripatetik, bahkan, logika yang menjadi senjata para filosof juga dikritik dan mencoba menawarkan konstruk logika baru.109

Di sini tidak akan dijelaskan bagaimana kritik dari tokoh-tokoh tersebut secara rinci, namun yang pasti, semuanya menentang dan menyerang Ibn Sab‘i>n lantaran doktrin al-Wah}dah al-Mut}laqah yang mereka tafsirkan sebagai penyatuan antara Tuhan sebagai pencipta dan alam semesta sebagai ciptaan. Bahkan Ibn Sab‘i>n dituduh telah mengatakan bahwa derajat kenabian dapat diusahakan (muktasabah), yang dengan ini, mereka menganggap bahwa Ibn Sab‘i>n telah keluar dari Islam. Bahkan tak tanggung, Ibn Taymi>yah mengatakan bahwa Ibn Sab‘i>n adalah Musyrik.110

Selain dari kalangan Fuqaha>’, kritikan dan pertentangan juga datang melalui karya-karya sebagian para sejarawan penulis biografi, antara lain Shams al-Di>n al-Dhahabi> (w. 748 H.) dalam karyanya Ta>ri>kh al-Isla>m,111 Sejarawan besar Ibn Kathi>r (w. 774 H.) dalam karya monumentalnya al-Bida>yah wa-al-Niha>yah,112 juga Ibn Khaldu>n (732-808 H./1332-1406 M.) dalam Muqaddimah-nya,113 Ibn Tighri> Birdi> (w. 874 H.) dalam karyanya al-Nuju>m al-Za>hirah,114 dan lainnya.

Selama hidupnya dan bahkan setelah ia wafat, Ibn Sab‘i>n memang seringkali dikritik, dihujat dan diserang oleh kalangan yang tidak menerima pemikiran filsafatnya. Serangan tersebut sebagian besar berupa klaim-klaim negatif yang disandarkan kepadanya, seperti kafir, musyrik, fasik, mulh}id dan lain-lain. Selain berbentuk klaim negatif, serangan tersebut banyak pula berbentuk pernyataan-pernyataan kontroversial yang disandarkan kepada Ibn Sab‘i>n sebagai orang yang mengatakannya.

Di samping banyak yang menyerangnya, banyak pula kalangan yang justru mengagumi dan memuji pemikiran serta karya Ibn Sab‘i>n. Di antara kalangan ini tentu saja adalah murid-muridnya di T{ari>qat al-Sab‘i>ni>yah (tarekat

108 Ibn Taymi>yah, Minha<j al-Sunnah al-Nabawi>yah, tah}qi>q Muh{ammad Rasha>d

Sa>lim (Madinah: Mu’assasat Qurt}u>bah, 1986), khususnya juz 1 hal. 366-367, juz 5 hal. 334-335 dan juz 8 hal. 25-26,

109 Lihat lengkapnya dalam Zainun Kamal, Ibn Taimiyah versus Para Filosof: Polemik Logika (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), khususnya bagian ke-2.

110 Ibn Taymi>yah, Majmu>‘at al-Rasa>’il jilid 1, 91. 111 al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m, 49. 112 Ibn Kathi>r, al-Bida>yah wa-al-Niha>yah, 497. 113 ‘Abd al-Rah{ma>n ibn Muh}ammad ibn Khaldu>n, Muqaddimat Ibn Khaldu>n juz

2, tah}qi>q ‘Abdullah Muh}ammad al-Darwi>sh (Damaskus: Da>r Ya’rib, 2004), 238. 114 Ibn Tighri> Birdi>, al-Nuju>m al-Za>hirah, 202.

Page 86: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

74

yang didirikan olehnya)115 seperti al-Shustari> (w. 668 H.),116 seorang Sufi kenamaan Andalus, juga Yah}ya> ibn Ah}mad ibn Sulayma>n al-Balnasi>, yang menulis karya yang khusus menceritakan tentang keagungan (mana>qib) Ibn Sab‘i>n berjudul al-Wara>thah al-Muh}ammadi>yah wa al-Fus}u>l al-Dha>ti>yah,117 dan Ibn Wa>t}i>l, yang dikenal sebagai komentator Khul‘ al-Na‘layn karya Ibn Qasi> (w. 546 H./1151 M.).118

Selain murid-muridnya, banyak pula kalangan yang memuji dan mengagumi karya-karya Ibn Sab‘i>n, baik dari kalangan Sufi, seperti Sufi terkemuka Ibn Hu>d (630-697 H.),119 dan Sufi asal Mesir Nas}r al-Munbaji> (awal abad ke-8 H.),120 maupun dari kalangan sejarawan yang memuji Ibn Sab‘i>n dalam karya-karya biografisnya seperti al-Ghabri>ni> (w. 714 H.) dalam karyanya ‘Unwa>n al-Dira>yah,121 Ibn Sha>kir (w. 764 H.) dalam Fawa>t al-Wa>fiya>t-nya,122 Ibn ‘Abd al-Ma>lik (w. 741 H.),123 Ibn al-Khat}i>b (w. 776 H.) penulis karya monumental al-Ih}a>t}ah fi> Akhba>r Gharna>t}ah, 124 al-Maqqari> (w. 1041 H.) dalam karyanya Nafh} al-T{i>b,125 dan sejarawan al-Sha’ra>ni> (w. 923 H.) yang menggelari Ibn Sab‘i>n sebagai salah satu Guru Besar.126

Kendati banyak kalangan yang pro dan kontra terhadap pemikirannya, ada pula kalangan yang menangguhkan (tawaqquf) dalam menghukumi pemikiran Ibn Sab‘i>n. Mereka adalah sekelompok dari tarekat al-Sha>dhili>yah, antara lain Ibn ‘Iba>d al-Nafazi> al-Randi> (w. 733-792 H.), yang dikenal sebagai komentator al-H{ikam karya Ibn ‘At}a>’illa>h al-Sukandari> (648-709 H./1250-1309 M.) dan Ah}mad Zaru>q (w. 846-899 H.).127 Netralitas mereka didasarkan pada kenyataan bahwa mereka tidak mengingkari doktrin al-Wah}dah al-Mut}laqah-nya Ibn Sab‘i>n, namun mereka melakukan kritik terhadap alur bahasa yang digunakan Ibn Sab‘i>n dalam karyanya, yang menurut mereka sangat menyulitkan orang yang mengkajinya.

Di Barat, tentu saja pengaruh Ibn Sab‘i>n tidak diragukan lagi pada masanya. Setidaknya, dengan dilayangkannya pertanyaan filosofis mengenai Aristoteliansme dari raja Sicilia, Frederick II (1194-1250) dan dengan jawaban Ibn Sab‘i>n terhadap pertanyaan tersebut yang diabadikan dalam Jawa>b S{a>h}ib al-

115 Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 253. Lihat juga al-Ghabri>ni>, ‘Unwa>n al-

Dira>yah, 237. 116 Lihat al-Ghabri>ni>, ‘Unwa>n al-Dira>yah, 239. 117 Lihat al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196-197. 118 Ibn Khaldu>n, Muqaddimah juz 1, 535. 119 Ibn Taymi>yah, Bughyat al-Murta>d, 520. 120 al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 160-161. 121 al-Ghabri>ni>, ‘Unwa>n al-Dira>yah, 237. 122 Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 255. 123 Lihat Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 31-32. 124 Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 34. 125 Lihat al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196. 126 al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 162. 127 al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 162-165.

Page 87: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

75

S{iqili>yah, menunjukkan sebuah kontribusi nyata Ibn Sab‘i>n terhadap sosio-intelektual di Barat kala itu.128

Sebagaimana diketahui bahwa pada abad ke-13 Masehi, Eropa, khususnya Sicilia masih berada di bawah naungan kekuasaan politik Islam,129 meskipun Frederick II sendiri seorang Katolik.130 Sehingga, persoalan-persoalan keilmuan yang berkembang di Eropa kala itu selalu dikembalikan kepada otoritas politik dan keilmuan dunia Islam.131 Ahmed menyatakan, Sicilia merupakan salah satu jalur yang menjembatani transmisi keilmuan Yunani Kuno ke dunia Islam setelah Andalus.132 Dalam konteks filsafat, abad ke-13 masehi juga merupakan masa di mana persoalan-persoalan metafisika masih menjadi tema utama dalam diskusi-diskusi keilmuan masyarakat Eropa. Karenanya,

128 Anna Ayşe Akasoy, “Ibn Sab‘i>n’s Sicilian Questions: The Text, Its Sources

and Their Historical Context,” Journal Al-Qant}ara XXIX, issue 1 (Januari-Juni 2008), 115-146. http://www.al-qantara.revistas.csic.es/index.php/al-qantara/article/viewFile/51/ 45 (diakses pada 26 Februari 2013). Juga Francesco Gabrieli, “FREDERICK II AND MOSLEM CULTURE,” East and West Vol. 9, No. 1/2 (MARCH-JUNE, 1958), 53-61. http://www.jstor.org/stable/29753972 (diakses pada 8 Mei 2014). Lihat juga Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Tasawuf, 541. Lihat juga Alberto Varvaro, “Federico II e la cultura del suo tempo,” Studi Storici, Anno 37, No. 2, Il tempo di Federico II (Apr. - Jun., 1996), 391-404. http://www.jstor.org/stable/20566766 (diakses pada 22 Agustus 2014).

129 Marshall G. S. Hodgson, Rethinking World History: Essays on Europe, Islam and World History (Cambridge: Cambridge University Press., 2002), 130. Bandingkan dengan Saunders, A History of Medieval, 178. Lihat juga Yahaya, “Sejarah dan tamadun Islam di Sicily”, 297-315. Bandingkan dengan Sunanto, Sejarah Islam Klasik, 157-168.

130 James M. Powell, “Church and Crusade: Frederick II and Louis IX,” The Catholic Historical Review Vol. 93, No. 2 (April, 2007), vi, 251-264. http://www.jstor. org/stable/25166835 (diakses pada 8 Mei 2014).

131 Charles Dalli, “From Islam to Christianity: the Case of Sicily,” Religion and Mythology (2006), 151-168. https://www.academia.edu/243357/From_Islam_to_ Christianity_The_Case_of_Sicily (diakses pada 16 Mei 2014). Bandingkan dengan Daniela Boccassini, “Falconry as a Transmutative Art: Dante, Frederick II, and Islam,” Dante Studies with the Annual Report of the Dante Society, No. 125, Dante and Islam (2007), 157-182. http://www.jstor.org/stable/40350663 (diakses pada 8 mei 2014). Lihat juga Salah Zaimeche, “Sicily,” Foundation for Science Technology and Civilization Publication ID: 4071 (November 2004). http://www.muslimheritage.com/uploads/ Sicily1.pdf (diakses pada 16 Mei 2014). Dalam hal ini, López-Baralt menyatakan bahwa literatur-literatur Spanyol sangat kuat terpengaruh oleh literatur Islam. Luce López-Baralt, “Islamic Influence on Spanish Literature: Benengeli’s Pen in "Don Quixote”,” Islamic Studies Vol. 45, No. 4 (Winter 2006), 579-593. http://www.jstor.org/stable/ 20839041 (diakses pada 15 Oktober 2014).

132 Akbar S. Ahmed, Discovering Islam: Making Sense of Muslim History and Society (New York: Routledge, 2002), 44. Lihat juga Susan Douglass, Legacies and Transfers: The Story of the Transfer of Knowledge from Islamic Spain to Europe. http://www.islamicspain.tv/For-Teachers/11_Legacies%20and%20Transfers%20Story %20of%20Transfer%20of%20Knowledge.pdf (diakses pada 11 November 2014).

Page 88: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

76

jawaban Ibn Sab‘i>n yang membuat Frederick II terpuaskan merupakan kontribusi nyata dunia Islam umumnya, dan Ibn Sab‘i>n pada khususnya terhadap Barat.133

Kendati demikian, kemasyhuran Ibn Sab‘i>n di masanya ternyata tidak serta merta membawanya kepada pupularitasnya di masa kini seperti filosof atau Sufi lainnya. Hal ini pada dasarnya dilatari oleh kenyataan bahwa, pertama, karya-karyanya yang terkesan sulit “ditembus” karena ia banyak menggunakan ungkapan-ungkapan simbolis dalam meneguhkan pemikirannya. Kedua, klaim kafir, mulh}id, zindiq, dan klaim negatif lainnya yang dilayangkan oleh kalangan yang menentangnya, terutama kalangan Fuqaha>’, teolog dan sejarawan.134 Tak pelak lagi, dua hal tersebut membuatnya semakin tenggelam dalam kancah pemikiran di dunia Islam.

B. Al-Wah{dah al-Mut}laqah: Sebuah Doktrin “Penentu Arah”

“Alla>h Faqat” (Allah saja), itulah ungkapan yang berulang kali diungkapkan Ibn Sab‘i>n dalam setiap lembaran salah satu karyanya, Risa>lat al-Alwa>h}.135 Ungkapan ini merupakan premis mayor (qad}i>yat al-kubrá) dalam pandangannya mengenai al-Wah}dah al-Mut}laqah. Landasan awal berpikirnya cukup sederhana, yaitu bahwa, wujud adalah satu, hanya wujud Allah saja. Sementara wujud segala mawju>d adalah entitas wujud yang satu itu, tak ada tambahan apa pun, dan wujud ini merupakan premis yang satu dan tetap.136

Bagi Ibn Sab‘i>n, hanya ada satu wujud yang benar-benar ada, yaitu Wujud Mutlak, sedangkan yang selainnya adalah wahm (ilusi). Tetapi, bukankah aneka wujud dapat disaksikan secara empiris? Lalu, apa hakikat wujud-wujud itu? Di sini, menurut Ibn Sab‘i>n, wujud yang banyak, yang dipersepsikan oleh pikiran dan terdeteksi oleh indra, bukanlah wujud hakiki. Wujud hakiki hanya satu. Yang satu itu pun senantiasa ada dan tidak pernah tidak ada.137 Baginya, sesuatu yang pernah tidak ada atau memiliki akhir keberadaannya, sebenarnya bukanlah suatu yang dapat disebut Wujud, karena keberadaannya bersandar kepada wujud lain.138 Artinya, sesuatu yang keberadaannya tergantung kepada

133 H{asan H{anafi>, Humu>m al-Fikr, 147-148. Lihat juga Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 177-187.

134 Spallino, “Ibn Sab‘i>n, ‘Abd al-H{aqq” dalam Henrik Lagerlund (ed.), Encyclopedia of Medieval Philosophy, 507-513. Bandingkan dengan Sayyed Hossein Nasr dan William C. Chittick, World Sprituality: Manifestations, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Islam Intelektual: Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, terj. Tim Perenial (Depok: Perenial Press, 2001), 78-81. Juga Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 90.

135 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“ dalam al-Mazi>di>, 248-262. Juga dalam salinan Badawi> 190-200.

136 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“ dalam al-Mazi>di>, 252 dan 257. 137 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“ dalam al-Mazi>di>, 252. Lihat juga Sharaf, Al-

Wah}dah al-Mut}laqah, 112. 138 Dalam filsafat Ibn Si>na>, sesuatu keberadaannya tergantung kepada wujud

lain atau wujud potensi disebut mumkin al-wuju>d. Lihat Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 82-83.

Page 89: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

77

wujud lain tidak dapat disebut Wujud. Begitu pula sesuatu yang wujudnya berakhir, tidak dapat disebut Wujud. Semua itu hanyalah awha>m (ilusi-ilusi) belaka yang pada suatu waktu muncul, lalu kemudian menghilang.

Bagi Ibn Sab‘i>n, segala sesuatu yang terpikirkan dan terasa adalah ilusi, atau, di tempat lain ia sebut sebagai mara>tib (kategori-kategori/gradasi-gradasi konseptual) yang menjelma dalam pikiran dan perasaan. Ilusi sama sekali tidak memiliki esensi.139 Karenanya, segala yang muncul dalam pikiran dan perasaan bukanlah sesuatu yang memiliki esensi.140 Konsep tentang sesuatu tidak lain adalah persepsi pikiran dan perasaan tentang sesuatu itu, dan tidak memiliki esensi, karena hanya sebuah ilusi. Bahkan, akal dan perasaan itu sendiri pun adalah ilusi. Berarti, segala sesuatu yang muncul dari ilusi adalah ilusi pula. Tetapi, Wujud bukanlah ilusi, ia adalah Kebenaran Mutlak, dan ia hanya satu, Wujud Allah.

Dengan mendasarkan pada ayat al-Qur’an “Segala sesuatu akan binasa kecuali (wajah) Allah.” (Q.S. Al-Qas}as} [28] : 88), Ibn Sab‘i>n mengatakan bahwa, gradasi wujud yang tampak dan berbeda-beda adalah materi-materi yang tidak kekal. Al-H{aqq adalah Wujud, sementara ilusi adalah peringkat kepalsuan. “Kullu shay’ ha>lik” adalah gradasi ilusi, dan “Illa> wajhahu” adalah wujud hakiki.141 Begitu juga ia menyandarkan pandangan filosofisnya ini pada ayat “Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang Lahir yang Batin.” (Q.S Al-H{adi>d [57] : 3), Allah adalah entitas setiap yang tampak (‘ayn kulli z}a>hir), karenanya, Allah al-Z}a>hir, dan Allah adalah makna setiap makna (ma’ná kulli ma’ná), karenanya, Allah al-Ba>t}in.142 Jadi, bagi Ibn Sab‘i>n, segala bentuk dikotomisasi dalam realitas yang serba ganda seperti awal dan akhir, lahir dan bathin, azali dan abadi, tidak ada perbedaan dalam sudut pandang wujud hakiki.

Ini berarti, dengan al-Wah}dah al-Mut}laqah-nya, Ibn Sab‘i>n menempatkan ketuhanan pada wilayah yang absolut. Artinya, ia ingin menempatkan Tuhan sebagai Kemahaesaan Mutlak yang tidak dapat ditandingi oleh apa pun dan siapa pun. Sebab, Wujud Allah, menurutnya adalah sumber bagi entitas yang ada dan entitas yang akan ada. Allah adalah sumber bagi semua entitas yang ada pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Wujud materi yang tampak, harus dikembalikan kepada Wujud Mutlak yang bersifat ru>h}i> (imateri/spiritual). Dengan demikian, dalam menafsirkan wujud, paham ini bercorak spiritual, bukan material.

Dari titik ini, agaknya Ibn Sab‘i>n menerima konsep Ibn Si>na> tentang tingkatan wujud yang terbagi kepada wa>jib al-wuju>d (wujud niscaya), mumkin al-wuju>d (wujud potensi) dan mumtani‘ al-wuju>d (yang tidak mungkin berwujud).

139 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“, 252. 140 Ibn Sab‘i>n menandaskan “Anna-al-h}aqq an yunsab kullu ma> udrika min-al-

ah}ka>m hissan aw ‘aqlan ilá al-tha>bit la ilá al-za>’il, li’anna nisbatahu ilá al-tha>bit haqq, wa-nisbatuhu ilá al-murattabah al-za>’ilah wahm, fa-thabata anna-al-h}aqq huwa al-wuju>d, wa-al-wahm hiya al-mara>tib al-za’ilah wa-al-ba>t}ilah”. Lihat Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“, 252.

141 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“, 252 dan “Risa>lat al-Tawajjuh”, 340. 142 Lihat Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“, 248.

Page 90: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

78

Di sisi lain, dalam tradisi filsafat Islam, secara ontologis, mawju>da>t dibagi menjadi dua kategori besar, mawju>da>t ru>h}a>ni>yah (wujud-wujud immateril) dan mawju>da>t jisma>ni>yah (wujud-wujud fisik).143 Mawju>da>t ru>h}a>ni>yah merupakan substansi rohani sederhana (jawhar al-ru>h}i>yah al-basi>t}ah) yang meliputi: akal universal, jiwa universal dan materi pertama. Keseluruhan wujud immateril tersebut sepenuhnya dapat ditangkap oleh intelek, bukan melalui penginderaan. Sementara mawju>da>t jisma>ni>yah adalah benda-benda yang komposisi pembentuknya merupakan perpaduan antara materi dan bentuk.144 Keseluruhan wujud fisik ini tentu saja dapat ditangkap oleh penginderaan.

Selanjutnya, Ibn Sab‘i>n pun memperluas kajian al-Wah}dah al-Mut}laqah-nya ke berbagai kajian filosofis. Baginya, jiwa (al-nafs) dan intelek (al-‘aql) manusia tidak mungkin mempunyai eksistensi yang riil sebagai fenomena independen. Keduanya muncul karena lebih dahulu memiliki sumber kemunculan (as}a>lah).145 Jadi, keduanya tidak dapat berdiri sendiri tanpa relasi dengan sumbernya itu. Keduanya diyakini dari wujud yang satu, dan yang satu tersebut justru tidak berbilang. Baginya, ke-wujud-an mawju>da>t hanyalah sebagai ‘arad} (aksidensi) dalam hubungannya dengan jawhar (substansi). ‘Arad} senantiasa berubah dan tidak bisa bertahan lama, karenanya, ‘arad} bukanlah sesuatu yang abadi, dan dia bukan wujud.146

Bahkan, oleh Ibn Sab‘i>n, moral pun ditandai oleh corak Kesatuan Mutlak. Kebajikan, kejahatan, kebahagiaan, dan kesedihan, terletak pada realisasi dari kesatuan ini.147 Artinya, baik dan jahat sama dari sudut eksistensi. Karena eksistensi itu satu dan mutlak Baik, bagaimana mungkin sebuah kejahatan muncul? Al-Tafta>za>ni> dan Leaman mengatakan, bagi Ibn Sab‘i>n, ma‘rifah (gnostik) sejati tidak mungkin digambarkan dengan bahagia, baik atau sempurna, karena ia adalah kebahagian, kebaikan dan kesempurnaan itu sendiri.148

Menurutnya, meskipun alam ini hanya wahm, ia tidak dapat dipisahkan dari Wujud Mutlak. Hubungan antara keduanya adalah hubungan antara yang kulli> (universal), yang Ibn Sab‘i>n sebut juga sebagai huwi>yah, wa>jib al-wuju>d (wujud niscaya) atau al-rubu>bi>yah (ke-Tuhan-an), dengan yang juz’i> (partikular) yang ia sebut juga dengan ma>hiyah, mumkin al-wuju>d (wujud potensial) atau al-

143 Wajiyah Ah}mad ‘Abdulla>h, Wuju>d ‘inda Ikhwa>n al-S{afa>’ (Iskandariyah: Da>r

al-Ma‘rifah al-Jam‘i>yah, 1989), 172. 144 Ah}mad ‘Abdulla>h, Wuju>d ‘inda Ikhwa>n al-S{afa>’, 172-3. 145 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“, 249. 146 Dalam epistemologinya, Ibn Sab‘i>n menyebut sembilan kategori wahm

yaitu: akal/intelek (al-‘uqu>l), pengetahuan (al-‘ilm), analaogi (al-qiya>s), definisi (al-h}add), jiwa (al-nafs), kebiasaan (al-‘a>dah), relasi (al-id}a>fah), waktu (al-zama>n) dan tempat (al-maka>n). Lihat Sharaf, al-Wah}dah al-Mut}laqah, 124.

147 Ibn Sab‘i>n, “al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah”, 72. Juga “Risa>lat al-Ih}a>t}ah,” 198. 148 Abu al-Wafa al-Taftazani and Oliver Leaman, “Ibn Sab‘i>n,” dalam History

of Islamic Philosophy part. I, ed. Sayyed Hossein Nasr and Oliver Leaman (London and New York: Routledge, 1996), 351.

Page 91: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

79

‘ubu>di>yah (ke-Hamba-an).149 Itu artinya, Wujud Mutlak dikatakan sebagai kulli> dan alam semesta sebagai juz’i>. Seseorang tidak dapat mengidentikasi yang kulli> tanpa adanya juz’i>, sebaliknya, yang juz’i> tidak akan ada tanpa yang kulli>. Oleh sebab itu, segala yang terindrai, terpikirkan dan terasa adalah juz’i>ya>t, yang melaluinya seseorang dapat mengenal yang kulli>.

Dengan kata lain, tidak akan ada universalitas tanpa partikularitas, begitu pun sebaliknya, dan tidak akan ada wujud niscaya tanpa wujud potensial, begitu juga sebaliknya, dan begitu seterusnya. Menyatunya universalitas dan partikularitas, serta “berkaitkelindan” keduanya dengan entitas asal, itulah Wujud. Meski segala sesuatu selain Wujud Mutlak hanya sebatas ilusi, ia tetap memiliki makna, karena melaluinyalah seseorang dapat mengenal Wujud Mutlak itu. Lagi-lagi, bagi Ibn Sab‘i>n, secara substansi, antara yang kulli> dan juz’i> bukanlah sesuatu yang berbeda, tetapi merupakan satu kesatuan yang mutlak (al-Wah}dah al-Mut}laqah).

Untuk mengabstraksikan konsep al-Wah}dah al-Mut}laqah-nya, Ibn Sab‘i>n menganalogikan wujud dengan sebuah lingkaran. Keseluruhannya adalah Wujud Mutlak, sementara wujud yang ada dalam lingkaran adalah wujud yang nisbi atau ilusi.150 Antara kedua wujud tersebut pada dasarnya satu dan tidak ada perbedaan. Karena itu, yang mutlak bisa dilihat dari yang nisbi dan kesatuan antara keduanya adalah mutlak. Penulis melihat, hal ini Ibn Sab‘i>n tegaskan dengan menggunakan logika intuitifnya.

Gambar 8: Da>’irat al-Wuju>d (Lingkaran Wujud)151

Jika demikian, apakah alam yang serba ganda dan dikotomik ini identik dengan Tuhan seperti pada Panteisme152? Secara ontologis, Ibn Sab‘i>n tidak

149 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“, 253. Lihat juga Yunasril Ali, “Ibn Sab‘i>n”

dalam Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Tasawuf, 543. 150 Ibn Sab‘i>n, “al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah”, 64-65. 151 Dikutip dari al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 215.

Page 92: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

80

membedakan segalanya. Semuanya memiliki satu hakikat, yakni Wujud Mutlak. Dengan demikian, Tuhan benar-benar imanen dalam alam, karena Dialah yang menjadi realitas alam ini. Dari pandangan ini, Ibn Sab‘i>n memang kelihatan dekat dengan panteisme.

Kendati demikian, dia tidak menyebut bahwa alam ini Tuhan. Baginya, alam adalah ilusi, dan ia mengidentifikasi alam sebagai wuju>d muqayyad (eksistensi terbatas), sementara wujud-wujud yang akan muncul hari esok seperti kiamat, surga, neraka, ia sebut sebagai wuju>d muqaddar (eksistensi yang ditakdirkan kemunculannya), dan itu semua bukan Wujud Mutlak, meskipun hakikatnya tidak lain adalah Wujud Mutlak itu sendiri.153 Ibn Sab‘i>n mengatakan “Allah adalah pemberi petunjuk, tiada Tuhan selain-Nya”, “Tuhan (al-H{aqq) adalah sesuatu yang selainnya akan binasa kecuali dzat-Nya, hanya kepada-Nya kita meminta pertolongan”.154 Dari ungkapan ini, Ibn sab‘i>n mengakui transendensi Tuhan sebagaimana Ibn ‘Arabi> (560-638 H./1164-1240 M.). Karena itu, dia tidak dapat dikatakan sebagai panteis.155

152 Panteis atau panteisme adalah paham dan teori yang memandang segala

sesuatu yang terbatas sebagai aspek, modifikasi atau bagian dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya, yang memandang semua benda material dan semua pikiran sebagai yang mesti berasal dari suatu substansi yang tak terhingga dan tunggal. Substansi yang tunggal itu disebut Tuhan. Lihat Edward Craig (ed.), The Shorter Routledge Encyclopedia of Philosophy (New York and London: Routledge, 2005), 769-770. Juga Robert Flint, Anti-Theistic Theories (Edinburg dan London: William Lackwood & Sons, 1899), 336. Juga Michael Proudfoot and A. R. Lacey, The Routledge Dictionary of Philosophy Fourth Edition (London and New York: Routledge, 2010), 289. Bandingkan dengan Michael P. Levine, “Pantheism, Substance and Unity,” International Journal for Philosophy of Religion Vol. 32, No. 1 (Agustus 1992) 1-23. http://www.jstor.org/stable/40036697 (diakses pada 26 Juni 2014). Adapun kata “panteis” itu sendiri pertama kali digunakan oleh John Toland, seorang deis Irlandia dalam karyana Socinianism Truly Stated, yang diterbitkan pada 1705. Sedangkan istilah “panteisme” pertama kali dipakai oleh salah seorang lawan dari Toland, Fay, pada tahun 1709. Sejak itulah kata-kata ini lazim digunakan untuk menunjuk sebuah paham yang memandang bahwa “alam adalah Tuhan itu sendiri”. Lihat William L. Reese, “Pantheisme and Panentheisme,” dalam The New Encyclopedia Britannica: Macropedia vol. 26 (Chicago: Encyclopedia Britannica Inc., 1986), 589.

153 Ibn Sab‘i>n membagi wujud kepada tiga bagian, wuju>d mut}laq, muqayyad dan muqaddar. Lihat Ibn Sab‘i>n, “al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah”, 61. Juga “al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah”, 412. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 211-215. Bandingkan dengan Yunasril Ali, “Ibn Sab‘i>n” dalam Ensiklopedi Tasawuf, 543.

154 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 29 dan 42. 155 Tentang argumen ontologis panteisme, lihat Eric Steinhart, “Pantheism and

Current Ontology,” Religious Studies Vol. 40, No. 1 (Maret 2004), 63-80. http://www. jstor.org/stable/20008510 (diakses pada 26 Juni 2014). Pada titik ini, Ibn Sab‘i>n mengakui bahwa sekali pun transendensi Tuhan atas alam dan segala sesuatu adalah mutlak, namun tidak berarti imanensi-Nya berkurang, apalagi dihilangkan. Transendensi dan imanensi pada saat yang sama selalu berdampingan dan serentak sejalan. Banyak ayat al-Qur’an yang menyatakan akan transendensi dan imanensi Tuhan. Tentang transendensi-Nya misalnya firman Allah “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-

Page 93: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

81

Lalu, bagaimana bisa entitas-entitas yang sangat banyak ini (mawju>da>t) muncul dari wujud yang satu? Dalam masalah ini, sebagaimana filosof Muslim lain seperti al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.) dan Ibn Si>na> (370-428 H./980-1037 M.), Ibn Sab‘i>n pun mengangkat teori emanasi (al-fayd}).156 Akan tetapi, pemikiran emanasinya juga merupakan rangkaian pemikiran dari keseluruhan konsep al-Wah}dah al-Mut}laqah-nya. Karenanya, penulis menemukan beberapa perbedaan –yang fundamental- antara teori emanasinya dan teori emanasi filosof Muslim lain.

Bagi Ibn Sab‘i>n, Allah adalah pencipta segala sesuatu (mubdi‘ al-ashya>’) dan pencurah segala kebaikan (mufi>d al-khayra>t) dengan sempurna. Allah adalah sebab pertama (al-‘illah al-u>lá) yang mendahului segala sebab penciptaan.157 Dalam teori emanasinya, ia menggunakan istilah al-qas}d al-awwal (maksud [penciptaan] pertama) dan al-qas}d al-tha>ni> (maksud kedua). Dengan al-qas}d al-awwal, maka muncullah al-mubda‘ al-awwal (yang pertama diciptakan),158 yang dalam hierarki wujud, yang pertama diciptakan adalah al-‘aql al-kulli> (akal universal).159 Jadi, yang dimaksud al-mubda‘ al-awwal adalah Akal Universal. Sementara, dengan al-qas}d al-tha>ni>, yang disandarkan kepada al-mubda‘ al-awwal, muncullah segala makhluk.160 Jika disederhanakan, Allah dengan al-qas}d al-awwal-Nya menciptakan al-mubda‘ al-awwal atau akal universal. Selanjutnya, al-mubda‘ al-awwal tersebut, dengan al-qas}d al-tha>ni>-nya melahirkan segala makhluk. Pancaran penciptaan (emanasi) ini menurut Ibn Sab‘i>n berjalan secara terus menerus (continue) dan tidak akan terputus.161

Nya” (Q.S. 42:11), “Tidak ada seorang pun yang sebanding dengan-Nya” (Q.S. 112:4). Tentang imanensi-Nya seperti firman Allah “Dan Kami (Allah) lebih dekat kepadanya (manusia) dari pada urat lehernya sendiri” (Q.S. 50:16), “Maka kemana pun kamu menghadap, disitulah wajah Allah” (Q.S. 2:115).

156 Tentang emanasi al-Fa>ra>bi> dan Ibn Si>na> lihat karya al-Fa>ra<bi>, Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 61-2. Lihat juga misalnya Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, cet. 12 (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), 16-17. Juga Ian Richard Netton, Allah Transcendent: Studies in the Structure and Semiotics of Islamic Philosophy, Theology and Cosmology (London and New York: Routledge, 1989), 114-125 dan 163. Lihat juga Kartanegara, Gerbang Kearifan, 33-42.

157 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 201. 158 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 28. 159 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 113. 160 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 28. 161 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Ih}a>t}ah”, 195 dan 212. Inilah yang menjadi alasan Ibn

Sab‘i>n menolak teori penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo) seperti halnya al-Fa>ra>bi>. Pada titik ini, Pendapatnya sama dengan pandangan Ibn ‘Arabi> yang juga menolak teori itu. Bagi Ibn Sab‘i>n, entitas pertama sebelum terjadinya emanasi adalah apa yang ia sebut al-qas}d al-qadi>m, sedangkan eksistensi pertama yang ditemukan sejak azali sesuai dengan aturan-aturan azali dinamakan al-niz}a>m al-qadi>m, seperti adanya maksud pertama (alqas}d al-awwal). Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 28 dan 148, juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 204-205. Mengenai pandangan al-Fa>ra>bi> tentang penciptaan dari tiada, lihat misalnya Damien Janos, “Al-Fa>ra>bi>, Creation ex nihilo, and the Cosmological Doctrine of K. al-Jam‘ and Jawa>ba>t,” Journal of the American

Page 94: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

82

Sedangkan dalam hal pancaran emanatifnya, perbedaan antara al-qas}d al-awwal dan al-qas}d al-tha>ni> hanya pada tataran keterkaitannya (al-‘illi>yah) saja. Keterkaitan al-qas}d al-awwal adalah antara pencipta dengan yang diciptakan atau antara sebab dan akibat (al-‘illah wa-al-ma‘lu>l). Keterkaitan ini, pada hakikatnya adalah satu, oleh karenanya, Ibn Sab‘i>n menamainya dengan al-qas}d al-awwal (maksud penciptaan pertama). Sedangkan keterkaitan al-qas}d al-tha>ni> adalah antara entitas-entitas yang mungkin ada (al-dhawa>t al-mumkina>t), karena itu, ia dinamakan al-qas}d al-tha>ni>.162

Salah satu perbedaan teori emanasi Ibn Sab‘i>n dengan teori emanasi filsuf Muslim lainnya ialah ia melihat ada dua versi emanasi. Namun satu dengan yang lainnya tidak berbeda secara ontologis, hanya saja kedua versi itu muncul dari sudut epistemologis. Pertama, emanasi kulli>ya>t, yaitu munculnya alam secara global dari Yang Esa. Kedua, juz’i>ya>t, yakni munculnya alam secara parsial dari Yang Mutlak. Di sini, Ibn Sab‘i>n melihat Yang Esa adalah sebagai penyebab (‘illah) bagi kemunculan segala mawju>da>t.163

Dalam emanasi kulli>ya>t, tata urutannya dimulai dari realitas paling sempurna dan paling tinggi status ontologisnya, diikuti realitas-realitas lain yang derajat kemulian dan status ontologisnya lebih rendah, bahkan hingga paling rendah sekalipun. Realitas segala wujud yang ada dalam emanasi kulli>ya>t adalah wujud yang selalu kekal, tetap dan tidak mengalami perubahan. Karena itu, yang pertama muncul dari Yang Esa (Allah) adalah akal universal (al-‘aql al-kulli>) sebagai yang pertama diciptakan (al-mubda‘ al-awwal), kemudian secara berentetan muncul jiwa universal (al-nafs),164 watak alamiah/nature (al-t}abi>‘ah), materi (al-hayu>la>), tubuh absolut (al-jism al-mut}laq), bintang atau benda-benda langit (al-falak), unsur-unsur (al-arka>n),165 dan generasi-generasi yang dilahirkan (al-muwallada>t). Emanasi dari Yang Awal dan seterusnya dalam kapasitas menurun dan semakin mengurangi kesempurnaan emanasi itu sendiri.166

Berbeda dengan di atas, emanasi juz’i>ya>t ialah semacam evolusi alam tingkat terendah menuju pada Yang Mahasempurna. Karenanya, realitas wujud partikular merupakan wujud yang senantiasa berada dalam proses kemenjadian dan kerusakan (da>’imah fi> al-kawn wa-al-fasa>d). Evolusi tersebut berawal dari realitas yang tingkatan dan status ontologisnya paling bawah (tidak sempurna), kemudian secara evolutif mengalami perubahan menuju derajat lebih sempurna, bahkan mencapai pada puncak kesempurnaannya. Ibn Sab‘i>n mencontohkan Emanasi ini dimulai dari benda-benda inorganik (al-ma‘dan), kemudian

Oriental Society Vol. 129, No. 1 (January-March 2009), 1-17. http://www.jstor.org/ stable/40593865 (diakses pada 15 Oktober 2014).

162 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 201. 163 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa

Falsafatuhu, 205-7. Juga Yunasril Ali, “Ibn Sab‘i>n” dalam Ensiklopedi Tasawuf, 533-4. 164 Ibn Sab‘i>n memaknai jiwa sebagai esensi spritual non-material (jawhar

ru>h}a>ni>). Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 156. 165 Yang dimaksud unsur-unsur di sini adalah al-‘ana>s}ir al-arba‘ah (empat

unsur) yakni api, tanah, air dan udara. Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 114. 166 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112.

Page 95: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

83

berlanjut secara berurutan kepada tumbuhan/flora (al-naba>t), fauna (al-h}ayawa>na>t), jiwa yang berakal (al-nafs al-na>t}iqah), akal aktif (al-‘aql al-fa‘a>l), akal-akal murni (al-‘uqu>l al-mujarradah), hingga sampai kepada Allah, Sang Mahamutlak.167

Dua klasifikasi sistem emanasi tersebut jelas mengasumsikan sebuah sistem penciptaan (keberadaan) alam melalui emanasi di satu sisi, dan evolusi di sisi lain. Wujud-wujud kulli>ya>t (universal) lebih mengambil bentuk penciptaan secara emanatif, dari tingkatan yang sempurna menuju ke tingkatan yang lebih rendah di bawah, dalam arti adanya peran sentral dirinya atas segenap wujud di bawahnya. Sementara segenap wujud juz’i>ya>t (partikular) mengambil bentuk penciptaan secara evolutif, berproses dari yang rendah hingga ke derajat kesempurnaan, suatu proses menaik untuk menggapai kembali realitas wujudnya yang semula ada di alam atas.

Gambar 9: Pemikiran Emanasi Ibn Sab‘i>n

167 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112.

Page 96: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

84

Dalam kaitannya dengan al-Wah}dah al-Mut}laqah, lagi-lagi Ibn Sab‘i>n

menyatakan bahwa penciptaan ini, atau lebih tepatnya teori emanasi ini, sejatinya tidak akan ada penciptaan, tidak ada emanasi, universalitas, hakikat, entitas dan kekuatan bagi pencipta-pencipta (mubtadi‘a>t) atau antara sebab-sebab dan akibat-akibat, kecuali dengan al-qas}d al-awwal yang satu.168 Tentu saja, teori emanasi ini juga semakin memperkuat doktrinnya tentang kesatuan mutlak.

Hemat penulis, paham Ibn Sab‘i>n ini, secara radikal memang dianggap berbeda dengan paham-paham ke-manunggal-an lainnya. Karena dengan al-Wah}dah al-Mut}laqah-nya Ibn Sab‘i>n terkesan menegasikan kemungkinan-kemungkinan (potensialitas) yang ada pada ruang lingkup wujud itu sendiri, seperti pada umumnya paham tasawuf-falsafi lain yang mengakomodasi sesuatu yang mungkin bagi wujud selain Tuhan. Karena hampir tidak mungkin untuk bisa mendeskripsikan kesatuan tersebut, maka pada gagasan-gagasan ini konsepsi tentang manusia pun tidak digunakan. Meski terkesan paradoks, doktrin ini cukup membuktikan keluasan pemikiran filsafat Ibn Sab‘i>n, khususnya dalam konteks tasawuf-falsafi, karenanya, al-Wah}dah al-Mut}laqah ini harus dibaca dengan “menyelami” konteks filsafat Ibn Sab‘i>n secara komprehensif.

C. Al-Muh{aqqiq: Konsepsi Manusia Ideal

Ibn Sab‘i>n dalam beberapa karyanya secara implisit mengatakan bahwa konsep al-Wah}dah al-Mut}laqah adalah konsep yang elit. Tidak semua orang dapat mencapainya, tidak dapat dicerna begitu saja oleh siapa pun.169 Baginya, al-Wah}dah al-Mut}laqah adalah objek formal dari sebuah ilmu yang ia sebut sebagai ‘Ilm al-Tah}qi>q, dan orang yang menapaki jalan untuk mencapai ilmu tersebut disebut al-Muh}aqqiq (pencapai kebenaran) atau al-Muqarrab (orang yang didekatkan [kepada Tuhan]), atau al-Wa>rith (pewaris).170 Artinya, predikat al-Muh}aqqiq atau al-Muqarrab ini hanya diberikan kepada orang yang benar-benar mampu mencapai pemahaman, penghayatan dan pengamalan yang sempurna tentang al-Wah}dah al-Mut}laqah. Karenanya, menurut penulis, konsep Ilm al-Tah}qi>q dan al-Muh}aqqiq ini juga merupakan rangkaian dari sebuah gagasan besar (grand design) al-Wah}dah al-Mut}laqah-nya Ibn Sab‘i>n.

Predikat al-Muh}aqqiq atau untuk mencapai ‘Ilm al-Tah}qi>q, menurutnya memerlukan proses panjang yang tidak hanya melibatkan intelektual belaka,

168 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 28 dan 148. 169 Lihat misalnya Budd al-‘A<rif, 170 dan 172. 170 Istilah-istilah tersebut banyak Ibn Sab‘i>n ungkapkan dalam karya

monumentalnya Budd al-‘A<rif. Dapat dikatakan bahwa karya ini adalah potret paling lengkap mengenai pemikirannya tentang madzhab al-Muh}aqqiq dan Mant}iq al-Tah}qi>q yang merupakan rangkaian dari gagasan besarnya tentang al-Wah}dah al-Mut}laqah. Bahkan filolog yang menyalin karya tersebut, George Katturah, menambahkan judul pada karya tersebut dengan nama Budd al-‘A<rif wa-‘Aqi>dah al-Muh}aqqiq al-Muqarrab al-Ka>shif wa-T{ari>q al-Sa>lik al-Mutabattil al-‘A<kif.

Page 97: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

85

tetapi juga, melalui penyucian ruhani. Penyucian spritual pun tidak dapat dicapai tanpa melaksanakan syari’at secara ketat dan konsisten dibarengi dengan penghayatan kalbu. Proses ini olehnya disebut safar (perjalanan ruhani), dan orang yang menapakinya disebut musa>fir (penempuh jalan [ruhani]).171

Dalam madzhab al-Muh}aqqiq-ny\a, Ibn Sab‘i>n sangat mengapresiasi kedudukan syari’at, khususnya Fiqh dalam pencapaian ‘Ilm al-Tah}qi>q.172 Ketika musa>fir telah mampu menjalani syari’at secara ketat dan konsisten dan menghayatinya dengan sepenuh hati, niscaya ia akan mencapai keyakinan tentang adanya Kebenaran dan Kebaikan Mutlak. Segenap alam raya ini sebenarnya mengacu kepada satu Titik Poros (Allah) dan semuanya berusaha untuk mendekati-Nya, tetapi karena kegelapan jiwa, menyebabkan tidak semua orang mampu mendekati-Nya. Keinginan untuk mendekati-Nya seringkali terhalang oleh tabir-tabir kegelapan itu. Ketika cahaya syari’at didapatkan, maka seseorang akan terterangi dan memperoleh cahaya untuk dapat berada si sisi-Nya.

Meskipun demikian, sejatinya, bagi Ibn Sab‘i>n syari’at mungkin hanya dapat mengantarkan para musa>fir kepada kedekatan dengan Kebenaran Mutlak, ia tidak bisa mengantarkannya mencapai Kebenaran Mutlak itu. Kebenaran Mutlak hanya bisa dicapai dengan sebuah pengetahuan yang disebut Ilm al-Tah}qi>q yang berakar pada pemahaman sempurna tentang al-Wah}dah al-Mut}laqah.173 Suatu pengetahuan yang bersifat ilahiyah, yang diperoleh melalui perantaraan ‘irfa>n al-dhawqi> (pengetahuan intuitif), bukan melalui intelek diskursif. Bahkan dari segi epistemologis, Ibn Sab‘i>n dalam Risa>lat al-Ih}at}ah-nya menyatakan “ilmu al-Wah}dah al-Mut}laqah (‘ilm al-tah}qi>q) adalah ilmu yang muncul sebelum tas}awwur dan tas}di>q (yang keduanya adalah perangkat logika), bukan sesudahnya”.174 Itu artinya, bagi Ibn Sab‘i>n, ‘Ilm al-Tah}qi>q adalah ilmu suci yang menjadi fitrah seluruh manusia, pencapaian kepadanya bukan dengan intelek belaka, tetapi dengan intuisi (dhawq). Karena itu, al-Tafta>za>ni> menyatakan bahwa Ilm al-Tah}qi>q adalah sebuah pengetahuan gnostik-intuitif yang khas.175

Upaya untuk mencapai Ilm al-Tah}qi>q ini adalah dengan kesungguhan dalam membersihkan kalbu, sehingga musa>fir dapat menemukan hembusan dan pancaran ilahiyah sebagai karunia dari Tuhan. Dengan begitu, ia mampu melihat

171 Ibn Sab‘i>n, “al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah”, 41. 172 Pada konteks ini Ibn Sab‘i>n menggunakan istilah bida>yah untuk menunjuk

kepada pelaksanaan syari’ah secara konsisten. Lihat Ibn Sab ‘i>n, Budd al-‘A<rif, 95. 173 Ibn Sab‘i>n, “al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah”, 26. Istilah ‘ilm al-tah}qi>q

di sini, tentu tidak dimaknai sebagai ‘ilm al-tah}qi>q dalam bidang filologi. Di mana dalam bidang filologi lebih tepat disebut dengan istilah ‘ilm tah}qi>q al-nus}u>s}, ‘ilm tah}qi>q al-tura>th atau studi naskah. Selanjutnya tentang ‘ilm tah}qi>q al-nus}u>s}, Lihat Ramad}an ‘Abd al-Tawwa>b, Mana>hij Tah}qi>q al-Tura>th bayna al-Qada>má wa-al-Muh}addithi>n (Kairo: Maktabat al-Kha>naji>, 1985), 3 dan 5.

174 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Ih}a>t}ah”, 198. 175 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 252.

Page 98: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

86

apa yang tidak terlihat, mengetahui apa yang tidak diketahui, dan segala sesuatu akan menjadi nyata baginya.176

Ibn Sab‘i>n meyakini bahwa al-Muh}aqqiq adalah manusia paripurna dan ideal, yang pada dirinya terhimpun kesempurnaan seorang faqi>h, teolog, filosof dan Sufi. Empat kelompok intelektual tersebut adalah kelompok yang menjadi objek komparasi dalam menyuarakan gagasan al-Muh}aqqiq-nya dalam berbagai wacana. Karena dia (al-Muh}aqqiq) menghimpun segala kesempurnaan, maka ia lebih sempurna dari kelompok itu. Hal ini dinyatakan oleh Ibn Sab‘i>n dalam Budd al-‘A<rif177 dan oleh salah seorang murid Ibn Sab‘i>n -yang tidak diketahui namanya- yang mengomentari (sharh}) karya Ibn Sab‘i>n, Risa>lat al-‘Ahd.178 Dari sisi jasmani, al-Muh}aqqiq adalah makhluk baru dan terbatas, tetapi dari sisi ruhani, ia melampaui batas-batas ruang dan waktu.

Dalam menegaskan madzhab al-Muh}aqqiq-nya, Ibn Sab‘i>n dalam beberapa karyanya -terutama Budd al-‘A<rif- selalu mengkomparasikan berbagai wacana keilmuan filosofis dengan empat kalangan, yaitu Fuqaha>’ (ahli Fiqh), teolog (ash‘ari>yah),179 filosof (faylasu>f) dan Sufi.180 Keempat kalangan tersebut, menurutnya, dalam beberapa wacana berada dalam kebenaran, namun dalam wacana lain, ia seringkali mengkritik mereka. Meski demikian, perlu ditegaskan, pertama, Ibn Sab‘i>n mengakui bahwa dia adalah seorang al-Muh}aqqiq, kedua, bahwa madzhab al-Muh}aqqiq yang digagasnya dibangun di atas asas-asas empat kelompok intelektual ini.181

Salah satu wacana yang diangkat Ibn Sab‘i>n dengan mengkomparasikannya dengan empat kelompok keilmuan tersebut adalah tentang aksiologi ilmu (al-kama>la>t). Di awal, ia menjelaskan bahwa kesempurnaan bagi seorang ahli Fiqh hanya dapat dicapai dengan memahami bahasa Arab dan menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadits, karena bagi seorang ahli Fiqh, ilmu adalah memahami hukum-hukum syari’at yang bersifat ijtihadiyah.182 Ia melanjutkan bahwa kesempurnaan menurut para teolog (ash‘ari>yah) hanya bisa dicapai dengan akal sehat, fitrah suci manusia, ijtihad universal dan memahami sifat-sifat Tuhan yang dengan itu seseorang akan mampu menyusun argumen demi meneguhkan akidahnya.183

Sementara, kesempurnaan menurut kalangan filsuf adalah dengan menguasai logika dan tujuan berbagai ilmu, demi mencapai akal aktif (al-‘aql al-

176 Yunasril Ali, “Ibn Sab‘i>n” dalam Ensiklopedi Tasawuf, 545. 177 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 95. 178 “Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, dalam al-Mazi>di>, 109-110. 179 Secara khusus Ibn Sab‘i>n mengangkat kelompok ash‘ari>yah sebagai wakil

dari teolog karena pada masa ia hidup, kelompok ini adalah kelompok mayoritas di dunia Islam, bahkan ia pun sempat memperdalam teologi ash‘ari>yah ini. Lihat misalnya al-Fa>si>, al-‘Iqd al-Thami>n, 327.

180 “Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 109-110. 181 “Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 110. 182 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 98. Lihat juga “Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 110 dan

117. 183 “Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 117. Juga Budd al-‘A<rif, 99.

Page 99: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

87

fa‘a>l).184 Sedangkan menurut Sufi, kesempurnaan hanya bisa dicapai dengan mengambil prinsip-prinsip syari’ah-nya Fuqaha.’, dan akidah-nya para teolog, setelah itu, harus membersihkan diri dari selain Allah dan menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji seperti ikhlas, sabar, jujur, dan lainnya.185

Lalu bagaimana kesempurnaan menurut madzhab al-Muh}aqqiq, madzhab yang digagasnya? Menurutnya, kesempurnaan adalah melihat segala sesuatu sebagai sebuah kesatuan, tidak ada dikotomi. Bagi al-Muh}aqqiq, kesempurnaan harus menolak logika bipolar (kekurangan dan kelebihan) dalam segala sesuatu, karena semuanya berada dalam Kesatuan Mutlak.186 Dalam konteks Kesatuan Mutlak, Ibn Sab‘i>n dengan al-Muh}aqqiq-nya memposisikan dirinya di antara kalangan Fuqaha>’, teolog, filsuf dan Sufi sebagai orang yang dapat mencapai kebenaran sempurna. Sementara mereka (empat kalangan) meskipun mempunyai kebenaran masing-masing, tetapi tidak mampu mencapai kebenaran yang sempurna, karena baginya, kebenaran adalah Kesatuan Mutlak.187 Lagi-lagi, al-Muh}aqqiq adalah sebuah rangkaian dari gagasan besar al-Wah}dah al-Mut}laqah.

Dari kritik dan komparasi Ibn Sab‘i>n terhadap empat kalangan intelektual tersebut, menurut penulis, secara epistemologis ia meyakini bahwa metodologi keilmuan dan teori kebenaran yang dimiliki oleh masing-masing kalangan tersebut berbeda. Ia berusaha mendudukkan persoalan filsafat secara proporsional dan mengakui ada pluralisme kebenaran, mengakui ada kebenaran di kalangan lain selain madzhab yang digagasnya, meskipun pada akhirnya ia mengatakan bahwa madzhabnya yang paling benar dalam konteks Kesatuan Mutlak.

Yang menarik adalah bagaimana Ibn Sab‘i>n memposisikan al-Muh}aqqiq atau al-Muqarrab ini dalam bingkai kosmologi. Menurutnya, seorang al-Muh}aqqiq adalah individu yang sempurna, yang terlaksana dengan Wujud Mutlak. Ia adalah mediator atau perantara (al-wa>sit}ah) antara Allah dan alam semesta setelah Nabi.188 Komentator Risa>lat al-‘A<hd menyatakan “Allah adalah Kebaikan yang dicari oleh alam semesta, dan Allah tidak mungkin dicapai dan diketahui kecuali dengan perantara Nabi, maka Nabi pun dicari oleh alam semesta. Namun Nabi pun tidak mungkin diketahui hakikat dan esensinya tanpa pewaris (al-wa>rith), ia adalah al-Muhaqqiq, seseorang yang sempurna. Ia adalah perantara untuk sampai kepada Nabi sekaligus ia perantara untuk sampai kepada Allah, Sang Kebaikan Mutlak”.189 Inilah yang melatari perkataan Ibn Sab‘i>n bahwa al-Muqarrab adalah entitas seluruh kebaikan dan seluruh alam kosmik.190

184 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 108. Juga “Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 117 185 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 127-128. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa

Falsafatuhu, 258. Juga “Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 118. 186 “Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 118. 187 Ibn Sab‘i>n, “al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah”, 68. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, 267-8. 188 “Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 186-7. 189 “Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 186. 190 Ibn Sab‘i>n “Risa>lat al-Fath} al-Mushtarak”, 333-4.

Page 100: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

88

Al-Tafta>za>ni> menggambarkan posisi al-Muhaqqiq dalam alam kosmik ibarat lingkaran yang berlapis empat (da’irat al-wuju>d). Lapis pertama adalah pewaris-nya pewaris (wa>rith al-wa>rith), lalu al-Muh}aqqiq di lapis kedua, di lapis ketiga ada Nabi, dan di lapis terakhir adalah Allah sebagai Sistem Mutlak (al-Niz}a>m al-Mut}laq).191 Semuanya merupakan kesatuan yang integral dalam bingkai Kebaikan Mutlak. Bagi Ibn Sab‘i>n, secara spiritual (ru>h}a>ni>) al-Muh}aqqiq adalah penghimpun seluruh alam, penghimpun seluruh kesempurnaan dan kebijaksanaan, yang darinya keluar gnostik yang sempurna (al-‘irfa>n).192

Gambar 10: Posisi al-Muh}aqqiq dalam Kosmik193

Beberapa literatur menyebutkan, pada dasarnya, konsep tentang al-

Muh}aqqiq, al-Muqarrab atau al-Wa>rith ini identik dengan konsep tentang manusia idealnya para sufi dan teosof lain seperti al-Insa>n al-Ka>mil dalam tasawuf Ibn ‘Arabi> (560-638 H./1164-1240 M.) dan al-Ji>li> (w. 826 H./1422 M.), al-Wali> al-Ka>mil-nya Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi> (w. 262 H./875 M.), al-Qut}b menurut Ibn al-Fa>rid{ (w. 632 H./1234 M.), atau al-H{aki>m al-Muta‘a>li>-nya al-Suhrawardi> (549-587 H./1154-1191 M.).194 Namun sejatinya, al-Muh}aqqiq-nya Ibn Sab‘i>n merupakan sebuah konsepsi manusia paripurna yang pada dirinya terhimpun seluruh kesempurnaan seorang faqi>h, teolog, filsuf dan Sufi. Inilah yang membedakan konsep manusia ideal Ibn Sab‘i>n dengan konsep dari Sufi atau teosof lainnya.

Dibanding al-Insa>n al-Ka>mil dalam tasawuf Ibn ‘Arabi> misalnya, bagi Ibn ‘Arabi>, al-Insa>n al-Ka>mil adalah cerminan alam semesta. Dalam dirinya terhimpun unsur alam semesta, dalam arti, al-Insa>n al-Ka>mil adalah mikrokosmos yang mengandung segala unsur alam semesta sebagai

191 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 272. 192 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 275. 193 Dikutip dari Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 272. 194 Lihat misalnya al-Tafta>za>ni>, Madkhal ila> al-Tas}awwuf al-Isla>mi> (Kairo: Da>r

al-Thaqa>fah li-al-Nashr wa-al-Tawzi>‘, 1979), khususnya bagian keenam.

Page 101: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

89

makrokosmos.195 Sedangkan bagi Ibn Sab‘i>n, al-Muh}aqqiq adalah entitas segala kebaikan dan dia adalah penjelamaan alam kosmik dalam perspektif Kesatuan Mutlak.196 Itu artinya, konsepsi manusia ideal yang digagas Ibn Sab‘i>n, secara ontologis bersifat absolut-spritual dalam lingkup yang lebih luas dan merupakan rangkaian dari gagasan besarnya tentang al-Wah}dah al-Mut}laqah.

Meski terkesan sangat abstrak, sebenarnya Ibn Sab‘i>n tetap menyandarkan gagasan al-Muh}aqqiq atau al-Muqarrab-nya ini kepada nas}s} al-Qur’an, meskipun menurut penulis penyandaran tersebut hanya bersifat literal. Di antara nas}s} al-Qur’an tersebut antara lain Q.S. al-Wa>qi‘ah [56] : 10-12 dan 88-89,197 al-Mut}affifi>n [83] : 20-21 dan 27-28,198 A>li ‘Imra>n [3] : 45,199 al-Nisa>’ [4] : 172200 serta al-Nu>r [24] : 35 dan 40.201 Dari sini dapat dipahami bahwa untuk menegaskan madzhab al-Muh}aqqiq-nya, ia pun menggunakan otoritas al-Qur’an dalam penggunaan istilah al-Muh}aqqiq dan al-Muqarrab. Hanya saja, ia tidak menggunakan interpretasi dari para mufassir di masanya untuk

195 Muh}yi> al-Di>n Ibn ‘Arabi>, Fus}u>s} al-H{ikam, ed. Abu> al-‘Ala> al-‘Afi>fi> (Beirut:

Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.t), 48. 196 Ibn Sab‘i>n “Risa>lat al-Fath} al-Mushtarak”, 333-4. 197 “Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah (al-Muqarrabu>n), berada

dalam surga kenikmatan” (11-12). “Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketenteraman dan rezki serta jannah kenikmatan” (88-89).

198 “(Yaitu) kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (al-Muqarrabu>n) [kepada Allah].” (20-21). “Dan campuran khamar murni itu adalah dari Tasnim, (yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.” (27-28).

199 “(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (al-Muqarrabu>n) [kepada Allah]”.

200 “Al-Masi>h} sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (al-Muqarrabu>n) [kepada Allah]. Barangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya, dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya”.

201 “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (35). “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (40).

Page 102: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

90

menafsirkan ayat-ayat tersebut, melainkan ia melakukan ta’wi>l demi menegaskan madzhab al-Muh}aqqiq, madzhab yang diusungnya. D. Mant}iq al-Muh}aqqi>q: Kritik Logika Formal

Pada umumnya, kalangan Sufi dalam menegaskan pemikirannya, tidak menggunakan logika formal Aristotelian sebagaimana yang dilakukan oleh para teolog (mutakallimu>n) dan para filsuf Islam (fala>sifah), yang menggunakan pendekatan filsafat. Sementara itu, para teosof tidak hanya menggunakan metode teoritis dan pendekatan filosofis an sich, melainkan juga dengan menggunakan pendekatan intuisi dan kashf (penyingkapan), yang dalam kajian epistemologi Islam disebut ‘ilm h}ud}u>ri> atau knowledge by presence.202

Sebagian teosof mengkritik pedas logika Aristotelian, seperti yang telah dilakukan oleh al-Suhrawardi> al-Maqtu>l (549-587 H./1154-1191 M.),203 sang teosof iluminasi, dan juga Ibn Sab‘i>n. Meski demikian, hal itu tidak hanya berhenti pada sikap kritis yang membabi buta dan serampangan. Tetapi justru dengan kritik konstruktif dan produktif, teosof mampu menawarkan logika tandingan sebagai ganti atas logika Aristotelian yang telah “dihancurkannya”. Al-Suhrawadi> misalnya, mengkonstruksi logika illmuninasi (al-mant}iq al-ishra>qi>) dan Ibn Sab‘i>n membangun logika Kesatuan Mutlak, atau disebut Mant}iq al-Muh}aqqiq sebagai logika tandingan atas logika formal Aristotelian, yang -bagi mereka- paling layak untuk digunakan dalam meraih kebenaran yang hakiki.

Dalam karya monumentalnya, Budd al-‘A<rif, Ibn Sab‘i>n secara panjang lebar membahas, menelaah dan melakukan kritik terhadap logika Aristotelian. Lebih dari dua pertiga karyanya itu, ia secara khusus melakukan dekonstruksi terhadap isu-isu logika formal (form logic) Aristotelianisme. Sistematika penulisannya cukup sederhana dalam melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap logika yang dianut kalangan filsuf Peripatetik itu, yaitu dengan menganalisa persoalan-persoalan logika, mengkritiknya, kemudian ia menawarkan rangka bangun logika baru yang ia sebut sebagai Mant}iq al-Muh}aqqiq. Inilah yang menurut al-Tafta>za>ni>,204 menjadi ciri khas dari filsafat

202 Tentang konstruk epistemologi ilmu Hud}u>ri> ini, lihat lengkapnya Mehdi

Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (New York: SUNY Press, 1992). Mengenai perkembangan logika dalam tradisi intelektual Islam hingga abad ke-13, lihat John Walbridge “Logic in the Islamic Intellectual Tradition: The Recent Centuries,” Islamic Studies Vol. 39, No. 1 (Spring 2000), 55-75. http://www.jstor.org/stable/23076091 (diakses pada 22 Mei 2014).

203 Mengenai logika iluminasi Suhrawardi, lihat Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmonde: Curzon, 1997). Lihat juga Mah}mu>d Muh}ammad ‘Ali> Muh}ammad, Al-Mant}iq al-Ishra>qi> ‘inda Shiha>b al-Di>n al-Suhrawardi> (Kairo: Mis}r al-‘Arabi>yah li-al-Nashr wa-al-Tawzi>‘, 1999), khususnya bagian keempat tentang kritiknya terhadap logika Aristotelian. Bandingkan dengan Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990).

204 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 296.

Page 103: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

91

tasawuf-nya Ibn Sab‘i>n, yang karena itu ia dikategorikan sebagai seorang teosof, Ah}mad Zaru>q yang menyatakan bahwa tasawuf Ibn Sab‘i>n didirikan di atas pondasi logika.205 Juga Cornell yang mengistilahkan sistem pikir Ibn Sab‘i>n seperti ini dengan Axial Intellect.206

Ibn Sab‘i>n “menghancurkan” logika Aristotelian dengan berusaha sungguh-sungguh meletakkan dasar-dasar logika yang baru, Mant}iq al-Muh}aqqiq, yakni logika yang bersifat gnostik-intuitif.207 Logika yang tidak berpijak pada penalaran rasio, seperti induksi dan deduksi, akan tetapi berpijak pada nilai-nilai ketuhanan, yang dengan logika ini manusia bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat dan bisa mengetahui sesuatu yang tidak bisa diketahui.208 Karena itu, ini adalah logika intuitif. Ini pulalah yang menjadi alasan mengapa Nasr mengatakan bahwa Ibn Sab‘i>nlah yang telah menyusun salah satu sintesis besar antara doktrin Sufi dan filsafat dalam sejarah pemikiran Islam. Pada diri Ibn Sab‘i>n pula dapat terlihat gambaran hubungan erat antara tasawuf dan filsafat yang paling jelas.209

Dalam melakukan dekonstruksi terhadap logika Aristotelian, Ibn Sab‘i>n mengangkat persoalan-persoalan yang umum dikaji dalam logika Aristotelian. Persoalan pertama yang diangkatnya adalah tentang definisi (al-h}add).210 Di awal, dengan keluasan pengetahuannya, ia mengakomodir berbagai hal yang berkaitan dengan definisi (al-h}add) dalam tradisi Aristotelian. Tetapi kemudian, di akhir ia menegaskan bahwa “Seorang cendikia, tidak membutuhkan definisi dalam rangka menemukan hakikat sesuatu, karena hakikat-hakikat itu tertanam dalam jiwa (secara primordial)”.211 Jadi baginya, manusia secara fitrah, memiliki kemampuan untuk menemukan dan mengetahui hakikat-hakikat sesuatu, tanpa memerlukan definisi yang sangat bergantung kepada bahasa. Sejatinya, gambaran definisi-definisi dan dalil-dalil demonstratif, dalam entitas keadaan

205 Abu> al-‘Abba>s Ah}mad ibn Zaru>q al-Fa>si>, Qawa>‘id al-Tas}awwuf, ed. ‘Abd al-

Maji>d Khaya>li> (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2005), 61. 206 Vincent J. Cornell, “The Way of the Axial Intellect: The Islamic Hermetism

of Ibn Sab‘i>n” Journal of the Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society Vol XXII (1997), 41-79. https://www.academia.edu/7630212/The_Way_of_the_Axial_Intellect_The_Islamic_Hermetism_of_Ibn_Sabin (diakses pada 22 Agustus 2014)

207 Lihat Yousef Alexander Casewit, “The Objective of Metaphysics in Ibn Sab‘i>n’s Answers to the Sicilian Questions”, http://www.allamaiqbal.com/publications/ journals/review/apr08/7.htm (diakses pada 29 April 2014).

208 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 42. Dalam konteks epistemologi Islam, pengetahuan seperti ini dinamakan ‘ilm h}ud}u>ri>, yaitu di mana subjek ilmu yang mengetahui dapat langsung menembus ke dalam objek ilmu yang diketahui tanpa terhalang oleh bahasa yang sangat spasial. Lihat Yazdi, The Principles, 27-8.

209 Nasr, “Tradisi Mistik: Sebuah Pengantar,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, 462.

210 Tentang pemikiran Ibn Sab‘i>n mengenai al-h}add, lihat lengkapnya dalam Budd al-‘A<rif, 31-9. Mengenai konsep definisi yang menjadi perbincangan dalam tradisi filsafat Islam, lihat Kiki Kennedy-Day, Books of Definition in Islamic Philosophy: The Limits of Words (New York: RoutledgeCurzon, 2003).

211 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 36.

Page 104: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

92

dan kondisinya, adalah kekal dan tidak berubah, meskipun berubah dalam penampakannya.

Kemudian Ibn Sab‘i>n melanjutkan pada persoalan I<sa>ghu>ji> (Isagoge), yaitu tentang enam makna atau istilah tunggal universal yang digunakan dalam tradisi logika Aristotelian untuk menemukan dan mengidentifikasi hakikat sesuatu.212 Keenam kalimat tersebut ialah genus (al-jins), spesies (al-naw‘), distingsi (al-fas}l), karakteristik (al-kha>s}ah), aksidensi (al-‘arad}) dan individu (al-shakhs}).213 Setelah menganalisa berbagai hal terkait I<sa>ghu>ji> ini dan melakukan kritik terhadapnya, dengan pemikirannya yang berpijak pada doktrin Kesatuan Mutlak, Ibn Sab‘i>n menyatakan bahwa dalam logikanya, tidak ada pemisahan, tidak ada dikotomi dalam hakikat seperti terlihat dalam I<sa>ghu>ji>-nya logika Aristotelian. Dalam Mant}iq al-Muh}aqqiq-nya, istilah-istilah universal I<sa>ghu>ji> tersebut adalah satu. Tak ada tambahan apapun.214

Termasuk juga persoalan logika yang diangkat oleh Ibn Sab‘i>n adalah mengenai sepuluh kategori (al-maqu>la>t al-‘ashrah). Yaitu pembahasan mengenai kategori-kategori universal yang terdapat pada setiap mawju>da>t (entitas-entitas yang ada).215 Kategori-kategori tersebut dalam tradisi logika terbagi kepada dua bagian besar, yaitu esensi (al-jawhar) dan aksidensi (al-‘arad}). Esensi menjadi satu bagian tersendiri, sementara aksidensi terbagi kepada sembilan bagian: kuantitas (al-kam), kualitas (al-kayf), relasi (al-id}a>fah), waktu (matá), tempat (ayn), posisi (al-wad}‘), milik (al-milk), aksi (al-fi‘l), dan reaksi (al-infi‘a>l). Lagi-lagi, bagi Ibn Sab‘i>n, dengan Mant}iq al-Muh}aqqiq-nya yang berakar pada gagasan al-Wah}dah al-Mut}laqah, di antara kategori-kategori tersebut, hanya esensilah yang benar-benar ada, karena esensi adalah wujud sejati. Sementara selain itu, tak lebih hanya ada dalam ilusi belaka. Baginya, kategori-kategori tersebut tidaklah berbeda secara literal (asma>’ mutara>difah).216 Ibn Sab‘i>n meyakini bahwa sepuluh landasan normatif itu adalah alam, manusia berada di dalam alam, dan semua alam adalah penyerupaan. Sementara, entitas yang

212 Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 54-5. Tentang deskripsi dan sumber Isagoge

al-Fa>ra>bi>, lihat James T. Robinson, “Samuel Ibn Tibbon's "Peruš ha-Millot ha-Zarot" and al-Fa>ra>bi>’s "Eisagoge" and "Categories",” Aleph No. 9.1 (2009), 41-76. http://www. jstor.org/stable/40385922 (diakses pada 15 Oktober 2014). Lihat juga perkembangan literatur tentang Isagoge di kalangan cendikiawan Muslim klasik dalam Koes Adiwidjajanto, “Studi Filologis Sharh} Isagoge: Menelusuri Logika Aristotelian di Kalangan Muslim Klasik,” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam vol. 2 no. 1 (Juni, 2012), 108-130. http://teosofi.uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/download/ 139/127 (diakses pada 06 November 2014).

213 Lihat lengkapnya kritik Ibn Sab‘i>n terhadap persoalan ini dalam Budd al-‘A<rif, 55-63.

214 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 63. 215 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 64. Lihat juga al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-

S{iqili>yah, 49. 216 Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah 49-51. Juga Budd al-‘A<rif,

37.

Page 105: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

93

menyerupai dengan sesamanya adalah satu, Maka alam dan manusia adalah satu.217

Dalam menegaskan Mant}iq al-Muh}aqqiq-nya, ia juga mengangkat persoalan epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara apik ia analisa dalam pembahasan ilmu. Menurut penulis, yang menarik adalah bahwa di awal pembahasannya tentang ilmu, dengan keluasan pemikirannya, Ibn Sab‘i>n mengutip begitu banyak pengertian ilmu dari berbagai spektrum pemikiran Islam seperti filsuf, teolog, Fuqaha>’ dan Sufi. Namun baginya, berbagai definisi ilmu yang dinyatakan oleh para cendikiawan tersebut sangat rumit, bertele-tele dan menyulitkan orang yang mempelajarinya.218 Dalam madzhab al-Muh}aqqiq-nya, justru Ibn Sab‘i>n meyakini bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang harus dan bisa dicari (muktasabah), melainkan ilmu adalah pengetahuan intuitif tentang Wujud Mutlak yang satu, dan pengetahuan tentang bagaimana memisahkan Wujud Mutlak tersebut dengan ilusi selainnya.219

Dari sini, apalagi melihat karya monumentalnya Budd al-‘A<rif, Ibn Sab‘i>n terlihat menggunakan logika sebagai alat untuk mencapai tingkatan spritual setinggi-tingginya. Namun yang menarik adalah, meski ia lebih banyak menggunakan logika dibanding para mistikus lainnya, ia tidak lekas menjadi seorang rasionalis dalam pengertian modern. Baginya, logika sejatinya adalah daya intuitif demi mencapai transendensi.220 Dari kritik-kritiknya terhadap logika Aristotelian, secara implisit ia mengatakan bahwa para filsuf Peripatetik telah gagal memahami akal.

Poin penting yang dicapai Ibn Sab‘i>n dalam Mant}iq al-Muh}aqqiq-nya adalah bahwa hakikat-hakikat logika -dalam tradisi Aristotelian- itu bersifat primordial (fitrah) yang bersemayam dalam setiap entitas jiwa manusia. Sementara definisi, makna-makna tunggal universal, dan kategori-kategori yang mengandaikan pluralitas wujud adalah semata-mata hanya ilusi. Yang ditekankan dalam logika formal Aristotelian, yang juga merupakan satu kelemahan fatal adalah adanya pluralitas wujud, yang pada hakikatnya bersifat ilusi, di mana sejatinya, hakikat wujud adalah satu, yaitu Kesatuan Mutlak. Dari sini, penulis mengasumsikan bahwa gagasan Mant}iq al-Muh}aqqiq-nya Ibn sab‘i>n merupakan “tongkat estafet” pemikiran selanjutnya demi meneguhkan doktrin al-Wah}dah al-Mut}laqah.

E. Etika

Gagasan filosofis al-Wah}dah al-Mut}laqah yang bisa dikatakan sebagai “penentu arah” pemikiran filosofis Ibn Sab‘i>n, ternyata tidak hanya berhenti pada tataran ontologis saja. Ia memperluas gagasan tersebut ke dalam berbagai kajian filosofis lainnya, yaitu persoalan etika (al-akhla>q). Karena berpijak pada al-Wah}dah al-Mut}laqah yang bersifat metafisis, tentu saja etika dalam

217 Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 50-1. 218 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 92. 219 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 93. 220 Cornell, “The Way of the Axial Intellect: The Islamic Hermetism of Ibn

Sab‘i>n”.

Page 106: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

94

pandangan Ibn Sab‘i>n, dalam beberapa karyanya, sangat berbeda dengan kajian etika dari para filsuf atau Sufi lain, apalagi jika dibandingkan dengan para Sufi yang lebih menekankan etika praksis berupa ritual-ritual tertentu ketimbang memposisikan etika sebagai filsafat moral. Inilah yang menurut penulis menjadi alasan bagi al-Tafta>za>ni>221 dan Sharaf222 menyebutkan bahwa pembahasan etika yang dilakukan Ibn Sab‘i>n lebih tepat disebut etika metafisik (mi>ta>fi>zi>qa> al-akhla>q).

Kendati demikian, tidak berarti bahwa Ibn Sab‘i>n menganggap ritual-ritual praksis tidak bernilai. Justru dalam salah satu karyanya, Risa>lat al-Nas}i>h}ah aw-al-Nu>ri>yah, Ibn Sab‘i>n dengan panjang lebar membahas ritual-ritual yang umumnya berlaku dalam tradisi tasawuf. Selain itu, dalam karyanya al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah,223 ia juga memandang bahwa ritual-ritual praksis tersebut harus dilalui oleh seorang musa>fir (orang yang menapaki jalan spritual) demi mencapai ‘Ilm al-Tah}qi>q, dengan memahami al-Wah}dah al-Mut}laqah, yang dengannya seorang musa>fir tersebut menjadi seorang manusia paripurna (al-Muh}aqqiq). Hal ini dianggap lebih rasional jika dipandang bahwa Ibn Sab‘i>n sebagai seorang pendiri dan pemimpin sebuah tarekat -yaitu tarekat Sab‘i>ni>yah- yang selalu dikonotasikan dengan ritual-ritual sufistik.

Oleh karena itu, pada bagian ini, pembahasan etika dalam pandangan Ibn Sab‘i>n dapat dibagi menjadi dua bahasan, pertama, etika teoritis atau etika metafisik (al-akhla>q al-naz}ari>yah) dan kedua, etika praksis (al-akhla>q al-‘amali>yah) yang berisi pandangan Ibn Sab‘i>n terhadap ritual-ritual sufistik layaknya pandangan Sufi pada umumnya.

1. Etika Metafisik

Etika, bagi Ibn Sab‘i>n merupakan rangkaian selanjutnya dari gagasan besar tentang Kesatuan Mutlak (al-Wah}dah al-Mut}laqah). Baginya, yang urgen bukanlah pertanyaan “Apa yang harus dilakukan?” akan tetapi “Siapa yang secara hakiki menggerakan perbuatan-perbuatan manusia?”.224 Beberapa pertanyaan besar sering kali menjadi kajian utamanya dalam pembahasan etika, seperti “Apakah dalam Wujud Mutlak terdapat keburukan ataukah semua hal yang ada dalam Wujud Mutlak itu Baik?”, “Dari mana muncul kebaikan dan keburukan?”, “Lalu, apa itu kebahagiaan?”, dan masih banyak lagi pertanyaan metafisik terkait dengan pembahasan etika. Karenanya, pada titik ini, pendekatan yang digunakan Ibn Sab‘i>n adalah pendekatan metafisika, berbeda dengan para Sufi yang pada umumnya menggunakan psikologi sebagai pendekatan dalam memahami etika.225

Proposisi awal yang digunakan Ibn Sab‘i>n dalam memahami etika tentu saja adalah doktrin Kesatuan Mutlak. Menurutnya, perbedaan antara baik dan

221 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 387. 222 Sharaf, al-Wah}dah al-Mut}laqah ‘inda Ibn Sab‘i>n, 177. 223 Ibn Sab‘i>n, “al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah”, 41. 224 Lihat Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 386. 225 Lihat misalnya karya Shiha>b al-Di>n al-Suhrawardi>, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif

dalam Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n karya al-Ghaza>li>, juz 1 (Semarang: T{a>ha> Pu>tra>, t.t), 270.

Page 107: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

95

buruk merupakan salah satu ilusi. Bagi seorang muh}aqqiq, tidak ada perbedaan eksistensial antara baik dan buruk dan perbedaan tersebut hanya pada tataran kebahasaan saja.226 Ma‘rifah (gnostik) sejati tidak mungkin digambarkan dengan baik atau sempurna, karena ia adalah kebaikan itu sendiri. Inilah yang selanjutnya oleh Ibn Sab ‘i>n disebut dengan al-khayr al-mut}laq (Kebaikan Mutlak).227

Meski demikian, dalam dunia lahiriyah, ia pun meyakini adanya hal-hal yang dapat mendorong kepada kebaikan dan keburukan. Menurutnya, perbuatan-perbuatan terpuji (al-af‘a>l al-h}ami>dah) merupakan penyebab yang mendorong kepada nilai kebaikan, dan kelalaian atau sengaja berbuat kelalaian (al-ghaflah wa-al-tagha>ful) adalah pendorong kepada nilai buruk.228 Namun yang perlu dicatat adalah, pandangan ini hanya ada dalam perspektif lahiriyah.

Dalam mendeskripsikan nilai kebaikan, Ibn Sab‘i>n mengklasifikasikan kebaikan kepada tiga bagian,229 pertama adalah Kebaikan Mutlak (al-khayr al-mut}laq) yang secara metafisik dimaknai sebagai sebuah kebaikan yang pada dirinya baik, dan kebaikan itu sama sekali tidak bertujuan untuk selainnya. Artinya, kebaikan ini dicapai karena “kebaikan” itu sendiri, bukan karena yang lain. Inilah yang dalam pemikirannya adalah Wujud Mutlak atau Allah. Kedua, adalah kebaikan yang pada diri dan tujuannya dipandang baik. Ibn Sab‘i>n mencontohkan kebaikan bentuk ini dengan mencari ilmu, di mana, perbuatan tersebut baik pada dirinya karena demi mencapai sesuatu selainnya yang baik pula. Ketiga, ialah kebaikan yang dianggap tidak menyenangkan bagi diri manusia, namun justru menjadi kebaikan karena tujuannya. Ibn Sab‘i>n mengilustrasikan nilai kebaikan terakhir ini dengan meminum obat demi menyembuhkan penyakit.

Di tempat lain, ia juga menggambarkan kebaikan dengan mengklasifikasikannya kepada dua bentuk,230 pertama, kebaikan esensial (al-khayr al-dha>ti>), atau sesuatu yang secara esensi bernilai baik seperti ilmu pengetahuan, petunjuk Tuhan, ridha Tuhan dan ketaatan kepada-Nya. Kedua, kebaikan aksidensial (al-khayr al-‘arid}i>), yaitu sesuatu yang dapat bernilai baik jika tujuannya baik pula. Ibn Sab‘i>n mencontohkan kebaikan bentuk ini dengan

226 Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah, 437. Lihat juga karyanya yang lain,

Al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 228. 227 Untuk mencapai Kebaikan Mutlak ini seorang manusia harus melewati tiga

fase, fase pertama adalah di mana ia menjadi seorang pemula (mubtadi’). Pada fase ini, manusia tersebut berkomitmen untuk berhenti dari segala macam keburukan perilaku menuju apa yang Ibn Sab‘i>n sebut sebagai al-khayr al-mushtarak (kebaikan yang tercampuri). Kedua, sebagai sa>lik (penempuh jalan). Pada fase ini seorang manusia meningkat kepada kebaikan yang lebih tinggi. Ketiga, sebagai wa>s}il (yang sampai [kepada Kebaikan Mutlak]). Di posisi ini seorang manusia akan keluar dari ilusi-ilusi realitas dan sepenuhnya menjadi Kebaikan Murni. Lihat Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah, 415.

228 Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah, 71-2. 229 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 97-8. Juga dalam al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah, 72. 230 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 97.

Page 108: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

96

kebaikan berdimensi sosial. Namun tentu saja, pandangannya ini tidak dapat dilepaskan dari asumsi ontologis tentang Kesatuan Mutlak dan Kebaikan Mutlak, karenanya, klasifikasi di atas sejatinya hanya bersifat kesusateraan (i‘tiba>ri>) saja.

Selain itu, salah satu wacana yang banyak diangkat Ibn Sab‘i>n dalam etika metafisiknya adalah tentang nilai kebahagiaan (al-sa‘a>dah), yang dalam literatur-literatur filsafat Islam dan tasawuf, wacana ini pun sering menjadi tema utama. Secara substansial, pandangannya tentang kebahagiaan memang tidak berbeda dengan filsuf atau Sufi lainnya.231 Menurutnya, kebahagiaan sama sekali tidak dapat dipisahkan dengan nilai kebaikan, keduanya memiliki hubungan ontologis yang khas. Hal ini dapat dilihat dalam pernyataannya bahwa “Hidup adalah syarat bagi akal, akal syarat bagi adanya ilmu, ilmu pun menjadi syarat dalam berbuat, berbuat baik juga sebagai syarat mendapatkan keutamaan, keutamaan syarat bagi kebahagiaan, kebahagiaan syarat bagi kesempurnaan, dan kesempurnaan merupakan syarat mencapai kebaikan”.232 Itu artinya, bagi Ibn Sab‘i>n nilai kebaikan adalah syarat, sumber sekaligus tujuan bagi kebahagiaan demi mencapai Kebaikan Mutlak.

Kebahagiaan oleh Ibn Sab‘i>n sering dihubungkan dengan kesenangan (al-ladhah) yang tidak dapat dicapai tanpa kebahagiaan.233 Baginya, kesenangan bisa berbentuk material (jisma>ni>yah) dan spritual (ru>h}a>ni>yah).234 Keduanya dapat bernilai baik jika berhubungan dengan kebaikan, begitu pun sebaliknya, bisa bernilai buruk jika berhubungan dengan hal-hal negatif secara moril. Meski demikian, ia tetap meyakini bahwa kesenangan sejati bukanlah kesenangan material dan duniawi, tetapi kesenangan yang justru muncul dari komitmen untuk meninggalkan kesenangan material.235 Pada titik ini, pandangan Ibn Sab‘i>n sama dengan al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.) yang menyatakan bahwa kebahagian dan kesenangan hanya dapat dicapai jika disandarkan pada Tuhan.236

Dalam bagian lain, ia mendeskripsikan kebahagiaan jiwa secara hierarkis kepada tiga bagian, sesuai dengan tingkatan jiwa (nous) yang mengalami dan mencarinya. Di dasar hierarki ada nafs al-h}ayawa>ni>yah (jiwa ke-binatang-an) yang selalu menilai bahwa kebahagiaan adalah dengan mendapatkan tujuan-tujuan materil. Kemudian jiwa ke-bijaksana-an (nafs al-h}ikmi>yah), yaitu kebahagiaan ketika intelek mampu mengenal, memahami dan mencintai Tuhan. Sementara di puncak hierarki ada jiwa ke-Nabi-an (nafs al-nabawi>yah), di mana kebahagian bagi jiwa ini melebihi kebahagiaan dari dua

231 Tentang kebahagiaan dalam konteks tasawuf lihat misalnya George F.

Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), khususnya bagian 2 sampai 5.

232 Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah, 72. 233 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 398. 234 Ibn Sab‘i>n, Risa>lat al-Alwa>h} al-Muba>rakah, 363. 235 Ibn Sab‘i>n, Risa>lat al-Alwa>h} al-Muba>rakah, 361. 236 Abu> Nas}r al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah al-Fa>d}ilah, ed. Albi>r Nas}ri> Na>dir

(Beirut: Da>r al-Mashriq, 1968), 53-4.

Page 109: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

97

jiwa sebelumnya.237 Karena itu, kebahagiaan bagi seorang muh}aqqiq atau muqarrab bukanlah kebahagiaan yang dicapai oleh para filsuf dan nafs al-h}ikmi>yah, karena muh}aqqiq adalah kebaikan, kebahagiaan dan kesenangan itu sendiri.

Jika demikian, apa arti perintah dan larangan Tuhan bagi manusia (al-takli>f)? Dalam masalah ini, Ibn Sab‘i>n seolah mengingatkan kembali proposisi utama madzhabnya bahwa Allah adalah Kebaikan Mutlak, Ia adalah satu-satunya wujud yang hakiki. Jadi, dalam pandangan ini, tidak mungkin muncul keburukan dari Sang Kebaikan Mutlak, meskipun pada tataran lahiriyah ia mengakui adanya nilai baik dan buruk.238 Masalah perintah dan larangan Tuhan ini pun tidak bisa dipisahkan dari persoalan teologis tentang al-thawa>b wa-al-‘iqa>b (pahala bagi yang taat dan siksa bagi yang melanggar). Kemudian, konsep al-thawa>b wa-al-‘iqa>b baginya sangat berkaitan dengan kasih sayang Tuhan (al-rah}mah al-ila>hi>yah). Nah, oleh Ibn Sab‘i>n, kasih sayang Tuhan ini dimaknai dengan dua sisi, metafisik dan etik. Pada sisi metafisik, kasih sayang Tuhan adalah segala sesuatu yang Ada. Dalam arti, segala realitas, ada karena kasih sayang Tuhan. Sementara pada sisi etis, dimaknai bahwa semua manusia diberikan kasih sayang Tuhan.239

Konsep al-thawa>b wa-al-‘iqa>b yang selalu dihubungkan dengan kasih sayang Tuhan ini, dalam pandangannya harus dibedakan tujuannya kepada dua bentuk, pertama, tujuan syari’at (al-qas}d al-shar‘i>), yang pada titik ini, konsep al-thawa>b wa-al-‘iqa>b selalu mengindikasikan adanya dikotomi antara baik-buruk atau pahala-dosa. Kedua, tujuan rasional (al-qas}d al-‘aqli>). Pada sisi inilah, dikotomi yang ada dalam tujuan syari’at melebur. Karena kasih sayang Tuhan, seperti yang diyakini Ibn Sab‘i>n, secara metafisik merupakan pencurah segala realitas yang ada.240 Itu artinya, jika dikatakan bahwa seseorang masuk surga karena amal baiknya dan masuk neraka karena amal buruknya, dalam perspektif shar‘i> bisa dikatakan benar, namun tidak dalam perspektif ‘aqli>. Karenanya, dalam ilmu Tah}qi>q, tidak mungkin Tuhan memberikan keburukan, karena Ia sendiri adalah Kebaikan Mutlak. Perincian inilah yang menarik dalam pemikiran etika Ibn Sab‘i>n.

Nah, dari pandangan ini pula, apa yang dikatakan oleh para cendikiawan, khususnya kalangan fuqaha>’ yang mengkritik Ibn Sab‘i>n bahwa ia telah “mematikan” takli>f syari’at,241 itu keliru. Pasalnya, meski dengan proposisi awal Kesatuan Mutlak ia cenderung menolak dikotomi etis, namun ia sangat menekankan untuk melaksanakan syari’at secara konsisten dan ketat, karena

237 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 321-2. Lihat juga Sharaf, Al-Wah}dah al-

Mut}laqah, 188. 238 Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah, 399. 239 Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah, 388-9. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn

Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 402. Untuk meneguhkan pandangannya ini, Ibn Sab‘i>n mendasarkan pada ayat al-Qur’an, Q.S. al-Zumar : 53, dan al-Isra>’ : 84.

240 Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah, 404. 241 Lihat misalnya Ibn Taymi>yah, Majmu>‘at al-Rasa>’il jilid 1, 91-92.

Page 110: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

98

baginya, syari’at adalah syarat mendapatkan kebahagiaan sejati.242 Selain itu, dalam beberapa karyanya yang khusus, Ibn Sab‘i>n pun sangat menekankan dalam melaksanakan ritual-ritual syari’at. Tak kurang dari 18 karyanya yang menegaskan hal itu. Karenanya, demi menegaskan pemikiran Ibn Sab‘i>n tentang pentingnya syari’at dan ritual aplikatif, poin selanjutnya akan mengulas pandangannya tentang etika praksis.

2. Etika Praksis

Dari pembahasan etika teoritis atau etika metafisik di atas, tergambar jelas bahwa pemikiran Ibn Sab‘i>n tentang kebaikan, keburukan, kesenangan dan kebahagiaan berpijak pada pandangan ontologisnya tentang Kesatuan Mutlak (al-Wah}dah al-Mut}laqah). Poin penting yang didapat adalah, dengan etika metafisiknya, Ibn Sab‘i>n meneguhkan apa yang ia sebut sebagai al-khayr al-mut}laq (Kebaikan Mutlak) dan menolak adanya keburukan secara ontologis. Artinya, pada titik ini, manusia merupakan manifestasi wujud yang mutlak.

Dalam madzhab al-Muh}aqqiq, untuk mencapai Kebaikan Mutlak tersebut, diperlukan sebuah perjalanan spritual khusus yang disebut dengan safar, dan orang yang menempuhnya disebut musa>fir. Bagi Ibn Sab‘i>n, safar tidak hanya menjadi perantara bagi tercapainya stasiun-stasiun spritual dan kondisi-kondisi jiwa (al-maqa>ma>t wa-al-ah}wa>l) seperti yang berlaku dalam tradisi para Sufi. Lebih dari itu, safar merupakan “penentu” ketercapaian seorang musa>fir kepada Kesatuan Mutlak. Al-maqa>ma>t wa-al-ah}wa>l yang berupa stasiun-stasiun dalam perjalanan spritual seperti taubat, takwa, wara‘, zuhd dan tawakal, sejatinya tidak akan keluar dari keyakinan, konteks dan pandangan ontologis al-Wah}dah al-Mut}laqah.243

Layaknya sufi-sufi lain, ia pun meyakini bahwa safar atau perjalanan spritual ini harus ada dalam bimbingan seorang guru spritual (shaykh murshid). Murshid ini, menurutnya, haruslah seorang muh}aqqiq, seorang yang terhimpun dalam dirinya segala kesempurnaan eksistensial-gnostik. Karena itu, ada beberapa wacana mistisisme aplikatif yang banyak diangkat Ibn Sab‘i>n dalam beberapa karyanya antara lain; perjalanan spritual (safar), memerangi hawa nafsu (muja>hadat al-nafs), guru spritual (murshid), dzikir, stasiun-stasiun perjalanan spritual (al-maqa>ma>t), mengasingkan diri (al-khalwah wa-al-‘uzlah), puasa, do’a, dan lain-lain.

Salah satu wacana yang menarik perhatian Ibn Sab‘i>n adalah memerangi hawa nafsu (muja>hadat al-nafs). Konsep ini olehnya seringkali dikaitkan dengan konsepnya tentang proses perjalanan spritual (safar). Sebenarnya, pijakan awal yang digunakannya untuk menekankan pentingnya muja>hadat al-nafs dalam safar adalah bahwa, jiwa manusia tidak murni baik atau murni jahat. Baginya, jiwa -atau nafsu- justru tersusun dari nilai baik dan buruk sekaligus, yang

242 Lihat penjelasan lengkapnya Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah, 434-7.

Lihat juga al-Muna>wi>, al-Kawa>kib al-Durri>yah, 441. 243 Lihat al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 409.

Page 111: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

99

keduanya silih berganti dalam menguasai jiwa manusia.244 Karenanya, kecendrungan jiwa kepada keburukan dan kejahatan harus sebisa mungkin ditekan.

Namun yang menarik adalah justru ketika Ibn Sab‘i>n memaknai muja>hadat al-nafs ini dengan perspektif Kesatuan Mutlak. Memerangi nafsu sejatinya adalah berupaya memastikan hadirnya keyakinan bahwa tidak ada yang memiliki eksistensi hakiki selain Allah.245 Dari pandangan inilah upaya tersebut dinamai safar, yaitu sebuah usaha untuk memerangi hawa nafsu, yang berpijak pada keyakinan bahwa tidak ada wujud selain Allah. Hal ini pula yang menjadi alasan dari pernyataannya dalam al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah,246 bahwa safar adalah upaya sekuat tenaga untuk mencapai ‘ilm al-tah}qi>q.

Di samping itu, dalam perspektif al-muh}aqqiq-nya, seorang musa>fir, juga harus berani membersihkan diri dari ilusi-ilusi rasio seperti konsep-konsep yang berlaku dalam logika formal jika tidak ingin terjebak dalam ilusi yang menipu.247 Dengan kata lain, Ibn Sab‘i>n ingin mengatakan bahwa puncak spritual secara psikologis, hanya bisa diraih dengan mengosongkan alam pikir dan membiarkan asumsi Kesatuan Mutlak “mensugesti” diri musa>fir.

Di sisi lain, sebenarnya konsep safar sendiri memiliki banyak pengertian dan ketentuan. Salah satunya adalah yang dikemukakan oleh al-Jurja>ni> bahwa, safar dalam tradisi mistisisme ialah sebuah istilah yang menunjukkan suatu proses perjalanan spritual untuk menghadap kepada Tuhan, Sang Kebenaran sejati.248 Proses safar tersebut menurut al-Jurja>ni> memiliki empat tingkatan gradual, pertama, usaha musa>fir untuk menghilangkan sekat dan penghalang berbentuk paradigma “kemajemukan” (al-kathrah) dari ketunggalan (al-ah}adi>yah). Tingkat ini merupakan langkah “beranjak” dari alam lahiriyah menuju Sang Kebenaran. Kedua, menghilangkan paradigma “ketunggalan” sebagai penghalang, menuju keyakinan kemajemukan. Tingkat ini diartikan sebagai sebuah proses lanjutan dari tingkat pertama, yakni dengan usaha spritual untuk menghiasi diri dengan sifat-sifat Allah. Ketiga, setelah melewati dua tingkatan di atas, dengan sendirinya, dikotomi-dikotomi dalam realitas yang serba ganda ini akan hilang, semuanya menyatu dalam wujud yang satu. Terakhir, keempat, ialah kembalinya musa>fir dari Sang Kebenaran (Tuhan), dan membawanya menuju dunia makhluk. Ini adalah tingkatan teringgi dalam hierarki safar, karena, tingkat ini mengindikasikan seorang musa>fir memandang Sang Kebenaran telah memanifestasikan diri-Nya dalam seluruh ciptaan-Nya.

Yang menarik diamati ialah, sementara dalam pandangan Sufi lainnya “kemanunggalan” (ah}adi>yah) adalah puncak hierarki perjalanan spritual, dalam

244 Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah, 437. 245 Ibn Sab‘i>n, Risa>lat al-Fath} al-Mushtarak, 337. 246 Al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah, 58. 247 Ibn Sab‘i>n, Risa>lat al-Ih}a>t}ah, 208. 248 ‘Ali> ibn Muh}ammad al-Jurja>ni>, Kita>b al-Ta‘ri>fa>t (Jakarta: Da>r al-H{ikmah,

t.t), 119. Menurut al-Tafta>za>ni>, pernyataan al-Jurja>ni> ini adalah pandangan Ibn ‘Arabi> tentang safar. Lihat al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 414.

Page 112: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

100

konsep safar Ibn Sab‘i>n, “kemanunggalan” justru menjadi dasar hierarki.249 Menurut penulis, hal ini cukup membuktikan bahwa untuk memulai dan mendapatkan safar yang sempurna, seorang musa>fir harus mampu melewati fase melaksanakan syari’at secara ketat dan konsisten, seperti halnya pandangan Sufi-sufi lain seperti al-Qushayri> (w. 465 H.)250 dan al-Junayd (w. 297 H.).251

Tentu saja, seperti yang telah dikemukakan di atas, untuk mencapai predikat safar yang sempurna, seorang musa>fir membutuhkan guru spritual (al-shaykh al-murshid). Ibn Sab‘i>n menyebutnya H{abi>b (sang kekasih), yaitu orang yang menuntun jiwa musa>fir demi mencapai Kebaikan Mutlak.252 Pada titik ini, Ibn Sab‘i>n kelihatannya ingin menggambarkan hubungan antara murid (musa>fir) dan guru (murshid) dengan hubungan kekuatan cinta yang dipancarkan secara spritual satu sama lain. Dengan kekuatan ini pula, musa>fir dan murshid dapat mencapai kesatuan spritual dan emosional.

Hubungan dalam bentuk tersebut sebenarnya dikemukakan pula oleh Shiha>b al-Di>n al-Suhrawardi> (1144-1234 M./539-632 H.)253 yang mengatakan bahwa hubungan muri>d dan murshid ibarat anak dan orang tuanya, jiwa keduanya menyatu. Bedanya, dalam pemikiran Ibn Sab‘i>n, hubungan kekuatan cinta antara musa>fir dan murshid didasarkan pada keyakinan dan pandangan ontologis Kesatuan Mutlak. Karena itu, seorang murshid harus benar-benar orang yang terhimpun kesempurnaan seorang muh}aqqiq. Menurut muridnya yang mengomentari karya Risa>lat al-‘Ahd,254 Ibn Sab‘i>n mengklaim bahwa dialah yang dimaksud muh}aqqiq itu, sekaligus, jalan yang harus ditempuh dalam safar adalah jalan muh}aqqiq-nya.

Untuk mencapai Kesatuan Mutlak, seorang musa>fir juga harus secara konsisten melaksanakan salah satu latihan spritual yang penting, yaitu dzikir. Seperti halnya kalangan Sufi, posisi dzikir dalam madzhab al-muh}aqqiq sangat penting. Dalam hal ini Ibn Sab‘i>n mengatakan: “Tidak ada sesuatu yang lebih besar (bahayanya bagi muh}aqqiq) selain menyia-nyiakan dzikir”.255 Tak hanya itu, ia pun menyandarkan ritual dzikir ini kepada al-Qur’an dan Sunnah. Tidak seperti ibadah yang lain, dzikir adalah ibadah yang “tak kenal” waktu dan tempat, harus dilaksanakan di mana pun dan kapan pun. 256

249 Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah, 57. 250 Abu> al-Qa>sim al-Qushayri>, al-Risa>lah al-Qushayri>yah, tah}qi>q ‘Abd al-H{ali>

Mah}mu>d (Kairo: Da>r al-Shu‘b, 1989), 168. 251 Al-Qushayri>, al-Risa>lah al-Qushayri>yah, 80. 252 Lihat Ibn Sab‘i>n, Risa>lat al-‘Ahd, 188. Juga Sharh} Risa>lat al-‘Ahd, 188. 253 Lihat al-Suhrawardi>, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif dalam Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, juz 2,

17-8. 254 Sharh} Risa>lat al-‘Ahd, 185-6. 255 Ibn Sab‘i>n, Al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 218. Dalam perspektif syari’ah, Ibn

Sab‘i>n mengatakan bahwa “Tidak diterima ke-Islam-an seseorang kecuali dengan dzikir”. al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 217.

256 Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 217. Ayat al-Qur’an yang dikutipnya antara lain Q.S. al-Baqarah : 152 dan Q.S. al-Ah}za>b : 41.

Page 113: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

101

Dengan pandangan ontologis, ia meyakini bahwa segala sesuatu berdzikir kepada-Nya. Setiap perkataan yang ditujukan dan untuk mengingat-Nya adalah dzikir. Dzikir pun olehnya ditafsirkan secara filosofis bahwa, ketika seseorang konsentrasi penuh mengingat Allah dengan kalimat La> Ila>ha Illalla>h dan memalingkan hati dari gemerlap dunia, maka jiwa orang tersebut akan tenteram dan nyaman, terlepas dari berbagai kungkungan ilusi-ilusi. Seseorang tersebut selanjutnya akan meyakini bahwa tidak ada yang “Ada” sebagai Subjek kecuali Allah, hingga akhirnya ia menemukan puncaknya bahwa tidak ada Wujud selain Allah dan meyakini tidak ada dikotomi dan kemajemukan di dunia yang serba ganda ini, hanya Allah semata, Sang Wujud Mutlak.257 Di ranah ini, sama seperti pandangan Ibn ‘Arabi> (560-638 H./1164-1240 M.),258 dalam pandangan Ibn Sab‘i>n, setelah orang yang mengingat-Nya tersebut mencapai puncak ekstase, ia meyakini bahwa tidak ada perbedaan antara yang mengingat (dha>kir) dan yang diingat (madhku>r). Inilah peran dzikir dalam mengantarkan musa>fir meraih Kesatuan Mutlak. Dalam hal ini, Ibn Sab‘i>n selalu menghubungkan ritual dzikir dengan berbagai stasiun (al-maqa>ma>t) dalam perjalanan spritual, yang menurutnya, stasiun-stasiun spritual tersebut tidak dapat dicapai tanpa dzikir.259

Dalam karyanya, al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, Ibn Sab‘i>n dengan cukup panjang membahas tiga stasiun yang harus dilalui seorang musa>fir dalam safar-nya, yaitu Taubat (repentance), Wara‘ (godly) dan Zuhud (asceticism).260 Pada umumnya, ia memaknai ketiga stasiun spritual tersebut sama seperti kalangan Sufi. Bedanya, ia selalu menghadirkan interpretasi filosofis terhadap ketiga konsep tersebut, yang karena itu, pandangannya bisa dibilang lebih “ekstrem” dibanding kalangan Sufi. Taubat misalnya, berbeda dengan misalnya al-Ghaza>li> (1058-1111 M./450-505 H.)261 dan Dhu> al-Nu>n al-Mis}ri> (157-245 H.)262, dalam pandangan filosofis Ibn Sab‘i>n, Taubat sejatinya adalah kembali dari keyakinan adanya kemajemukan dalam Kesatuan Mutlak.263

Kemudian, menarik untuk dicermati bagaimana pandangannya tentang Wara‘ yang sangat simbolis. Baginya, seorang yang Wara‘ adalah “orang menjadikan syari’at di sebelah kanannya, dan akal di sebelah kirinya”.264 Pandangannya ini semakin memperkuat bahwa Ibn Sab‘i>n sangat mengagungkan syari’at sebagai jalan menuju puncak madzhabnya. Tak hanya itu, dengan perspektif al-tah}qi>q, zuhud sebagai stasiun selanjutnya ia klasifikasikan menjadi dua tingkatan, al-zuhd al-‘urfi> (zuhud konvensional), yaitu meninggalkan segala hal yang dilarang dan diragukan kebolehnnya. Zuhud bentuk ini adalah zuhud

257 Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 217-8 dan 242. 258 Ibn ‘Arabi>, Fus}u>s} al-H{ikam, 168. 259 Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 215. 260 Lihat lengkapnya Ibn Sab‘i>n, Al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 232-9. 261 Al-Ghaza>li, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, juz 4 (Semarang: T{a>ha> Pu>tra>, t.t), 2-3. 262 Al-Qushayri>, al-Risa>lah al-Qushayri>yah, 183. 263 Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah, 412-3. 264 Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 235.

Page 114: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

102

kalangan umum, seperti pada konsep zuhd al-Qushayri> (w. 465 H.)265. Sedangkan zuhud sejati adalah apa yang disebut al-zuhd al-jali>l (zuhud agung), yaitu meninggalkan segala sesuatu selain Allah secara mutlak, zuhudnya seorang muh}aqqiq.266

Selain itu, masih banyak pula ritual-ritual aplikatif dalam safar yang Ibn Sab‘i>n tekankan kepada murid-muridnya dalam beberapa karyanya. Ritual-ritual tersebut di antaranya adalah mengasingkan diri dari hiruk pikuk duniawi (al-khalwah wa-al-‘uzlah), yang ia maknai secara metafisik bertujuan untuk memalingkan diri dari adanya kemajemukan realitas, serta memusatkan jiwa dan hati hanya kepada Wujud Mutlak.267 Kemudian puasa, yang lagi-lagi olehnya dimaknai dengan perspektif al-muh}aqqiq sebagai ritual yang jika dilaksanakan dengan baik, seorang muh}aqqiq akan melihat jelas bagaimana menyatunya alam material dan alam intelek/logika yang majemuk. Inilah puncak tujuan dari ritual puasa menurut Ibn Sab‘i>n. Di samping itu, ia juga sangat menekankan kepada murid-muridnya dalam safar, seorang musa>fir harus secara konsisten memenjatkan do’a kepada Allah, Sang Wujud Mutlak. Baginya, do’a tidak hanya diposisikan sebagai ibadah yang diperintahkan Allah, lebih dari itu, do’a merupakan kemanfatan murni, dan dengan do’a pula ridha-Nya menjadi nyata. Dalam Risa>lat al-‘Ahd ia menyatakan, “Do’a dengan ikhlas adalah senjata”.268

Tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa memerlukan waktu yang banyak untuk dapat “mendudukkan” cakrawala pemikiran filosofis Ibn Sab‘i>n yang begitu luas secara utuh. Di balik kata-kata dan kalimat-kalimat simbolis dalam karya-karyanya, ternyata tersimpan begitu banyak buah pemikirannya yang relevan layak untuk terus didiskusikan, khususnya pemikiran etika. Meski terkesan tumpang tindih antara satu konsep dengan konsep lainnya -bahkan seringkali ia menggunakan kalimat yang berbeda untuk menyebut sesuatu yang bermakna sama-, pemikirannya tetap menggambarkan sebuah khazanah keilmuan yang dalam dan integratif. Berbagai tradisi pemikiran filosofis ia ramu sedemikian rupa, Yunani Kuno, Persia, Kristen, dan tentu saja filsafat Islam, menjadi sebuah sintesis pemikiran yang cemerlang di masanya. Poin penting dari pembahasan tentang peta intelektualisme Ibn Sab‘i>n adalah bahwa, seluruh pemikiran filosofis-sufistik yang digagasnya, selalu ditujukan demi tercapainya al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak), gagasan monumentalnya.

Konsep-konsep besar Ibn Sab‘i>n di atas yang terangkum dalam gagasan Kesatuan Mutlak-nya, tentu akan sangat menentukan arah paradigmatik pemikiran klasifikasi ilmunya. Oleh karena itu, bab selanjutnya merupakan

265 Lihat misalnya Moh. Fudholi, “Konsep Zuhud al-Qushayri> dalam Risa>lat al-

Qushayri>yah,” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam vol. 1 no. 1 (Juni, 2011), 38-54. http://teosofi.uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/download/156/144 (diakses pada 06 November 2011).

266 Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 236-7. 267 Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 234. 268 Ibn Sab‘i>n, Risa>lat al-‘Ahd, 98. Lihat juga komentar salah seorang muridnya

terhadap pernyataan tersebut dalam Sharh} Risa>lat al-‘Ahd, 163.

Page 115: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

103

upaya teorisasi terhadap konstruk pemikiran klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n sebagai objek studi, dengan segenap basis filosofis yang mendasarinya. Di akhir, sebagai implikasi teoritis dan langkah kontekstualisasi dari upaya ini, refleksi atas konstruk pemikiran klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n tentu menjadi sangat penting.

Page 116: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

104

Page 117: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

105

BAB IV PSEUDO-HIERARKI: GAGASAN IBN SAB‘I<N TENTANG KLASIFIKASI

ILMU

Kajian atas klasifikasi ilmu dalam pandangan Ibn Sab‘i>n, merupakan upaya teorisasi atas pandangannya terhadap ilmu pengetahuan. Analisis pada bab ini menekankan pada pandangan dunia (world view) Ibn Sab‘i>n tentang status ontologis objek ilmu yang secara konseptual akan menjadi basis ontologis klasifikasi ilmu yang digagasnya. Penulis akan mengeksplorasi paradigma pemikiran klasifikasi ilmunya dengan mengkaji pemikiran epistemologi dan basis ontologis pemikiran klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n sebagai lokus pemikiran. Selain itu, pada bab ini pula, deskripsi klasifikasi ilmunya yang ia kelompokkan menjadi tiga bagian besar, al-‘Ulu>m al-Shar’i>yah, al-‘Ulu>m al-Adabi>yah dan al-‘Ulu>m al-Falsafi>yah.

A. Pemikiran Epistemologi

Salah satu keunikan cara berpikir Ibn Sab‘i>n dalam meneguhkan madzhab al-Muh}aqqiq-nya ialah, dalam setiap analisis, ia selalu mengangkat pemikiran dan pandangan metodologis empat komunitas intelektual yang dominan di masanya, fuqaha>’, teolog (ash‘ari>yah), filosof dan Sufi. Klasifikasi ini sejalan dengan pandangan Nuseibeh yang mengklasifikasikan madzhab-madzhab epistemologi Islam kepada empat kelompok1 yaitu, pertama kalangan konservatif yang menggunakan pendekatan tekstual dari al-Qur’an dan Sunnah, kalangan ini diwakili oleh fuqaha>’, Mufassir dan ahli bahasa, kedua, kalangan teolog defensif yang menggunakan pendekatan dialektis, kelompok ini diwakili oleh mutakallimu>n, ketiga kalangan rasionalis yang menggunakan pendekatan filsafat, diwakili oleh para filosof, dan keempat kalangan sufistik yang menggunakan pendekatan intuitif dan mistisime, kelompok ini diwakili oleh para Sufi.

Satu persatu pandangan keempat komunitas intelektual itu oleh Ibn Sab‘i>n analisis kemudian mengkritiknya. Dengan cara berpikir seperti demikian, ia tidak lantas hanya melakukan kritik secara “membabi buta”, tetapi melakukan akomodasi terhadap berbagai pemikiran keempat komunitas intelektual tersebut, menyatukan pemikirannya, sehingga menghasilkan sintesis konseptual yang khas, yaitu apa yang disebut ‘Ilm al-Tah}qi>q. Sistem pikir Ibn Sab‘i>n seperti inilah yang oleh Cornell disebut sebagai Axial Intellect (intelek berporos).2 Ia menggambarkan sikap akomodatifnya dengan mengatakan bahwa

1 Sari Nuseibeh, “Epistemologi,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam

Buku Kedua, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), 1139-1149.

2 Vincent J. Cornell, “The Way of the Axial Intellect: The Islamic Hermetism of Ibn Sab‘i>n” Journal of the Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society Vol XXII (1997), 41-79.

Page 118: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

106

seorang muh}aqqiq harus menyandarkan seluruh amal perbuatannya kepada Fuqaha>’, cinta terhadap syari’at kepada teolog, tradisi keilmuan dan kebudayaan kepada filosof, dan muka>shafah kepada kalangan Sufi.3

Istilah ‘ilm al-tah}qi>q di sini, tentu tidak dimaknai sebagai ‘ilm al-tah}qi>q dalam bidang filologi. Di mana dalam bidang filologi lebih tepat disebut dengan istilah ‘ilm tah}qi>q al-nus}u>s}, ‘ilm tah}qi>q al-tura>th atau studi naskah.4 Artinya, ‘ilm tah}qi>q al-nus}u>s} secara umum merupakan padanan kata bagi bidang filologi, yaitu suatu kajian yang bertugas untuk menelaah dan menyunting naskah agar dapat diketahui “hakikat” isinya.5

Kendati Ibn Sab‘i>n bersikap akomodatif terhadap pandangan keempat komunitas intelektual di atas, dalam masalah pencapaian kebenaran hakiki (al-h}aqi>qah), ia justru melakukan kritik terhadap keempat komunitas itu dengan menyatakan bahwa Fuqaha>’, teolog, Sufi dan filosof seringkali “ceroboh” dalam mencapai hakikat. Menurutnya, hal ini disebabkan karena mereka terjebak dalam ilusi-ilusi (awha>m) metodologis yang selalu mereka gunakan. Oleh karena itu, dalam sistem epistemologi ‘ilm al-tah}qi>q-nya, Ibn Sab‘i>n menyebut sembilan kategori ilusi (wahm) yaitu:6 akal/intelek (al-‘uqu>l), pengetahuan (al-‘ilm), analogi (al-qiya>s), definisi (al-h}add), jiwa (al-nafs), kebiasaan (al-‘a>dah), relasi (al-id}a>fah), waktu (al-zaman), dan tempat (al-maka>n).

Yang menarik untuk dikaji ialah bagaimana konstruk epistemologis Ibn Sab‘i>n yang dibangun dari konsepnya ‘ilm al-tah}qi>q dan mant}iq al-tah}qi>q, melalui kajian intensif terhadap hakikat pengetahuan (al-‘ilm). Langkah pertama yang dilakukan untuk meneguhkan bangunan epistemologinya ini adalah dengan melakukan analisa metodologis terhadap berbagai konsepsi pengetahuan yang diusung oleh keempat komunitas intelektual tadi, fuqaha>’, teolog, filosof dan Sufi.

Konsepsi tentang definisi pengetahuan (‘ilm) pertama yang ia kritik ialah pandangan kalangan fuqaha>’. Ibn Sab‘i>n mendefinisikan pengetahuan menurut fuqaha>’ sebagai “Apa yang dipahami dari pesan Allah dan Rasul-Nya”, atau “Mengetahui hukum-hukum syari’at yang dihasilkan melalui Ijtihad”.7

https://www.academia.edu/7630212/The_Way_of_the_Axial_Intellect_The_Islamic_Hermetism_of_Ibn_Sabin (diakses pada 22 Agustus 2014).

3 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, tah}qi>q George Kitturah (Beirut: Da>r al-Andalus dan Da>r al-Kindi>, 1978), 340. Lihat juga Muh}ammad Ya>sir Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni> (Damaskus: Wiza>rat al-Thaqa>fah, 1990), 141-2.

4 Lihat Ramad}an ‘Abd al-Tawwa>b, Mana>hij Tah}qi>q al-Tura>th bayna al-Qada>má wa-al-Muh}addithi>n (Kairo: Maktabat al-Kha>naji>, 1985), 3.

5 ‘Abd al-Tawwa>b, Mana>hij Tah}qi>q, 5-6. Lihat juga misalnya Nabilah Lubis, Naskah Teks dan Metode Penelitian Filologi (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2007), 18

6 Ibn Sab‘i>n, Risa>lat al-Alwa>h} dalam Ah}mad Fari>d al-Mazi>di> (ed./muh}aqqiq), Rasa>’il Ibn Sab‘i>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007), 252. Juga Muh}ammad Ya>sir Sharaf, al-Wah}dah al-Mut}laqah ‘inda Ibn Sab‘i>n (Beirut: Al-Markaz al-‘Arabi> li-al-T{aba>‘ah wa-al-Nashr, 1981), 124.

7 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 98.

Page 119: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

107

Menurutnya, definisi pengetahuan dari kalangan fuqaha>’ ini benar asalnya namun keliru dalam cabangnya (s}a>lih} al-as}l fa>sid al-far‘, s}a>diq al-jins ka>dhib al-naw‘) karena definisi ini tereduksi dalam sudut pandang fuqaha>’ dan keliru dalam menganalogikan sesuatu. Dalam istilahnya, fuqaha>’ seringkali menganalogikan “hari ini” dengan “hari kemarin”.8 Artinya, secara metodologis, fuqaha>’ telah keluar dari kebenaran ‘ilm al-tah}qi>q.

Sedangkan kalangan teolog -khususnya kelompok Ash‘ari>yah- memandang bahwa untuk mengetahui sesuatu bisa dengan empat jalan metodologis, yaitu dengan panca indera (al-h}awa>s), dengan pengetahuan yang sudah jelas atau self-evident (bi-al-badi>hi>), informasi (al-khabar) dan dengan bukti (al-dali>l).9 Dilihat dari segi ilmu sebagai ilmu (qua-ilmu), bagi Ibn Sab‘i>n pengertian ini pun tidak tepat karena ketidak jelasan pandangan teolog tersebut. Karenanya, ia menyebut bahwa pandangan teolog mengenai ilmu “keliru asalnya dan buruk cabangnya” (fa>sid al-as}l qabi>h} al-far‘) serta jauh dari kebenaran sejati.10

Kemudian ia juga melakukan kritik terhadap pandangan dan metodologi kalangan Sufi. Menurut muridnya yang mengomentari karya Risa>lat al-‘Ahd, terdapat tiga metodologi berpikir utama kalangan Sufi, pertama, proposisi awal ialah mengikuti fuqaha>’ dalam berbuat dan teolog dalam berkeyakinan. Kedua, kesempurnaan hanya bisa dicapai dengan kejujuran, keikhlasan dan menjauhkan dari hal-hal duniawi, dan ketiga pandangan bahwa kesempurnaan ada dalam sikap berpaling dari selain Allah dan menghiasi diri dengan sifat-sifat Allah.11 Bagi Ibn Sab‘i>n, pandangan ini pun dalam perspektif ‘ilm al-tah}qi>q tidak akan mencapai kebenaran sejati karena masih terjebak dalam ilusi kemajemukan.12

Tentu saja, di antara empat kalangan tersebut, kalangan filosoflah yang pandangan-pandangan metodologisnya paling banyak dikritik, hingga ia mengatakan bahwa kalangan filosof ialah orang yang “banyak senjatanya namun sedikit tanduknya (kekuatan diri)”.13 Ungkapan ini ia katakan setelah melakukan analisis-kritis terhadap wacana-wacana yang berlaku dalam tradisi logika formal Aristotelian seperti pembahasan tentang definisi, analogi, premis-premis, Isagoge (I<sa>ghu>ji>) dan sepuluh kategori (al-maqu>la>t al-‘ashrah).14 Lebih dari itu, ia pun menyatakan bahwa kekurangan-kekurangan dalam tradisi logika formal Aristotelian yang muncul dari “kecerobohan” kalangan filosof harus ditinggalkan karena justru akan semakin menjauhkan seseorang dari kebenaran sejati dan Kesatuan Mutlak.

8 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 111. 9 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 103. 10 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 111. 11 Sharh} Risa>lat al-‘Ahd dalam Ibn Sab‘i>n, Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed. Ah}mad Fari>d

al-Mazi>di> (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007), 118. 12 Lihat kritiknya terhadap metodologi berpikir kalangan Sufi dalam Budd al-

‘A<rif, 127-135. Juga Sharaf, Al-Wah}dah al-Mut}laqah ‘inda Ibn Sab‘i>n, 127. 13 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 96. 14 Lihat Sharh} Risa>lat al-‘Ahd, 117. Tentang kritik Ibn Sab‘i>n terhadap wacana-

wacana logika formal Aristotelian, lihat lengkapnya Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 31-95.

Page 120: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

108

Dalam konteks filsafat, pada umumnya, kalangan Sufi dalam menegaskan pemikirannya memang tidak menggunakan logika formal Aristotelian sebagaimana yang dilakukan oleh para teolog (mutakallimu>n), para filsuf Islam (fala>sifah), termasuk juga fuqaha>’ yang menggunakan pendekatan filsafat dan dilektika bahasa. Sementara itu, para teosof justru tidak hanya menggunakan metode teoritis dan pendekatan filosofis an sich, melainkan juga menggunakan pendekatan intuisi dan kashf (penyingkapan), yang dalam kajian epistemologi Islam disebut ‘ilm h}ud}u>ri> atau knowledge by presence.15 Sebagian teosof mengkritik pedas logika Aristotelian, seperti yang telah dilakukan oleh al-Suhrawardi> al-Maqtu>l (549-587 H./1154-1191 M.),16 sang teosof iluminasi dan tentu saja, Ibn Sab‘i>n.

Meski demikian, hal itu tidak hanya berhenti pada sikap kritis yang “membabi buta” dan serampangan. Tetapi justru dengan kritik konstruktif dan produktif, para teosof mampu menawarkan sistem epistemologi dan logika tandingan sebagai ganti atas logika Aristotelian yang telah dihancurkannya. Al-Suhrawadi> misalnya, mengkonstruksi logika iluminasi (al-mant}iq al-ishra>qi>), dan Ibn Sab‘i>n membangun ‘Ilm al-Tah}qi>q. Konstruksi logika baru tersebut -bagi mereka- paling layak untuk digunakan dalam meraih kebenaran hakiki.

Dalam karya monumentalnya, Budd al-‘A<rif, ia secara panjang lebar membahas, menelaah dan melakukan kritik terhadap logika Aristotelian. Lebih dari dua pertiga karya itu, ia secara khusus melakukan dekonstruksi terhadap isu-isu logika formal (form logic). Sistematika penulisannya cukup sederhana dalam melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap logika yang dianut kalangan filsuf Peripatetik itu, yaitu dengan menganalisa persoalan-persoalan logika, mengkritiknya, kemudian ia menawarkan rangka bangun sistem epistemologi baru yang ia sebut sebagai ‘ilm al-tah}qi>q. Inilah yang menurut al-Tafta>za>ni>17 dan Ah}mad Zaru>q18 menjadi ciri khas dari filsafat tasawuf-nya Ibn Sab‘i>n, yang karena itu ia dikategorikan sebagai seorang teosof.

Dalam menegaskan sistem epistemologinya yang disebut ‘ilm al-tah}qi>q, Ibn Sab‘i>n mengangkat persoalan epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara apik ia analisa dalam pembahasan ilmu seperti yang telah dijelaskan di atas. Dengan keluasan pemikirannya, selain analisa dan kritiknya terhadap

15 Mengenai konstruk epistemologi ilmu Hud}u>ri> ini, lihat lengkapnya Mehdi

Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (New York: SUNY Press, 1992).

16 Mengenai logika iluminasi Suhrawardi, lihat Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi and the School of Illumination (Richmonde: Curzon, 1997). Lihat juga Mah}mu>d Muh}ammad ‘Ali> Muh}ammad, al-Mant}iq al-Ishra>qi> ‘inda Shiha>b al-Di>n al-Suhrawardi> (Kairo: Mis}r al-‘Arabi>yah li-al-Nashr wa-al-Tawzi>‘, 1999), khususnya bagian keempat tentang kritiknya terhadap logika Aristotelian. Bandingkan dengan Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990).

17 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 296. 18 Abu> al-‘Abba>s Ah}mad ibn Zaru>q al-Fa>si>, Qawa>‘id al-Tas}awwuf, ed. ‘Abd al-

Maji>d Khaya>li> (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2005), 61.

Page 121: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

109

pandangan epistemologis empat komunitas intelektual di atas, di tempat lain dalam Budd al-A<rif-nya, ia pun mengutip begitu banyak pengertian ilmu dari berbagai sumber yang populer kala itu. Kurang lebih ada 15 definisi ilmu yang dikutip. Namun baginya, berbagai definisi ilmu yang dinyatakan oleh para cendikiawan tersebut sangat rumit, bertele-tele dan menyulitkan orang yang mempelajarinya.19 Baginya, hakikat ilmu hanya bisa diketahui ketika seseorang mampu memahami esensi akal, jiwa dan Kesatuan Mutlak dengan sempurna. Ia mengungkapkan: 20

العـقل والنـفس وماهـيتها والوجـود املطلـق وحقيـقة العـلم تتبـين عنـد معـرفة "

واملقـيد واملقـدر واملـحو والنـظام القديـم والرجـوع واإلنسـالخ عن األنـيات املضـافة " .والذّوات املفـارقة وتقدير العـلل املوضـوعة أوال وفسـاد نظـمها ىف الذّهـن

“Dan hakikat ilmu akan tampak jelas ketika mampu memahami Akal, Jiwa beserta substansinya, Wujud Mutlak, wujud terbatas, wujud yang ditakdirkan –keberadaannya-, kemusnahan –wujud-, aturan azali, kembali dan lepas dari bejana –wujud- yang disandarkan –keberadaannya-, esensi paradoks, dan kepastian sebab-sebab yang telah ditentukan sejak awal serta kehancuran aturannya yang menjelma dalam pikiran.”

Ini berarti, dalam madzhab al-Muh}aqqiq-nya, Ibn Sab‘i>n justru meyakini bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang harus dan bisa dicari (muktasabah), melainkan sebuah pengetahuan intuitif tentang Wujud Mutlak yang satu, dan pengetahuan tentang bagaimana memisahkan Wujud Mutlak tersebut dengan ilusi selainnya.21

Dari sini, apalagi melihat Budd al-‘A<rif, Ibn Sab‘i>n terlihat menggunakan logika sebagai alat untuk mencapai tingkatan spritual setinggi-tingginya. Namun, meski ia lebih banyak menggunakan logika dibanding para mistikus lainnya, ia tidak lekas menjadi seorang rasionalis dalam pengertian modern. Logika sejatinya adalah daya intuitif demi mencapai transendensi. Dari kritik-kritiknya terhadap logika Aristotelian, secara implisit ia mengatakan bahwa para filsuf Peripatetik telah gagal memahami akal.

Dari gambaran singkat pemikiran epistemologi Ibn Sab‘i>n ini kiranya jelas terlihat, bahwa wacana-wacana yang diangkat adalah wacana umum yang juga dibicarakan oleh kalangan filosof, teolog dan fuqaha>’. Perbedaan paling menonjol justru terletak pada cara bagaimana mereka menemukan dan memahaminya. Jika filosof hanya dapat memahami yang tampak dan fenomenal dengan penalaran akal, teolog menemukan pengetahuan melalui berpikir dialektis, dan fuqaha>’ menemukannya dengan pendekatan teks-teks keagamaan, maka Ibn Sab‘i>n dengan perspektif Kesatuan Mutlak-nya berusaha memahami realitas melalui kontak langsung dengan objek pengetahuan.

19 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 92. 20 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 93. 21 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 93.

Page 122: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

110

Pada titik ini, poin penting yang dicapai Ibn Sab‘i>n dalam ‘Ilm al-Tah}qi>q-nya adalah bahwa hakikat-hakikat logika -dalam tradisi Aristotelian- sebenarnya bersifat primordial (fitrah) yang bersemayam dalam setiap entitas jiwa manusia. Sementara definisi, makna-makna tunggal universal, dan kategori-kategori yang mengandaikan pluralitas wujud, semata-mata hanya ilusi. Yang ditekankan dalam logika formal Aristotelian -yang juga baginya merupakan satu kelemahan fatal- adalah adanya pluralitas wujud yang pada hakikatnya bersifat illusi, di mana sejatinya, hakikat wujud adalah satu, yaitu Kesatuan Mutlak. Dari sini, penulis mengasumsikan bahwa gagasan epistemologis, atau ‘Ilm al-Tah}qi>q-nya Ibn sab‘i>n merupakan “tongkat estafet” peneguhan doktrin al-Wah}dah al-Mut}laqah.

B. Basis Ontologis Klasifikasi Ilmu: Menelusuri Status Wujud Objek

Pengetahuan Jika ditelusuri hingga titik yang terdalam, rasanya tidak berlebihan jika

dikatakan bahwa tugas utama sebuah epistemologi, atau filsafat pengetahuan, adalah menunjukkan bagaimana suatu ilmu itu mungkin secara filosofis. Jika ilmu itu sendiri dimaknai sebagai “pengetahuan tentang sesuatu sebagai mana adanya”,22 berarti tugas utama epistemologi ialah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya” itu mungkin secara filosofis. Namun pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya itu tentu saja hanya mungkin diperoleh jika sesuatu yang dijadikan objek pengetahuan benar-benar diyakini keberadaannya. Tidak mungkin “sesuatu” itu dapat diketahui sebagaimana adanya, jika eksistensinya tidak diyakini.23 Inilah yang kemudian dimaksud dengan status ontologis objek ilmu.

Dengan pandangan tersebut, kajian mengenai status ontologis dari objek apa pun yang akan diteliti dan diketahui menjadi penting, bahkan sebelum membahas klasifikasi dan metode ilmu pengetahuan. Asumsi ini mengemuka karena, pembahasan tentang status ontologis objek ilmu akan menjadi basis bagi sebuah bangunan epistemologi mana pun. Tentu saja, pembahasan status ontologis objek ilmu juga akan menjadi “setir” bagi rangka bangun ontologis sebuah klasifikasi ilmu.

Diskusi tentang status ontologis ini sebenarnya tidak akan begitu urgen jika saja tidak terjadi semacam deviasi yang dilakukan oleh filsafat Barat terhadap konstruk epistemologi, khususnya klasifikasi ilmu. Akibat deviasi tersebut, pada saat ini mengemuka dua sistem epistemologi yang secara fundamental berbeda satu sama lain, epistemologi Barat modern sekuler dan epistemologi Aristotelian, termasuk di dalamnya epistemologi Islam.24 Pangkal perbedaan ini tentu adalah perbedaan yang radikal dari cara memandang status

22 Lihat misalnya Abu> Ish}a>q al-Shi>ra>zi>, al-Luma‘ (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1985), 1. Lihat juga Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 92. Juga Ibn H{azm, al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Fiqh vol. 1 (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 1984), 40.

23 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), 30.

24 Lihat Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, 30-1.

Page 123: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

111

ontologis objek-objek ilmu di antara keduanya. Diferensiasi itu semakin terlihat jelas ketika dua epistemologi ini “berhadap-hadapan” secara paradoks dan kontradiktif.

Setelah melalui proses panjang, khususnya setelah masa Renaissans, epistemologi Barat akhirnya cenderung menolak status ontologis objek-objek metafisik, dan lebih memusatkan perhatiannya pada objek-objek fisik, atau apa yang disebut oleh Comte (1798-1857), seorang filsuf Perancis, dengan “positivistik”.25 Kecendrungan ini pada akhirnya membuat epistemologi Barat hanya bercirikan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme mengindikasikan penekanan yang kuat terhadap rasio, sekaligus menolak berbagai hal yang irasional. Sehingga pada gilirannya, unsur-unsur yang irasional seperti yang banyak ditemukan dalam agama dan mistisme, cenderung ditolak dan hanya dipandang tidak lebih dari sebuah ilusi dan halusinasi.26 Sementara materialisme -dengan berbagai perkembangan konsepnya-, mengindikasikan bahwa yang dianggap riil adalah fakta, bukan makna. Fakta empirik menjadi ukuran kebenaran, sementara hal-hal yang non empirik, metafisik dan abstrak hanyalah sebuah ilusi.27

Di lain pihak, secara holistik, epistemologi Islam justru mengakui dan mempertahankan status ontologis tidak hanya objek fisik, tetapi juga objek-objek matematik dan metafisik. Epistemologi Islam datang dengan menekankan totalitas pengalaman dan kenyataan serta menganjurkan banyak cara untuk mempelajari alam, sehingga ilmu bisa diperoleh dari wahyu maupun akal, dari observasi maupun intuisi, tradisi maupun spekulasi teoritis. Maka dengan hal ini, epistemologi Islam menekankan pencarian semua bentuk ilmu pengetahuan dalam kerangka nilai abadi yang menjadi landasan utama peradaban Muslim.28.

25 Auguste Comte dikenal sebagai pendiri “madzhab” positivisme setelah pada

tahun 1930 ia merampungkan magnum opus-nya berjudul Cours de Philosophie Positive. Lihat H. James Birx (ed.), Encyclopedia of Time: Science, Philosophy, Theology and Culture vol. 1 (California: Sage Publications Inc., 2009), 206-7. Bandingkan dengan Edward Craig (ed.), The Shorter Routledge Encyclopedia of Philosophy (New York and London: Routledge, 2005), 134.

26Brain Hines menyatakan, bagi kaum materialis, kebenaran spritual sebagaimana yang dialami dalam pengalaman mistik tidak lebih dari sekedar halusinasi. Brain Hines, Gods Whisper, Creation’s Thunder (Bratleboro, Vermont: Threshold Books, 1996), 135. Lebih lanjut bahkan, kebenaran wahyu yang pada dasarnya diterima oleh intuisi atau hati ditolak otoritasnya oleh masyarakat Barat modern karena dianggap menggunakan metode non-rasional. Lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu Dalam Perspektif Filsafat Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003) xvii.

27Sigmund Freud (1856-1939), dalam karyanya, The Future of an Illusion, trans. and ed. James Strachey (New York: W.W. Norton & Company, 1961), 65-67, menyatakan, bahwa cepat atau lambat, ajaran-ajaran agama akan segera ditinggalkan oleh masyarakat modern karena ketidakrasionalannya.

28Ziauddin Sardar, How Do You Know? Reading Ziauddin Sardar on Islam, Science and Cultural Relations, ed. Ehsan Masood (London: Pluto Press, 2006), 137-138. Lihat juga Lihat Patricia Horvatich, “Ways of Knowing Islam,” American Ethnologist Vol. 21, No. 4 (November, 1994), 811-826. http://www.jstor.org/stable/

Page 124: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

112

Perbedaan cara pandang dan keyakinan terhadap status ontologis ini tentu saja telah menimbulkan perbedaan yang signifikan antara kedua sistem epistemologi tersebut dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan wacana klasifikasi ilmu dan metode ilmiah.

Dalam hal ini, meskipun menganut pandangan ontologis Kesatuan Mutlak, Ibn Sab‘i>n, sama halnya dengan kalangan filosof Muslim (fala>sifah), mengakui dan meyakini keberadaan (status ontologis) tidak hanya objek-objek fisik, tetapi juga objek-objek metafisik. Lebih dari itu, dalam magnum opus-nya, Budd al-‘A<rif, ia secara serius juga menyusun sebuah hierarki dan atau gradasi wujud (tarti>b al-mawju>da>t) sebagai bukti konseptual pengakuannya terhadap berbagai eksistensi secara ontologis. Dalam pembahasan selanjutnya, akan dieksplorasi bagaimana Ibn Sab‘i>n dengan al-Wah}dah al-Mut}laqah-nya memandang status ontologis dari realitas-realitas dan berbagai fenomena. Tentu saja, pandangannya ini akan sangat menentukan bagi konstruk dan paradigma gagasan klasifikasi ilmunya.

1. Tuhan di Puncak Hierarki

Dalam karya monumentalnya, Budd al-‘A<rif, Ibn Sab‘i>n secara khusus menempatkan kajian tentang gradasi atau hierarki wujud ini dalam satu pembahasan. Sebenarnya, pemikirannya tentang gradasi wujud ini dapat ditelusuri dari teori emanasinya sebagaimana yang telah disinggung pada bab sebelumnya. Jika dalam teori emanasinya terdapat dua bentuk emanasi, yaitu, emanasi kulli>ya>t dan juz’i>ya>t, maka begitu juga dalam gradasi wujud. Pertama, emanasi kulli>ya>t, yaitu munculnya alam secara global dari Yang Esa. Kedua, juz’i>ya>t, yakni munculnya alam secara parsial dari Yang Mutlak. Di sini, Ibn Sab‘i>n melihat Yang Esa adalah sebagai penyebab (‘illah) bagi kemunculan segala mawju>da>t.29

Dalam emanasi kulli>ya>t, yang pertama muncul dari Yang Esa (Allah) adalah akal universal (al-‘aql al-kulli>) sebagai “yang pertama diciptakan” (al-mubda‘ al-awwal), kemudian secara beruntut muncul jiwa universal (al-nafs),30 watak fisik (al-t}abi>‘ah), materi (al-hayu>la>), tubuh absolut (al-jism al-mut}laq), bintang (al-falak), unsur-unsur pembentuk (al-arka>n),31 dan generasi-generasi yang dilahirkan (al-muwallada>t). Emanasi dari Yang Awal dan seterusnya dalam

646841 (diakses pada 08 Mei 2014). Dalam perspektif filsafat Islam, epistemologi merupakan perkembangan dari konsep ‘Ilm, Ma’rifah dan H{ikmah -dengan berbagai derivasinya- yang terdapat dalam al-Qur’an. Lihat Peter S. Groff, Islamic Philosophy A-Z (Edinburg: Edinburg University Press, 2007), 33.

29 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 205-7. Juga Yunasril Ali, “Ibn Sab‘i>n” dalam Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Tasawuf jilid II (Bandung: Angkasa, 2008), 533-4.

30 Ibn Sab‘i>n memaknai jiwa sebagai esensi spritual non-material (jawhar ru>h}a>ni>). Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 156.

31 Yang dimaksud unsur-unsur di sini adalah al-‘ana>s}ir al-arba‘ah (empat unsur) yakni api, tanah, air dan udara. Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 114.

Page 125: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

113

kapasitas menurun dan semakin mengurangi kesempurnaan pancaran itu sendiri.32

Berbeda dengan emanasi kulli>ya>t, emanasi juz’i>ya>t ialah semacam evolusi alam tingkat terendah menuju pada Yang Mahasempurna. Ia mencontohkan emanasi ini dimulai dari benda-benda inorganik (al-ma‘dan), kemudian berlanjut secara berurutan kepada tumbuhan/flora (al-naba>t), fauna (al-h}ayawa>na>t), jiwa yang berakal (al-nafs al-na>t}iqah), akal aktif (al-‘aql al-fa‘a>l), akal-akal murni (al-‘uqu>l al-mujarradah), hingga sampai kepada Allah, Sang Mahamutlak. Contoh lain yang ia kemukakan untuk menjelaskan emanasi juz’i>ya>t ini ialah emanasi yang dimulai dari benda mati/inanimate body (al-jama>d), kemudian berlanjut secara evolutif kepada benda yang dapat tumbuh (al-na>mi>), benda peka/sensitive body (al-h}asa>s), makhluk berakal/reasonable body (al-‘a>qil), makhluk arif bijaksana (al-h}aki>m), Nabi (al-nabi>), Malaikat (al-malak), hingga sampai ke Allah.33

Dari paparan teori emanasinya di atas, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa bagi Ibn Sab‘i>n, terdapat tiga realitas yang ada dalam hierarki wujud. Wujud Tuhan berada di puncak hierarki, kemudian disusul dengan wujud-wujud imateriil, seperti akal/intellect dan jiwa/nous, yang menghubungkan wujud di atasnya (wujud Tuhan) dengan wujud di bawahnya, yaitu wujud-wujud fisik yang berada di dasar hierarki.

Hal ini sedikit berbeda dengan skema hierarki wujud yang dinyatakan oleh al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.), di mana ia menyusun wujud kepada empat tingkatan secara hierarkis yaitu, Tuhan sebagai sebab awal di puncak hierarki, kemudian malaikat sebagai wujud yang murni imateriil, benda-benda langit (calestial), dan terakhir benda-benda bumi (terrestial).34 Meski demikian, menurut penulis, dalam hierarki wujud Ibn Sab‘i>n, wujud malaikat dalam hierarki al-Fa>ra>bi> masuk dalam kategori benda-benda imateriil yang berada di bawah wujud Tuhan. Sementara benda-benda langit dan benda-benda bumi, dikategorikan ke dalam benda-benda fisik di dasar hierarkis. Hal ini diungkapkan oleh Ibn Sab‘i>n bahwa bintang-bintang, yang termasuk benda-benda langit merupakan jasad/benda yang mengelilingi alam (al-falak jism yuh}i>t} bi-al-‘a>lam).35

Dimulai dengan Tuhan di puncak hierarki, dengan perspektif Kesatuan Mutlak, Tuhan merupakan agen/subjek dan pencipta segala sesuatu.

32 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112. 33 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112. Gradasi wujud yang hampir serupa juga

ditemukan dalam pemikiran Ibn ‘Arabi>. Namun perbedaannya, dalam gradasi wujud Ibn ‘Arabi>, setiap tingkatan wujud selalu disandingkan dengan nama-nana Allah yang terangkum dalam al-Asma>’ al-H{usna>. Lihat lengkapnya Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Ha>kadha> Takallama Ibn ‘Arabi> (Kairo: al-Hay’ah al-Mis}ri>yah al-‘A<mah li-al-Kita>b, 2002), 185-6.

34 Lihat lengkapnya Abu> Nas}r al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah al-Fa>d}ilah, ed. Albi>r Nas}ri> Na>dir (Beirut: Da>r al-Mashriq, 1968), 37-80

35 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 198.

Page 126: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

114

Sebagaimana para filosof seperti al-Kindi> dan al-Fa>ra>bi>,36 Ibn Sab‘i>n juga meyakini bahwa Tuhan juga merupakan sebab pertama bagi wujud yang lain, termasuk wujud alam materiil dan imateriil ini tidak lain adalah akibat-akibat-Nya.37 Dari sudut ontologis, Tuhan, sebagai subjek dan pencipta segala sesuatu, serta sebagai sebab pertama, tentu jauh lebuh utama dari status ontologis alam fisik dan alam imateriil, karena alam fisik dan imateriil ini justru merupakan akibat atau derivat dari Tuhan. Tentu saja, status pencipta dan sebab akan lebih tinggi dibandingkan yang diciptakan dan akibatnya, karena tidak bisa dibayangkan adanya yang diciptakan dan akibat jika tidak ada pencipta atau sebab. Oleh karenanya, dapat dipahami jika Ibn Sab‘i>n memandang bahwa meskipun wujud Tuhan bersifat ruh}i>, Dia lebih riil dan fundamental dari pada wujud fisik materiil.

Terlepas dari terpengaruh atau tidaknya Ibn Sab‘i>n oleh pandangan para pendahulunya dari kalangan filosof, pandangannya ini tentu sama secara substantif dengan misalnya pandangan Ibn Si>na> (370-428 H./980-1037 M.) dan al-Kindi> (185-252 H./796-866 M.). Ibn Si>na>, menyatakan bahwa Tuhan merupakan Wa>jib al-Wuju>d (Wujud Niscaya) yang dipersandingkan dengan status ontologis alam sebagai Mumkin al-Wuju>d (Wujud Potensial).38 Sebagai wujud yang mungkin dalam arti potensial, keberadaan alam sangat bergantung pada Wujud Niscaya yang selalu aktual. Tanpa adanya Wujud Aktual ini, alam sebagai wujud potensial akan tetap berada dalam keadaan potensial. Alam memang tidak mustahil untuk mengada, tetapi ia hanya bisa ada apabila ada wujud lain yang telah aktual, yang dapat mengubah potensi “ada” alam itu menjadi aktualitas. Dari pandangan Ibn Si>na> ini, tentu status ontologis Tuhan sebagai Wa>jib al-Wuju>d Yang Selalu Aktual, lebih tinggi, rill dan bahkan lebih fundamental dibanding alam semesta yang hanya memiliki potensi untuk mengada.

Juga al-Kindi> yang mendeskripsikan Tuhan sebagai Sang Penggerak Yang Tanpa Digerakkan (The Unmoved Mover). Jika Ibn Si>na> menjelaskan tentang asal-usul keberadaan alam semesta, al-Kindi> dengan gagasannya itu menunjukkan asal-usul gerak alam semesta yang tanpa-Nya tidak dapat terbayangkan oleh akal, bagaimana alam bisa bergerak.39 Lagi-lagi, pandangan al-Kindi> ini pun mengindikasikan bahwa status ontologis Tuhan lebih riil dan lebih fundamental dibanding alam selain-Nya. Karena, sementara Tuhan adalah agen (al-fa>‘il), pelaku atau subjek, alam semesta justru adalah objek (al-maf‘u>l) yang hanya menerima akibat dari action Tuhan. Pada titik ini, pandangan Ibn

36 Lihat al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 37. Lihat juga Mulyadhi Kartanegara,

Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), 32-7. 37 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112. Juga Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu,

201. 38 Lihat Kartanegara, Menembus Batas Waktu, 34-5. 39 Ian Richard Netton, Allah Transcendent: Studies in the Structure and

Semiotics of Islamic Philosophy, Theology and Cosmology (London and New York: Routledge, 1989), 51-4. Ide bahwa Tuhan adalah Penggerak memang berasal dari Aristoteles yang kemudian memengaruhi banyak filosof sesudahnya, termasuk al-Kindi>.

Page 127: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

115

Sab‘i>n pun sama dengan al-Kindi>, ia menyatakan bahwa Tuhan adalah agen segala sesuatu (fa>‘il al-kull).40

Selain predikat-predikat di atas, dalam emanasinya, Ibn Sab‘i>n juga mendeskripsikan Tuhan sebagai Pencipta segala sesuatu (mubdi‘ al-ashya>’) dan Pencurah segala kebaikan (mufi>d al-khayra>t) dengan sempurna. Ia juga adalah sebab pertama (al-‘illah al-u>lá) yang mendahului segala sebab penciptaan.41 Dalam hal ini ia menyatakan:

املوجـودات نوعـان كـلّـيات وجزئـيات ؛ فالكلّـيات منها تسـعة مراتب كتسـعة أحاد "

٤٢ " .....؛ أولـها اهللا عز وجلّ فـاعل الكـلّ وخـالق كلّ شـيئ بنـاقص وال تـام فقط بل هو فـوق الـتام ؛ وهو مبـدع األشـياء أنّ الـحق لـيس "

٤٣ " .....ومفـيض الـخريات عليها فـيضا تـاما ألنـه تام وخـريه ال نـهاية له

“Mawju>da>t (yang berada) itu ada dua macam: universal dan partikular. Yang universal ada sembilan tingkatan (secara hierarkis) sebagai sebuah satu kesatuan. Tingkatan pertama adalah Allah ‘Azza wa-Jalla, Agen segala –penciptaan- dan pencipta segala sesuatu .....” “Sesungguhnya Yang Haqq (Allah) bukanlah kekurangan dan bukan pula kesempurnaan, tetapi Dia di atas kesempurnaan itu. Dia adalah Pencipta segala sesuatu dan Pencurah segala kebaikan –dalam segala sesuatu itu- dengan curahan yang sempurna, karena Dia adalah kesempurnaan itu sendiri, dan kebaikannya tidak terbatas .....” Dengan pandangan ini, tentu saja ia memposisikan status ontologis

Tuhan di puncak hierarki wujud. Bahkan, jika dilihat dalam perspektif Kesatuan Mutlak-nya, status ontologis selain-Nya hanya sebuah ilusi. Dengan al-Wah}dah al-Mut}laqah-nya, Ibn Sab‘i>n menempatkan ketuhanan pada wilayah yang absolut. Artinya, ia ingin menempatkan Tuhan sebagai Kemahaesaan Mutlak yang tidak dapat ditandingi oleh apa pun dan siapa pun. Sebab, Wujud Tuhan menurutnya adalah sumber bagi entitas yang ada dan entitas yang akan ada. Allah adalah sumber bagi semua entitas yang ada pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Wujud materi yang tampak, harus dikembalikan kepada Wujud Mutlak yang bersifat ru>h}i> (spiritual).

2. Wujud Imateriil a. Akal Universal (al-‘Aql al-Kulli>)

Urutan selajutnya dalam pandangan hierarki wujudnya setelah Tuhan ialah wujud-wujud imateriil. Dengan melihat gagasan hierarki wujud dalam emanasi Ibn Sab‘i>n, wujud-wujud imateriil ini berupa akal universal (al-‘aql al-kull) sebagai yang pertama diciptakan (al-mubda‘ al-awwal), dan jiwa/nous -

40 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112. 41 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 201. 42 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112. 43 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 133.

Page 128: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

116

universal- (al-nafs). Keduanya, oleh Ibn Sab‘i>n dalam Budd al-‘A<rif-nya mendapatkan tempat yang khusus karena ia membahasnya lebih elaboratif dibanding wacana lainnya.

Sebelumnya, dalam tradisi filsafat Islam, ada sebuah kesepakatan umum bahwa eksistensi dunia (alam) terbagi menjadi dua: pertama, dunia material, yaitu alam yang tunduk pada hukum penciptaan/generation dan kehancuran/corruption (al-kawn wa-al-fasa>d),44 dan kedua, dunia imateriil, yaitu alam yang berlaku baginya ketentuan berupa pemberi eksistensi dan kehidupan.45 Klasifikasi tersebut pada gilirannya dikembangkan lebih lanjut dalam tradisi sufisme yang diwakili Ibn ‘Arabi> (560-638 H./1164-1240 M.) serta para murid dan pengikutnya seperti al-Kirma>ni> (w. 697 H.) dan al-Na>bulusi> (w 1143 H.), bahwa alam dibedakan menjadi tiga dunia: dunia rohani (alam makna), alam imajinasi (‘a>lam al-mitha>l), dan dunia fisik (alam materi).46 Para filosof, seperti halnya juga Ibn Sab‘i>n, meyakini bahwa sebelum alam fisik diciptakan, keberadaan alam telah ada semenjak azali berdasaran kebijaksanaan Tuhan.47 Meski demikian, keazaliannya tidak dimaknai ketiadaan penciptaan, tetapi justru hendak meneguhkan bahwa hanya Allah-lah yang menjadi Agen Aktif (al-fa>‘il) bagi keberadaan semesta.48 Dengan demikian, alam imateriil (ru>h}a>ni>) ini pada dasarnya, selain pemberi eksistentensi, ia juga Sang Agen Aktif yang senantiasa memberi pengaruh kepada semua wujud yang tergabung dalam alam fisik.

Lalu pertanyaannya, apa yang dimaksud wujud-wujud imateriil atau alam ru>h}a>ni> itu? jika melihat pemikiran gradasi wujud dan emanasi Ibn Sab‘i>n, tentu wujud imateriil adalah wujud-wujud yang mendapat limpahan langsung dari Tuhan, yaitu Akal Universal (al-‘aql al-kull) dan Jiwa Universal (al-nafs). Dalam emanasinya, kedua wujud ini dipandang imateriil dan merupakan pemberi wujud bagi realitas wujud di bawahnya, sebagaimana Tuhan merupakan Pemberi wujud kepada segala sesuatu selain-Nya.

Wujud pertama dalam gradasi wujud dan emanasi Ibn Sab‘i>n yang mendapatkan limpahan langsung dari Allah adalah Akal Universal (al-‘aql al-

44 Tentang hukum penciptaan/generation dan kehancuran/corruption (al-kawn

wa-al-fasa>d) lihat karya Ibn Rushd yang merupakan ringkasan dari karya Aristoteles, Jawa>mi‘ al-Kawn wa-al-Fasa>d, tah}qi>q Abu> al-Wafa>’ al-Tafta>za>ni> dan Sa‘i>d Za>yid (Kairo: al-Hay’ah al-Mis}ri>yah al-‘A<mah li-al-Kita>b, 1994).

45 Charles Genequand, “Metafisika,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Kedua, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), 1095.

46 Lihat William C. Chittick, “Ibn ‘Arabi” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Pertama, 630-2.

47 Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 181. 48 Terkait dengan argumen Ibn Rushd tentang ke-kadim-an alam semesta, lihat

Abu> al-Wali>d Muh}ammad Ibn Rushd, Fas}l al-Maqa>l fi>-ma> bayna al-H{ikmah wa-al-Shari>’ah min al-Ittis}a>l, tah}qi>q Muh}ammad ‘Ima>rah (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1983), 40-3.

Page 129: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

117

kull).49 Secara umum, dalam berbagai teori emanasi yang digagas para filosof Muslim seperti al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.) dan Ibn Si>na> (370-428 H./980-1037 M.), intelek (‘aql) merupakan wujud pertama yang diciptakan Tuhan. Keseluruhan akal dalam sistem tersebut merupakan perwujudan dari proses aktualisasi akal dan pelimpahan wujud dari proses berpikirnya akal tentang dirinya dan Tuhan.50 Dalam konteks ini, tentu Akal merupakan substansi sederhana yang bersifat rohani, meliputi segala sesuatu secara rohani pula. Selain dimaknai sebagai wujud pertama yang diciptakan Tuhan, Akal juga mengacu kepada salah satu kekuatan atau daya rasional manusia, seperti daya tafakkur (berpikir), ra>wi>yah (kontemplasi), nut}q (berbicara/berpikir logis), tamyi>z (pembeda), s}ana>‘, (merancang/mencipta), dan daya lainnya.51

Dalam ranah epistemik, akal merupakan daya jiwa rasional sebagai alat sekaligus sumber pengetahuan. Ia hanya dimiliki manusia saja dan menjadi pembeda dengan makhluk lainnya. Melalui akal, manusia mampu menempati derajat kamuliannya tang tertinggi,52 dan lantaran akal pula, manusia disebut “manusia”. Aristoteles (384-322 SM.) menyebutnya h}ayawa>n na>t}iq (hewan berpikir). Penyebutan ini selanjutnya dianut pula oleh tradisi filsafat Islam.53

Berdasarkan makna di atas, akal merupakan fakultas-fakultas rohani, baik yang dimiliki oleh jiwa manusia (quwa> al-nafs al-insa>ni>yah) maupun Jiwa Universal (quwa> al-nafs al-kulli>yah). Nah, akal bagi alam yang luas inilah dalam tradisi filsafat Islam disebut Akal Universal (al-‘aql al-kulli>). Ia merupakan sumber bagi keseluruhan akal. Sedangkan akal yang dimiliki manusia sebagai sebuah daya rasional disebut Akal Partikular (al-‘aql al-juz’i>), akal yang konektivitasnya dapat terhubung langsung dengan akal yang lebih agung di atasnya.54

49 Mengenai pemikirannya gradasi wujud (tarti>b al-mawju>da>t) lihat Budd al-

‘A<rif, 112. 50 Keterangan tentang akal sejalan dengan teori emanasi para filosof, dapat

dilihat lebih lanjut misalnya, al-Fa>ra<bi>, Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 61-2. Juga Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, cet. 12 (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), 16-17. Juga Netton, Allah Transcendent, 58-65, 114-125 dan 163-172. Lihat juga Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 33-42.

51 Lihat Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ wa-Khula>n al-Wafa>’ vol. 3 ed. Nu>r al-Di>n Ji>wa>kha>n (Mab’á: Nakhbat al-Akhba>r, 1306 H.), 37.

52 Q.S. al-T{i>n [65]: 4-6. Al-Isra>’ [17]: 70. 53 Ah}mad Abu> Zayd, al-Insa>n fi> al-Falsafah al-Isla>mi>yah: Dira>sah Muqa>ranah fi>

Fikr al-‘A<miri> (Beirut: Mu’assasat al-Jami>‘i>yah li-al-Dira>sa>t, 1994), 18. 54 Al-Kindi> berpendapat bahwa akal merujuk kepada empat makna: [1] akal

yang senantiasa aktif, merupakan akal pertama dari pancaran emanatif Tuhan (al-‘aql alladhi> bi-al-fi‘l); [2] akal yang secara potensial berada dalam jiwa manusia (al-‘aql alladhi> bi-al-quwwah); [3] akal yang telah berubah di dalam jiwa, dari potensial menjadi aktual (al-‘aql alladhi> kharaja fi> al-nafs min al-quwwah ila> al-fi‘l); dan [4] akal yang disebut sebagai akal kedua (al-aql al-z}a>hir). ‘Abdurrah}ma>n Badawi> (ed.), Rasa>’il al-Falsafi>yah li-al-Kindi> wa-al-Fa>ra>bi> wa-Ibn Ba>jah wa-Ibn ‘Adi> (Beirut: Da>r al-Andalus, t.t), 1-2.

Page 130: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

118

Selain sebagai wujud pertama yang diciptakan tanpa perantara (awwal mawju>d awjadahu al-Ba>ri> min ghayr wa>sit}ah),55 Akal juga sering disebut Akal Aktif (al-‘aql al-fa‘a>l) yang merupakan sebutan al-Fa>ra>bi> dan Ibn Si>na> bagi Akal X (al-‘aql al-‘a>shir) dalam teori emanasinya. Kadang juga disebut sebagai al-‘aql al-awwal (Akal Pertama),56 yang oleh al-Suhrawardi> (549-587 H./1154-1191 M.) ditujukan kepada Nu>r Awwal (Cahaya Pertama), sebutan lain bagi Nu>r al-Mut}laq (Cahaya Mutlak).57 Istilah lain yang populer dalam tradisi filsafat Islam adalah al-‘Aql al-Kulli> (Akal Universal), istilah yang terakhir inilah yang juga digunakan Ibn Sab‘i>n dalam pemikirannya. Sebutan yang beragam tersebut tentu selaras dengan status ontologis dan perannya sebagai wujud imateriil yang mendapat limpahan langsung dari Tuhan.

Sejalan dengan peristilahan di atas, dalam tradisi Tasawuf, Akal sebagai ciptaan pertama ini menunjuk pada beberapa konsep penting seperti Nu>r Muh}ammad, Ru>h} Muh}ammad, dan Qalam (pena/tempat kalimah Tuhan).58 Penyebutan tersebut jelas bukan tanpa alasan, argumentasinya sesuai dengan teks-teks suci Islam yang dirujuk, salah satunya Hadits Qudsi yang cukup populer: “Law la>ka law la>ka lamma> khalaqtu al-afla>k” (Kalau bukan karenamu Muhammad, niscaya tidak Kuciptkakan alam semesta). Juga Hadits Ja>bir yang sampai ke Nabi (Marfu>‘an), yang diriwayatkan oleh ‘Abd al-Razza>q, bahwa Ja>bir bertanya kepada Nabi Muhammad SAW. tentang apa yang pertama diciptakan Allah SWT. Nabi menjawab “Hai Ja>bir, sesungguhnya Allah telah menciptakan Cahaya Nabimu dari cahaya-Nya sebelum menciptakan segala sesuatu”.59 Nama Muhammad dalam konteks ini, disebut Nu>r Muh}ammadi>yah, wujud pertama yang diciptakan, yang dengannya pula segala makhluk mengada.

55 Wajiyah Ah}mad ‘Abdulla>h, Wuju>d ‘inda Ikhwa>n al-S{afa>’ (Iskandariyah: Da>r al-Ma‘rifah al-Jam‘i>yah, 1989), 215.

56 Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’, 37. 57 Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik (Yogyakarta: LKiS,

2005), 221-229. Lihat lengkapnya Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990).

58 Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006), 71.

59 Muh}ammad al-Zarqa>ni> ibn ‘Abd al-Ba>qi> al-Mis}ri> (al-Zarqa>ni>), Sharh} al-Mawa>hib al-Laduni>yah bi-al-Manh} al-Muh}ammadi>yah li-al-‘Alla>mah al-Qast}ala>ni>, juz 1 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1996), 54. Berikut redaksi lengkap Hadits tersebut:

بأيب وأمي أخربين عن : قلت يا رسول اهللا: وروى عبد الرزاق بسنده عن جابر بن عبد اهللا األنصاري رضي اهللا عنه قال"إنّ اهللا تعاىل خلق قبل األشياء نور نبيك من نوره، فجعل ذلك النور : يا جابرأول شيء خلقه اهللا تعاىل قبل األشياء؟ قال

يدور بالقدرة حيث شاء اهللا تعاىل، ومل يكن يف ذلك الوقت لوح وال قلم وال جنة وال نار وال ملك وال مساء وال أرض وال فخلق من اجلزء األول القلم، : أربعة أجزاءمشس وال قمر وال جن وال إنس، فلما أراد اهللا أن خيلق اخللق قسم ذلك النور

فخلق من اجلزء األول محلة العرش، ومن الثّاين : ومن الثّاين اللّوح، ومن الثّالث العرش، مث قسم اجلزء الرابع أربعة أجزاءالثّاين األرضني، فخلق من األول السماوات، ومن : الكرسي، ومن الثّالث باقي املالئكة، مث قسم اجلزء الرابع أربعة أجزاء

فخلق من األول نور أبصار املؤمنني، ومن الثّاين نور قلوم وهي : ومن الثّالث اجلنة والنار، مث قسم الرابع أربعة أجزاء ".ال إله إال اهللا حممد رسول اهللا إىل آخر: الثّالث نور أنسهم وهو التوحيد املعرفة باهللا، ومن

Page 131: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

119

Dalam menjelaskan posisi akal, seperti pada pembahasan lain, Ibn Sab‘i>n juga sangat mengapresiasi dan mengakomodasi pandangan dari empat kalangan intelektual yang sering ia komparasikan, yaitu Fuqaha>’, teolog, Sufi dan filosof. Pada konteks ini, dalam mengelaborasi konsep al-‘aql, ia cenderung mengikuti pandangan para filosof. Dalam karyanya yang khusus menjawab pertanyaan Frederick II, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, ia mengatakan bahwa Jiwa Rasional (al-Nafs al-Na>t}iqah) yang dimiliki manusia, mempunyai dua daya yang sangat penting yaitu, pertama akal teoritis (al-‘aql al-‘ilmi>/rational intellect) yang membantu manusia dalam menemukan hakikat segala sesuatu, juga bertugas sebagai penyempurna bagi esensi Jiwa Rasional manusia sehingga dengannya menjadi aktual (‘aqli> bi-al-fi‘l), dan kedua akal praksis (al-‘aql al-‘amali>/practical intellect) yang mempunyai peran bagi manusia sebagai “penimbang” dalam melakukan segala perbuatan kemanusiaan.60 Klasifikasi ini tentu sejalan dengan pandangan Aristoteles yang membagi akal kepada dua bagian di atas. Eksistensi kedua akal tersebut menurutnya ialah substansi sederhana dan tidak berbentuk fisik (jawhar basi>t} laysa bi-jism).61

Untuk memperkuat pandangannya di atas, ia mengutip pandangan filosof, bahwa akal dalam tradisi filsafat dimaknai sebagai metode, jalan atau perspektif (anh}a>’).62 Hal ini karena manusia dengan akalnya mampu melakukan berbagai eksperimen terhadap hukum-hukum universal, dan dengan akal pula manusia dapat mempertimbangkan apa yang baik dan buruk baginya.

Tidak cukup sampai di situ, Ibn Sab‘i>n mencoba memodifikasi pengertian akal menurut Aristoteles dalam karyanya Posterior Analytics/al-Burha>n, bahwa akal adalah konsepsi-konsepsi dan konfirmasi-konfirmasi dalam jiwa yang berjalan secara primordial (al-tas}awwura>t wa-al-tas}di>qa>t al-h}a>s}ilah li-al-nafsi bi-al-fit}rah).63 Pengertian ini menurut al-Tafta>za>ni> dinyatakan Ibn Sab‘i>n untuk membedakan akal dari ilmu yang menurutnya bersifat muktasab (acquired/dapat diusahakan [dalam mendapatkannya]).64 Pada titik ini terlihat jelas bahwa status ontologis Akal dalam pemikirannya merupakan substansi imateriil pancaran Tuhan, yang hadir selaras dengan fitrah manusia.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pandangan Ibn Sab‘i>n ini merupakan sintesis besar dari pemikiran-pemikiran filosof tentang Akal. Ikhwa>n al-S{afa>’ (Abad ke 4-5 H./10-11 M.) misalnya, mengemukakan bahwa setidaknya ada empat kualitas yang diterima Akal dari Tuhan tanpa melalui perantara apa pun yaitu: keberadaan (wuju>d), kekekalan (baqa>’), kelengkapan (tama>m) dan

60 Ibn Sab‘i>n, Al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah tah{qi>q Muh}ammad Sharaf

al-Di>n Ya>ltaqa>ya> (Beirut: Al-Mat}ba’ah al-Ka>thu>li>ki>yah, 1941), 71-2. 61 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 113. Pada titik ini, Ibn Sab‘i>n mengakomodasi

pendapat para pendahulunya dari kalangan filosof seperti al-Fa>ra>bi> dan Ibn Si>na> yang meyakini bahwa akal bersifat gradual. Lihat Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 358.

62 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 139. 63 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 139-140. 64 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 358.

Page 132: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

120

kesempurnaan (kama>l).65 Pelimpahan langsung tersebut, baik bagi Ibn Sab‘i>n maupun Ikhwa>n al-S{afa>’, terjadi tanpa gerak maupun waktu, terus menerus, dan sekaligus.66 Hal ini terjadi karena saking dekatnya Akal Universal dengan Sang Pencipta. Karenanya, secara ontologis, Akal disebut sebagai substansi yang abadi, lengkap dan sempurna, bahkan paling sempurna dibanding segenap wujud lainnya yang ada.

Karena itu, Ibn Sab‘i>n pun mengakomodasi pemikiran platonic ideas tentang Akal X bernama Akal Aktif (al-‘aql al-fa‘a>l), yang secara hakiki semuanya merupakan satu kesatuan.67 Bentuk-bentuk segala sesuatu terhimpun pada Akal, sebagaimana Tuhan melingkupi segala sesuatunya. Orang yang berilmu (‘a>lim) misalnya, dalam pikirannya telah tercetak semua gambaran tentang segala sesuatu yang telah diketahuinya. Dalam konteks ini, secara aktif, selain mampu mengetahui secara aktual hakikat segala sesuatu, Akal juga akan memberikan pancaran kepada entitas wujud di bawahnya. Itulah sebabnya, penyebutan Akal dalam tradisi filsafat Islam selalu diikuti kualitas aktif (fa‘a>l) sehingga menjadi Akal Aktif (al-‘aql al-fa‘a>l).

Dalam tradisi filsafat Islam, seperti pendapat al-Fa>ra>bi>, dari sudut filsafat, Akal Aktif ini juga merupakan sebutan lain bagi malaikat Jibril yang mengadakan kontak (ittis}a>l) dengan para nabi atau filosof. Al-Fa>ra>bi> menggambarkan malaikat sebagai “wujud yang benar-benar imateriil”.68 Malaikat juga terkadang disebut nu>r al-aqrab (cahaya paling dekat) dalam filsafat Suhrawardi> (549-587 H./1154-1191 M.), ia muncul dengan intensitas cahaya yang -karena saking dekatnya- hampir sama dengan Tuhan.69 Bahkan, platonic ideas (ide-ide plato) yang tentunya bersifat abstrak, oleh Suhrawardi>

65 Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’, 42. 66 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Ih}a>t}ah” dalam Ah{mad Fari>d al-Mazi>di> (ed./muh}aqqiq),

Rasa>’il Ibn Sab‘i>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007), 195 dan 212. Juga dalam Salinan ‘Abd al-Rah}man Badawi> (ed./muh}aqqiq), Rasa>’il Ibn Sab‘i>n,> (Kairo: Da>r al-Mis}ri>yah li-al-Ta’li>f wa-al-Tara>jim, t.t), 193-211. Inilah yang menjadi alasan Ibn Sab‘i>n menolak teori penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo). Pada titik ini, pandanganya sama dengan pandangan Ibn ‘Arabi> yang juga menolak teori itu. Bagi Ibn Sab‘i>n, entitas pertama sebelum terjadinya emanasi Tuhan terhadap wujud di bawahnya adalah apa yang ia sebut al-qas}d al-qadi>m, sedangkan eksistensi pertama yang ditemukan sejak azali sesuai dengan aturan-aturan azali dinamakan al-niz}a>m al-qadi>m, seperti adanya maksud pertama (alqas}d al-awwal). Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 28 dan 148, juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 204-205.

67 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 140. Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 360-1.

68 Al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 46-7. 69 Sajjad Rizvi, “An Islamic Subversion of the Existence-Essence Distinction?

Suhrawardi>’s Visionary Hierarchy of Light” dalam Asian Philosophy Vol. 9, No. 3 (1999), 219-227. http://www.academia.edu/1385723/An_Islamic_Subversion_of_the_ existence-essence_distinction (diakses pada 07 Januari 2014). Bandingkan dengan Paul E. Walker, “Platonism in Islamic Philosophy,” Studia Islamica No. 79 (1994), 5-25. http://www.jstor.org/stable/1595834 (diakses pada 22 Juli 2013).

Page 133: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

121

juga disebut malaikat.70 Tentu saja dengan pandangan ini, status ontologis Akal Aktif atau malaikat ini dipandang oleh para filosof Muslim lebih tinggi dan riil dibanding wujud-wujud fisik materiil karena memiliki pengaruh langsung terhadap pembentukan alam materi seperti pada pemikiran emanasi Ibn Si>na>.71

Sayyed Hossein Nasr mengemukakan pandangan Ibn Si>na> bahwa proses penciptaan terkait erat dengan fungsi dan signifikansi para malaikat. Malaikat merupakan instrumen penting bagi terwujudnya aktivitas penciptaan. Dalam hal ini, malaikat memiliki beragam fungsi, fungsi penyelamatan, realisasi dimensi spritual dan pencapaian pengetahuan. Bagi Ibn Si>na>, fungsi pemerian eksistensi dan pencapaian pengetahuan adalah sama, sebab melalui kontemplasi tatanan realitas yang lebih tinggi, terciptalah semua tatanan wujud yang lebih rendah.72 Akal pertama ini, yang mendapat limpahan langsung dari Tuhan, disejajarkan atau bahkan disamakan dengan malaikat. Itulah sebabnya, mengapa segenap akal pada proses hierarki emanatif dalam tradisi filsafat Islam tersebut disebut Malaikat, wujud yang mewakili penciptaan dari Tuhan.

Pada konteks lain, dalam dunia materi, Akal Kesepuluh (X) membentuk fungsi-fungsi dasar. Ia tidak hanya memberikan eksistensi pada dunia fisik, tetapi juga secara terus menerus memberikan semua yang telah tergabung dengan materi dalam segenap makhluk fisik. Ketika sebuah makhluk lahir, secara emanatif Akal X memberinya bentuk demi eksistensinya, dan ketika makhluk tersebut binasa, Akal itu mengambilnya kembali dari makhluk tadi. Inilah yang dalam tradisi filsafat Islam disebut bahwa Akal Kesepuluh sebagai s}a>h{ib al-s}uwar (pemberi bentuk [bagi alam fisik]).73

Selain itu, Akal X juga berperan sebagai pemberi cahaya kepada pikiran manusia, sebagaimana ia memberi bentuk kepada segenap wujud. Manusia mengabstraksikan bentuk-bentuk materi yang didapatkannya dari aktivitas “mengindra” ke dalam pikirannya, dan dapat mengangkatnya ke tingkat universal melalui pancaran cahaya yang diterimanya dari Akal X.74 Karena itu, Akal X dalam konsepsi Ibn Si>na> khususnya, dan tradisi filsafat Islam pada umumnya, tidak hanya dipandang sebagai alat mencipta, tetapi juga alat iluminasi intelek. Berbeda dengan konsepsi perenial di atas, dalam konteks astronomi dan kosmologi modern, adanya peran dan signifikansi malaikat dalam

70 Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, 34. 71 Mengenai status ontologis malaikat, lihat Kartanegara, Menyibak Tirai

Kejahilan, 33-5. 72 Sayyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn

‘Arabi> (New York: Caravan Books, 1997), cet. III, 29-30. Bandingkan dengan karyanya yang lain, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (London: Thames and Hudson, 1976), 279-281.

73 Lihat Netton, Allah Transcendent, 169. Lihat juga Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press., 2004), 113-4.

74 Nasr, Three Muslim Sages, 30-1. Dari pandangan ini, lahirlah dalam tradisi filsafat Peripatetik, apa yang disebut sebagai filsafat kenabian. tentang ini lihat misalnya Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, 102-10.

Page 134: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

122

segenap wujud, telah dibuang bagai sampah tak bernilai.75 Bagi segenap sarjana Muslim, konsepsi alam kosmos sangat berkaitan erat dengan ekspresi pewahyuan dan hierarki pengetahuan dalam skema filsafat Islam.76

Diasumsikan bahwa pandangan Ibn Sab‘i>n di atas tentang Akal Aktif ini juga mengindikasikan bahwa, ia pun mengakui bahwa status ontologis malaikat lebih tinggi dibanding status ontologis wujud-wujud materiil di bawahnya. Ia secara eksplisit memasukkan malaikat dalam kategori wujud imateriil, yang mendapat pancaran emanatif langsung dari Tuhan. Hal ini diperjelas lagi dengan salah satu pernyataan Ibn Sab‘i>n ketika menjelaskan hierarki wujud dalam Budd al-‘A<rif-nya,77 bahwa malaikat secara emanatif berada persis di bawah Tuhan (lihat gambar 9). Sementara penamaan malaikat dengan istilah-istilah yang berbeda dari Suhrawardi>, al-Fa>ra>bi>, atau Ibn Si>na>, secara substansial sama.

Dengan demikian, Akal Universal merupakan sebuah kekuatan ilahiah yang karena saking dekatnya dengan Sang Pencipta (al-Mubdi‘), ia menjadi subjek (al-fa>‘il) terhadap semua wujud di bawahnya. Jadi, tentu saja status ontologis Akal Universal yang merupakan salah satu wujud imateriil legitimate, bahkan lebih tinggi dan riil dibanding wujud-wujud materiil di bawahnya. Dalam hal ini, setelah mengangkat pandangan para intelektual tentang Akal, Ibn Sab‘i>n dengan madzhab al-muhaqqiq-nya menyatakan:78

كلّ عقـل إهلـي يعـلم األشياء ألنه عقـل ويدبـرها فألنه إهلـي وذلك أنّ خاصية العقـل " فاملدبـر هو اهللا عز وجلّ وتعـاىل ألنه . عـلم وإنما تـمامه وكمـاله أن يكون مدبـرا عالـما ال

والعقـل هو أول مبـدع ؛ وهو أكـثر تشـبها باإللـه تعـاىل ؛ . أعلى األشـياء من اخلـريات لعقـل فإن اهللا عز وجلّ وعظم يتقـدم ا. فمن أجـل ذلك يدبـر األشـياء الّـىت حتـته

" .بالتدبـري ويدبر األشـياء تدبـريا أرفـع وأعلى “Seluruh Akal itu bersifat ke-Tuhan-an (spritual) –karena berasal dari pancaran Tuhan secara langsung-. Karena ia Akal, maka ia mengetahui segala sesuatu, dan karena ia bersifat ke-Tuhan-an, maka ia mengatur segala sesuatu tersebut. Hal itu karena sesungguhnya keistimewaan –yang dimiliki- Akal adalah Ilmu, dan sesungguhnya kesempurnaan serta kelengkapan Akal ialah sebagai pengatur –segala sesuatu di bawahnya- dan yang mengetahui. Maka sejatinya, pengatur –sesungguhnya- adalah Allah ‘Azza wa-Jalla karena Dia paling tinggi dari segala kebaikan. Sedangkan Akal adalah yang pertama diciptakan (dari pancaran Tuhan secara langsung), karenanya, Akal merupakan entitas yang paling

75 Husain Heryanto. Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam (Bandung:

Mizan, 2011), 278-281. 76 Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 238. Lihat juga

mengenai kosmologi dalam tradisi filsafat Islam, Fuad Mahbub Siraj, “Kosmologi dalam Tinjauan Failasuf Islam,” Jurnal Ilmu Ushuluddin vol. 2 no. 2 (Juli, 2014), 109-124. http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ilmu-ushuluddin/article/download/1007/897 (diakses pada 25 November 2014).

77 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112. 78 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 147-8.

Page 135: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

123

banyak penyerupaannya dengan Tuhan. Oleh sebab itu, Akal mengatur (dengan pancaran emanatifnya) segala sesuatu di bawahnya. Sesungguhnya Allah mendahulukan dalam mengatur Akal, dan mengatur segala sesuatu dengan aturan yang lebih tinggi dan mulia –dibanding Akal-.”

Senada dengan pendangannya di atas, ia tegaskan bahwa sejatinya Akal adalah al-wa>s}il, perantara ontologis antara Tuhan di puncak hierarki, dan wujud-wujud materiil di bawahnya,79 juga sebagai “orang tua” Jiwa (wa>lid al-nafs).

Terlepas dari asumsi bahwa ia terpengaruh atau tidak, dalam masalah ini, Ibn Sab‘i>n terlihat sangat mengapresiasi, bahkan cenderung mengikuti pandangan-pandangan para pendahulunya dari kalangan filosof Muslim. Ia seolah menjadi generasi penerus kalangan filosof Peripatetik dengan pandangan-pandangannya yang syarat dengan Aristotelianisme. Namun perlu ditegaskan di sini, dengan perspektif Kesatuan Mutlak yang sangat ia yakini, baginya Akal hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk gradasi (martabah), sedangkan gradasi-gradasi itu musnah (za>’ilah), dan wujud itu tetap (tha>bit). Jadi, setiap yang tetap adalah h}aqq, dan yang musnah adalah ilusi (wahm).80

Dengan proposisi tersebut, ia menyimpulkan bahwa Akal/intellect hanyalah aksidensi (‘arad}) bagi wujud, sedangkan aksidensi senantiasa berubah dan tidak bisa bertahan lama, karenanya, ‘arad} bukanlah sesuatu yang abadi dan dia bukan wujud. Itu artinya, ia ingin menyatakan bahwa, Akal sama sekali tidak memiliki wujud yang mandiri lepas dari wujud yang tetap. Penyandaran akal kepada wujud yang tetap itu h}aqq, sementara penyandarannya kepada gradasi-gradasi hanyalah ilusi. Inilah yang menjadi perbedaan fundamental antara pandangan Ibn Sab‘i>n dengan para pendahulunya dari kalangan filosof tentang Akal yang sekaligus menjadi kekhasan bagi paradigma ontologis Ibn Sab‘i>n. b. Jiwa (al-Nafs) b.1. Eksistensi Jiwa

Dalam tradisi filsafat Islam, pembahasan tentang jiwa tampaknya menjadi salah satu agenda penting. Ada kesepakatan bahwa Jiwa dalam tradisi pemikiran Islam termasuk unsur utama dalam manusia dan segenap ciptaan-Nya, bahkan banyak pula pendapat yang memandang Jiwa justru merupakan intisari manusia.81 Kenyataan ini juga turut diperkuat oleh kenyataan bahwa hampir semua filsuf besar Muslim mempunyai pandangan khusus tentang al-nafs ini. Sebut saja al-Kindi> (185-252 H./796-866 M.),82 al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-

79 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 149. 80 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h}” dalam salinan al-Mazi>di>, 252. Dalam salinan

Badawi> 199-200. Lihat juga karyanya “Risa>lat al-Tawajjuh” dalam al-Mazi>di, 340. 81 Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, 8. Mengenai karya-karya tulis

monumental para filosof Muslim yang kesemuanya menjadikan kajian tentang Jiwa sebagai salah satu pembahasannya, lihat misalnya Muhammad Ali Khalidi, Medieval Islamic Philosophical Writings (New York: Cambridge University Press., 2005).

82 Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, 8.

Page 136: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

124

950 M.)83 Ibn Si>na> (370-428 H./980-1037 M.),84 Ibn Miskawayh (320–421 H./932–1030 M.),85 Ikhwa>n al-S{afa>’ (Abad ke 4-5 H./10-11 M.),86 Ibn ‘Arabi (560-638 H./1164-1240 M.),87 dan cendikiawan lainnya termasuk juga Ibn Sab‘i>n.

Kajian beberapa filsuf tentang masalah Jiwa merupakan pemahaman filsafat Islam sebagai produk. Gibb dan Kramer misalnya, memaknai al-Nafs dalam pemikiran Islam sebagai istilah yang dalam syair Arab klasik digunakan untuk merujuk diri sendiri atau seseorang, sedangkan ru>h} berarti nafas. Al-Qur’an memaknai nafs dengan jiwa dan ru>h} diartikan sebagai malaikat dan karunia Allah. Pada perkembangan selanjutnya, ru>h} dan nafs digunakan bergantian dan keduanya dipakai pada jiwa manusia, malaikat dan jin.88

Ada beberapa nama penting untuk menunjuk hierarki wujud imateriil setelah Akal Universal ini, antara lain Jiwa Universal (al-nafs al-kulli>yah), Jiwa Universal seluruh Falak (al-nafs al-kulli>yah al-falaki>yah), Jiwa Alam (nafs al-‘a>lam), dan Akal Fasif (al-‘aql al-munfa‘il). Penyebutan demikian tentu saja selaras dengan fungsi, peran dan statusnya emanatifnya di bawah Akal Universal. Penyebutan Akal Fasif misalnya, karena kefasifannya dalam menerima limpahan dari Akal. Meski demikian, dalam hubungannya dengan realitas lain yang status ontologisnya lebih rendah seperti wujud-wujud materiil, ia sangat aktif dan selalu melimpahkan keutamaannya sebagaimana entitas wujud di atasnya.

Pandangan Ibn Sab‘i>n tentang eksistensi Jiwa mengasumsikan, sebagaimana juga pandangan sebagian besar filsuf Muslim seperti al-Kindi> (185-252 H./796-866 M.),89 al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.)90 dan Ibn Miskawayh (320–421 H./932–1030 M.),91 bahwa kendati merupakan substansi rohani sederhana layaknya Intelek, dalam hal tertentu ia sangat berbeda dengan Intelek.92 Dari empat kualitas yang dimiliki Intelek dalam pemikiran Ikhwa>n al-S{afa>’misalnya,93 hanya tiga kualitas saja yang dimiliki oleh Jiwa, yaitu

83 Al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 87-91. Lihat juga Nasution, Falsafah dan

Mistisme dalam Islam, 18. 84 Nasr, Three Muslim Sages, 29-30. 85 Lihat misalnya Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya cet. IV

(Jakarta: Rajawali Press, 2010), 133. 86 Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’, 42. 87 Lihat William C. Chittick, “The View from Nowhere: Ibn ‘Arabi> on the

Soul’s Temporal Unfolding,” dalam Timing and Temporality in Islamic Philosophy and Phenomenology of Life Vol. 3, ed. Anna-Teresa Tymieniecka (Dordrecht: Springer, 2007), 3-9.

88 H.A.R. Gibb and J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1961), 28.

89 Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, 8. 90 Al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 87-91. Lihat juga Nasution, Falsafah dan

Mistisme dalam Islam, 18. 91 Lihat Zar, Filsafat Islam, 133. 92 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 216. 93 Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’, 42.

Page 137: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

125

keberadaan, keabadian dan kelengkapan. Karena itu, ia dinyatakan sebagai substansi abadi dan lengkap, tetapi tidak sesempurna Intelek (Akal Universal), lantaran secara hierarkis, ia berada di bawah Intelek. Selain itu, sebagai kelanjutan emanasi wujud di atasnya, Jiwa menerima pancaran bentuk-bentuk alam, keutamaan dan kebaikan dari Akal Universal agar eksistensinya menjadi sempurna. Sedangkan sebagai pemancar kepada wujud di bawahnya, ia juga memberikan bentuk dan rupa kepada wujud materiil demi kelengkapan materi itu sendiri. Aktivitas Jiwa dalam menerima dan memberikan pancaran emanatif tersebut tidak terputus dan continue.94

Dalam konteks tertentu, tradisi filsafat Islam tampaknya juga menyepakati bahwa Jiwa Universal disebut pula sebagai Jiwa Alam, karena alam adalah sosok manusia besar/makrokosmos (insa>nan kabi>ran). Ketika disebut Jiwa universal, yang dimaksud adalah Jiwa Alam dengan segenap fakultasnya. Jiwa inilah yang menggerakkan secara langsung keseluruhan alam semesta, sebagaimana jiwa manusia merupakan penggerak langsung dan sumber kehidupan bagi tubuh fisiknya. Jiwa ini pula merupakan sumber dan asal bagi seluruh jiwa-jiwa partikular di dunia. Artinya, seluruh makhluk hidup dilengkapi dengan kualitas jiwa partikular tadi dan keseluruhan jiwa partikular di dunia ini adalah entitas rohani yang bersumber langsung dari Jiwa Universal.95 Dengan pandangan ini, cukup beralasan jika Nasr96 dan Chittick97 menyatakan bahwa alam semesta tidak hanya dipandang hidup, tetapi juga memiliki jiwa sebagaimana manusia. Alam semesta tidak hanya memiliki kehidupan fisik, tetapi juga kehidupan rohaninya yang terdalam.

Sama halnya dengan kajian tentang Akal, dalam mengelaborasi status ontologis Jiwa Universal (al-nafs), Ibn Sab‘i>n selalu mengangkat pandangan-pandangan para filosof, baik filosof Yunani kuno, terlebih filosof Muslim. Meski demikian, ia pun tetap mengapresiasi pandangan dari kalangan intelektual lain yang selalu dijadikan perbandingan bagi pandangan-pandangannya yaitu, Fuqaha>’, teolog dan Sufi.

Kendati secara metodik pembahasan Ibn Sab‘i>n tentang Jiwa ini sama dengan pembahasan Akal, namun dilihat dari segi kontennya, terlihat jelas bahwa ia mencurahkan energi lebih banyak untuk menyusun pandangan-pandangannya mengenai Jiwa. Dalam karyanya Budd al-‘A<rif, ia secara apik mengangkat wacana-wacana yang terkait dengan Jiwa, mulai dari eksistensi Jiwa, hakikat Jiwa menurut para cendikiawan, sifat, klasifikasi, keberadaan

94 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 217. 95 Lihat misalnya Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. 3, 43-4. Juga

Sayyed Mohsen Miri, Sang Manusia Sempurna: Antara Filsafat Islam dan Hindu (Jakarta: TERAJU, 2004), 38.

96 Sayyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spritual Crisis in Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), khususnya bagian III.

97 William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2007), 103-6.

Page 138: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

126

sebelum menyatu dengan jasad dan setelah berpisah dari jasad, keabadian, hingga aksiologi Jiwa.98

Tidak hanya itu, dalam karya lainnya yang khusus untuk menjawab pertanyaan filosofis Frederick II, al-Kala>m alá al-Masa>’il al-S{iqi>li>yah, ia pun secara elaboratif mengkaji konsep Jiwa ini. Sebagaimana kesepakatan para peneliti, bahwa konsep Jiwa ini merupakan salah satu dari empat pertanyaan -tepatnya pertanyaan keempat- yang dilontarkan oleh Frederick II kepada Ibn Sab‘i>n.99 Raja Sicilia tersebut menanyakan tentang hakikat, tabi’at dan argumen keabadian Jiwa (ma> al-dali>l ‘alá baqa>’ al-nafs wa-ma> t}abi>‘atuha>?). Keseriusannya dalam mengkaji konsep Jiwa ini tentu tidak lepas dari keyakinannya bahwa tidak mungkin seseorang mengetahui selainnya jika ia tidak memahami jiwanya sendiri.100

Secara umum, pandangan Ibn Sab‘i>n tentang eksistensi dan status ontologis Jiwa sejalan dengan pandangan para filosof Muslim sebagaimana diuraikan di atas. Argumennya tentang keberadaan Jiwa terekam secara eksplisit pada bagian khusus (al-bara>hi>n ‘alá wuju>d al-nafs) dalam karyanya Budd al-‘A<rif. Baginya, Jiwa bukan sebuah aksidensi (‘arad}), melainkan sebuah esensi (jawhar) yang berdiri sendiri sebagai sebuah wujud pancaran dari Tuhan. Jiwa pun sama sekali tidak akan dimasuki sepuluh kategori aksidensi seperti halnya wujud materiil.101

Dengan status ontologisnya yang imateriil ini, Jiwa bersifat abadi karena menerima pancaran wujud langsung dari Akal Universal yang imateriil pula. Sementara dalam hubungannya dengan realitas lain yang status ontologisnya lebih rendah seperti wujud-wujud materiil, ia sangat aktif dan selalu melimpahkan keutamaannya sebagaimana entitas wujud di atasnya. Secara simbolik ia menggambarkan tentang eksistensi jiwa dengan ungkapannya: ـذلّل وغبـطةـدلّل وجـهد التـفس صراط اخلـواص وكوكب القصاص ونور التالن Jiwa adalah jalannya orang-orang istimewa, bintangnya) القـرائن وسراج الكـونorang-orang yang bercerita –tentang hakikat alam semesta-, cahaya dari ketertarikan [cinta] –kepada Sang Wujud Mutlak-, upaya keras dari kerendahan diri, kebahagiaan para kekasih –Tuhan-, dan penerang kosmik).102 Dengan

98 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 149-233 dan 278-akhir. 99 Anna Ayşe Akasoy, “Ibn Sab‘i>n’s Sicilian Questions: The Text, Its Sources

and Their Historical Context,” Journal Al-Qant}ara XXIX, issue 1 (Januari-Juni 2008), 115-146. http://www.al-qantara.revistas.csic.es/index.php/al-qantara/article/viewFile/51/ 45 (diakses pada 26 Februari 2013). Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 108-111. Lihat juga al-Mazi>di>, “al-Muqaddimah” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, 4-5. Bandingkan dengan misalnya Luisa Maria Arvide Cambra, “Ibn Sab‘i>n and The Sicilian Questions,” International Review of Social Sciences and Humanities Vol. 5, No. 2 (2013), 225-228. http://irssh.com/yahoo_site_admin/assets/docs/25_IRSSH-602-V5N2.243105504.pdf (diakses pada 29 April 2014).

100 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 92. 101 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 206-7, 209. 102 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 218.

Page 139: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

127

ungkapannya tersebut, tampak sekali bagaimana peran dan fungsi Jiwa dalam tataran kosmik yang amat penting. Itu artinya, bagi Ibn Sab‘i>n status ontologis Jiwa lebih tinggi dan lebih riil dibanding wujud-wujud materiil di bawahnya.

b.2. Hierarki Jiwa

Dari sekian panjangnya pandangan Ibn Sab‘i>n tentang Jiwa, ada satu pembahasan penting yang menarik untuk dikaji dan tentu saja secara filosofis terkait dengan gagasannya tentang klasifikasi ilmu, yaitu mengenai hierarki Jiwa. Diasumsikan bahwa pandangannya mengenai hierarki Jiwa ini identik –jika tidak dikatakan mirip- dengan pandangan Ibn Si>na> (370-428 H./980-1037 M.) dan Ikhwa>n al-S{afa>’ (Abad ke 4-5 H./10-11 M.) dari kalangan filosof Muslim. Terlepas dari asumsi bahwa ia terpengaruh atau tidak, hal ini tentu semakin memperkuat bahwa Ibn Sab‘i>n sangat mengapresiasi dan bahkan menguasai pandangan para filosof, khususnya dalam konsep Jiwa. Meski demikian, ada perbedaan yang cukup fundamental antara pandangannya dan pandangan para filosof Muslim tersebut. Tentu saja perbedaan ini hadir ketika Ibn Sab‘i>n menegaskan perspektif Kesatuan Mutlak (al-Wah{dah al-Mut}laqah) dan madzhab al-Muh}aqqiq-nya.

Sebagaimana Plato (429-347 SM.) dan filosof Muslim seperti Ibn Si>na> dan Ikhwa>n al-S{afa>’,103 Jiwa -manusia- bagi Ibn Sab‘i>n merupakan varian tertentu dari Jiwa Universal Alam Semesta. Peran, fungsi dan aktivitas jiwa partikular tersebut pada tubuh, merupakan pertanda dan eksistensi manusia seutuhnya.104 Dalam ranah konseptual (i‘tiba>ri>), ia mengklasifikasikan Jiwa menjadi lima bagian sesuai peran dan fungsinya yaitu: jiwa tumbuh-tumbuhan (nafs naba>ti>yah), jiwa hewan (nafs h}ayawa>ni>yah), dan jiwa rasional/manusia (nafs na>t}iqah). Sementara dua jiwa lagi merupakan perkembangan ontologis dari jiwa rasional dengan asumsi bahwa, kesempurnaan jiwa rasional tersebut dalam satu keadaan dapat menjadikannya jiwa filosof/kebijaksanaan (nafs h}ikmi>yah), dan dalam kondisi lain menjadikannya jiwa kenabian (nafs nabawi>yah).105 Sebagaimana pandangan al-Fa>ra>bi>,106 runtutan klasifikasi Jiwa tersebut bagi Ibn Sab‘i>n juga merupakan klasifikasi hierarkis dari yang terendah hingga tertinggi

103 Tentang padangan Plato, lihat misalnya Muh{amad ‘Abdurrah}ma>n Marh}aba>,

Min Falsafat al-Yu>na>ni>yah ila> Falsafat al-Isla>mi>yah (Beirut: ‘Uwaydah li-al-Nashr wa-al-T{aba>‘ah, 2000), 134-5. Pandangan Ibn Si>na> lihat Ibn Si>na>, Kita>b al-Hida>yah (Kairo: Maktabat al-Qa>hirah al-H{adi>thah, 1974), 204-230. Juga Ibn Si>na>, Ah{wa>l al-Nafs: Risa>lah fi> al-Nafs wa-Baqa>’iha> wa-Ma‘a>diha> [terj.] M.S. Nasrullah, Psikologi Ibn Sina (Bandung: Pustaka Hidayah, 2009), 63. Sementara mengenai pandangan Ikhwa>n al-S{afa>’ lihat karyanya, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. 1, 48. Juga Satera Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia (Jakarta: Impressa, 2013), 78-9.

104 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 92. 105 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 161 dan 280. Juga dalam karyanya, al-Kala>m ‘alá

al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 64-5. 106 Al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 87-8.

Page 140: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

128

dan saling terkait satu sama lain. Jiwa yang drajatnya lebih rendah merupakan “bahan” bagi Jiwa yang lebih tinggi.107

Dibanding dengan pandangan Ibn Si>na> yang mengklasifikasikan jiwa kepada tiga bagian pertama saja,108 pandangan Ibn Sab‘i>n tentu berbeda secara konseptual, meski secara filosofis hal ini tidak menjadi perbedaan signifikan. Namun jika dibandingkan dengan pandangan Ikhwa>n al-S{afa>’ yang juga mengklasifikasikan jiwa kepada lima bagian,109 pandangannya ini tentu banyak kesamaan. Kendati demikian, menurut penulis, umumnya pandangan-pandangan ini secara substantif sama, sebab realitas, hierarki dan jenis jiwa ini lahir dari sebuah pandangan tentang jiwa partikular sebagai satu kesatuan dalam konsepsi Jiwa Universal.

Bagaimana hal ihwal jiwa dan segenap daya dan fakultasnya? Dalam mengelaborasi hal ini, tampak sekali bahwa sebagian besar pandangan Ibn Sab‘i>n sama dengan pandangan kalangan filosof Peripatetik, terutama al-Fa>ra>bi> dan Ibn Si>na>.110 Pertama, Jiwa tumbuh-tumbuhan (nafs naba>ti>yah), merupakan bentuk kesempurnaan utama bagi fisik alami dilihat dari aspek reproduksi dan pertumbuhan. Jiwa ini memiliki tiga daya: 1] daya untuk makan/nutritive faculty (al-quwwah al-gha>dhiyah), yaitu daya yang berfungsi mengganti bagian-bagian yang rusak dari badan sepanjang hidupnya; 2] daya tumbuh/growth (al-quwwah al-munammi>yah), yakni daya yang berfungsi menambahkan fisik yang ditempatinya dengan fisik yang serupa dengan penambahan yang sempurna; 3] daya reproduksi (al-quwwah al-muwallidah), berfungsi mengambil bagian yang serupa dari fisik yang ditempatinya secara potensial, lalu melakukan proses pencampuran dan penciptaan dengan fisik lain yang serupa pula, sehingga menjadi sesuatu yang serupa dengannya secara aktual.111

Kedua, jiwa hewan (nafs h}ayawa>ni>yah). Dari kalangan filosof, Ibn Si>na> misalnya, merinci daya jiwa ini kepada dua daya, daya penggerak (quwwat al-muh}arrikah) dan persepsi (quwwat al-mudrikah).112 Selain memiliki daya-daya jiwa tumbuhan, dua daya ini merupakan daya khas yang dimiliki jiwa hewan. Terkait daya persepsi, Ibn Si>na> membaginya kepada dua bagian, persepsi

107 Ibn Sab‘i>n, Al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 65 dan 68. 108 Ibn Si>na>, Kita>b al-Hida>yah, 204-230. 109 Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. 1, 48. 110 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 345. Tentang pandangan al-Fa>ra>bi>

mengenai fakultas-fakultas Jiwa, lihat karyanya Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 87-91. Pandangan Ibn Si>na> lihat salah satu karyanya, Kita>b al-Naja>h fi> H{ikmat al-Mant}i>qi>yah wa-al-T{abi>‘i>yah wa-al-Ila>hi>yah (Beirut: Da>r al-Afa>q al-Jadi>dah, 1985), 196, lihat juga misalnya Syamsuddin Arif, “Causality in Islamic Philosophy: The Arguments of Ibn Si>na>,” Islam & Science Vol. 7 No. 1 (Summer 2009), 51-68. http://www.academia.edu/ 6791994/Ibn_Sina_on_Causality (diakses pada 21 Desember 2013). Mengenai praktik spiritual kalangan filosof Peripatetik, lihat misalnya Mohammad Azadpur, Reason Unbound: On Spritual Practice in Islamic Peripatetic Philosophy (New York: SUNY Press., 2011), khususnya bagian 3-5.

111 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 162. 112 Marh}aba>, Min Falsafat al-Yu>na>ni>yah, 523.

Page 141: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

129

eksternal dan internal. Daya persepsi dari luar (eksternal) dilakukan dengan bantuan lima pancaindra berupa: penglihatan, pendengaran, penciuman, penciuman, pengecapan dan perabaan.

Sementara persepsi dari dalam (internal) dilakukan dengan bantuan lima indra dalam pula: 1] indra bersama (al-h}iss al-mushtarak, common sense) yang berfungsi menerima segala apa yang ditangkap pancaindra; 2] representasi (quwwat al-khayya>l, representation) untuk menyimpan segala apa yang diterima oleh indra bersama; 3] imajinasi (quwwat al-mutakhayyilah, imagination) yang berperan menyusun apa yang disimpan dalam representasi; 4] estimasi (quwwat al-wahmi>yah) untuk menangkap hal-hal abstrak terlepas dari materinya; dan 5] rekoleksi (quwwat al-h}a>fiz}ah) untuk menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.113

Sama halnya dengan pandangan Ikhwa>n al-S{afa>’,114 bagi Ibn Sab‘i>n, jiwa hewan yang ia sebuat juga sebagai al-ghad}bi>yah (unsur emosional) memiliki sifat, fakultas dan karakternya sendiri sebagai tambahan atas fakultas jiwa tumbuhan di atas. Di antara karakter dan fakultas khas jiwa hewan adalah syahwat seksual (shahwat al-nika>h}) untuk melahirkan keturunan, syahwat dendam (shahwat al-intiqa>m) demi mempertahankan diri dari bahaya dan kehancuran, syahwat kepemimpinan (shahwat al-riya>sah aw-al-ghalabah) demi memperoleh kekuasaan, bentuk fisik berupa daging (al-haya>kal al-lah}mi>yah) dengan bagiannya yang beragam dilengkapi dengan persendian lentur untuk bergerak dan berpindah posisi dari arah satu ke arah lainnya demi kemaslahatan, memiliki sensitivitas indrawi (al-h}awa>s al-z}a>hirah) tertentu terhadap objek eksternal, kemampuan wahm dan fantasi (takhayyul) untuk mendapatkan tujuan, hafalan (h}ifz}) dan ingatan (dhikr) untuk mengenali sesama jenis dan lawan, serta kemampuan melindungi diri dari bahaya dan menyelamatkan diri musuh.115

Selain itu, sementara jiwa tumbuhan bergerak secara mekanis, otomatis dan tanpa pilihan, jiwa hewan justru bergerak atas dasar pilihan (ikhtiya>r), hasrat (shahwah) dan keinginan (ira>dah). Seperti halnya pandangan dalam tradisi filsafat Islam, menurut Ibn Sab‘i>n, di antara karakter jiwa hewan ialah ia dapat melemah dan bahkan hancur dengan melemah dan hancurnya susunan fisik (tunh}ill bi-inh}ila>l al-murakkab wa tafsid bi-fasa>dihi wa la> h}aya>h laha>).116

Hierarki jiwa ketiga adalah jiwa rasional (nafs na>t}iqah). Meminjam penjelasan Ibn Si>na>,117 yang juga disinggung oleh Ibn Sab‘i>n,118 jiwa ini memiliki dua daya: daya praktis (quwwat al-‘a>milah) yang berhubungan dengan badan, dan daya teoritis (quwwat al-‘a>limah/naz}ari>yah) yang berhubungan dengan hal-hal bersifat abstrak. Daya teoritis kemudian dirinci menjadi: 1] akal

113 Lihat Ibn Si>na>, Ah{wa>l al-Nafs, Psikologi Ibn Sina, 64-7. 114 Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. 1, 50. 115 Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 66. Juga Budd al-‘A<rif,

162. 116 Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 68. 117 Marh}aba>, Min Falsafat al-Yu>na>ni>yah, 526-7. Juga Ibn Si>na>, Ah{wa>l al-Nafs,

Psikologi Ibn Sina, 67-71. 118 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 161.

Page 142: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

130

material (‘aql hayu>la>ni>), akal yang baru memiliki potensi untuk berpikir, namun kemampuan berpikirnya sama sekali belum dilatih; 2] ‘aql bi-al-malakah, akal yang sudah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal yang abstrak; 3] akal aktual (‘aql bi-al-fi‘l), yakni akal yang secara aktual telah mampu berpikir tentang hal-hal abstrak; 4] ‘aql mustafad, yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak tanpa memerlukan daya lainnya. Akal terakhir ini telah mampu menerima limpahan pengetahuan dari Akal Aktif.

Bagi Ibn Sab‘i>n, jiwa rasional ini memiliki karakter, sifat dan fakultasnya yang khas, yang menempatkan jiwa ini lebih tinggi drajatnya dibanding dua jiwa sebelumnya. Asumsinya bahwa, sementara dua jiwa sebelumnya dapat melemah dan binasa dengan semakin lemah dan binasanya susunan fisik, jiwa ini justru kekal karena setelah fisik yang ditempatinya mati, ia akan kembali ke pangkuan ila>hi>yah.119

Jawaban Ibn Sab‘i>n terhadap pertanyaan Frederick II (al-kala>m ‘alá al-masa>’il al-s}iqi>li>yah) tentang jiwa jelas menggambarkan betapa tingginya posisi jiwa ini. Fakultas atau daya penting yang dimiliki jiwa ini adalah daya pikirnya. Dalam jiwa inilah proses berpikir, membuat opini, membedakan yang baik dan buruk, mendalami ilmu pengetahuan, mencintai dan mengembangkan ilmu pengetahuaan serta proses ma‘rifah terdapat. Selain itu, jiwa ini juga memiliki hasrat untuk menghasilkan karya-karya, kreativitas dan keterampilan.120 Karena jiwa ini pula manusia disebut hewan yang berpikir sebagai pondasi filosofis bagi pengetahuan (al-baya>n) yang dianugerahkan Allah.121

Berdasarkan klasifikasi jiwa dan fakultasnya di atas, Ibn Sab‘i>n menegaskan bahwa ketiga jiwa tersebut dengan segenap daya yang dimilikinya sangat berpengaruh dalam diri manusia. Artinya, jika yang mendominasi dalam diri manusia hanya daya jiwa tumbuhan seperti makan, tumbuh dan berkembang biak, tanpa memiliki kemauan untuk berpikir dan bekerja, maka tabiat manusia tersebut tak ubahnya seperti tumbuhan. Begitu juga jika yang mendominasi hanya daya dari jiwa hewan, maka manusia tersebut tidak lebih seperti hewan dari segi kualitas jiwanya. Tetapi jika daya jiwa rasional yang mendominasi, maka manusia tersebut menjadi manusia sebenarnya, lebih dari itu, jika semakin dekat dengan kesempurnaan daya jiwa rasional ia menyerupai malaikat.122 Aktualisasi dari jiwa mana yang lebih dominan tentu tergantung manusia itu sendiri.

119 Ibn Sab‘i>n, Al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 71. Ibn Sab‘i>n

menambahkan bahwa, tidak seperti wacana keabadian jiwa tumbuhan dan hewan, dalam wacana keabadian jiwa rasional tidak ada perbedaan pendapat di kalangan cendikiawan.

120 Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 71. Juga Budd al-‘A<rif, 162-3. Dan 262.

121 Q.S. al-Rah}ma>n [55] : 4. Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 72.

122 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 162.

Page 143: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

131

Tampak sekali bahwa pandangan Ibn Sab‘i>n di atas seolah mempertegas pandangan dalam tradisi Peripatetik seperti Ibn Si>na>, al-Fa>ra>bi> dan lainnya.123 Namun demikian, Ibn Sab‘i>n memberikan catatan bahwa jiwa rasional umumnya menjadi penentu kualitas kemanusiaan seseorang. Jika daya jiwa rasional tersebut dapat diaktualisasikan dengan baik, maka jiwa tersebut secara kualitas akan melampaui asalnya menjadi jiwa bijaksana/filosof (nafs h}ikmi>yah), bahkan jika jiwa itu beserta segenap daya fakultasnya dilatih secara intensif dengan penyucian diri, bukan tidak mungkin jiwa ini akan jauh melampaui asalnya menjadi jiwa kenabian (nafs nabawi>yah). Karenanya, dua jiwa terakhir (h}ikmi>yah dan nabawi>yah) ini merupakan perkembangan ontologis dari kesempurnaan jiwa rasional. Itulah sebabnya mengapa dalam pemikiran Islam eksistensi manusia sangat bergantung pada aktualisasi daya-daya jiwa rasionalnya, yang karena itu pula manusia dijadikan pengganti Tuhan di muka bumi.

Keempat, jiwa filosof/kebijaksanaan (nafs falsafi>yah/h}ikmi>yah) yang merupakan hierarki jiwa selanjutnya dan sebagai perkembangan dari kesempurnaan jiwa rasional. Jika jiwa rasional hanya melaksanakan proses berpikir dalam arti yang umum, maka jiwa kebijaksanaan justru melampaui itu. Dengan pengetahuannya ia mampu menembus hakikat segala sesuatu, dengan intuisi (al-h}ads) dan analogi ia dapat menemukan makna-makna terdalam segala realitas, mampu memahami dengan sempurna hierarki wujud dan kemunculan alam semesta dari yang satu serta mampu memahami realitas kosmik.124 Itu artinya, sebagaimana yang dinyatakan al-Tafta>za>ni>,125 peran Jiwa Kebijaksanaan bagi Ibn Sab‘i>n ialah memikirkan hal-hal universal dalam segala realitas.

Pandangan tentang karakteristik nafs h}ikmi>yah di atas tampaknya sejalan dengan pandangan Ikhwa>n al-S{afa> misalnya, yang menyebutkan banyak karakteristik dan yang dimiliki oleh jiwa ini yaitu hasrat memperoleh ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan (shahwat al-‘ulu>m wa-al-ma‘a>rif) yang hanya dapat diperoleh dengan cara berpegang teguh pada keutamaan yang dicapai melalui: pikiran yang bersih (al-dhihn al-s}a>fi>), pemahaman yang brilian (al-fahm al-jayyid), kecerdasan spiritual (dhaka>’ al-nafs), kebeningan hati dan ketajaman nurani (safa>’ al-qalb wa-h}iddat al-fu’a>d), kecepatan daya tangkap (sur‘at al-kha>t}ir), kekuatan fantasi dan akurasi konseptual (quwwat al-takhayyul wa-jawdat al-tas}awwur), pemikiran (al-fikr), penjelasan (al-rawi>yah), pendalaman (al-ta’ammul), mengambil pelajaran (al-i‘tiba>r), penglihatan spritual (al-istibs}a>r) dan masih banyak lagi.126 Dalam pemikiran Ikhwa>n al-S{afa>’, keseluruhan cara di atas merupakan media utama bagi jiwa rasional dalam rangka mencapai peringkat nafs h}ikmi>yah.127 Itu artinya, kualitas jiwa kebijaksanaan ini berkaitan

123 Lihat misalnya Muhammad ‘Uthman Najati, Jiwa dalam Pandangan Filosof

Muslim (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002). 124 Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 71. Juga Budd al-‘A<rif,

265. 125 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 353. 126 Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. 1, 52-3. 127 Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik, 86.

Page 144: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

132

dengan upaya-upaya penyucian diri, baik secara internal berupa penyucian diri, maupun dengan upaya lainnya seperti latihan penalaran diskursif, renungan, kontemplasi, dan pemikiran.

Bagi Ibn Sab‘i>n, selain mengimani pandangan Ikhwa>n al-S{afa>’ di atas, ia menegaskan bahwa untuk mencapai jiwa kebijaksanaan (nafs h}ikmi>yah), jiwa rasional harus secara sempurna memahami Kesatuan Mutlak (al-wah}dah al-mut}laqah), madzhab yang digagasnya.128 Pandangannya ini tentu mengindikasikan adanya ketersambungan konseptual dalam setiap pemikiran filosofisnya -termasuk tentang jiwa ini- dengan gagasan besarnya, Kesatuan Mutlak.

Kelima, yang merupakan jiwa terakhir dalam hierarki dan sekaligus merupakan puncak perkembangan kesempurnaan jiwa rasional ialah jiwa kenabian (nafs nabawi>yah). Jiwa yang tanpa perantara berhubungan langsung dengan Tuhan berupa wahyu dan ilham, dan merupakan jiwa yang secara langsung menerima pancaran ketuhanan (ila>hi>yah).129 Karenanya, jiwa ini merupakan jiwa paling mulia dibanding jiwa-jiwa sebelumnya.130 Menurut Ibn Sab‘i>n, ada sembilan karakteristik jiwa ini yang tidak dimiliki jiwa lain, antara lain ia disifati oleh mu’jizat diluar kebiasaan (kha>riq li-al-‘a>dah), sama sekali terjaga dari berkata dan berpendapat bohong, dijaga dari segala macam dosa, orang lain yang menentangnya tidak akan mampu mengalahkannya, dan lain-lain.131

Yang menarik, kendati ia meyakini bahwa jiwa kenabian ini merupakan perkembangan dari kesempurnaan jiwa rasional manusia, ia tidak lantas menyatakan bahwa kenabian itu dapat dicapai oleh siapa pun (muktasab) yang dapat memaksimalkan daya jiwa rasionalnya seperti yang dituduhkan cendikiawan lain kepada Ibn Sab‘i>n.132 Tuduhan bahwa bagi Ibn Sab‘i>n kenabian itu dapat dicapai oleh siapa pun (muktasab) dan menafikan pilihan Tuhan yang hanya kepada orang-orang tertentu saja, seolah menjadi “pelengkap” bagi para penentangnya untuk mengklaim kesesatan atau bahkan kekufuran Ibn Sab‘i>n. Bahkan, hal ini juga semakin diperkuat oleh pernyataan Ibn Daqi>q al-‘I<d (1228-1302 M./625-702 H.) yang banyak dikutip dalam karya-karya biografis, bahwa Ibn Sab‘i>n menyatakan sebuah statement kontroversial “laqad tah}ajjara ibn a>minah wa>si‘an bi-qawlihi: la> nabiya ba‘di>”.133

128 Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 163 129 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 163-4. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-

Falsafatuhu, 355. 130 Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 72. 131 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 163. 132 Lihat Isma>‘i>l ibn ‘Umar ibn Kathi>r, Al-Bida>yah wa-al-Niha>yah juz 17,

tah}qi>q ‘Abdulla>h ibn ‘Abd al-Muh}sin al-Turki> (Ji>zah: Da>r Hijr, 1998), 497. Bandingkan dengan Mah{mu>d al-Mura>kibi>, ‘Aqa>‘id al-S{u>fi>yah fi> D{aw’ al-Kita>b wa-al-Sunnah (Kairo: Da>r al-T{aba>‘ah wa-al-Nashr, 1996), 97. Juga Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m wa-Wafaya>t al-Masha>hir wa-al-A‘la>m jilid 49, tah{qi>q ‘Umar ‘Abd al-Sala>m Tadmuri> (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1999), 285.

133 Lihat misalnya al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m, 285.

Page 145: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

133

Baginya, terlebih jika melihat pandangan tentang jiwa kenabian, alih-alih mengingkarinya, justru ia sangat memuliakan jiwa tertinggi ini. Ia menyatakan bahwa lima jiwa yang ada dalam hierarki dapat dialami oleh manusia kecuali jiwa kenabian (nafs nabawi>yah), jiwa ini merupakan tingkatan “terlarang” bagi manusia, karena jiwa ini merupakan permulaan bagi segala prinsip dan yang universal dari segala universalitas, hanya Tuhan yang langsung menunjuknya dan jangan berharap untuk mencapai tingkatan jiwa ini.134 Dari pernyataannya terakhir ini, tampak sekali bahwa apa yang dituduhkan cendikiawan lain di atas tidak sepenuhnya benar, atau bahkan keliru. Selain itu, tuduhan tersebut juga dapat dengan mudah disanggah dengan fakta bahwa Ibn Sab‘i>n menulis sebuah karya berjudul Risa>lah fi> Anwa>r al-Nabi> yang khusus menjelaskan tentang “cahaya-cahaya kenabian” Muh}ammad SAW. Dalam karya itu, ia menguraikan 33 jenis cahaya kenabian Muh}ammad SAW.135

Di samping itu, konsep jiwa kenabian Ibn Sab‘i>n ini juga sedikit berbeda dengan filsafat kenabiannya al-Fa>ra>bi> yang memiliki asumsi penting bahwa filosof dan Nabi sama-sama mendapatkan curahan langsung dari Akal Aktif (al-‘aql al-fa‘a>l).136 Dengan gagasan ini, “Sang Guru Kedua” tersebut berhasil membuktikan bahwa kenabian itu mungkin secara filosofis. Untuk membedakan pandangannya filsafat kenabiannya al-Fa>ra>bi>, konsep jiwa kenabian ini dikaitkan dengan nilai etik bahwa bagi Ibn Sab‘i>n, kebaikan pada diri Nabi merupakan kebaikan alami (al-khayr bi-al-dha>t), sementara filosof tidak diberi kebaikan alami tersebut. Itu artinya, Nabi dan filosof merupakan dua hal yang berlawanan (fa-ka>na al-nabi> wa-al-faylasu>f d}idda>ni).137

Poin penting yang didapat adalah, kajian terhadap pandangan Ibn Sab‘i>n tentang hierarki jiwa ini tentu saja semakin memperkuat bagaimana status ontologis jiwa yang legitimate bahkan lebih riil dibanding wujud materiil di bawahnya. Meski demikian, dalam perspektif Kesatuan Mutlak-nya, gagasan hierarki jiwa ini hanya bersifat konseptual/kesusastraan saja (i‘tiba>ri>). Artinya, eksistensi jiwa-jiwa dalam hierarki tersebut pada dasarnya merupakan manifestasi dari wujud yang satu.

3. Wujud Materiil

Mengenai status ontologis benda-benda alami yang bersifat materiil, tampak sekali bahwa filsafat Islam umumnya, dan Ibn Sab‘i>n khususnya,

134 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 164. 135 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Anwa>r“ dalam al-Mazi>di>, 263-293. Dalam salinan

Badawi>, karya ini berjudul Risa>lah fi> Anwa>r al-Nabi>, 201-211. Dalam versi lain, al-Mazi>di> juga memuat karya Ibn Sab‘i>n ini secara khusus dengan judul Anwa>r al-Nabi>: Asra>ruha> wa-Anwa>‘uha>, tah}qi>q Ah}mad Fari>d al-Mazi>di> (Kairo: Da>r al-Afa>q al-‘Arabi>yah, 2007).

136 al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 114-6. Lihat juga Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, 105. Lihat juga R. Walzer, “Al-Fa>ra>bi>’s Theory of Prophecy and Divination,” The Journal of Hellenic Studies Vol. 77, Part 1 (1957), 142-148. http:// www.jstor.org/stable/628647 (diakses pada 15 Oktober 2014).

137 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 98.

Page 146: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

134

mempunyai pandangan yang berseberangan dengan pandangan ilmiah modern.138 Karena sementara dalam filsafat Islam, status ontologis benda-benda alami yang disebut sebagai elementary particles menduduki peringkat terendah, dalam pandangan ilmiah modern justru status ontologis benda-benda ini menempati posisi sangat tinggi -jika tidak dikatakan palig tinggi-, bahkan prinsipil.139 Pandangan filsafat Islam yang menempatkan benda-benda alami di peringkat terendah ini terlihat jelas misalnya dalam teori-teori tentang hierarki wujud dan emanasi yang banyak digagas oleh para filosof, termasuk Ibn Sab‘i>n. Artinya, bagi sains modern, status ontologis benda-benda fisik inilah yang justru diangkat ke tempat yang paling tinggi, sedangkan status ontologis wujud-wujud imateriil (metafisika) menjadi sangat rendah, atau bahkan hanya dipandang sebagai ilusi dan halusinasi.

Dalam menjelaskan wujud benda-benda materiil atau fisik ini, Ibn Sab‘i>n pun tetap menggunakan perspektif filsafat dan logika Aristotelian sebagai basis awalnya. Dalam Budd al-‘A<rif, sebagai karya refresentatif dari keutuhan epistemologinya, ia terlihat menggunakan logika Aristotelian yang merupakan tradisi para pendahulunya dari kalangan filosof Muslim, sebagai alat untuk mencapai spritual setinggi-tingginya. Tentu, elaborasinya terhadap wujud benda-benda fisik, sedikit banyaknya terpengaruh arus besar tradisi Peripatetik ini. Meski lebih banyak menggunakan logika dibanding para mistikus lainnya, ia tidak lekas menjadi seorang rasionalis dalam pengertian modern. Dalam berbagai pemikiran yang syarat dengan logika, ia selalu mengakhirinya dengan perspektif Kesatuan Mutlak, madzhab yang digagasnya.

Sejalan dengan pandangannya tentang wujud Tuhan dan imateriil, pandangannya tentang wujud-wujud materiil ini sebenarnya juga dapat ditelusuri dari pemikiran emanasinya (lihat gambar 9). Diasumsikan bahwa, rangkaian wujud di bawah Jiwa, yakni watak fisik (al-t}abi>‘ah), materi (al-hayu>la>), tubuh absolut (al-jism al-mut}laq), benda-benda langit (al-falak), unsur-unsur pembentuk (al-arka>n), dan yang dilahirkan (al-muwallada>t) merupakan wujud-wujud materiil, atau setidaknya, berhubungan langsung dengan wujud imaterill.

Entitas pertama dalam rangkaian emanasi Ibn Sab‘i>n ialah watak alamiah/nature (al-t}abi>‘ah). Dalam tradisi filsafat Islam, ada berbagai istilah teknis untuk menyebut realitas satu ini, umumnya para filosof menyebutnya quwa> al-t}abi>‘ah (daya-daya alami) atau nafs juz’i>yah (jiwa partikular).140 Keragaman istilah tentu sebatas pengungkapan saja. Secara substantif, ragam istilah tersebut menunjuk pada sebuah pengertian yang sama, yaitu daya-daya rohani dari fakultas Jiwa Universal yang mengalir pada seluruh fisik.

138 Lihat misalnya Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, 37. 139 Dalam hal ini, Rueger dan McGivern misalnya, membuat sebuah hierarki

realitas seperti halnya dalam tradisi filsafat Islam. Namun lagi-lagi, hierarki itu pun hanya dalam wujud-wujud fisik. Lihat Alexander Rueger and Patrick McGivern, “Hierarchies and levels of reality,” Synthese Vol. 176, No. 3 (October, 2010), 379-397. http://www.jstor.org/stable/40801386 (diakses pada 30 Juni 2014).

140 Lihat Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. II, 88.

Page 147: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

135

Senada dengan pengertian di atas, mengenai hal ini, Ibn Sab‘i>n menyatakan bahwa pengertian al-t}abi>‘ah sendiri banyak perbedaan yang secara substansial sama. Karenanya, dalam Budd al-‘A<rif ia memuat banyak pengertian untuk menggambarkan entitas ini. Al-t}abi>‘ah merupakan daya-daya fisikal dalam jasad, yang hadir dengan perantara jiwa. Dengan pandangan ini, jelas bahwa al-t}abi>‘ah merupakan entitas yang mendapat limpahan dan berhubungan langsung dengan Jiwa Universal, untuk selanjutnya dicurahkan ke wujud-wujud materiil di bawahnya. Bahkan, ia menyebut bahwa entitas ini merupakan jawhar h}aki>m bi-al-s}ifah al-ashya>’ al-mas}nu‘ah (substansi bijaksana dengan sifat-sifat benda yang dirancang).141

Menurutnya, secara ontologis, al-t}abi>‘ah merupakan realisasi berfungsinya Jiwa Universal pada benda-benda (al-ajsa>m) yang tentu sangat beragam bentuknya. Artinya, wilayah operasional entitas ini adalah alam fisik. Keberadaan entitas ini di alam fisik merupakan kenyataan yang sulit untuk dinafikan. Hal tersebut telah didukung oleh fakta-fakta empirik-ilmiah bahwa dalam segenap wujud fisik terdapat kekuatan yang menjadikannya eksis (ada). Sebab, karakter dasar setiap benda fisik mesti tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula bergerak. Tetapi dalam pandangan tak kasat mata justru sebaliknya, benda-benda itu dapat hidup, aktif dan bergerak, disebabkan adanya kekuatan rohani atau “jiwa partikular” yang aktif dalam dirinya.142 Daya penggerak itulah dinamakan al-t}abi>‘ah. Jika demikian, sangat beralasan jika para filosof menyebutnya sebagai kekuatan alami (quwa> al-t}abi>‘ah) yang inheren pada semua benda, atau yang oleh Nasr disebut sebagai the performer of all actions (pelaku seluruh tindakan segenap ciptaan).143

Melalui entitas ini pula, penegasan bahwa Tuhan adalah Pencipta yang tidak pernah berhenti mencipta sejenak pun tentu tidak terbantahkan dan semakin logis. Segenap urusan yang menyangkut benda fisik di alam ini, telah diatur sedemikan rupa oleh hukum ilahi yang agung, di mana segala ketetapannya berjalan sesuai al-t}abi>‘ah/tabiatnya. Setelah alam tercipta dengan pancaran emanasi rohani dan ketetapan azali-Nya, segenap urusan makhluk selanjutnya menjadi ketetapan hukum alam yang konstan.144

Eksistensi berikutnya yang dapat dikategorikan ke dalam wujud materiil adalah al-hayu>la> (materi), atau yang ditempat lain disebut al-hayu>la> al-u>la> (materi pertama). Sama halnya dengan pandangan para filosof Muslim, Ibn

141 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 115. 142 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 115. 143 Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 61. 144 Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 143. Bandingkan

dengan Richard Foltz, “Islam,” dalam Encyclopedia of Environmental Ethics and Philosophy vol. 1, ed. J. Baird Callicot and Robert Frodeman (New York: Gale Cengage Learning, 2009), 534-5. Tentang perdebatan wacana ini di kalangan cendikiawan Muslim klasik, lihat Taneli Kukkonen, “Plenitude, Possibility, and the Limits of Reason: A Medieval Arabic Debate on the Metaphysics of Nature,” Journal of the History of Ideas Vol. 61, No. 4 (Oct., 2000), 539-560. http://www.jstor.org/stable/3654068 (diakses pada 15 Oktober 2014).

Page 148: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

136

Sab’i>n pun memaknai entitas ini sebagai substansi sederhana penerima bentuk (jawhar qa>bil li-al-s}uwar), bersifat fasif-potensial, mewujud ketika telah menerima bentuk. Bentuk di sini adalah t}u>l (panjang), ‘ard{ (lebar), dan ‘umq (dalam).145 Dari sifatnya yang pasif-potensial itu, pada saat Materi menerima bentuk (form), potensi yang pasif tadi menjadi aktual.146 Pada saat itu pula status ontologisnya bukan lagi merupakan sebagai Materi Pertama, tetapi telah berubah menjadi realitas baru disebut jism al-mut}laq (tubuh absolut). Dari sini, tentu materi bukanlah substansi yang hidup (h}ayyah), mengetahui (‘alla>mah), dan aktif (fa‘a>lah) sebagaimana Akal dan Jiwa. bahkan menurut Ikhwa>n al-S{afa>’, dalam koteks tertentu, entitas ini agak sulit menerima limpahan.147

Secara teknis, hierarki wujud keempat ini memiliki empat jenis yaitu, 1) al-hayu>la> al-u>la> (materi pertama) yang merupakan substansi sederhana bersifat intelejibel (ma‘qu>l) dan tidak diketahui melalui penginderaan. 2) al-hayu>la> al-kull (materi universal), merupakan nama lain dari tubuh absolut (jism al-mut}laq) yang darinya keseluruhan alam ini mengada. 3) al-hayu>la> al-s}ana>‘i>yah (materi rancangan), yaitu materi yang darinya seorang perancang karya (s}a>ni‘) membuat karyanya, seperti kayu bagi seorang tukang kayu, pasir bagi tukang bangunan, dan lainnya. 4) al-hayu>la> al-t}abi>‘i>yah (materi alamiah), merupakan empat pilar pembentuk, atau nama lain al-arka>n al-arba‘ah, di mana segenap ciptaan, mineral, tumbuhan, hewan maupun manusia mengandung unsur-unsur ini. Keempat unsur tersebut ialah api, udara, air dan tanah.148

Selain t}abi>‘ah dan al-hayu<la>, realitas berikutnya dalam skema hierarki wujud materiil ialah bentuk aktualisasi penerimaan materi atas bentuk berkat limpahan dari wujud-wujud di atasnya, yang disebut jism al-mut}laq (tubuh absolut). Sebagaimana Materi Pertama (al-hayu>la al-u>la>), Tubuh Absolut ini merupakan Materi yang telah menerima tiga form kuantitatif (kammi>yah): t}u>l (panjang), ‘ard{ (lebar), dan ‘umq (dalam). Perbedaannya, sementara pada Materi Pertama penerimaan bentuk dan form ini bersifat potensialitas-pasif, pada Tubuh Absolut justru sebaliknya, padanya telah dimulai tatanan yang terstruktur (‘a>lam al-murakkaba>t) yang merupakan gabungan antara materi dan bentuk, serta kondisinya sudah mulai mengaktual. Jika tatanan wujud di atasnya berbentuk substansi sederhana (jawhar basi>t}), maka bagi Tubuh Absolut ini sejatinya berbeda.149 Pada titik ini, proses emanasi wujud ruhani berakhir, dan konsep penciptaan berikutnya terjadi dalam bentuk lain, berupa penciptaan wujud-wujud materiil-fisik.

Dari pandangan Ibn Sab‘i>n tentang realitas wujud-wujud materiil di atas, tentu dengan mudah dapat disarikan bahwa, wujud-wujud tersebut (al-t}abi>‘ah, al-hayu>la> dan jism al-mut}laq) merupakan entitas-entitas ruhani-materiil yang berkaitan dan berhubungan langsung dengan alam fisik, meski dalam

145 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 113. 146 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 117 dan 233. 147 Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. III, 6. 148 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 113. Ibn Sab‘i>n dengan cukup panjang,

menguraikan makna dan karakteristik keempat unsur ini, lihat Budd al-‘A<rif, 114. 149 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 117.

Page 149: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

137

wujudnya sendiri bukan fisik. Wujud-wujud tersebut mendapat limpahan dari Allah Sang Maha Mutlak, melalui wujud-wujud di atasnya yaitu Akal Universal dan Jiwa. segenap wujud-wujud di atas merupakan makhluk ilahiah yang menjadi penggerak, pemberi kehidupan dan eksistensi bagi segenap tatanan kosmos yang fisik ini. Sebelum wujud fisik semesta mengada, tatanan rohani di atasnyalah yang menjadi “motor” penggerak segenap kehidupan alam fisik.150 Tanpa perannya, secara pasti alam fisik mestilah tiada. Satu lagi, melalui perantara merekalah, Tuhan mendelegasikan segenap cinta-Nya kepada semua wujud fisik di penjuru bumi.

Lalu bagaimana Ibn Sab‘i>n memandang status ontologis wujud-wujud materiil-fisik? Secara kasat mata, tentu wujud-wujud fisik ini dapat dengan sangat mudah diakui keberadaannya. Dalam skema pemikiran emanasinya, ada tiga realitas yang dapat dikategorikan sebagai wujud yang pure fisik, yaitu al-falak (bintang-bintang/the spheres atau galaksi), al-arka>n (unsur-unsur), dan al-muwallada>t (alam fisik partikular yang dilahirkan).151 Meski demikian, ia pun secara apik memaknai banyak benda-benda fisik sebagi perwujudan dari ketiga tingkatan wujud fisik tadi.

Tingkatan wujud fisik pertama adalah al-falak, ia memaknai realitas ini sebagai wujud yang meliputi alam semesta (ma> yuh}i>t}u al-‘a>lam).152 Dengan pengertian ini, Ibn Sab‘i>n sebagaimana filosof Muslim lain ingin mengatakan bahwa alam semesta (fisik) itu mengambil bentuk lingkaran dan terbatas. Kaitannya dengan ini, segenap wujud adalah tubuh-tubuh padat, yaitu zat-zat yang memenuhi ruangan, itulah alam semesta.153 Karenanya, galaksi dalam pengertian modern dengan segenap materi dan geraknnya lebih tepat untuk menunjuk istilah al-falak ini.

Setelah al-falak, hierarki wujud fisik selanjutnya yang menempati alam fisik ini adalah al-arka>n (unsur-unsur), atau di tempat lain Ibn Sab‘i>n menyebutnya al-arka>n al-arba‘ah dan al-‘ana>s}ir al-arba‘ah (empat unsur pembentuk) berupa: api, tanah, air, dan udara.154 Terkadang bagian ini juga disebut al-hayu>la> al-t}abi>‘ah (materi alamiah), disebut demikian karena substansi ini memiliki sifat alamiah berupa panas dalam api, kering dalam tanah, basah dalam air, dan dingin dalam udara. Juga sesekali disebut ummaha>t (ibu-ibu kosmik) sebagai bandingan dari istilah al-muwallada>t (anak-anak kosmik). Disebut demikian tentu dengan asumsi bahwa semua benda yang berada di bawah falak bulan (terrestial) mesti berasal dari empat unsur pembentuk ini. Ketika mengalami kematian (al-fasa>d), segenap ciptaan fisik tadi akan kembali pada sumbernya yang pertama.

Pandangan tentang keempat unsur di atas hendak menegaskan bahwa, semua benda di alam fisik mesti terdiri dari empat unsur pembentuk tadi. Melalui percampuran ragam unsur tersebut, segala benda di bawah Bulan

150 Lihat misalnya Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik, 127. 151 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112. 152 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 113. 153 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 114. 154 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 114.

Page 150: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

138

tercipta, tentu saja dengan bantuan wujud-wujud di atasnya, sesuai dengan ketentuan Tuhan Sang Maha Mutlak. Keberadaan semua makhluk tersebut dalam tradisi filsafat Islam disebut sebagai alam bawah (‘a>lam al-sufli>), alam di bumi, atau ‘a>lam al-kawn wa-al-fasa>d. Sedangkan keberadaan benda-benda di atas Bulan dikenal alam atas/callestial (‘a>lam al-‘ulwi>), alam langit, atau al-falak.155

Sebagaimana mawju>da>t sebelumnya, empat unsur pembentuk ini pun memiliki tingkatan keutamaan dan selalu mengalami perubahan dari statusnya yang satu ke status yang lain.156 Api misalnya, jika nyalanya padam maka berubah menjadi udara (hawa>’), udara yang mengeras kemudian menjadi air, air pun jika dibekukan hingga mengeras dapat berubah menjadi tanah. meski demikian, api, sebagai unsur yang paling halus, tidak akan pernah mengalami peningkatan derajat kehalusannya. Begitu juga tanah, sebagai unsur yang paling keras, pengerasannya tidak akan mengalami peningkatan, kecuali berubah ke wujud lain di luar kelasnya.

Menarik pandangan yang dikemukakan Ikhwa>n al-S{afa>’, komunitas persaudaraan suci itu mengklasifikasikan segala sesuatu yang ada di bawah Bulan kepada dua bagian: sederhana (basi>t}ah) dan majemuk/terstruktur (murakkabah).157 Entitas yang masuk dalam kriteria basi>t}ah ialah al-arka>n al-arba‘ah tadi; api, tanah, air, dan udara. Sedang yang masuk dalam kriteria murakkabah adalah segenap ciptaan yang terlahir (al-muwallada>t al-ka>’ina>t al-fa>sida>t), yaitu, mineral, tumbuhan, dan hewan -termasuk manusia-.

Diasumsikan bahwa, esensi wujud fisik yang berada di dasar hierarki, yaitu al-muwallada>t, tersusun dari keempat unsur di atas. Karenanya, keempat unsur tadi di tempat lain sering kali disebut ummaha>t, sedangkan entitas terakhir disebut al-muwallada>t. Dalam konteks ini, Ibn Sab‘i>n pun mengistilahkan demikian.158 Dari “Ibu-ibu kosmik” itulah terlahir segenap wujud (al-muwallada>t) secara berkesinambungan, mati satu, lahir generasi selanjutnya, begitu seterusnya. Segenap ciptaan wujud fisik tersebut menjelma kepada tiga bentuk entitas yaitu: mineral, tumbuhan dan hewan. Seluruh wujud fisik yang terlihat ini, mesti tidak keluar dari tiga entitas tadi, termasuk manusia yang secara fisik tergolong kepada bangsa hewan. Dengan demikian, sangat beralasan jika segenap ciptaan tersebut dikenal pula dengan istilah al-muwallada>t al-thala>th (tiga kerajaan dunia).

Pandangan Ibn Sab‘i>n tentang wujud materiil tentu mengindikasikan sebuah pandangan filosofis bahwa status wujud-wujud tersebut secara ontologis

155 Lihat misalnya al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 37-80. Juga Ikhwa>n al-S{afa>’,

Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. I, 74-5. 156 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 114. 157 Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. II, 35. Mengenai pemikiran

kosmologi komunitas ini, lihat misalnya Yasien Mohamed, “The Cosmology of Ikhwa>n al-S{afa>, Miskawayh and al-Is}faha>ni>,” Islamic Studies Vol. 39, No. 4, Special Issue: Islam and Science (Winter 2000), 657-679. http://www.jstor.org/stable/23076118 (diakses pada 15 Oktober 2014).

158 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 117.

Page 151: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

139

benar-benar legitimate, meski secara hierarkis tingkatan wujudnya jauh di bawah wujud-wujud imateriil, terlebih dibanding dengan Tuhan di puncak hierarki. Pandangan ini tentu akan sangat menentukan pemikirannya tentang ilmu-ilmu fisika, yang baginya, sesuai dengan hierarki dan tingkatan wujud objek ilmunya, rumpun ilmu-ilmu fisika berada di bawah rumpun ilmu-ilmu metafisika.

Penjabarannya tentang wujud-wujud materiil di atas cenderung mengikuti tradisi Peripatetik atau Aristotelian, bahkan kecenderungan itu terlihat sangat kental. Namun poin penting yang perlu di garis bawahi adalah, meski tampak “mengekor” kepada tradisi Peripatetik, di akhir, Ibn Sab‘i>n senantiasa menegaskan elaborasinya terhadap masalah ini dalam perspektif Kesatuan Mutlak-nya. Ketika menjelaskan tentang panca indera yang dapat menangkap objek-objek fisik, ia menyatakan bahwa bagi seorang muqarrab (sebutan bagi orang yang memahami secara sempurna doktrin Kesatuan Mutlak), penjelasan para filosof tentang wujud fisik, jika dilihat dari segi ke-fisik-annya/qua fisik (min haythu huwa), boleh jadi penjelasan mereka benar dan dapat diterima. Namun jika dilihat dalam perspektif al-qas}d al-qadi>m (maksud penciptaan azali), penjelasan para filosof tersebut sama sekali keliru.159 Dengan pengertian itu ia hendak mengatakan, bahwa pemahaman para filosof tentang wujud-wujud fisik telah terjebak dalam ilusi-ilusi kemajemukan wujud. Pasalnya, bagi Ibn Sab‘i>n, adanya benda-benda fisik yang tertangkap oleh panca indera, merupakan manifestasi kesatuan wujud yang mutlak.

C. Deskripsi Klasifikasi Ilmu

Secara konseptual, penelusuran terhadap pandangan Ibn Sab‘i>n tentang status ontologis objek ilmu, akan menjadi “penentu arah” bagi rangka bangun ontologis klasifikasi ilmu yang digagasnya. Basis ontologis klasifikasi ilmu ini, tentu saja akan terlihat jelas ketika klasifikasi ilmu itu secara deskriptif dijabarkan. karenanya, deskripsi klasifikasi ilmu sejatinya merupakan implikasi filosofis-konseptual dari sebuah rangka bangun ontologi. Dengan melihat deskripsi itu pula, berbagai kecenderungan ilmiah penyusunnya dapat dengan mudah diidentifikasi.

Pada sub bab ini, penulis akan coba mendiskusikan deskripsi klasifikasi ilmu (aqsa>m al-‘ulu>m) yang disusun oleh Ibn Sab‘i>n sebagai lokus pemikiran. Seperti halnya kebanyakan filosof lain seperti Ibn Khaldu>n (732-808 H./1332-1406 M.),160 al-Ghaza>li> (450-505 H./1058-1111 M.),161 dan al-‘A<miri> (w. 381

159 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 242. 160 Tentang penjabaran ilmu-ilmu pengetahuan dalam klasifikasi Ibn Khaldu>n,

lihat lengkapnya dalam ‘Abd al-Rah{ma>n ibn Muh}ammad ibn Khaldu>n, Muqaddimat Ibn Khaldu>n, tah}qi>q ‘Abdullah Muh}ammad al-Darwi>sh (Damaskus: Da>r Ya’rib, 2004), 171-271.

161 Seperti yang telah dikaji pada bab sebelumnya, bahwa sekurang-kurangnya ada dua belas jenis klasifikasi ilmu yang terdapat dalam enam karya al-Ghaza>li> yang memuat gagasan klasifikasi ilmu, dilihat dari berbagai sudut pandang. Lihat misalnya al-Ghaza>li>, Al-Ghaza>li, Mi>za>n al-‘Amal, tah{qi>q Sulayma>n Dunya> (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif,

Page 152: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

140

H./992 M.)162 yang menjadikan kajian klasifikasi ilmu sebagai salah satu pembahasan dalam karyanya, demikian juga Ibn Sab‘i>n mengangkat wacana ini dalam karyanya Budd al-‘A<rif ketika mengelaborasi konsep ilmu. Meski demikian, dalam bagian lain, seperti ketika menjelaskan pandangan muqarrab tentang Jiwa, ia pun sempat memberikan klasifikasi ilmu-ilmu agama (‘ulu>m al-di>n).163

Secara eksplisit, Ibn Sab‘i>n membagi ilmu ke dalam tiga kategori besar yaitu: rumpun ilmu-ilmu syari’at/agama (al-‘ulu>m al-shar‘i>yah); ilmu-ilmu adab (al-‘ulu>m al-adabi>yah); dan ilmu-ilmu filosofis (al-‘ulu>m al-falsafi>yah). Hal ini tentu berbeda dengan deskripsi klasifikasi pada umumnya yang kebanyakan mengklasifikasikan ilmu kepada dua bagian besar. Ibn Khaldu>n misalnya yang memklasifikasikan ilmu kepada naqli>yah dan ‘aqli>yah,164 al-‘A<miri> kepada milli>yah dan h}ikmi>yah,165 atau Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi> yang membagi ilmu kepada dua kategori besar, al-h}ikmi> dan ghayr al-h}ikmi>.166 Jika rumpun ilmu-ilmu syari’at dan filsafat pada umumnya memang digunakan oleh cendikiawan lain, maka rumpun ilmu-ilmu adab merupakan bagian yang “khas” dalam klasifikasi Ibn Sab‘i>n, meskipun secara substansial, ilmu-ilmu dalam rumpun al-‘ulu>m al-adabi>yah juga ada dalam klasifikasi cendikiawan lainnya.

Terlepas dari kekhasan deskripsi klasifikasi ini, sejauh penulusuran penulis, dalam hal klasifikasi ilmu, Ibn Sab‘i>n tampak tidak membahasnya secara rinci, ia hanya mencatat poin-poin besarnya saja. Hal ini tentu tidak berarti ia tidak serius mengkaji wacana ini, justru pandangannya tentang klasifikasi ilmu secara deskriptif merupakan konsekuensi logis dari keutuhan pandangan epistemologinya. Karena itu, pandangannya terkait dengan klasifikasi ilmu harus dikaji lebih lanjut, terlebih dalam konteks jika dikaitkan dengan gagasan ontologis Kesatuan Mutlak-nya.

Pertama, ilmu-ilmu syari’at/agama (al-‘ulu>m al-shar‘i>yah), memiliki enam bagian bidang ilmu, yaitu 1) ilmu yang berkaitan dengan tekstualitas al-Qur’an (‘ilm al-kita>b al-munazzalah) seperti ilmu qira>’ah al-Qur’an, tajwid, dan lainnya; 2) ilmu yang berkaitan dengan makna al-Qur’an (‘ilm madlu>l al-kita>b al-munazzalah), yang masuk dalam bagian ini antara lain ilmu tafsir, ilmu asba>b al-nuzu>l, naskh mansu>kh, dan lainnya; 3) ilmu-ilmu Hadits (‘ilm al-riwa>ya>t wa-al-akhba>r); 4) yurisprudensi (‘ilm al-fiqh wa-al-sunan wa-al-ah}ka>m); 5) ilmu tentang nasihat yang berhubungan dengan perilaku manusia (‘ilm al-wa‘z} wa-al-

1964), 230. Juga karyanya, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n juz I, tah}qi>q Badawi> T{aba>nah (Semarang: T{a>ha> Pu>tra>, tt.), 14-9.

162 Lihat pemikirannya tentang klasifikasi ilmu dalam Abu> al-H{asan al-‘A<miri>, al-I‘la>m bi-Mana>qib al-Isla>m, ed. Ah}mad ‘Abd al-H{ami>d Ghura>b (Riya>d{: Da>r al-As}a>lah li-al-Thaqa>fah wa-al-Nashr wa-al-I‘la>m, 1988), 80-1.

163 Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 172. 164 Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 171. 165 Al-‘A<miri>, Al-I‘la>m bi-Mana>qib al-Isla>m, 80. 166 Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic

Philosophies of Science (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1998), 249.

Page 153: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

141

takhalluq wa-maka>rim al-akhla>q); dan 6) ilmu yang berkaitan dengan kedudukan spritual manusia (‘ilm al-maqa>ma>t) seperti dalam tradisi tasawuf.167

Selain klasifikasi di atas, di tempat lain, Ibn Sab‘i>n juga memuat klasifikasi ilmu-ilmu religius (‘ulu>m al-di>n) dengan perspektif al-muqarrab-nya. Menurutnya, jika dilihat dari segi intelligible-nya, kelompok ilmu ini setidaknya memiliki lima bagian: 1) ilmu-ilmu jelas dan terang atau “sisi luar” (‘ilm z}a>hir bayyin jali>/obvious science) yang dapat dipahami oleh kalangan umum seperti ‘ilm al-qira>’ah (tata cara membaca al-Qur’an), al-riwa>yah wa-al-akhba>r (ilmu transmisi hadits), dan sebagainya. 2) Ilmu-ilmu “sisi dalam” yang samar dan tak tampak (‘ilm ba>t}in maknu>n khafi>/secret science), yang hanya dapat dipahami oleh para kekasih (wali>) Allah yang selalu memikirkan rahasia-rahasia agama (asra>r al-di>n). 3) Ilmu pertengahan antara kedua ilmu sebelumnya (mutawassit} bayna al-awwal wa-al-tha>ni>), yaitu ilmu yang dapat dipahami oleh semua kalangan seperti, Fiqh, ilmu-ilmu tafsir, dan lainnya. 4) Ilmu yang dapat dipahami jika telah menguasai ilmu “sisi dalam” (ma> yufham idha> fuhimat al-tha>ni>), yang secara eksplisit dimaknai sebagai ilmu yang mengantarkan kepada hakikat-hakikat dari konsepsi al-ism al-a‘z}am (nama keagungan [Tuhan]), dan hanya dapat dicapai oleh orang yang telah sampai pada tingkatan gnostik murni (al-‘a>rifi>n). Terakhir, 5) adalah ilmunya al-muh}aqqiq, yaitu ilmu yang mampu meleburkan logika kemajemukan realitas, ilmu yang membawa pencarinya kepada sebuah “penglihatan” hanya ke wajah Tuhan.168

Jika dibandingkan dengan klasifikasi dari cendikiawan lain, klasifikasi Ibn Sab‘i>n atas ilmu-ilmu syari’ah ini boleh dikatakan terdapat banyak kesamaan secara substansial. Dengan klasifikasi al-Ghaza>li> misalnya (lihat gambar 7),169 hampir semua ilmu yang masuk dalam kelompok ilmu syari’ah dalam klasifikasi Ibn Sab‘i>n masuk pula dalam klasifikasi al-Ghaza>li>. Bedanya hanya pada tataran teknis saja, jika Ibn Sab‘i>n membagi ilmu syari’ah secara langsung, maka al-Ghaza>li> terlebih dahulu mengelompokkan rumpun ilmu ini kepada empat bagian: al-us}u>l (ilmu-ilmu prinsip), al-furu>’ (cabang), al-muqaddima>t (pengantar) dan al-mutammima>t (pelengkap).

Pengakuan Ibn Sab‘i>n terhadap ilmu-ilmu syari’ah dengan memuatnya ke dalam konstruk klasifikasi ilmu, tentu didasarkan pada pandangan bahwa, rumpun ilmu ini merupakan manifestasi ilmiah dari salah satu sumber utama ilmu, yaitu al-Qur’an dan Sunnah, baik tekstual dengan jalan transmisi keilmuan, maupun kontekstual dengan jalan ijtihad. Artinya, pandangan tersebut menjadi basis yang kuat bagi kelompok ilmu ini. Bahkan, secara aksiologis, ia mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama adalah “penyelamat” di hari akhir (al-mukhlis}ah li-yawm al-di>n).170 Yang menarik adalah, apresiasinya terhadap ilmu-ilmu syari’ah ini, tentu saja semakin memperkuat asumsi bahwa ia tidak seperti apa yang dituduhkan para penentangnya seperti Ibn Taymi>yah (661–728

167 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 121. 168 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 172-3. 169 Lihat lengkapnya al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n juz I, 17. 170 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 173.

Page 154: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

142

H./1263–1328 H.)171 dan al-Suku>ni> (w. 716 H./1316 M.),172 yang mengklaim bahwa Ibn Sab‘i>n menolak syari’at.

Kedua, ilmu-ilmu adab (al-‘ulu>m al-adabi>yah), rumpun ilmu dengan penamaan yang “khas” dalam klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n. Menurutnya, yang termasuk ke dalam rumpun ilmu ini sangatlah banyak. Diasumsikan bahwa, bidang-bidang ilmu yang masuk dalam rumpun ini adalah segala ilmu yang berkaitan dengan seluruh perbuatan manusia dalam menciptakan “peradaban”. Di sini, ia menyebutkan beberapa saja cabang ilmu yang masuk dalam bagian ini, antara lain, ilmu administrasi (‘ilm al-kita>bah), linguistik (‘ilm al-lughah), mekanika (al-h}iyal), sastra (‘ilm al-shi‘r wa-al-‘aru>d{ wa-al-rajaz), ilmu tentang ramalan berdasarkan suatu peristiwa/fa’al (al-fa’l), sejarah (al-tawa>rikh), juga klenik (al-sih}r).173

Dibanding dengan klasifikasi cendikiwan lain, dalam rumpun ilmu adab ini, terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Dengan klasifikasi al-Fa>ra>bi>174 dan Qut}b al-Di>n175 misalnya, ilmu-ilmu yang masuk dalam kelompok ilmu adab pada klasifikasi Ibn Sab‘i>n justru umumnya masuk dalam kelompok ilmu filosofis dan ilmu religius. Penulis mengasumsikan, pengelompokan ilmu-ilmu tersebut ke dalam ilmu adab didasarkan atas pandangannya bahwa manusia sebagai makhluk paling sempurna di antara makhluk lainnya, memiliki kehendak serta potensi-potensi dan daya-daya kreatif (s}ana>‘i>yah) untuk mencipta. Kehendak, potensi dan segenap daya tersebut tentu dapat diaktualisasikan baik secara ontologis maupun sosiologis demi tercapainya sebuah peradaban, guna meraih kemakmuran setinggi-tingginya dalam kehidupan. Hal ini ditambah pula dengan kenyataan historis bahwa Ibn Sab‘i>n sangat serius mendalami ilmu nama-nama dan huruf yang dapat dipastikan masuk ke dalam rumpun ilmu-ilmu adab, bahkan tak sedikit karyanya yang khusus mengkaji ilmu tersebut.176 Kecenderungan ini tampaknya cukup menjadi alasan dan basis bagi pengelompokan ilmu-ilmu di atas ke dalam ilmu adab.

Ketiga, ilmu-ilmu filsafat (al-‘ulu>m al-falsafi>yah). Dibanding dengan penjabaran dua rumpun ilmu sebelumnya, pada rumpun ilmu ini, tampak sekali Ibn Sab‘i>n memberikan penjabaran yang lebih terperinci. Pada bagian ini pula, secara eksplisit, terdapat hierarki dalam bidang-bidang ilmu yang didasarkan

171 Lihat misalnya Ibn Taymi>yah, al-Furqa>n bayna al-H{aqq wa-al-Ba>t}il tah}qi>q

H{usayn Yu>suf Ghaza>l (Beirut: Da>r Ih}ya>’al-‘Ulu>m, 1987), 96. Juga dalam karyanya yang khusus, Bughyat al-Murta>d ‘ala> al-Mutafalsifah wa-al-Qara>mit}ah wa-al-Ba>t}inah tah}qi>q Mu>sa> ibn Sulayma>n al-Duways (Madinah: Maktabat al-‘Ulu>m wa-al-H{ikam, 2001).

172 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 47 dan 150. Lihat juga Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 40.

173 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 121-2. 174 Tentang klasifikasi ilmu al-Fa>ra>bi>, lihat karyanya Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, ed. ‘Ali>

Bu> Mulh}im (Beirut: Da>r wa-Maktabat al-Hila>l, 1996), 17-90. 175 Mengenai klasifikasi Qut}b al-Di>n, lihat Bakar, Classification, 249-257. 176 Lihat Taqy al-Di>n Muh}ammad ibn Ah}mad al-H{asani> al-Fa>si>, al-‘Iqd al-

Thami>n fi> Ta>ri>kh al-Balad al-Ami>n jilid 5, tah}qi>q Fu’a>d Sayyid (Beirut: Mu’assasat al-Risa>lah, 1985), 327. Juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 142.

Page 155: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

143

pada tingkatan ontologis objeknya, meski secara tekstual hierarki tersebut hanya ada dalam kelompok ilmu filosofis-teoritis.177 Rumpun ilmu ini dibaginya menjadi ke dalam dua kategori besar, yaitu teoritis (al-‘ilmi>) dan praktis (al-‘amali>).

Bagian teoritis, ia klasifikasikan ke dalam tiga bagian, yaitu: 1) ilmu-ilmu fisika (‘ilm al-t}abi>‘i> wa-‘ilm dhawa>t al-‘ans}ir). Secara hierarkis, bagian ilmu ini disebut sebagai ‘ilm al-asfal, atau ilmu-ilmu yang berada di dasar hierarki (lower science). Dikatakan demikian tentu merujuk pada pandangannya tentang hierarki wujud dan status ontologis wujud-wujud fisik yang menjadi objek dari kelompok ini sebagaimana telah diuraikan di atas. Bagian ini pun terbagi lagi menjadi tiga kelompok ilmu, a) prinsip-prinsip fisika (al-‘ilm bi-al-us}u>l) yang meliputi tiga disiplin ilmu: astronomi (‘ilm al-falak wa-al-kawa>kib), ilmu tentang benda-benda langit/meteorologi (al-‘ilm bi-al-atha>r al-‘alawi>yah al-ka>’inah fi> al-jaww), dan ilmu tentang benda-benda bumi/geofisika (al-‘ilm bi-al-atha>r al-‘alawi>yah al-ka>’inah fi> al-ard}).178 b) ilmu tentang hewan -termasuk manusia- (al-‘ilm bi-al-h}ayawa>n), yang meliputi dua bagian besar yaitu, ‘ilm bi ‘ilal al-h}ayawa>n wa-a‘d}a>’iha> wa-mana>fi‘iha (kedokteran dan anatomi), dan al-’ilm bi-mana>fi‘ihi wa-t}aba>’i‘ihi (biologi dan zoologi). c) ilmu tentang tumbuhan/botani (al-‘ilm bi-al-naba>t).179

Selanjutnya, 2) matematika (‘ilm al-riya>d}i>ya>t wa-‘ilm laysa bi-dhi> ‘ans}ir mawju>d fi> ‘ans}ir). Secara hierarkis dengan melihat objeknya, kelompok ilmu ini menempati urutan di atas ilmu fisika, Ibn Sab‘i>n menyebutnya sebagai ‘ilm al-awsat} (ilmu pertengahan/intermediate science).180 Tentu saja seperti halnya ilmu fisika, penyebutan ini juga didasarkan atas pandangannya terhadap kedudukan objek matematika yang menengahi fisika dan metafisika, yang dalam hierarki wujud menemukan tempatnya dalam konsepsi Jiwa dan Akal Universal. Keduanya merupakan entitas yang sejatinya bersifat imateriil, namun berhubungan langsung dengan wujud materiil di bawahnya. Ada empat bidang ilmu yang termasuk ke dalam kelompok ilmu ini, yaitu a) ilmu hitung/aritmatika (‘ilm al-‘adad), b) ilmu ukur/geometri (‘ilm al-hindasah), c) astrologi (‘ilm al-tanji>m), dan d) musikologi (‘ilm ta’li>f al-luh}u>n).181

Terakhir, yang termasuk ke dalam rumpun ilmu-ilmu filosofis-teoritis adalah 3) metafisika (‘ilm ma> ba‘d al-t}abi>‘ah), nama lainnya adalah teologi (‘ilm al-ila>hi>). Dalam rangkaian hierarkis, ilmu ini tentu berada di puncak hierarki dan merupakan ilmu tertinggi (‘ilm al-a‘la>/supreme science). Sebutan ini pun tentu berdasarkan pandangannya terhadap kedudukan objek ilmu ini yaitu Tuhan

177 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 121. 178 Dalam tradisi ilmiah Islam, ilmu ini juga disebut ‘Anwa>‘, sebagai implikasi

ilmiah dari konsep mana>zil al-qamar, yaitu ilmu tentang alam bawah bulan (sublunar). Lihat Daniel Martin Varisco, “The Origin of the Anwa>‘ in Arab Tradition,” Studia Islamica No. 74 (1991), 5-28. http://www.jstor.org/stable/1595894 (diakses pada 15 Oktober 2014).

179 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 121-2. 180 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 121. 181 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 122.

Page 156: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

144

sebagai realitas tertinggi, sekaligus sebagai wujud yang satu.182 Menurutnya, ilmu tertinggi ini terbagi menjadi dua bagian: ilmu yang khusus membahas tentang ke-Esa-an Allah (‘ilm bi-wahda>niyatilla>h) dan ilmu yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah (‘ilm bi-al-ashya>’ allati> yu>s}afallah biha>).

Selanjutnya, bagian kedua dari ilmu filosofis adalah kelompok ilmu-ilmu praksis (al-‘amali>). Pada bagian ini, secara garis besar Ibn Sab‘i>n mengelompokannya kepada tiga bagian. Pertama, etika praksis, atau ilmu yang membahas tentang rekayasa individual (siya>sat al-dha>t) yang ia bagi menjadi tiga cabang, yaitu ilmu tentang: 1) bagaimana memperbaiki keinginan/nafsu dengan mengubahnya menjadi potensi emosional (is}la>h} al-quwwah al-shahwa>ti>yah wa-khud}u>‘uha> li-al-quwwah al-ghad}bi>yah), 2) bagaimana memperbaiki potensi emosional tersebut dengan mengubahnya menjadi potensi intelektual (is}la>h} al-quwwah al-ghad}bi>yah wa-khud}u>‘uha> li-al-quwwah al-tamyi>zi>yah), dan 3) bagaimana menjaga potensi intelektual tersebut agar dapat mendorong kepada perilaku-perilaku yang baik (h}ifz} al-quwwah al-tamyi>zi>yah wa-tah}ri>kuha> bi-al-adab ‘alá al-tarti>b al-ladhi> yanbaghi>). Kedua, ekonomi (siya>sat al-manzil), dan ketiga politik (siya>sat al-madi>nah).183

182 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 133. 183 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 122.

Page 157: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

145

Gambar 11: Klasifikasi Ibn Sab‘i>n

Page 158: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

146

Pembagian ilmu filosofis-praksis kepada tiga bagian di atas memang tampak sederhana. Meski demikian, pembagian itu tentu didasari asumsi bahwa ketiga bidang tersebut merupakan pengejawantahan atas pandangan bahwa manusia harus mengedepankan etika dan moralitas bagi dirinya sendiri secara individual, maupun secara sosiologis sebagai anggota dari keluarga dan sebagai warga negara. Tak heran jika etika, baik secara teoritis maupun metafisis menjadi satu pembahasan serius dalam karya-karya Ibn Sab‘i>n. Ketiga bagian ilmu filosofis-praksis ini, sejatinya merupakan representasi dari segenap etika praksis. Artinya, inti dari etika praksis yang berkaitan dengan perilaku manusia, secara etik, akan kembali kepada tiga bagian ilmu filosofis-praksis tersebut.

Melihat konstruk klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n secara tekstual, tampak sekali bagaimana ia lebih serius dalam mengelaborasi ilmu-ilmu filosofis. Fakta ini tentu saja semakin memperkuat pandangan sebagian para peneliti biografis, bahwa Ibn Sab‘i>n adalah seorang filosof, atau setidaknya seorang sufi yang serius dalam mendalami tradisi filsafat.184 Selain itu, dalam rumpun ilmu filosofis pula, hierarki ilmu yang berkesinambungan dapat ditemukan. Seperti halnya klasifikasi ilmu secara hierarkis yang disusun al-Fa>ra>bi> dan al-Amuli> (w. 753 H./1352 M.),185 hierarki ilmu dalam pandangan Ibn Sab‘i>n juga didasarkan atas derajat dan kedudukan hierarkis wujud-wujud yang menjadi objek ilmunya seperti yang telah dibahas dalam sub bab sebelumnya. Ilmu tentang Tuhan merupakan ilmu tertinggi karena mengkaji objek paling mulia, di bawahnya, yang menempati posisi pertengahan, ada matematika yang mengkaji wujud-wujud imateriil namun berhubungan dengan wujud fisik, sedangkan fisika merupakan lower science dengan wujud-wujud fisik sebagai objeknya, yang dalam skema hierarki wujud berada di dasar hierarki.

D. Hierarki Ilmu dalam Bingkai Kesatuan Mutlak: Sebuah Refleksi atas

Integrasi Keilmuan Tampaknya sangat beralasan jika dikatakan bahwa, sudah menjadi fakta

ilmiah, setiap disiplin ilmu yang dihasilkan oleh sebuah sistem epistemologi, tidak akan mencapai status ilmiah yang sah kecuali status ontologis objeknya jelas, diakui dan legitimate.186 Ini berarti, pada konteks klasifikasi ilmu dalam Islam, setiap konstruk klasifikasi yang disusun, akan sangat bergantung pada

184 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 67. 185 Tentang klasifikasi al-Amuli>, lihat Sayyed Hossein Nasr, Islamic Science:

An Illustrated Study (London: World of Islam Festival Publishing Company ltd., 1976), 15.

186 Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Little Field Adams & CO. 1963), 49. Juga Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, 42. Lihat juga D.W. Hamlyn, “History of Epistemology,” dalamThe Encyclopedia of Philosophy vol. 3, ed. Paul Edwards (New York: Macmillan, 1967), 8-9. Lihat juga misalnya Gholamreza Fadaie, “The Influence of Classification on Worldview and Epistemology,” Proceedings of the Informing Science & IT Education Conference (2008), http://proceedings. informingscience.org/InSITE2008/InSITE08p001-013Fadaie410.pdf (diakses pada 23 Agustus 2013).

Page 159: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

147

gagasan-gagasan filosofis umum yang terdapat dalam setiap madzhab intelektual Islam, dan pada gagasan filosofis khusus yang terdapat dalam “pandangan dunia” intelektual-religius penciptanya.187 Seorang cendikiawan Muslim tentu tidak mungkin menciptakan gagasan klasifikasi ilmu dengan mengabaikan konstruk pemikiran filosofis dirinya dan kelompok intelektualnya. Seorang filosof yang memiliki kecenderungan kuat terhadap rasio, dapat dipastikan akan lebih serius mengelaborasi ilmu-ilmu filosofis, atau seorang sejarawan misalnya, tentu akan lebih mencurahkan perhatiannya dalam mendeskripsikan bidang ilmu apa saja yang pernah berkembang dalam perspektif historis, dan begitu seterusnya.

Dalam ranah ini, Ibn Sab‘i>n juga turut mencurahkan pemikirannya dengan menyusun klasifikasi terhadap ilmu-ilmu yang berkembang pada masanya. Terlepas dari berbagai kecenderungan ilmiah, perbedaan dan persamaan dengan pandangan cendikiawan lain, pemikirannya tentang hierarki ilmu yang ia tuangkan dalam karyanya, tentu menjadi sebuah tanggung jawab intelektual baginya untuk menjaga dan melestarikan sebuah tradisi ilmiah.

Sebagai seorang teosof (filosof-sufi) kenamaan188 seperti halnya Suhrawardi al-Maqtu>l (549-587 H./1154-1191 M.),189 Ibn Sab‘i>n telah berhasil menyusun salah satu sintesis besar antara doktrin Sufi dan filsafat dalam sejarah pemikiran Islam. Inilah yang menjadi alasan Nasr mengatakan bahwa pada diri Ibn Sab‘i>nlah tampak gambaran hubungan erat antara tasawuf dan filsafat yang paling jelas.190 Jika para Sufi dalam menegaskan pemikirannya tidak menggunakan logika formal Aristotelian, atau para teolog (mutakallimu>n), para filsuf Islam (fala>sifah), termasuk juga fuqaha>’ yang menggunakan pendekatan filsafat dan dilektika bahasa, para teosof justru tidak hanya menggunakan metode teoritis dan pendekatan filosofis an sich, melainkan juga diakhiri dengan menggunakan pendekatan intuisi dan kashf (penyingkapan).

Sistem pikir yang demikian, pada gilirannya mengantarkan Ibn Sab‘i>n kepada sikap kritis-konstrukstif terhadap logika Aristotelian dengan menawarkan sistem epistemologi yang ia sebut ‘ilm al-tah}qi>q dan logika al-muh}aqqiq, yakni logika yang bersifat gnostik-intuitif.191 Logika yang tidak berpijak pada penalaran rasio, seperti induksi dan deduksi, akan tetapi berpijak

187 Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 3. 188 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 67 dan 296. Lihat juga Ibn Zaru>q,

Qawa>‘id al-Tas}awwuf, 61. 189 Tentang pemikiran teosofis Suhrawardi, lihat lengkapnya Aminrazavi,

Suhrawardi and the School of Illumination. Juga Ziai, Knowledge and Illumination. 190 Sayyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik: Sebuah Pengantar,” dalam

Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), 462.

191 Tentang hal ini lihat misalnya Yousef Alexander Casewit, “The Objective of Metaphysics in Ibn Sab‘i>n’s Answers to the Sicilian Questions”, http://www. allamaiqbal.com/publications/journals/review/apr08/7.htm (diakses pada 29 April 2014).

Page 160: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

148

pada nilai-nilai ketuhanan, yang dengan logika ini manusia bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat dan bisa mengetahui sesuatu yang tidak bisa diketahui.192

Dari sini, apalagi melihat karya monumentalnya Budd al-‘A<rif, Ibn Sab‘i>n terlihat menggunakan logika sebagai alat untuk mencapai tingkatan spritual setinggi-tingginya. Meski ia lebih banyak menggunakan logika dibanding para mistikus lainnya, ia tidak lekas menjadi seorang rasionalis dalam pengertian modern. Baginya, logika sejatinya adalah daya intuitif demi mencapai transendensi. Tampaknya, hal inilah yang menurut al-Tafta>za>ni> menjadi ciri khas dari filsafat tasawuf-nya Ibn Sab‘i>n, yang karena itu ia dikategorikan sebagai seorang teosof,193 juga Ah}mad Zaru>q yang menyatakan bahwa tasawuf Ibn Sab‘i>n didirikan di atas pondasi logika.194

Secara filosofis, konstruk epistemologi Ibn Sab‘i>n seperti demikian tentu dibangun dari sebuah pandangan ontologis tertentu yang mengantarkannya kepada sebuah sintesis keilmuan besar di zamannya. Ya, al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak/absolute unity), pandangan ontologis yang seolah menjadi grand design dan “penentu arah” bagi segenap pemikiran filosofisnya. Doktrin ini tidak hanya merambah pada tataran epistemologis dan kosmologis, bahkan etika sekali pun tak luput dari design doktrin ini. Tak pelak lagi, pandangan ontologis ini pula yang menjadikan ia dikenal di dunia Islam, bahkan Barat, meski pada kenyataannya, doktrin yang ia bangun ini banyak menuai kritik dari para penentangnya.

Seperti yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, landasan berpikir Ibn Sab‘i>n dalam menegaskan konsep Kesatuan Mutlak ini sebenarnya cukup sederhana. Bahwa, wujud adalah satu, hanya wujud Allah saja. Sementara wujud segala mawju>d adalah entitas wujud yang satu itu, tidak ada tambahan apa pun, dan wujud ini merupakan premis yang satu dan tetap.195 Baginya, hanya ada satu wujud yang benar-benar ada, yaitu Wujud Mutlak, sedangkan yang selainnya adalah wahm (ilusi). Wujud yang banyak, yang terdeteksi oleh indra, bukanlah wujud hakiki. Wujud hakiki hanya satu. Yang satu itu pun senantiasa ada dan tidak pernah tidak ada.196 Artinya, sesuatu yang pernah tidak ada atau memiliki akhir keberadaannya, sebenarnya bukanlah suatu yang dapat disebut Wujud, karena keberadaannya bersandar kepada wujud lain. Sesuatu yang keberadaannya tergantung kepada wujud lain tidak dapat disebut Wujud. Begitu

192 Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 42. Dalam konteks epistemologi Islam,

pengetahuan seperti ini dinamakan ‘ilm h}ud}u>ri>, yaitu di mana subjek ilmu yang mengetahui dapat langsung menembus ke dalam objek ilmu yang diketahui tanpa terhalang oleh bahasa yang sangat spasial. Lihat Yazdi, The Principles, 27-8.

193 Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 296. 194 Ibn Zaru>q al-Fa>si>, Qawa>‘id al-Tas}awwuf, 61. 195 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“, dalam Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>

(ed./muh}aqqiq), Rasa>’il Ibn Sab‘i>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007) 252 dan 257.

196 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“ dalam al-Mazi>di>, 252. Juga dalam karyanya, Risa>lat al-Tawajjuh, dalam al-Mazi>di> (ed./muh}aqqiq), Rasa>’il Ibn Sab‘i>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007), 340. Lihat juga Sharaf, Al-Wah}dah al-Mut}laqah, 112.

Page 161: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

149

pula sesuatu yang wujudnya berakhir, tidak dapat disebut Wujud. Semua itu hanyalah awha>m (ilusi-ilusi) belaka yang pada suatu waktu muncul, lalu kemudian menghilang.

Lebih dari itu, dan ini yang menarik, baginya, segala sesuatu yang terpikirkan dan terasa adalah ilusi, atau, di tempat lain ia sebut sebagai mara>tib (kategori-kategori atau gradasi-gradasi konseptual) yang menjelma dalam pikiran dan perasaan. Ilusi sama sekali tidak memiliki esensi.197 Karenanya, segala yang muncul dalam pikiran dan perasaan bukanlah sesuatu yang memiliki esensi.198 Itu artinya, konsep tentang sesuatu tidak lain adalah persepsi pikiran dan perasaan tentang sesuatu itu, dan tidak memiliki esensi, karena hanya sebuah ilusi. Bahkan, akal dan perasaan itu sendiri pun adalah ilusi. Berarti, segala sesuatu yang muncul dari ilusi adalah ilusi pula. Tetapi, Wujud bukanlah ilusi, ia adalah Kebenaran Mutlak, dan ia hanya satu, Wujud Allah. Dengan kata lain, entitas wujud selain-Nya merupakan wujud metaforis (i’tiba>ri>), wujud selain-Nya hanya ada dalam ranah terminologi/kesusasteraan saja.199

Dari pandangan ini tampak sekali bahwa dengan al-Wah}dah al-Mut}laqah-nya, Ibn Sab‘i>n menempatkan ketuhanan pada wilayah yang absolut. Dalam arti, ia ingin menempatkan Tuhan sebagai Kemahaesaan Mutlak yang tidak dapat ditandingi oleh apa pun dan siapa pun. Sebab, Wujud Allah, menurutnya adalah sumber bagi entitas yang ada dan entitas yang akan ada. Allah adalah sumber bagi semua entitas yang ada pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Wujud materi yang tampak, harus dikembalikan kepada Wujud Mutlak yang bersifat ru>h}i> (spiritual). Dengan demikian, dalam menafsirkan wujud, paham ini bercorak spiritual, bukan material.

Dalam konteks ini, klasifikasi hierarkis yang ia susun terhadap wujud dan ilmu, tentu dimaknai sebagai sebuah konsep besar. Sebagai sebuah konsep yang muncul dan dipersepsi oleh nalar, hierarki ilmu yang disusunnya ini mesti didasarkan pada pandangan Kesatuan Mutlak-nya. Dari pandangan ini, gagasannya tentang hierarki ilmu, jika dihubungkan dengan pandangan ontologis Kesatuan Mutlak-nya, mengindikasikan sebuah hierarki ilmu yang berakar pada status ontologis objek ilmu yang integral dan holistik dalam bingkai wujud yang satu, yakni wujud Tuhan. Artinya, tidak ada perbedaan dan pemisahan antara objek-objek ilmu, apalagi pertentangan. Dengan kata lain, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa konsep Kesatuan Mutlak yang menjadi basis ontologis klasifikasi ilmu, merupakan pijakan filosofis yang kuat bagi gagasan integrasi keilmuan dan diharapkan dapat menjadi alternatif bagi pijakan

197 Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“, 252. 198 Ibn Sab‘i>n menandaskan “Anna-al-h}aqq an yunsab kullu ma> udrika min-al-

ah}ka>m hissan aw ‘aqlan ilá al-tha>bit la> ilá al-za>’il, li’anna nisbatahu ilá al-tha>bit haqq, wa-nisbatuhu ilá al-murattabah al-za>’ilah wahm, fa-thabata anna-al-h}aqq huwa al-wuju>d, wa-al-wahm hiya al-mara>tib al-za’ilah wa-al-ba>t}ilah”. Lihat Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“, 252.

199 Ibn Sab‘i>n, “al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah”, dalam al-Mazi>di>, 61. Juga “al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah”, dalam al-Mazi>di>, 412. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 211-215.

Page 162: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

150

dan perspektif baru dalam membangun kajian filsafat pengetahuan Islam, dan -secara praksis- terutama dalam rangka membentengi epistemologi Islam yang integral dari derasnya dominasi epistemologi Barat yang dikotomik,200 seperti yang terlihat jelas dalam sistem pendidikan di Dunia Islam pada khususnya.

Secara konseptual, pandangan tersebut akan melahirkan klasifikasi atau hierarki ilmu yang sejatinya bersifat “metaforis”, namun memiliki konstruk yang holistik. Karenanya, hierarki ilmu dengan sifatnya yang metaforis tersebut, penulis istilahkan sebagai “pseudo-hierarki ilmu”. Istilah ini -secara konvensional- dimaknai sebagai istilah yang menunjukkan bahwa, hierarki ilmu yang digagas Ibn Sab‘i>n dengan melihat pandangan ontologisnya hanyalah hierarki “semu”, yang pada hakikatnya justru ilmu-ilmu yang ada dalam hierarki tersebut berintegrasi secara eksistensial.

200 Nasr, Islamic Science, 13. Lihat juga Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:

Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 44-45. Juga Bagheri and Zohreh Khosravi, “The Islamic Concept of Education Reconsidered,” The American Journal of Islamic Social Sciences Vol. 23 No. 4 (2005) 88-103. http://academia.edu/609872/The_Islamic_Concept_of_Education_Reconsidered (diakses pada 17 Januari 2014. Juga Hasanuddin, “Dominasi Peradaban Barat dalam Pendidikan Islam,” Lentera Pendidikan vol. 11 nomor 2 (Desember, 2008), 258-269.

Page 163: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

151

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Setelah mengurai dan mengkaji gagasan filosofis dari klasifikasi ilmu

hierarkis yang disusun Ibn Sab‘i>n, dapat dikonstruksi beberapa kesimpulan sebagai temuan dalam studi ini, dua kesimpulan awal merupakan temuan proposisional sebagai konstruksi bagi kesimpulan ketiga yang merupakan temuan afirmatif sesuai dengan rumusan masalah, yaitu:

Pertama, telah menjadi fakta ilmiah yang tidak bisa dinafikan bahwa, secara historis, hampir semua spektrum pemikiran Islam klasik yang diwakili oleh para sarjananya, mencurahkan perhatian besar terhadap wacana klasifikasi atau hierarki ilmu (aqsa>m al-‘ulu>m). Sangat beralasan jika dikatakan bahwa pemahaman tentang klasifikasi ilmu merupakan kunci utama untuk memahami tradisi intelektual Islam. Selain merupakan manifestasi dari keutuhan pandangan integral-holistik para sarjana Muslim, klasifikasi ilmu juga merupakan bentuk tanggung jawab epistemologis-etis demi menjaga keharmonisan, proporsionalitas, dan keseimbangan berbagai disiplin ilmu. Dalam konteks ini, Ibn Sab‘i>n sebagai lokus pemikiran, juga turut menyumbangkan pemikirannya dengan menyusun gagasan tentang klasifikasi ilmu hierarkis yang ia tuangkan dalam Budd al-A<rif, karya monumentalnya. Secara deskriptif, ia membagi ilmu ke dalam tiga kategori besar yaitu: rumpun ilmu-ilmu agama (al-‘ulu>m al-shar‘i>yah); ilmu-ilmu adab (al-‘ulu>m al-adabi>yah); dan ilmu-ilmu filosofis (al-‘ulu>m al-falsafi>yah).

Kedua, setiap konstruk klasifikasi ilmu yang disusun, akan sangat bergantung pada gagasan-gagasan filosofis umum yang terdapat dalam setiap madzhab intelektual, dan pada gagasan filosofis khusus dalam “pandangan dunia” intelektual-religius penciptanya. Sebagai seorang teosof (filosof-sufi), Ibn Sab‘i>n telah berhasil menyusun salah satu sintesis besar antara doktrin Sufi dan filsafat dalam sejarah pemikiran Islam. Secara filosofis, konstruk epistemologis tersebut dibangun dari sebuah pandangan ontologis tertentu, yaitu pandangan Kesatuan Mutlak/absolute unity (al-Wah}dah al-Mut}laqah). Landasan berpikir Kesatuan Mutlak ini ialah bahwa, wujud adalah satu, hanya wujud Allah saja. Sementara wujud segala mawju>d adalah entitas wujud yang satu itu, tidak ada tambahan apa pun, dan wujud ini merupakan premis yang satu dan tetap. Bagi Ibn Sab‘i>n, hanya Wujud Mutlak yang benar-benar ada. Sedangkan selain-Nya adalah wahm (ilusi). Wujud yang banyak, yang dipersepsikan oleh pikiran dan terdeteksi oleh indra, bukanlah wujud hakiki. Wujud hakiki hanya satu dan senantiasa “ada”. Pandangan inilah yang menjadi “penentu arah” bagi segenap pemikiran filosofisnya, tak terkecuali pemikirannya tentang hierarki ilmu.

Ketiga, sebagai sebuah konsep yang dipersepsikan nalar, klasifikasi ilmu hierarkis yang ia susun tentu didasarkan atas pandangan Kesatuan Mutlak-nya.

Page 164: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

152

secara epistemologis, pandangan ini mengindikasikan sebuah hierarki ilmu yang berakar pada status ontologis objek ilmu yang integral dan holistik dalam bingkai wujud yang satu, yakni wujud Tuhan. Tidak ada perbedaan, pemisahan atau pertentangan di antara objek-objek ilmu, karena semuanya merupakan ayat-Nya. Dapat dikatakan, pencarian dan pendalaman terhadap berbagai ilmu pengetahuan merupakan proses menapaki jalan untuk mencapai wujud-Nya yang satu. Penulis ingin mengatakan bahwa, konsep Kesatuan Mutlak yang menjadi basis ontologis klasifikasi ilmu, merupakan pijakan filosofis yang legitimate bagi gagasan integrasi keilmuan. Pandangan tersebut tentu akan melahirkan klasifikasi atau hierarki ilmu yang sejatinya bersifat metaforis. Hierarki ilmu seperti demikian, penulis istilahkan dengan “pseudo-hierarki ilmu”, yaitu istilah yang -secara konvensional- menunjukkan sebuah hierarki “semu”, yang sejatinya justru ilmu-ilmu dalam hierarki tersebut berintegrasi secara eksistensial.

Atas dasar beberapa temuan kajian sebagaimana kesimpulan di atas, dapat dikonstruksi kesimpulan umum studi ini, bahwa “semakin inklusif konsepsi wujud (ontologis), maka semakin integral berbagai ilmu pengetahuan (epistemologis)”. Kesimpulan umum tersebut mengindikasikan sebuah pandangan bahwa untuk mencapai konstruksi integrasi keilmuan yang valid, tentu yang paling pertama harus direfleksikan adalah rangka bangun filosofis dari sebuah tradisi keilmuan, baik tradisi keilmuan yang menjadi “nilai ideal”, maupun sistem keilmuan yang di situ terdapat problem. B. Saran dan Rekomendasi

Setelah melalui penelusuran atas gagasan klasifikasi ilmu hierarkis Ibn Sab‘i>n dengan segenap rangka bangun paradigmatiknya, serta dengan mencermati pokok-pokok kesimpulan di atas, penulis menemukan beberapa hal penting sebagai implikasi teoritik yang dapat dijadikan rekomendasi:

Pertama, terkait dengan objek studi, kontribusi Ibn Sab‘i>n terhadap cakrawala pemikiran Islam dan Barat di masanya, tak diragukan lagi. Pengetahuannya tentang tasawuf, filsafat, teologi dan fiqh yang sangat luas, didorong oleh sikap ilmiah-akomodatinya dengan berbagai aliran filsafat seperti Yunani, Persia dan India, di samping juga mendalami pemikiran para filosof Muslim. Kekhasan dan keutuhan pemikirannya “terurai halus” dalam lembaran karya-karyanya. Hal ini mengantarkannya kepada popularitas yang tinggi di masanya, tidak hanya di dunia Islam, bahkan Barat pun mengakuinya, baik ketika ia masih hidup maupun ketika ia telah wafat. Tetapi, kemasyhuran Ibn Sab‘i>n di masanya ternyata tidak serta merta membawanya kepada pupularitas di masa kini seperti filosof atau Sufi lainnya. Sebagian besar peneliti berasumsi bahwa hal ini dilatari oleh kenyataan bahwa, karya-karyanya yang terkesan sulit “ditembus” karena ia banyak menggunakan ungkapan-ungkapan simbolis, juga banyaknya klaim kafir, mulh}id, zindiq, dan klaim negatif lainnya yang dilayangkan oleh kalangan yang menentangnya, terutama kalangan Fuqaha>’, teolog dan sejarawan. Tak pelak lagi, dua hal tersebut membuatnya semakin tenggelam dalam kancah pemikiran di dunia Islam.

Page 165: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

153

Dengan asumsi tersebut, penelitian lanjutan terkait Ibn Sab‘i>n sebagai lokus pemikiran tentu diperlukan. Tidak berlebihan rasanya jika penulis mengatakan bahwa “mutiara-mutiara” pemikirannya yang kini “berserakan”, jika terus dikaji secara kontekstual dan proporsional, akan menghasilkan banyak khazanah pemikiran yang diharapkan dapat menjadi “penawar” bagi problematika dalam segenap fenomena keberagamaan di Indonesia khususnya. Sekurang-kurangnya, studi lanjutan tersebut berimplikasi pada pengenalan lebih baik lagi terhadap rangka bangun pemikiran seorang Ibn Sab‘i>n, khususnya paradigma pemikiran klasifikasi ilmunya sebagai sebuah sistem pengetahuannya yang utuh.

Selain itu, dalam konteks kajian tentang klasifikasi ilmu sebagai salah satu refresentasi dari sebuah sistem epistemologi, penulis merasa “berkewajiban” untuk mengembangkan kajian dan atau studi atas konsep ini. Bukan hanya dalam perspektif tradisi intelektual Islam seperti dalam penelitian ini, tetapi juga secara lebih khusus melacak, menelusuri serta mengelaborasi bagaimana konsep klasifikasi ilmu ini berkembang di Barat dengan segenap paradigmanya. Kajian ini sekurang-kurangnya dapat mendeskripsikan, mengomparasikan, dan mengeksplorasi bagaimana dua konstruk epistemologi, Barat dan Islam saling “berhadap-hadapan”. Karenanya, tentu saja studi lanjutan atas konsep klasifikasi ilmu secara umum sangat diperlukan.

Kedua, diakui atau pun tidak, pola pikir dikotomik -bahkan masih banyak yang cenderung hitam-putih- dalam sistem pendidikan di Indonesia khususnya, telah menjadi kenyataan yang tidak terbantahkan. Anehnya, pola pikir ini tidak hanya merambah ke banyak para praktisi pendidikan, bahkan hingga kalangan grass root yang seolah telah masuk dalam ranah kognitif mereka. Jika dikatakan bahwa pola pikir dikotomik-paradoksal ini karena meniru sistem pendidikan Barat, tentu asumsi tersebut tidak sepenuhnya keliru. Dengan itikad baik, demi “melerai” problem paradigmatik ini, banyak kalangan khususnya dari dunia akademik yang menyumbangkan pemikirannya demi tercapainya sebuah paradigma pendidikan yang integratif-holistik. Untuk misi ini, tentu yang paling pertama harus direfleksikan adalah rangka bangun filosofis dari sebuah tradisi keilmuan, baik tradisi keilmuan yang ideal, maupun sistem keilmuan yang di situ terdapat problem.

Dengan menyadari masih banyaknya aspek yang harus diverifikasi dalam studi ini, dari refleksi atas proposisi-proposisi pokok dalam studi, penulis hendak mengatakan pandangan rekomendatif kepada pemegang kebijakan, lembaga-lembaga pendidikan, gerakan-gerakan keagamaan dan para pemuka agama, bahwa sudah saatnya pandangan hitam-putih, dikotomik dan paradoksal terhadap keilmuan/filsafat pengetahuan ini didekonstruksi. Artinya, dari dekonstruksi tersebut, diharapkan akan muncul pola pikir integralistik-holistik dalam keilmuan sebagai rekonstruksi. Secara khusus, dalam meningkatkan wawasan ke-Tauhid-an, langkah ini setidaknya dapat mencegah masyarakat dari keterjebakan dalam pemahaman parsial terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan filsafat pengetahuan dalam Islam. Semoga...

Page 166: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

154

Page 167: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

155

DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-Tawwa>b, Ramad}an. Mana>hij Tah}qi>q al-Tura>th bayna al-Qada>má wa-al-Muh}addithi>n. Kairo: Maktabat al-Kha>naji>, 1985.

Abu> Zayd, Nas}r H{a>mid. Ha>kadha> Takallama Ibn ‘Arabi>. Kairo: al-Hay’ah al-Mis}ri>yah al-‘A<mah li-al-Kita>b, 2002.

al-A<lu>si>, Khayr al-Di>n. Jila>’ al-‘Aynayn fi> Muh{a>kamat al-Ah{madayn. Madinah: Mat}ba‘ah al-Madani>, 1981.

Ahmed, Akbar S. Discovering Islam: Making Sense of Muslim History and Society. New York: Routledge, 2002.

Ajram, K.The Miracle of Islamic Science. Lowa: Cedar Rapids, 1992. Aminrazavi, Mehdi. Suhrawardi and the School of Illumination.

Richmonde: Curzon, 1997. al-‘A<miri>, Abu> al-H{asan. Al-I‘la>m bi-Mana>qib al-Isla>m, ed. Ah}mad ‘Abd

al-H{ami>d Ghura>b. Riya>d{: Da>r al-As}a>lah li-al-Thaqa>fah wa-al-Nashr wa-al-I‘la>m, 1988.

al-Azmeh, A. Ibn Khaldun: An Essay on Interpretation. New York: Central European University Press, 2003.

Abdullah, Amin. et.al (eds.). Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000.

‘Abdulla>h, Wajiyah Ah}mad. Wuju>d ‘inda Ikhwa>n al-S{afa>’. Iskandariyah: Da>r al-Ma‘rifah al-Jam‘i>yah, 1989.

Alwasilah, A. Chaedar. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Rosdakarya, 2010.

Anees, Munawar Ahmad. “Menghidupkan Kembali Ilmu.” dalam Al-Hikmah Jurnal Studi-studi Islam no. 3. (1991).

Arifin, M. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta: Bumi Aksara, 1991.

Arsyad, Natsir. Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah. Bandung: Mizan, 1989.

Azadpur, Mohammad. Reason Unbound: On Spritual Practice in Islamic Peripatetic Philosophy. New York: SUNY Press., 2011.

Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Badawi>, ‘Abdurrah}ma>n (ed.). Rasa>’il al-Falsafi>yah li-al-Kindi> wa-al-Fa>ra>bi> wa-Ibn Ba>jah wa-Ibn ‘Adi>. Beirut: Da>r al-Andalus, t.t.

Page 168: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

156

Bakar, Osman. Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science. Cambridge: The Islamic Texts Society, 1998.

__________. “Sains” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Kedua, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.

Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Birx, H. James (ed.). Encyclopedia of Time: Science, Philosophy, Theology and Culture vol. 1. California: Sage Publications Inc., 2009.

Blaauw, Martin and Duncant Pritchard. Epistemology A-Z. New York: Palgrave Macmillan, 2005.

Butt, Nasim. Sains dan Masyarakat Islam. Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.

__________. Science and Muslim Society. London: Grey Seal, 1991. Campanini, Massimo. “Al-Ghaza>li>,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat

Islam Buku Pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.

Chittick, William C. “Ibn ‘Arabi” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.

__________. Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World. Oxford: Oneworld Publications, 2007.

__________. “The View from Nowhere: Ibn ‘Arabi> on the Soul’s Temporal Unfolding” dalam Timing and Temporality in Islamic Philosophy and Phenomenology of Life Vol. 3, ed. Anna-Teresa Tymieniecka. Dordrecht: Springer, 2007.

Connolly, Peter (ed.). Aneka Pendekatan studi Agama, Terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: LkiS, 2002.

Corbin, Henry. History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard. London: Kegan Paul International, 1993.

Cottingham, John. “Descartes” dalam The Cambridge Dictionary of Philosophy Second Edition, ed. Robert Audi. Cambridge: Cambridge University Press, 1999.

Craig, Edward (ed.). The Shorter Routledge Encyclopedia of Philosophy. New York and London: Routledge, 2005.

Page 169: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

157

Curley, Edwin. “Descartes” dalam Encyclopedia of Philosophy 2nd Edition vol. 2, ed. Donal M. Borchert. New York: Thomson Gale, 2006.

al-Dhahabi>, Shams al-Di>n. Ta>ri>kh al-Isla>m wa-Wafaya>t al-Masha>hir wa-al-A‘la>m jilid 49, tah{qi>q ‘Umar ‘Abd al-Sala>m Tadmuri>. Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1999.

Descartes, René. Discourse on Method and Meditations, trans. Elizabeth S. Haldane and G.R.T. Ross. New York: Dover Publication Inc., 2003.

Dostal. Robert J. (ed.). Cambridge Companion to Gadamer. Cambridge: Cambridge University Press, 2002.

Drajat, Amroeni. Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophy Third Edition. New York: Columbia University Press, 2004.

al-Fa>ra>bi, Abu> Nas}r. Ara>’ Ahl al-Madi>nah al-Fa>d}ilah, ed. Albi>r Nas}ri> Na>dir. Beirut: Da>r al-Mashriq, 1968.

__________. Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, ed. ‘Ali> Bu> Mulh}im. Beirut: Da>r wa Maktabat al-Hila>l, 1996.

al-Faruqi, Isma’il Raji. Al-Tauhid: Its Implication for Thought and Life. Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1992.

__________ dan Lois L. al-Faruqi. Atlas Budaya Islam, terj. Mohd. Ridzuan Othman et.al. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1992.

al-Fa>si>, Taqy al-Di>n Muh}ammad ibn Ah}mad al-H{asani>. Al-‘Iqd al-Thami>n fi> Ta>ri>kh al-Balad al-Ami>n jilid 5, tah}qi>q Fu’a>d Sayyid. Beirut: Mu’assasat al-Risa>lah, 1985.

Flint, Robert. Anti-Theistic Theories. Edinburg dan London: William Lackwood & Sons, 1899.

Foltz, Richard. “Islam” dalam Encyclopedia of Environmental Ethics and Philosophy vol. 1, ed. J. Baird Callicot and Robert Frodeman. New York: Gale Cengage Learning, 2009.

Freud, Sigmund. The Future of an Illusion. Trans. from the German and ed. by James Strachey. New York: W.W. Norton & Company, 1961.

Gadamer, Hans-Georg. Philosophical Hermeneutics, trans. and edit. by David E. Linge. California: University of California Press., 1976.

__________. Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald D. Marshall. New York, Sheed and Ward and The Continuum Publishing Group, 2004.

Page 170: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

158

Genequand, Charles. “Metafisika,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Kedua, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.

al-Ghabri>ni>, Abu> al-‘Abba>s. ‘Unwa>n al-Dira>yah: Fi>-man ‘Urifa min al-‘Ulama>’ fi> al-Mi>’ah al-Sa>bi‘ah bi-Baja>yah, tah}qi>q ‘Adil Nuwayhid{. Beirut: Da>r al-Afa>q al-Jadi>dah, 1979.

al-Ghaza>li>, Abu> H{a>mid. Al-Munqidh min al-D{ala>l, tah}qi>q Ka>mil ‘Iya>d dan Jami>l S{ali>ban. Beirut: Da>r al-Andalus, 1967.

__________. Al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l, tah}qi>q Hamzah ibn Zahi>r. Madi>nah: al-Ja>mi‘ah al-Isla>mi>yah - Kulli>yat al-Shari>‘ah al-Madi>nah al-Munawwarah, t.t.

__________. Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, tah}qi>q Badawi> T{aba>nah. Semarang: T{a>ha> Pu>tra>, t.t.

__________. Jawa>hir al-Qur’a>n. Jimali>yah Mesir: Kurdista>n al-‘Ilmi>yah, 1329 H.

__________. Maqa>s}id al-Falasifah, tah}qi>q Mah}mu>d Bayju>. Damaskus: Mat}ba‘at al-D{iba>h}, 2000.

__________. Mi>za>n al-‘Amal, tah{qi>q Sulayma>n Dunya>. Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1964.

Gibb, H.A.R. and J.H. Kramers. Shorter Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1961.

Gilson, Etienne. Reason and Revelation in Middle Age. New York: Charles Scribner’s Sons, 1939.

Groff, Peter S. Islamic Philosophy A-Z. Edinburg: Edinburg University Press, 2007.

Hamlyn, D.W. “History of Epistemology,” dalamThe Encyclopedia of Philosophy vol. 3, ed. Paul Edwards. New York: Macmillan, 1967.

H{anafi>, H{asan. Humu>m al-Fikr wa-al-Wat}an juz 1. Kairo: Da>r Quba>’, 1998.

Hassan, Usman. The Concept of ‘Ilm and Knowledge in Islam. New Delhi: The Association of Muslim Scientists and Engineers, 2003.

Heryanto, Husain. Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam. Bandung: Mizan, 2011.

al-H{ikami>, H{a>fiz} ibn Ah}mad. Ma‘a>rij al-Qabu>l bi-Sharh} Sulam al-Wus}u>l ila> ‘Ilm al-Us}u>l jilid 1, tah}qi>q ‘Umar ibn Mah}mu>d Abu> ‘Umar. Makkah: Da>r Ibn al-Qayyim, 1995.

Himmich, Bensalem. A Muslim Suicide, trans. Roger Allen. New York: Syracuse University Press., 2011.

Hines, Brain. Gods Whisper, Creation’s Thunder. Bratleboro, Vermont: Threshold Books, 1996.

Page 171: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

159

Hodgson, Marshall G. S. Rethinking World History: Essays on Europe, Islam and World History. Cambridge: Cambridge University Press., 2002.

Hogendijk, P. and Abdelhamid I. Sabra (ed.). The Enterprise of Science in Islam. Massachusetts: The MIT Press, 2003.

Hourani, George F. Reason and Tradition in Islamic Ethics. Cambridge: Cambridge University Press, 1985.

Ibn ‘Arabi>, Muh}yi> al-Di>n. Fus}u>s} al-H{ikam, ed. Abu> al-‘Ala> al-‘Afi>fi>. Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.t.

Ibn H{azm, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Fiqh vol. 1. Kairo: Da>r al-Hadi>th, 1984. Ibn al-‘Ima>d. Sadhara>t al-Dhahab fi> Akhba>r man Dhahab jilid 7, tah}qi>q

Mah}mu>d al-Arna>’u>t}. Beirut: Da>r Ibn Kathi>r, 1991. Ibn al-Khat}i>b, Lisa>n al-Di>n. Al-Ih}a>t}ah fi> Akhba>r Gharna>t}ah jilid 4. Kairo:

Maktabat al-Kha>naji>, 1977. Ibn Kathi>r, Isma>‘i>l ibn ‘Umar. Al-Bida>yah wa-al-Niha>yah jilid 17, tah}qi>q

‘Abdulla>h ibn ‘Abd al-Muh}sin al-Turki>. Ji>zah: Da>r Hijr, 1998. Ibn Khaldu>n, ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Muh}ammad. Muqaddimat Ibn

Khaldu>n, tah}qi>q ‘Abdullah Muh}ammad al-Darwi>sh. Damaskus: Da>r Ya‘rib, 2004.

Ibn Khallika>n. Wafiya>t al-A‘ya>n, tah{qi>q Ih}sa>n ‘Abba>s. Beirut: Da>r S{a>dir, 1978.

Ibn Rushd. Fas}l al-Maqa>l fi>-ma> bayna al-H{ikmah wa-al-Shari>’ah min al-Ittis}a>l, tah}qi>q Muh}ammad ‘Ima>rah. Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1983.

__________. Jawa>mi‘ al-Kawn wa-al-Fasa>d, tah}qi>q Abu> al-Wafa>’ al-Tafta>za>ni> dan Sa‘i>d Za>yid. Kairo: al-Hay’ah al-Mis}ri>yah al-‘A<mah li-al-Kita>b, 1994.

Ibn Sab‘i>n. Al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S}iqili>yah. tah{qi>q Muh}ammad Sharaf al-Di>n Ya>ltaqa>ya>. Beirut: Al-Mat}ba’ah al-Ka>thu>li>ki>yah, 1941.

__________. Anwa>r al-Nabi>: Asra>ruha> wa-Anwa>‘uha>. Tah}qi>q: Ah}mad Fari>d al-Mazi>di>. Kairo: Da>r al-Afa>q al-‘Arabi>yah, 2007.

__________. Budd al-‘A<rif. tah{qi>q George Kitturah. Beirut: Dār al-Andalus dan Dār al-Kindī, 1978.

__________. Rasa>’il Ibn Sab‘i>n. tah{qi>q Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

__________. “Risa>lat al-‘Ahd“ dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

__________. “Risa>lat al-Alwa>h{“ dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

Page 172: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

160

__________. “Risa>lat al-Alwa>h} al-Muba>rakah“ dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

__________. “Risa>lat al-Anwa>r“ dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

__________. “Risa>lah; awwaluha>: Alla>h! Alla>h! Alla>h! “ dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

__________. “Risa>lah; awwaluha>: i‘lam ‘allamakalla>h h}ikmatahu“ dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

__________. “Risa>lah; awwaluha>: i‘lam hada>kakalla>h wa-as‘adak,“ dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

__________. “Risa>lah; awwaluha>: istami‘ li-ma> yuh}á “ dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

__________. “al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

__________. “Risa>lat al-Fath{ al-Mushtarak” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

__________. “Risa>lah fi> ‘Arfah” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

__________. “Risa>lah fi> al-Ni‘mah al-Ilahi>yah” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

__________. “Risa>lah fi> Madlu>l Kalima>t“ atau “al-Risa>lah al-Qawsi>yah” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

__________. “Risa>lat al-Ih}a>t}ah” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

__________. “Risa>lat al-Nas}i>h}ah aw-al-Nu>ri>yah“ dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

__________. “al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

Page 173: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

161

__________. “Risa>lat al-Tawajjuh” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

__________. “Was}i>yat Ibn Sab‘i>n li-As}h}a>bihi,” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.

Ibn Sha>kir, Muh}ammad. Fawa>t al-Wa>fiya>t jilid 2, tah{qi>q Ih}sa>n ‘Abba>s. Beirut: Da>r S{a>dir, t.t.

Ibn Si>na>. Ah{wa>l al-Nafs: Risa>lah fi> al-Nafs wa-Baqa>’iha> wa-Ma‘a>diha> [terj.] M.S. Nasrullah, Psikologi Ibn Sina. Bandung: Pustaka Hidayah, 2009.

__________. Kita>b al-Hida>yah. Kairo: Maktabat al-Qa>hirah al-H{adi>thah, 1974.

__________. Kita>b al-Naja>h fi> H{ikmat al-Mant}i>qi>yah wa-al-T{abi>‘i>yah wa-al-Ila>hi>yah. Beirut: Da>r al-Afa>q al-Jadi>dah, 1985.

Ibn Tighri> Birdi>, Abu> al-Mah}a>sin Yu>suf. Al-Nuju>m al-Za>hirah fi> Mulu>k Mis}r wa-al-Qa>hirah jilid 7. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1992.

Ibn Taymi>yah, Taqy al-Di>n. Bughyat al-Murta>d ‘ala> al-Mutafalsifah wa-al-Qara>mit}ah wa-al-Ba>t}inah, tah}qi>q Mu>sa> ibn Sulayma>n al-Duways. Madinah: Maktabat al-‘Ulu>m wa-al-H{ikam, 2001.

__________. Al-Furqa>n bayna al-H{aqq wa-al-Ba>t}il tah}qi>q H{usayn Yu>suf Ghaza>l. Beirut: Da>r Ih}ya>’al-‘Ulu>m, 1987.

__________. Majmu>‘at al-Rasa>’il wa-al-Masa>’il ed. Rashi>d Rid{a>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1992.

__________, Minha<j al-Sunnah al-Nabawi>yah, tah}qi>q Muh{ammad Rasha>d Sa>lim. Madinah: Mu’assasat Qurt}u>bah, 1986.

Ikhwa>n al-S{afa>’. Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ wa-Khula>n al-Wafa>’ ed. Nu>r al-Di>n Ji>wa>kha>n. Mab’á: Nakhbat al-Akhba>r, 1306 H.

Iqbal, Muhammad. The Recontruction of Religious Thought in Islam. London: Oxford University Press, 1934.

al-Julaynad, Muh}ammad al-Sayyid. Al-Wah}y wa-al-Insa>n: Qira>’ah Ma‘rafi>yah. Kairo: Da>r Quba>’, 2002.

al-Jurja>ni>, ‘Ali> ibn Muh}ammad. Kita>b al-Ta‘ri>fa>t. Jakarta: Da>r al-H{ikmah, t.t.

Kamal, Zainun. Ibn Taimiyah versus Para Filosof: Polemik Logika. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.

Kartanegara, Mulyadhi. Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Lentera Hati, 2006.

Page 174: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

162

__________. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.

__________. Integrasi Ilmu Dalam Perspektif Filsafat Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003.

__________. Menyelami Lubuk tasawuf. Jakarta: Erlangga, 2006. __________. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam.

Bandung: Mizan, 2003. __________. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan,

2006. Kennedy-Day, Kiki. Books of Definition in Islamic Philosophy: The

Limits of Words. New York: RoutledgeCurzon, 2003. Khalidi, Muhammad Ali. Medieval Islamic Philosophical Writings. New

York: Cambridge University Press., 2005. Laing, R. D. The Divided Self. London: Penguin Books, 2010. Lakhsassi, Abderrahmane. “Ibn Khaldun,” dalam Ensiklopedi Tematis

Filsafat Islam Buku Pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.

Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian kesatu & dua, terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.

Lawn, Chris and Niall Keane. The Gadamer Dictionary. New York: Continuum, 2011.

Leaman, Oliver. An Introduction to Classical Islamic Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press., 2004.

Lubis, Ahyar Yusuf. Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis. Bogor: Akademia, 2004.

Lubis, Nabilah. Naskah Teks dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2007.

Mahdi, Muhsin. Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the Philosophic Foundation of the Science of Culture. Chicago: University of Chicago Press, 1964.

Mah{mu>d, ‘Abd al-Qa>dir. Al-Falsafah al-S{u>fi>yah fi> al-Isla>m. Kairo: Da>r al-Fikr, 1967.

Makdisi, George. The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and The West. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981.

al-Maqqari>, Ah}mad ibn Muh}ammad. Nafh} al-T{i>b min Ghus}n al-Andalus al-Rat}i>b jilid 2, tah}qi>q Ih}sa>n ‘Abbas. Beirut: Da>r S{a>dir, 1968.

Marcuse, Herbert. One Dimensional Man. London: Routledge, 2002.

Page 175: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

163

Marh}aba>, Muh{amad ‘Abdurrah}ma>n. Min Falsafat al-Yu>na>ni>yah ila> Falsafat al-Isla>mi>yah. Beirut: ‘Uwaydah li-al-Nashr wa-al-T{aba>‘ah, 2000.

Miri, Sayyed Mohsen. Sang Manusia Sempurna: Antara Filsafat Islam dan Hindu. Jakarta: TERAJU, 2004.

Moehadjir, Noeng. Metodologi Keilmuan: Paradigma Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed edisi V. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2007.

__________. Metodologi Penelitian Kualitatif edisi VI. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000.

Muh}ammad, Mah}mu>d Muh}ammad ‘Ali>. Al-Mant}iq al-Ishra>qi> ‘inda Shiha>b al-Di>n al-Suhrawardi>. Kairo: Mis}r al-‘Arabi>yah li-al-Nashr wa-al-Tawzi>‘, 1999.

al-Muna>wi>, Zayn al-Di>n. Al-Kawa>kib al-Durri>yah fi> Tara>jim al-Sa>dah al-S}u>fi>yah juz 2, tah{qi>q Muh{ammad Adi>b al-Ja>dir. Beirut: Da>r al-S{a>dir, t.t.

al-Mura>kibi>, Mah{mu>d.‘Aqa>‘id al-S{u>fi>yah fi> D{aw’ al-Kita>b wa-al-Sunnah. Kairo: Da>r al-T{aba>‘ah wa-al-Nashr, 1996.

Muthahhari, Murtadha. Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemataan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia. Jakarta: Shadra Press, 2001.

Najati, Muhammad ‘Uthman. Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim. Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.

Nasr, Sayyed Hossein. Introduction to Islamic Cosmological Doctrines. London: Thames and Hudson, 1976.

__________. Islamic Life and Thought. New York: SUNY Press, 1981. __________. Islamic Philosophy from Its Origin to the Present:

Philosophy in the Land of Prophecy. New York: SUNY Press, 2006.

__________. Islamic Science: An Illustrated Study. London: World of Islam Festival Publishing Company ltd., 1976.

__________. Man and Nature: The Spritual Crisis in Modern Man. London: George Allen & Unwin, 1968.

__________. Pengetahuan dan Kesucian terj. Suharsono (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

__________. Science and Civilizaton in Islam. Chicago: ABC International Group Inc., 2001.

__________. Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi> cet. III. New York: Caravan Books, 1997.

Page 176: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

164

__________. “Tradisi Mistik: Sebuah Pengantar” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.

Nasr, Sayyed Hossein dan William C. Chittick, World Sprituality: Manifestations. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Islam Intelektual: Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, terj. Tim Perenial. Depok: Perenial Press, 2001.

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press, 2011. __________. Falsafah dan Mistisme dalam Islam cet. 12. Jakarta: Bulan

Bintang, 2010. __________. Islam Ditinjau dalam Berbagai Aspeknya Jilid I (Jakarta:

UI-Press, 2010. Netton, Ian Richard. Allah Transcendent: Studies in the Structure and

Semiotics of Islamic Philosophy, Theology and Cosmology. London and New York: Routledge, 1989.

Nuseibeh, Sari. “Epistemologi,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Kedua, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.

Pedersen, Johannes. The Arabic Book, trans. Geoffrey French. Pricenton: Pricenton University Press, 1986.

Pophin, Richard H. and Avrum Stroll. Philosophy Made Simple. New York: American Book-Stratford, 1958.

Proudfoot, Michael and A. R. Lacey. The Routledge Dictionary of Philosophy Fourth Edition. London and New York: Routledge, 2010.

Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, 2005.

al-Qushayri>, Abu> al-Qa>sim. Al-Risa>lah al-Qushayri>yah, tah}qi>q ‘Abd al-H{ali> Mah}mu>d. Kairo: Da>r al-Shu‘b, 1989.

Rahman, Fazlur. Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press, 1982.

Reese, William L. “Pantheisme and Panentheisme,” dalam The New Encyclopedia Britannica: Macropedia vol. 26. Chicago: Encyclopedia Britannica Inc., 1986.

Ridwan, M. Deden (ed.). Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar Disiplin Ilmu. Bandung: Nuansa, 2001.

Rosenthal, Franz. Knowledge Triumphant. Leiden: E.J. Brill, 2007.

Page 177: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

165

Rowson, Everett K. “Al-‘A<miri>,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.

Runes, Dagobert D. Dictionary of Philosophy. New Jersey: Little Field Adams & CO., 1963.

Saepudin AM. et.al. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan, 1991.

al-S{afadi>, S{ala>h{ al-Di>n. Al-Wa>fi> bi-al-Wa>fiya>t juz 6, tah{qi>q Ah{mad al-Arna>u>t} dan Turki> Mus}t}afa.> Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, 2000.

Saliba, George. Islamic Science and the Making of European Renaissance. Massachusetts: The MIT Press, 2007.

Sardar, Ziauddin. How Do You Know? Reading Ziauddin Sardar on Islam, Science and Cultural Relations. ed. Ehsan Masood. London: Pluto Press, 2006.

__________. Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. oleh Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1993.

Sarkar, Sahotra and Jessica Pfeifer (ed.). The Philosophy of the Science: An Encyclopedia. New York and London: Routledge, 2006.

Sarton, George. Ancient Science and Modern Civilization. New York: Harper Torchbook, 1959.

Saunders, J.J. A History of Medieval Islam. London and New York: Routlege, 2002.

Sharaf, Muh{ammad Ya>sir. Al-Wah{dah al-Mut}laqah ‘inda Ibn Sab‘i>n. Beirut: Al-Markaz al-‘Arabi> li-al-T{aba>‘ah wa-al-Nashr, 1981.

__________. Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>. Damaskus: Wiza>rah al-Thaqa>fah, 1990.

al-Shawka>ni>, Muh{ammad ibn ‘Ali>. Al-S{awa>rim al-H{ida>d al-Qa>t}i‘ah li-‘Ala>’iq Arba>b al-Ittih}a>d, tah}qi>q Muh}ammad S{ubh}i> H{asan al-H{alla>q. San‘a: Da>r al-Hijrah, 1990.

Shehadi, Fadlou. Metaphysics in Islamic Philosophy. New York: Caravan Books, 1982.

Shehu, Salisu. Islamization of Knowledge: Coceptual Background, Vision and Tasks. Kano, Nigeria Office: International Institute of Islamic Thought, 1998.

Sheikh, M. Saeed. Islamic Philosophy. London: The Octagon Press., 1982.

Shimogaki, Kazuo. Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritis Atas Pemikiran Hasan Hanafi, terj. M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula. Jogjakarta: LKiS, 2000.

Page 178: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

166

al-Shi>ra>zi>, Abu> Ish}a>q. Al-Luma‘. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1985. Siregar, Rivay. Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2002. al-Subki>, Ta>j al-Di>n. T{abaqa>t al-Sha>fi‘i>yah al-Kubrá, tah{qi>q Mah{mu>d

Muh{ammad al-T{ana>h{i>. Beirut: Da>r al-Nashr, 1992. Spallino, Patrizia. “Ibn Sab‘i>n, ‘Abd al-H{aqq” dalam Encyclopedia of

Medieval Philosophy: Philosophy Between 500 and 1500, ed. Henrik Lagerlund. New York: Springer, 2011.

Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: RajaGrapindo Persada,1997.

Sudaryoso, Satera. Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia. Jakarta: Impressa, 2013.

al-Suhrawardi>, Shiha>b al-Di>n. ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif dalam Abu> H{a>mid al-Ghaza>li>. Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n. Semarang: T{a>ha> Pu>tra>, t.t.

Sumaryono, E. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Sunanto, Masyrifah. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Kencana, 2007.

al-Tafta>za>ni>, Abu> al-Wafa>. Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu al-S{u>fi>yah. Beirut: Da>r al-Kutub al-Libna>ni>, 1973.

__________. Madkhal ila> al-Tas}awwuf al-Isla>mi>. Kairo: Da>r al-Thaqa>fah li-al-Nashr wa-al-Tawzi>‘, 1979.

Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ensiklopedi Tasawuf jilid II. Bandung: Angkasa, 2008.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

Turner, Howard R. Science in Medieval Islam: An Illustrated Introduction. Austin: University of Texas Press, 1995.

Walbridge, John. God and Logic in Islam: The Caliphate of Reason. New York: Cambridge University Press, 2011.

Williams, Bernard. “Descartes” dalam The Concise Encyclopedia of Western Philosophy 3rd Edition, ed. Jonathan Rée & J. O. Urmson. New York: Routledge, 2005.

__________. “Rationalism” dalam Encyclopedia of Philosophy 2nd Edition vol. 8, ed. Donal M. Borchert. New York: Thomson Gale, 2006.

Yahaya, Mahayudin Hj. Islam di Spanyol dan Sicily. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1990.

Page 179: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

167

Yazdi, Mehdi Ha’iri. The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. New York: SUNY Press, 1992.

Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya cet. IV. Jakarta: Rajawali Press, 2010.

al-Zarkali>, Khayr al-Di>n. Al-A‘la>m jilid 3. Beirut: Da>r al-‘Ilm li-al-Mala>yi>n, 2002.

al-Zarqa>ni>, Muh}ammad ibn ‘Abd al-Ba>qi> al-Mis}ri>. Sharh} al-Mawa>hib al-Laduni>yah bi-al-Manh} al-Muh}ammadi>yah li-al-‘Alla>mah al-Qast}ala>ni>, juz 1. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1996.

Zaru>q, Abu> al-‘Abba>s Ah}mad ibn. Qawa>‘id al-Tas}awwuf, ed. ‘Abd al-Maji>d Khaya>li>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2005.

Zayd, Ah}mad Abu>. Al-Insa>n fi> al-Falsafah al-Isla>mi>yah: Dira>sah Muqa>ranah fi> Fikr al-‘A<miri>. Beirut: Mu’assasat al-Jami>‘i>yah li-al-Dira>sa>t, 1994.

al-Zayn, ‘A<t}if. Al-S{u>fi>yah fi> Naz}r al-Isla>m: Dira>sah wa-Tah{li>l. Beirut: Da>r al-Kita>b al-Libna>ni>, 1985.

Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Ziai, Hossein. Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq. Atlanta: Scholars Press, 1990.

__________. “Syiha>b al-Di>n al-Suhrawardi>: Pendiri Mazhab Iluminasi” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.

Jurnal dan Artikel Ilmiah Abidin, Azmil Zainal. “Dimensi Sains dan Kebersebaban al-Ghaza>li>:

Model Pengintegrasian Ilmu Menurut Perspektif Islam” Proceeding of the International Conference on Social Science Research (ICSSR) 2013 (4-5 Juni 2013). http://worldconferences. net/proceedings/icssr2013/toc/116%20-%20Azmil%20-%20DIMENSI%20SAINS%20DAN%20KEBERSEBABAN%20AL-GHAZALI.pdf (diakses pada 31 Maret 2014).

Acikgenc, Alparsalan. “Holisitic Approach to Scientific Traditions,” Jurnal Islam & Science Vol. 1, No. 1 (Juni 2003), 11-26. http://

Page 180: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

168

www.academia.edu/5355293/HOLISTIC_APPROACH_TO_SCIENTIFIC_TRADITIONS (diakses pada 08 Januari 2014).

__________. “The Emergence of Scientific Tradition in Islam” Foundation for Science Technology and Civilization Publication ID: 627 (Desember 2006). http://www.utm.my/casis/wp-content/uploads/2013/07/Emergence_Scientific_Tradition_in_Islam.pdf (diakses pada 17 Januari 2014).

Adiwidjajanto, Koes. “Studi Filologis Sharh} Isagoge: Menelusuri Logika Aristotelian di Kalangan Muslim Klasik” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam vol. 2 no. 1 (Juni, 2012), 108-130. http:// teosofi.uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/download/139/127 (diakses pada 06 November 2014).

Akasoy, Anna Ayşe. “Ibn Sab‘i>n’s Sicilian Questions: The Text, Its Sources and Their Historical Context.” Journal Al-Qant}ara, XXIX issue 1 (Januari-Juni 2008), 115-146, http://www.al-qantara. revistas.csic.es/index.php/al-qantara/article/viewFile/51/45 (diakses pada 26 Februari 2013).

__________. “Andalusi Exceptionalism: The example of “Philosophical Sufism” and the Significance of 1212” Journal of Medieval Iberian Studies Vol. 4 No. 1 (Maret 2012), 113-117. http://e-resources.pnri.go.id:2072/doi/pdf/10.1080/17546559.2012.677197 (diakses pada 15 Agustus 2014).

Akhavi, Shahrough. “Islam and the West in World History” Third World Quarterly Vol. 24, No. 3 (Jun., 2003), 545-562. http://www.jstor. org/stable/3993385 (diakses pada 30 Mei 2014).

Alam, Arshad. “Science in Madrasas” Economic and Political Weekly Vol. 40, No. 18 (30 April - 06 Mei 2005), 1812-1815. http://www. jstor.org/ stable/4416560 (diakses pada 08 Mei 2014).

Alatas, Syed Farid. “Ibn Khaldu>n and Contemporary Sociology.” International Sociology vol. 21 : 6 (November 2006), 782-795, http://www.arabphilosophers.com/English/discourse/east-west/ Knwoledge/Ibn_Khaldun_and_Contemporary_%20Sociology.pdf (diakses pada 29 Maret 2014).

Allchin, Douglas. “Pseudohistory and Pseudoscience” Journal Science & Education vol. 13 (Netherland: Kluwer Academic Publishers 2004), 179-195. http://depa.fquim.unam.mx/amyd/archivero/ AllchinsobrePseudo_20824.pdf (diakses pada 16 Juli 2014).

Amari, Michele. “Questions Philosophiques: Adressees Aux Savants Musulmans par L’Empereur Frederic II” Journal Asiatique Serie 1 (April-Mei 1853), 240-274. http://gallica.bnf.fr/ark:/12148/

Page 181: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

169

bpt6k931611/f240.pagination.r=Michele+Amari.langEN (diakses pada 30 April 2014).

Ariew, Roger. “Descartes and the Tree of Knowledge” Synthese Vol. 92 No. 1, The Thought of Marjorie Grene (July, 1992), 101-116. http://www.jstor.org/stable/20117041 (diakses pada 9 Mei 2014).

Arif, Syamsuddin. “Causality in Islamic Philosophy: The Arguments of Ibn Si>na>” Islam & Science Vol. 7 No. 1 (Summer 2009), 51-68. http://www.academia.edu/6791994/Ibn_Sina_on_Causality (diakses pada 21 Desember 2013).

Atkins, Richard Kenneth. “Restructuring the Sciences: Peirce's Categories and His Classifications of the Sciences” Transactions of the Charles S. Peirce Society, vol. 42, No. 4 (Fall, 2006), 483-500. http://www.jstor.org/stable/40321346 (diakses pada 14 Juli 2014).

Bagheri, Khosrow and Zohreh Khosravi. “The Islamic Concept of Education Reconsidered” The American Journal of Islamic Social Sciences Vol. 23 No. 4 (2005) 88-103. http://www.academia.edu/ 609872/The_Islamic_Concept_of_Education_Reconsidered (diakses pada 17 Januari 2014).

Boccassini, Daniela. “Falconry as a Transmutative Art: Dante, Frederick II, and Islam,” Dante Studies with the Annual Report of the Dante Society, No. 125, Dante and Islam (2007), 157-182. http://www. jstor.org/stable/40350663 (diakses pada 8 mei 2014).

Cambra, Luisa Maria Arvide. “Ibn Sab‘i>n and The Sicilian Questions” International Review of Social Sciences and Humanities Vol. 5, No. 2 (2013), 225-228. http://irssh.com/yahoo_site_admin/assets/ docs/25_IRSSH-602-V5N2.243105504.pdf (diakses pada 29 April 2014).

Casewit, Alexander. “The Objective of Metaphysics in Ibn Sab‘i>n’s Answers to the Sicilian Questions”. http://www.allamaiqbal.com/ publications/journals/review/apr08/7.htm (diakses pada 29 April 2014).

Classen, Albrecht (reviewer). “Frederick II: The Last Emperor.” Die Unterrichtspraxis vol. 36, no. 1 (2003), 112-113. http://www.jstor. org/stable/3531714?origin=JSTOR-pdf (diakses pada 08 Mei 2014).

Cogswell, G.A. “The Classification of the Sciences,” The Philosophical Review, vol. 8, No. 5 (Sept., 1899), 494-512. http://www.jstor. org/stable/2176887 (diakses pada 14 Juli 2014).

Page 182: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

170

Cole, Stephen. “The Hierarchy of the Sciences?” American Journal of Sociology Vol. 89, No. 1 (Juli 1983), 111-139. http://www.jstor. org/stable/2779049 (diakses pada 08 Mei 2014).

Cornell, Vincent J. “The Way of the Axial Intellect: The Islamic Hermetism of Ibn Sab‘i>n” Journal of the Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society Vol XXII (1997), 41-79. https://www.academia.edu/ 7630212/The_Way_of_the_Axial_Intellect_The_Islamic_Hermetism_of_Ibn_Sabin (diakses pada 22 Agustus 2014).

Dalli, Charles. “From Islam to Christianity: the Case of Sicily” Religion and Mythology (2006), 151-168. https://www.academia.edu/ 243357/From_Islam_to_Christianity_The_Case_of_Sicily (diakses pada 16 Mei 2014).

De Callataÿ, Godefroid. “The Classification of the Sciences According to Rasa>’il Ikhwa>n al-S}afa>’”. The Institute of Ismaili Studies (2003), 8-9, http://www.iis.ac.uk/SiteAssets/pdf/rasail_ikhwan.pdf (diakses pada 23 Agustus 2013).

Daston, Lorraine. “The Academies and the Unity of Knowledge: The Disciplining and of the Disciplines” Journal of Feminist Cultural Studies Vol. 10 No. 2 (1998), 67-85. http://e-resources.pnri.go.id: 2122/search/document?cs=0&s.q=academies+unity+knowledge (diakses pada 08 Februari 2014).

Dobrosavljev, Duška. “Gadamer’s Hermeneutics as Practical Philosophy,” Facta Universitatis; Series: Philosophy, Sociology and Psychology vol. 2 No. 9 (2002), 605-618. http://facta.junis.ni. ac.rs/pas/pas200201/pas200201-02.pdf (diakses pada 27 Oktober 2014).

Douglass, Susan. Legacies and Transfers: The Story of the Transfer of Knowledge from Islamic Spain to Europe. http://www. islamicspain.tv/For-Teachers/11_Legacies%20and%20Transfers %20Story%20of%20Transfer%20of%20Knowledge.pdf (diakses pada 11 November 2014).

Dyer, Joseph. “The Place of Musica in Medieval Classifications of Knowledge” The Journal of Musicology Vol. 24, No. 1 (2007), 3-71. http://www.jstor.org/stable/10.1525/jm.2007.24.1.3 (diakses pada 29 April 2014).

Elshakry, Marwa. “When Science Became Western: Historiographical Reflections,” ISIS vol. 101, No. 1 (Maret 2010), 98-109. http:// www.jstor.org/stable/10.1086/652691 (diakses pada 14 Juli 2014).

Fadaie. Gholamreza. Philosopher’s Worldview and Classification of Knowledge, http://psyedu.ut.ac.ir/acstaff/Fadaei/articale/

Page 183: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

171

Cosmology%20and%20categorization.pdf (diakses pada 06 januari 2014).

__________. “The Influence of Classification on Worldview and Epistemology.” Proceedings of the Informing Science & IT Education Conference (2008), http://proceedings. informingscience.org/InSITE2008/InSITE08p001-013Fadaie410.pdf (diakses pada 23 Agustus 2013).

Fakhri, Majid. “The Ontological Argument in the Arabic Tradition: The Case of al-Fa>ra>bi>” Studia Islamica No. 64 (1986), 5-17. http:// www.jstor.org/stable/1596043 (diakses pada 15 Oktober 2014).

Fleming, Samuel. “The Classification of Science. II. Principles Classification” Science, vol. 2, No. 32 (Feb. 5, 1881), 51-53. http://www.jstor.org/stable/2900371 (diakses pada 14 Juli 2014).

Fuadie, Muslih. “Wah}dat al-Wuju>d ‘Abd al-Kari>m al-Ji>li>” Teosofi: Jurnal dan Pemikiran Islam vol. 3 no. 1 (Juni, 2013), 1-18. http://teosofi. uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/download/112/102 (diakses pada 06 November 2014

Fudholi, Moh. “Konsep Zuhud al-Qushayri> dalam Risa>lat al-Qushayri>yah” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam vol. 1 no. 1 (Juni, 2011), 38-54. http://teosofi.uinsby.ac.id/index.php/ teosofi/article/download/156/144 (diakses pada 06 November 2011).

Gabrieli, Francesco. “FREDERICK II AND MOSLEM CULTURE” East and West Vol. 9, No. 1/2 (MARCH-JUNE, 1958), 53-61. http:// www.jstor.org/stable/29753972 (diakses pada 8 Mei 2014).

Gjesdal, Kristin. “Aesthetic and Political Humanism: Gadamer on Herder, Schleiermacher, and the Origins of Modern Hermeneutics” History of Philosophy Quarterly, Vol. 24 No. 3 (Jul., 2007), 275-296. http://www.jstor.org/stable/27745096 (diakses pada 27 Oktober 2014).

Graham, Roberts. “Western Epistemology: A Stranger in a Strange Land?” PHD Journal Vol. 16 issue 2 (2011) : 112-118, http:// www.pacifichealtdialog.org.fj/volume16_no2/Western%20epistemology.pdf (diakses pada 11 Juni 2013).

Halstead, J. Mark. “An Islamic Concept of Education” Comparative Education Vol. 40 No. 4 Special Issues (29): Philosophy, Education and Comparative Education (November, 2004), 517-529. http://www.jstor.org/stable/4134624 (diakses pada 30 Mei 2014).

Page 184: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

172

Hasanuddin. “Dominasi Peradaban Barat dalam Pendidikan Islam” Jurnal Lentera Pendidikan vol. 11 nomor 2 (Desember, 2008), 258-269.

Hatina, Meir. “Restoring a Lost Identity: Models of Education in Modern Islamic Thought” British Journal of Middle Eastern Studies Vol. 33, No. 2 (Nov., 2006), 179-197. http://www.jstor.org/stable/ 20455454 (diakses pada 15 Oktober 2014).

Heck, Paul L. “The Crisis of Knowledge in Islam: The Case of al-‘A<miri>” Philosophy East and West vol. 56, no. 1 (Januari 2006), 106-135. http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/216882843/ fulltextPDF?accountid=25704 (diakses pada 16 Januari 2014).

__________. “The Hierarchy of Knowledge in Islamic Civilization.” Journal Arabica XLIX Issue 1 (January 2002), 27-54, http://e-resources.pnri.go.id/index.php?option=com_library&itemid=53&key=7 (diakses pada 12 September 2013).

Hilgendorf, Eric. “Islamic Education: History and Tendency” Peabody Journal of Education, Vol. 78, No. 2 (2003), 63-75. http://www. jstor.org/stable/1492943 (diakses pada 30 Mei 2014).

Horvatich. Patricia. “Ways of Knowing Islam” American Ethnologist Vol. 21 No. 4 (November, 1994), 811-826. http://www.jstor.org/ stable/646841 (diakses pada 08 Mei 2014).

http://www.brainyqoute.com/quotes/quotes/s/sigmundfre139170.html (diakses pada 23 Juli 2013).

Iqbal, Muzaffar. “Islam and Modern Science: Formulating the Questions” Islamic Studies Vol. 39, No. 4, Special Issue: Islam and Science (Winter 2000), 517-570. http://www.jstor.org/stable/23076112 (diakses pada 30 Mei 2014).

Janos, Damien. “Al-Fa>ra>bi>, Creation ex nihilo, and the Cosmological Doctrine of K. al-Jam‘ and Jawa>ba>t” Journal of the American Oriental Society Vol. 129, No. 1 (January-March 2009), 1-17. http://www.jstor.org/stable/40593865 (diakses pada 15 Oktober 2014).

Kazmi, Yedullah. “Islamic Education: Traditional Education or Education of Tradition?” Islamic Studies Vol. 42, No. 2 (Summer 2003), 259-288. http://www.jstor.org/stable/20837271 (diakses pada 30 Mei 2014).

Kogan Maurice. “Modes of Knowledge and Patterns of Power” Higher Education Vol. 49, No. 1/2 Universities and the Production of Knowledge (Januari-Maret 2005), 9-30. http://www.jstor.org/ stable/25068056 (diakses pada 08 Mei 2014).

Page 185: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

173

Köhler, Walther. “Emperor Frederick II: The Hohenstaufe.” The American Journal of Theology Vol. 7, no. 2 (April 1903), 225-248. http://www.jstor.org/stable/3153729?origin=JSTOR-pdf (diakses pada 08 Mei 2014).

Kukkonen, Taneli. “Plenitude, Possibility, and the Limits of Reason: A Medieval Arabic Debate on the Metaphysics of Nature” Journal of the History of Ideas Vol. 61, No. 4 (Oct., 2000), 539-560. http://www.jstor.org/stable/3654068 (diakses pada 15 Oktober 2014).

Lawrence, Frederick G. “Ontology of and as Horizon: Gadamer's Rehabilitation of the Metaphysics of Light” Revista Portuguesa de Filosofia, T. 56, Fasc. 3/4, A Idade Hermenêutica da Filosofia (The Age of Hermeneutics): Hans-Georg Gadamer (Jul.-Dec., 2000), 389-420. http://www.jstor.org/stable/40337583 (diakses pada 27 Oktober 2014).

Levine, Michael P. “Pantheism, Substance and Unity” International Journal for Philosophy of Religion Vol. 32, No. 1 (Agustus 1992) 1-23. http://www.jstor.org/stable/40036697 (diakses pada 26 Juni 2014).

Long, J.M. “Classification of the Mathematical Sciences” The Journal of Speculative Philosophy, vol. 20, No. 4 (Oktober, 1886), 417-425. http://www.jstor.org/stable/25668119 (diakses pada 14 Juli 2014).

López-Baralt, Luce. “Islamic Influence on Spanish Literature: Benengeli’s Pen in "Don Quixote”.” Islamic Studies Vol. 45, No. 4 (Winter 2006), 579-593. http://www.jstor.org/stable/20839041 (diakses pada 15 Oktober 2014).

Lumbard, Joseph E. B. “The Decline of Knowledge and the Rise of Ideology in the Modern Islamic World” dalam Islam, Fundamentalism and the Betrayal of Tradition: Essays by Western Muslim Scholars ed. Joseph E. B. Lumbard, 39-77. www.worldwisdom.com/uploads/pdfs/293.pdf (diakses pada 18 Januari 2014).

Mohamed, Yasien. “The Cosmology of Ikhwa>n al-S{afa>, Miskawayh and al-Is}faha>ni>” Islamic Studies Vol. 39, No. 4, Special Issue: Islam and Science (Winter 2000), 657-679. http://www.jstor.org/stable/ 23076118 (diakses pada 15 Oktober 2014).

Moten, Abdul Rashid. “Islamization of Knowledge in Theory and Practice: The Contribution of Sayyid Abul A’la al-Mawdu>di>” Islamic Studies Vol. 43, No. 2 (Summer 2004), 247-272. http:// www.jstor.org/stable/20837343 (diakses pada 8 Mei 2014).

Page 186: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

174

Musyafa’ah, Nur Lailatul. “Nalar Teosofis Sebagai Basis Epistemologi Kajian Agama dan Pengetahuan” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam vol. 3 No.1 (Juni, 2013). 20-38. http://teosofi. uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/download/113/103 (diakses 06 November 2014.

Nubiola, Jaime. “The Classification of the Sciences and Cross-Disciplinarity” Transactions of the Charles S. Peirce Society vol. 41, No. 2 (Spring, 2005), 271-282. http://www.jstor.org/stable/ 40321071 (diakses pada 14 Juli 2014).

Nurisman. “Pemikiran Metafisika al-Fa>ra>bi>” Jurnal DINIKA vol. 3 no. 1 (Januari 2004), 83-100.

Powell, James M. “Church and Crusade: Frederick II and Louis IX” The Catholic Historical Review Vol. 93, No. 2 (April, 2007), vi, 251-264. http://www.jstor.org/stable/25166835 (diakses pada 8 Mei 2014).

Powell, J.W. “Classification of the Sciences” American Anthropologist New Series, vol. 3, No. 4 (Oct. - Dec., 1901), 601-605. http:// www.jstor.org/stable/659084 (diakses pada 14 Juli 2014).

Rachman, Subhan MA. “Tradisi dan Inovasi Keilmuan Islam Masa Klasik” Jurnal Innovatio vol. 5 no. 10 (Juli-Desember 2006), 249-273.

Rahman, Fazlur. “Islamization of Knowledge: A Response” Islamic Studies Vol. 50, No. 3/4 (Autumn-Winter 2011), 449-457. http:// www.jstor.org/stable/41932607 (diakses pada 8 Mei 2014).

Raj, Kapil. “Beyond Postcolonialism and Postpositivism: Circulation and the Global History of Science” ISIS vol. 104, No. 2 (Juni 2013), 337-347. http://www.jstor.org/stable/10.1086/670951 (diakses pada 14 Juli 2014).

Regan, Paul. “Hans-Georg Gadamer’s Hermeneutics: Concept of Reading, Understanding and Interpretation” Research in Hermeneutics Phenomenology, and Practical Philosophy Vol. 4 No. 2 (December, 2012), 286-303. http://www.metajournal.org/ articles_pdf/286-303-regan-meta8-tehno-r1.pdf (diakses pada 26 Oktober 2014).

Rizvi, Sajjad. “An Islamic Subversion of the Existence-Essence Distinction? Suhrawardi>’s Visionary Hierarchy of Light” dalam Asian Philosophy Vol. 9, No. 3 (1999), 219-227. http://www. academia.edu/1385723/An_Islamic_Subversion_of_the_existence-essence_distinction (diakses pada 07 Januari 2014).

Page 187: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

175

Robinson, James T. “Samuel Ibn Tibbon's "Peruš ha-Millot ha-Zarot" and al-Fa>ra>bi>’s "Eisagoge" and "Categories"” Aleph No. 9.1 (2009), 41-76. http://www.jstor.org/stable/40385922 (diakses pada 15 Oktober 2014).

Rueger, Alexander. and Patrick McGivern, “Hierarchies and levels of reality” Synthese Vol. 176, No. 3 (October, 2010), 379-397. http://www.jstor.org/stable/40801386 (diakses pada 30 Juni 2014).

Ryan, Kathleen J. and Elizabeth J. Natalle, “Fusing Horizons: Standpoint Hermeneutics and Invitational Rhetoric” Rhetoric Society Quarterly, Vol. 31, No. 2 (Spring, 2001), 69-90. http://www.jstor. org/stable/3886076 (diakses pada 26 Oktober 2014).

Safi, Louay M. “Toward an Islamic Theory of Knowledge” Islamic Studies Vol. 36 No. 1 (Spring 1997), 39-56. http://www.jstor.org/ stable/23076081 (diakses pada 30 Juni 2014).

Shah, Saeeda. “Educational Leadership: An Islamic Perspective” British Educational Research Journal Vol. 32 No. 3 (Juni, 2006), 363-385. http://www.jstor.org/stable/30032674 (diakses pada 30 Mei 2014).

Shahzad, Qaiser. “Ibn ‘Arabi>’s Metaphysics of the Human Body” Islamic Studies Vol. 46, No. 4 (Winter 2007), 499-525. http://www.jstor. org/stable/20839092 (diakses pada 15 Oktober 2014).

Shalin, Dmitri N. “Hermeneutics and Prejudice: Heidegger and Gadamer in their Historical Setting” Russian Journal of Communication, vol. 3 No. 1/2 (Winter/Spring, 2010), 7-24. http://cdclv.unlv.edu/ pragmatism/shalin_heidegger_gadamer.pdf (diakses pada 27 Oktober 2014).

al-Sharqawi, Muhammad Abdallah. “The Methodology of Religious Studies in Islamic Thought (Mana>hij Dira>sat al-Adya>n fi> al-Fikr al-Isla>mi>)” Journal of Qur'anic Studies Vol. 2, No. 2 (2000), 128-145. http://www.jstor.org/stable/25728010 (diakses pada 15 Oktober 2014.

Shephenson, J. “The Classification of the Sciences According to Nasiruddin Tusi” ISIS Vol. 5, No. 2 (1923), 329-338. http://www.jstor.org/stable/223732 (diakses pada 14 Juli 2014).

Siraj, Fuad Mahbub. “Kosmologi dalam Tinjauan Failasuf Islam” Jurnal Ilmu Ushuluddin vol. 2 no. 2 (Juli, 2014), 109-124. http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ilmu-ushuluddin/article/ download/1007/897 (diakses pada 25 November 2014).

Starks, Brian and Robert V. Robinson, “Moral Cosmology, Religion, and Adult Values for Children” Journal for the Scientific Study of

Page 188: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

176

Religion Vol. 46, No. 1 (Mar., 2007), 17-35. http://www.jstor.org/ stable/4621950 (diakses pada 15 Oktober 2014).

Steinhart, Eric. “Pantheism and Current Ontology” Religious Studies Vol. 40, No. 1 (Maret 2004), 63-80. http://www.jstor.org/stable/ 20008510 (diakses pada 26 Juni 2014).

Toumi, Ilkka. “Data Is More than Knowledge: Implications of the Reversed Knowledge Hierarchy for Knowledge Management and Organizational Memory” Journal of Management Information Systems, Vol. 16 No. 3 (Winter, 1999/2000), 103-17. http://www. jstor.org/stable/40398446 (diakses pada 8 Mei 2014).

Treiger, Alexander. “Al-Ghaza>li>’s Classification of the Sciences and Descriptions of the Highest Theoritical Science.” Dîvân DİSİPLİNLERARASI ÇALIŞMALAR DERGİSİ vol. 1 (2011), cilt 16 sayi 30. http://www.academia.edu/2344293/Al-Ghazalis_ Classifications_of_the_Sciences_and_Descriptions_of_the_Highest_Theoretical_Science (diakses pada 03 April 2014).

Varisco, Daniel Martin. “The Origin of the Anwa>‘ in Arab Tradition” Studia Islamica No. 74 (1991), 5-28. http://www.jstor.org/stable/ 1595894 (diakses pada 15 Oktober 2014).

Varvaro, Alberto. “Federico II e la cultura del suo tempo” Studi Storici, Anno 37, No. 2, Il tempo di Federico II (Apr. - Jun., 1996), 391-404. http://www.jstor.org/stable/20566766 (diakses pada 22 Agustus 2014).

Walbridge, John. “Logic in the Islamic Intellectual Tradition: The Recent Centuries” Islamic Studies Vol. 39, No. 1 (Spring 2000), 55-75. http://www.jstor.org/stable/23076091 (diakses pada 22 Mei 2014).

Walker, Paul E. “Platonism in Islamic Philosophy” Studia Islamica No. 79 (1994), 5-25. http://www.jstor.org/stable/1595834 (diakses pada 22 Juli 2013).

Weberman, David. “A New Defense of Gadamer's Hermeneutics” Philosophy and Phenomenological Research Vol. 60, No. 1 (Jan., 2000), 45-65. http://www.jstor.org/stable/2653427 (diakses pada 27 Oktober 2014).

Wolfson, Harry Austryn. “Note on Maimonides' Classification of the Sciences” The Jewish Quarterly Review New Series, vol. 26, No. 4 (Apr., 1936) 369-377. http://www.jstor.org/stable/1452096 (diakses pada 14 Juli 2014).

__________. “ADDITIONAL NOTES: To the Article on the Classification of Sciences in Medieval Jewish Philosophy Published in the Hebrew Union College Jubilee Volume, Pp. 263-

Page 189: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

177

315” Hebrew Union College Annual vol. 3 (1926), 371-375. http://www.jstor.org/stable/23502532 (diakses pada 14 Juli 2014).

Yahaya, Mahayudin Hj. “Sejarah dan tamadun Islam di Sicily.” JEBAT no. 18 (1990), 297-315. http://journalarticle.ukm.my/477/1/1.pdf (diakses pada 16 Mei 2014).

Zaimeche, Salah. “Sicily” Foundation for Science Technology and Civilization Publication ID: 4071 (November 2004). http://www. muslimheritage.com/uploads/Sicily1.pdf (diakses pada 16 Mei 2014).

Zainuddin, M. “Paradigma Pendidikan Islam Holistik” Jurnal Ulumuna vol. XV no. 1 (Juni, 2011), 73-94.

Page 190: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

178

Page 191: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

179

GLOSARIUM

al-‘Aql al-Kulli> : Akal Universal, sumber bagi keseluruhan Akal (partikular), merupakan wujud pertama yang mendapat limpahan langsung dari Tuhan.

al-‘Ulu>m al-‘Aqli>yah : Kelompok ilmu pengetahuan yang sumber, alat dan

cara memperolehnya adalah dengan rasio (Rational Science). Nama lain kelompok ilmu ini antara lain: al-‘Ulu>m al-Falsafi>yah, al-‘Ulu>m al-H{ikmi>yah, dan ‘Ulu>m Ghayr al-Shar‘i>yah.

al-‘Ulu>m al-Adabi>yah : Segenap bidang ilmu yang berkaitan dengan seluruh

perbuatan manusia dalam menciptakan “peradaban”. al-‘Ulu>m al-Naqli>yah : Kelompok ilmu pengetahuan yang cara

perolehannya melalui transmisi dari satu generasi ke generasi selanjutnya seperti yang ada dalam tradisi ilmu keagamaan (Transmitted science). Nama lain dari kelompok ilmu ini di antaranya: al-‘Ulu>m al-Shar‘i>yah, al-‘Ulu>m al-Di>ni>yah, dan al-‘Ulu>m al-Milli>yah.

al-Arka>n al-‘Arba‘ah : Empat unsur pembentuk berupa tanah, api, air dan

udara. Dari unsur-unsur itu semua benda di dunia; mineral, tumbuhan, dan hewan terbentuk.

Basis Ontologis Klasifikasi Ilmu

: Konsep dasar tentang hakikat sesuatu (Being) yang menjadi dasar bagi sebuah klasifikasi bidang-bidang ilmu. Misalnya, jika kelompok ilmu terdiri dari ilmu tentang manusia, alam semesta dan Tuhan, maka eksistensi ketiga hal itu menjadi basis ontologis klasifikasi ilmu tersebut.

Emanasi Juz’i>ya>t : Munculnya alam secara parsial dari Yang Mutlak,

semacam evolusi alam tingkat terendah menuju pada Yang Maha Sempurna.

Emanasi Kulli>ya>t : Teori penciptaan segenap ciptaan dengan munculnya

alam secara global dari Yang Esa, dimulai dari realitas yang status ontologisnya paling tinggi, diikuti realitas lain yang derajat kemuliaan dan status ontologisnya lebih rendah.

Page 192: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

180

Etika Metafisik : Kaidah dan Filsafat moral yang ditafsirkan

menggunakan pendekatan metafisika (Mi>ta>fi>zi>qa> al-Akhla>q).

Hierarki Ilmu : Urutan dalam ilmu-ilmu secara bertingkat.

Mengasumsikan satu kelompok ilmu lebih tinggi tingkatannya dibanding kelompok ilmu lainnya.

al-Kawn wa-al-Fasa>d : Sebuah ketentuan azali yang diperuntukkan bagi

segenap wujud fisik berupa “kemenjadian” dan “kerusakan” secara berkesinambungan (generation and corruption).

Makrokosmos Alam semesta yang besar dengan segenap daya dan

potensi rohaninya. al-Mant}iq al-Muh}aqqiq : Logika yang berakar pada intuisi, bersifat gnostis

(al-‘irfa>n al-dhawqi>) dan menolak paradigma kemajemukan. Logika yang memandang bahwa wacana-wacana dalam tradisi logika Aristotelian sejatinya telah bersemayam dalam diri setiap manusia dan hanya digunakan untuk mencapai spritualitas setinggi-tingginya.

Materi (al-Hayu>la>) : Apa yang darinya suatu benda dijadikan.

Keberadaan entitas ini bersifat potensial, prinsip bagi segala sesuatu dan mewujud setelah mendapat bentuk (s}u>rah).

Mikrokosmos : Miniatur kecil terkompleks dari alam semesta yang

besar. Oleh para filosof disematkan kepada manusia karena mempunyai seluruh unsur yang dimiliki alam semesta.

al-Muh}aqqiq : Sebuah konsepsi manusia ideal dan paripurna, yang

dalam dirinya terhimpun berbagai kesempurnaan kemanusiaan dan sifat Tuhan, manusia yang mampu memahami Kesatuan Mutlak dengan sempurna. Pencapaian kepada predikat ini memerlukan proses panjang (safar) yang tidak hanya melibatkan intelektual belaka, tetapi juga melalui penyucian ruhani, spritual serta melaksanakan syari’at secara ketat dan konsisten.

Page 193: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

181

al-Muwallada>t : Anak-anak kosmik yang terlahir dari Ibu Kosmik (ummaha>t), yang menempati alam fisik berupa mineral, tumbuhan dan hewan.

al-Nafs al-Kulli> Jiwa Universal, merupakan sumber semua jiwa yang

ada dalam segenap ciptaan. Misalnya, dalam manusia disebut jiwa partikular manusia atau nafs juz’i>yah al-insa>ni>yah, begitu juga pada hewan.

Pseudo-Hierarki Ilmu : Istilah yang menunjukkan sebuah hierarki “semu”.

Adanya hanya dalam wilayah kebahasaan saja (i‘tiba>ri>), yang sejatinya justru ilmu-ilmu yang ada dalam hierarki tersebut berintegrasi secara eksistensial.

Status Ontologis Objek Ilmu

: Keabsahan dan kedudukan hakikat sesuatu sebagai objek pengetahuan. Misalnya, jika kalangan empirisme menolak hal-hal mistik, berarti mereka tidak mengakui status ontologis objek ilmu-ilmu mistik.

al-T{abi>‘ah : Daya-daya alami penggerak yang ada dalam segenap

alam fisik, sebagai realisasi berfungsinya Jiwa Universal

al-Wah}dah al-Mut}laqah : Pandangan ontologis yang menyatakan bahwa

wujud adalah satu, yaitu Wujud Mutlak (Tuhan). Sedangkan yang selainnya adalah wahm (ilusi). Dalam arti, wujud segala adalah entitas wujud yang satu itu, tidak ada tambahan apa pun (Kesatuan Mutlak).

Wujud Imateriil : Istilah yang menunjukkan suatu realitas non-fisik

dan bersifat spritual (ru>h}i>). Wujud Materiil : Istilah yang menunjukkan suatu realitas fisik atau

entitas yang berhubungan langsung dengan benda-benda fisik.

Page 194: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

182

Page 195: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

183

INDEKS

A ‘A<miri>, Abu> al-H{asan 36, 40, 41, 115, 137,

138, 161 ‘A<t}if al-Zayn, 17 al-‘aql al-fa‘a>l, 83, 86, 111, 116, 118, 131 ‘arad}, 78, 92, 121, 124 Abu> Muh{ammad ‘Abd al-Wa>h{id al-Rashi>d, 66 Abu> Nami> Muh{ammad al-Awwal, 67 Ah}mad Zaru>q, 74, 90, 146 Akal Aktif, 116, 118, 120, 127, 131 Akal Fasif, 122 Akal Partikular, 115 Akal Universal, 81, 113, 114, 115, 116, 118,

120, 122, 124, 134, 141 Akasoy, Anna Ayşe 8, 15, 16, 63, 66, 75, 124 al-akhla>q al-‘amali>, 26, 61 al-Amuli>, Shams al-Di>n 7, 36, 49, 50, 51, 144 Andalusia, 8, 61, 63, 64, 71 Aristoteles, 16, 17, 38, 47, 112, 114, 115, 117 Aristotelianisme, 8, 61, 66, 90, 121 al-arka>n, 82, 110, 132, 134, 135, 136 Ash‘ari>yah, 52, 63, 105 awha>m, 77, 104, 147 Axial Intellect, 16, 91, 93, 103, 166 ayat kawni>yah, 30 Ayat qawli>yah, 30 Azra, Azyumardi 4, 5, 6, 33, 34, 148

B Bakar, Osman 5, 9, 15, 29, 35, 36, 37, 38, 42,

43, 52, 53, 54, 57, 138, 140, 145 Balkhi>, Abu> Zayd 40 al-Balnasi>, Yah}ya> ibn Ah}mad ibn Sulayma>n

74 basis ontologis klasifikasi ilmu, 10, 103, 150 al-Bu>ni>, 64 Budd al-‘A<rif, 8, 11, 21, 65, 68, 80, 81, 82, 83,

84, 85, 86, 87, 90, 91, 92, 93, 95, 96, 104, 105, 106, 107, 108, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 117, 118, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142,�146

Bust}a>mi>, Abu> Yazi>d 53, 88

C Callataÿ, Godefroid De 14, 37 Ceuta, 8, 65, 66 Chittick, William C. 76, 114, 123 Cogswell, G. A. 27 Comte, Auguste 10, 109 Cornell, Vincent J. 16, 91, 93, 103, 166

D Descartes, René 1, 10 al-Dhahabi>, Shams al-Di>n 67, 73, 130 al-dhawq, 17, 54, 85 Dhu> al-Nu>n al-Mis}ri>, 101

E early science, 50 elementary particles, 131 Elshakry, Marwa 14 emanasi, 81, 82, 83, 110, 111, 113, 114, 115,

118, 119, 122, 132, 133, 134 emanasi juz’i>ya>t, 111 emanasi kulli>ya>t, 82, 110 epistemologi Barat, 1, 2, 10, 19, 108, 109, 148 epistemologi Islam, 1, 2, 3, 4, 5, 10, 11, 12,

32, 90, 91, 103, 106, 108, 109, 146, 148

F al-Fa>ra>bi>, Abu> Nas}r 7, 13, 15, 35, 36, 37, 38,

39, 40, 45, 59, 81, 96, 111, 112, 115, 116, 117, 118, 120, 121, 122, 125, 126, 128, 131, 140, 144

Fadaie, Gholamreza 6, 33, 144 Fakhr al-Mulk, 53 al-falak, 82, 110, 111, 132, 135, 141 al-Farmadhi>, 51, 52 al-Faruqi, Ismail Raji 4, 30 Fazlur Rahman, 13, 59 filsafat pengetahuan, 10, 19, 92, 106, 108,

148, 151 al-Firdawsi>, 51 fisika, 15, 34, 38, 42, 50, 57, 58, 63, 136, 140,

141, 144 Fleming, Samuel 27 fragmented knowledge, 34 fragmented personality, 34

Page 196: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

184

Frederick II, 8, 16, 61, 62, 66, 74, 76, 117, 123, 128

fusi horizon, 23

G Gadamer, Hans-Georg 22, 23, 24, 27 al-Ghabri>ni>, Abu> al-'Abba>s 63, 66, 67, 74 ghayr shar‘i>yah, 55, 59 al-Ghaza>li>, Abu> H{a>mid 7, 12, 13, 15, 36, 45,

51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 65, 94, 101, 137, 139, 153

Gibb, H.A.R 122

H al-H{alla>j, 17 al-H{ikami>, Abu> al-'Abba>s 72 al-Hara>ni>, Abu> al-H{asan ibn 'Ali> ibn 64 al-hayu>la>, 82, 110, 132, 133, 134, 135 Heck, Paul L. 12, 13, 41 Hermes, 17 hierarki Jiwa, 125 hierarki wujud, 37, 81, 110, 111, 113, 120,

122, 129, 131, 134, 135, 140, 141, 144 huwi>yah, 78

I ‘ilm al-lisa>n, 37 ‘ilm al-t}abi>‘i>, 38, 47, 140 ‘ilm al-ta‘a>lim, 38 ‘Ilm al-Tah}qi>q, 84, 85, 94, 103, 106, 108 ‘ilm h}ud}u>ri>, 90, 91, 106, 146 al-‘irfa>n al-dhawqi>, 85 i‘tiba>ri>, 9, 95, 125, 131 al-I<ji>, 'Ad}ud al-Di>n 49 I<la>qi>, 49 I<sa>ghu>ji>, 91, 105 Ibn ‘Abd al-Ma>lik, 74 Ibn ‘Arabi>, 9, 67, 80, 81, 88, 99, 101, 111,

114, 118, 119 Ibn ‘At}a>’illa>h al-Sukandari>, 74 ibn Abi> H{amrah al-Mursi>, 67 ibn al-‘A<rif, Abu> al-'Abba>s Ah}mad 64 Ibn al-Fa>rid{, 88 Ibn al-Khat}i>b, Lisa>n al-Di>n 61, 62, 63, 64, 65,

66, 67, 69, 70, 74 Ibn But}la>n, 7, 29 Ibn Daha>q, Ibra>hi>m ibn Yu>suf ibn Muh}ammad

64 Ibn Daqi>q al-‘I<d, 130 Ibn Hu>d, 74 ibn Isra>’i>l, Najm al-Di>n 67 Ibn Kathi>r, 62, 63, 64, 65, 73

Ibn Khala>s}, 65, 66 Ibn Khaldu>n, 7, 36, 45, 46, 47, 48, 49, 51, 52,

66, 72, 73, 74, 137, 138 Ibn Miskawayh, 40, 121, 122 Ibn Nadi>m, 13 Ibn Qasi>, 74 Ibn Rushd, 17, 114 Ibn Sab‘i>n, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 15, 16, 17, 18,

19, 20, 21, 25, 26, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 110, 111, 112, 113, 114, 116, 117, 118, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 162

Ibn Sara>qah al-Sha>t}ibi>, 67 Ibn Sha>kir, 61, 62, 63, 64, 65, 67, 68, 69, 72,

74 Ibn Si>na>, 15, 17, 31, 40, 49, 76, 81, 112, 115,

116, 117, 119, 120, 121, 125, 126, 127, 128

Ibn T{ufayl, 71 Ibn Taymi>yah, 45, 67, 72, 73, 74, 97, 139 Ibn Tighri> Birdi>, 73 Ibn Wa>t}i>l, 74 Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, 7, 37, 38, 40, 140 Ikhwa>n al-S{afa>’, 14, 37, 78, 115, 116, 117,

118, 122, 123, 125, 126, 127, 129, 132, 134, 135, 136

ilmu nama-nama dan huruf, 64, 70, 140 Insa>n al-Ka>mil, 9, 88 integrasi keilmuan, 4, 10, 150 intermediate science, 141 Iqbal, Muhammad 30 Ishra>qi>, 15, 36, 42, 90, 106 Iskandar Yang Agung, 17

J Ja>bir ibn H{ayya>n, 31 Jawa>b S{a>h}ib al-S{iqili>yah, 69, 75 jawhar, 78, 82, 92, 110, 117, 124, 132, 133,

134 al-Ji>li>, 9, 88 jism al-mut}laq, 82, 110, 132, 133, 134 Jiwa Universal, 114, 115, 122, 123, 125, 126,

132, 133, 177 al-Junayd, al-Baghda>di> 53, 99 al-Jurja>ni>, 'Ali> Ibn Muh}ammad 99 al-Juwayni> (Ima>m al-H{ara>mayn), Abu> al-

Ma'a>li> 52, 64

Page 197: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

185

K al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 8, 16,

69, 70, 85, 92, 94, 117, 125, 127, 128, 129, 130

Kartanegara, Mulyadhi 1, 2, 4, 5, 7, 9, 14, 15, 28, 30, 32, 36, 46, 49, 76, 81, 108, 109, 112, 115, 116, 118, 119, 131, 144

al-kashf, 53, 54, 90, 106, 145 kategori ilusi, 104 al-kawn wa-al-fasa>d, 82, 114, 135 kebaikan aksidensial, 95 kebaikan esensial, 95 Kebaikan Mutlak, 85, 87, 88, 95, 96, 97, 98,

100 Kebenaran Mutlak, 77, 85, 147 Kesatuan Mutlak, 10, 18, 26, 61, 78, 87, 89,

90, 92, 93, 94, 95, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 105, 107, 108, 110, 111, 113, 121, 125, 129, 131, 132, 137, 144, 146, 147, 149

kesatuan pengetahuan, 15 kha>nqa>h, 53 al-Kindi>, Ibn Ish}a>q 7, 35, 36, 40, 104, 112,

115, 121, 122 al-Kirma>ni>, 114 klasifikasi ilmu, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13,

14, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 40, 41, 42, 43, 46, 49, 50, 51, 52, 54, 57, 58, 59, 61, 103, 108, 110, 125, 137, 138, 139, 140, 144, 147, 149, 150

Kramer, J.H. 122

L late science, 50 Lator, Esteban 63, 67 Leaman, Oliver 8, 9, 40, 51, 71, 78, 103, 114,

145, 153, 154, 159, 160, 161, 164 logika Aristotelian, 26, 90, 91, 92, 93, 106,

107, 132, 145 lower science, 140, 144

M ma‘rifah, 59, 78, 128 ma>hiyah, 78 madrasah niz}a>mi>yah, 53 Madrasah Sult}a>ni>yah, 49 al-Makdisi, George 7, 29 makrokosmos, 88, 123 mant}iq al-ishra>qi>, 90, 106 Mant}iq al-Muh}aqqiq, 17, 26, 61, 90, 91, 92,

93

manusia paripurna, 86, 88, 94 al-maqa>ma>t wa-al-ah}wa>l, 98 al-Maqqari>, Ah}mad Ibn Muh}ammad 61, 62,

63, 64, 65, 66, 67, 69, 70, 74 maqu>la>t al-‘ashrah, 92, 105 mara>tib, 77, 147 Maroko, 8, 45, 65 matematika, 15, 38, 42, 50, 57, 63, 141, 144 materialisme, 1, 109 mawju>da>t, 78, 81, 82, 92, 110, 115, 135 metafisika, 3, 10, 15, 17, 18, 21, 30, 38, 41,

42, 47, 50, 54, 55, 57, 75, 132, 136, 141 mi>ta>fi>zi>qa> al-akhla>q, 26, 61, 94 mikrokosmos, 88 al-Mu‘a>firi> al-Sha>t{ibi>, Abu> 'Abdilla>h 67 al-mubda‘ al-awwal, 81, 82, 110, 113 mubdi‘ al-ashya>’, 81, 113 al-Muh{a>sibi>, 53 Muh}aqqiq, 17, 26, 61, 84, 85, 86, 87, 88, 89,

93, 94, 98, 103, 107, 125 mumkin al-wuju>d, 76, 78 al-Munbaji>, Nas}r 74 al-Muqarrab, 84, 87, 88, 89 al-Mura>kibi>, Mah}mu>d 17, 130 Murcia, 63, 64, 65 murshid, 98, 100 musa>fir, 85, 94, 98, 99, 100, 101, 102 mutafannin, 42 Muwahhidun, dinasti 16, 63, 65, 66 muwallada>t, 82, 110, 132, 135, 136 al-Muz}affar Shams al-Di>n Yu>nus al-Awwal,

67

N al-Na>bulusi>, 114 nafs al-na>t}iqah, 83, 111 Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si>, 36, 42 Nasr, Sayyed Hossein 5, 6, 7, 8, 9, 28, 29, 30,

31, 33, 34, 35, 36, 37, 40, 42, 49, 50, 51, 53, 71, 76, 78, 91, 103, 114, 119, 120, 121, 123, 133, 144, 145, 148

neo-hanbalism, 45 Nisyapur, 51, 52 Niz}a>m al-Mulk, 51, 53 Nubiola, Jaime 27 Nuseibeh, Sari 103, 161

P Panteisme, 79 Pedersen, Johannes 32 Peripatetik, 17, 36, 37, 40, 52, 90, 93, 106,

107, 116, 119, 121, 126, 128, 132, 136, 154

Page 198: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

186

Persia, 36, 42, 71, 102, 150 Plato, 17, 125 platonic ideas, 118 Powell, J.W. 27 pseudo-hierarki ilmu, 10, 148, 150

Q al-Qanu>n fi al-T{ibb, 49 al-qas}d al-awwal, 81, 82, 84 al-qas}d al-qadi>m, 81, 118, 137 al-qas}d al-tha>ni>, 81, 82 Qudama>’ ibn Ja‘far, 13 Qut}b al-Di>n al-Qast}ala>ni>, 67, 72

R al-Randi>, Ibn 'Iba>d al-Nafazi> 74 rasionalisme, 1, 30, 109 Rational Science, 8, 46 Renaissans, 109 Risa>lat al-Alwa>h}, 9, 69, 76, 96, 104, 121 Risa>lat al-Ih}a>t}ah, 9, 69, 78, 81, 85, 99, 118 Rosenthal, Franz 32, 161

S S{afi> al-Di>n ‘Abd al-Mu’min, 71 safar, 85, 98, 99, 100, 101, 102 Sardar, Ziauddin 1, 2, 3, 109 sebab pertama, 81, 112, 113 al-Sha’ra>ni>, 74 al-Sha>dhili>, Abu> al-H{asan 67 al-Sha>dhili>yah, Tarekat 74 Shah} Waliyulla>h, 35 Sharaf, Muh}ammad Ya>sir 8, 9, 17, 63, 65, 66,

67, 68, 69, 70, 71, 72, 76, 78, 93, 94, 96, 104, 105, 117, 139, 146

al-Shawka>ni>, Muh}ammad ibn 'Ali> 72 Shehu, Salisu 14 al-Shibli>, 53 al-Shi>ra>zi>, Qut}b al-Di>n 7, 15, 36, 37, 42, 44,

108, 138 al-Shustari>, 74 Sicilia, 8, 61, 66, 74, 75, 124 Socrates, 17 Spallino, Patrizia 16, 62, 68, 76, 162 status ontologis objek ilmu, 9, 10, 11, 26, 103,

108, 137, 147, 150 al-Suhrawardi>, 42, 88, 90, 94, 100, 106, 116,

118, 120 al-Suku>ni>, Abu> Bakr ubn Khali>l 66, 72, 139 supreme science, 141

T T{ari>qat al-Sab‘i>ni>yah, 17, 73 al-t}abi>‘ah, 47, 82, 110, 132, 133, 134, 135,

141 al-Tafta>za>ni>, Abu> al-Wafa> 9, 16, 61, 62, 63,

64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 76, 78, 79, 80, 81, 82, 85, 87, 88, 90, 93, 94, 96, 97, 98, 99, 106, 110, 112, 113, 114, 117, 118, 124, 126, 129, 130, 139, 140, 144, 145, 146, 147

tajribat al-ru>h}i>yah, 67 tas}awwur, 85, 129 tas}di>q, 85 Tauhid, 4, 15, 18, 19, 29, 30, 31, 151 teosof, 8, 9, 11, 17, 19, 61, 68, 88, 90, 106,

145, 146, 149 al-thawa>b wa-al-‘iqa>b, 97 Tondl, Ladislav 27 Toynbee, Arnold J. 46 tradisi intelektual Islam, 11, 13, 14, 25, 27,

28, 29, 30, 31, 32, 42, 59, 149 Transmitted Science, 46 Tunis, 45, 66, 72 Turner, Howard R. 32

U al-‘ulu>m al-‘aqli>yah, 63 al-‘Ulu>m al-Adabi>yah, 26, 103 al-‘Ulu>m al-Falsafi>yah, 26, 103 al-‘ulu>m al-h}ikmi>yah, 41 al-‘ulu>m al-milli>yah, 41 al-‘ulu>m al-naqli>yah, 30, 63 al-‘Ulu>m al-Shar‘i>yah, 26 ‘umra>n, 46 Uljaytu, 49

V Valle de Ricote, 63

W wa>jib al-wuju>d, 77, 78 al-Wa>rith, 84, 88 al-Wah}dah al-Mut}laqah, 9, 11, 12, 16, 17, 18,

26, 61, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 81, 83, 84, 85, 87, 89, 92, 93, 94, 96, 98, 102, 104, 105, 108, 110, 113, 138, 146, 147, 149

Wah}dat al-Wuju>d, 9, 17 wahm, 76, 77, 78, 104, 121, 127, 146, 147,

149, 177 wuju>d muqaddar, 80 wuju>d muqayyad, 80

Page 199: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

187

wujud hakiki, 76, 77, 146, 149 wujud imateriil, 37, 111, 113, 114, 116, 120,

132, 133, 136, 144 Wujud Mutlak, 76, 77, 78, 79, 80, 93, 94, 95,

101, 102, 107, 113, 146, 147, 149 wujud-wujud materiil, 120, 121, 122, 124,

132, 134, 135, 136

Z Zakari>yya> ibn ‘Abd al-Wa>h{id ibn Abi> H{afs},

67 al-Zarkali>, Khayr al-Di>n 49, 62, 64, 70 al-zuhd al-‘urfi>, 101 al-zuhd al-jali>l, 101

Page 200: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

188

Page 201: Kumpulan Tesis Edited Untuk Promosi NEWrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41659...This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work, Classification of

BIODATA PENULIS

Puad Hasan, lahir di Bogor, Jawa Barat, 29 Februari 1988, anak ke-4 dari ayah KH. Abdullah Mubarok dan ibu Hj. Nurhayati. Ia bertempat tinggal di Jl. Pemuda Dramaga, Petir Rt. 02/03 Purwasari Dramaga Bogor.

Memulai karier pendidikannya di MI Al-Manaf Dramaga Kab. Bogor (1994-2000), selanjutnya di MTs Darussalam Dramaga dan lulus tahun 2003. Selama menjalani karier pendidikan formalnya MI dan MTs, ia juga “nyantri” di Pesantren Al-Mujahidun Dramaga Bogor, di bawah asuhan ayahnya sendiri. Kemudian penulis melanjutkan ke jenjang SLTA di Madrasah Aliyah (MA) Perguruan Al-Masthuriyah Cisaat Sukabumi, di bawah pimpinan al-Maghfur Lah KH. Fakhruddin Masthuro, dan lulus tahun 2006. Pada waktu yang sama, mulai tahun 2003, penulis kembali melanjutkan “nyantri”nya di Pesantren Salafiyah Babakan Tipar (2003-2013), Pesantren Riyadhussyamsiyah (2008) dan Pesantren Nurul Iman (2009), Sukabumi. Selama menjalankan karier “nyantri”nya ini pula, penulis menyelesaikan Sarjana S1-nya (2007-2011) di Sekolah Tinggi Agama Islam Kharisma Sukabumi. Minat mengembangkan kajian keislaman dirasa semakin urgen, kemudian pada awal 2012 ia melanjutkan ke Program Magister Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan konsentrasi studi Pemikiran Islam. Di tahun 2012 pula, penulis lulus sebagai mahasiswa terbaik pada program Pendidikan Kader Ulama (PKU) VI MUI Kab. Bogor.

Pengalaman organisasinya diawali dari menjadi ketua OSIS MTs Darussalam Bogor (2002), pengurus OSIS MA Al-Masthuriyah (2005), Ketua Bid. Intelektual Senat Mahasiswa STAI Kharisma Sukabumi (2009-2010), Ketua Komisariat PMII STAI Kharisma (2009-2011), Ra’is ‘Am Pesantren Salafiyah Sukabumi (2010-2012), Sekretaris I Bid. Kaderisasi PC. PMII Kab. Sukabumi (2011-2012). Kini, pengasuh Pesantren Al-Mujahidun Bogor ini juga aktif di lembaga penelitian LPKPU (Lembaga Pengkajian Keagamaan dan Pemberdayaan Umat), Lakpesdam PCNU Bogor, Koordinator diskusi filsafat Gubuk Wisdom Sukabumi, staf redaksi dan kontributor tulisan majalah Kalam Ulama MUI Kab. Bogor. Pada tahun 2015 mendatang, ia juga didelegasikan oleh MUI Pusat yang bekerja sama dengan Liga Dunia Islam (World Islamic League) dalam Program Pemberdayaan Masyarakat Islam, untuk melaksanakan studi di Timur Tengah.

Dunia tulis menulis dimulai sejak masih di Pesantren. Beberapa tulisannya antara lain: “Kesejukan” Tasawuf: Sebuah Upaya Meretas Radikalisme Agama (Kalam Ulama ed. 7 no. 3, September 2014), Epistemologi Pendidikan Islam dalam Pandangan NU (Skripsi, 2011), “Kalimah Thayyibah”: Ikhtiar Menggapai Cita-cita Kesejahteraan Rakyat (LPTQ Jawa Barat, 2014), al-Maqu>la>t al-‘Ashrah (Sepuluh Kategori dalam Tradisi Logika Aristotelian): Tah}qi>q atas karya Ah}mad al-Shuja>‘i> dalam bidang Mant}iq berjudul “al-Jawahir al-Muntaz}ama>t fi> ‘Uqu>d al-Maqu>la>t” (Pesantren Salafiyah Sukabumi, 2009),Wajah PMII dalam “Frame” Keislaman dan Keindonesiaan (As-Shahwa PMII Sukabumi, 2014), Solusi Islam bagi Korban Penyalahgunaan Narkoba: Wawancara dengan Dr. Syarifah Gustiawati tentang Disertasinya (Kalam Ulama ed. 7 no. 3, September 2014), Nuansa Dialektika Teks dalam Tafsir: Resensi Tafsi>r al-Muni>r karya Wahbah al-Zuhayli> (Kalam Ulama ed. 5 no. 3 Desember 2013).